Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Nenekku, Pahlawanku [TAMAT]

Happy ending or sad ending?


  • Total voters
    496
***

Biarpun terhitung nekat penuh adrenalin tingkat tinggi memadu kelamin di area pawon belakang rumah Bu Rini, aku sukses menuntaskan ronde kedua.

Entah nasibku yang sedang baik atau memang keberuntanganku yang kelewat mujur, di siang bolong begini aku dan Bu Rini merengkuh kenikmatan demi kenikmatan tanpa kendala.

Dikarenakan Bu Rini masih tergolek lemah di atas dipan kayu, berikut kedua paha mengangkang mempertontonkan memek tembemnya yang mengalir bekas spermaku dari celahnya, mau tak mau aku bersih-bersih sekali lagi di kamar mandi.

Sat-set.

Pakaian telah kukenakan. Es teh yang es batunya telah mencair aku habiskan melepas rasa haus. Sekarang saatnya untuk pulang.

"Terima kasih, ya, pacarku yang cantik." Aku mengecup kening Bu Rini lembut.

Dada Bu Rini masih kembang kempis. Ia membuka matanya berat. Ia paksa untuk menoleh menatapku. "Aku juga terima kasih sama kamu, Kobe."

"Ngomong-ngomong, Emak yakin bisa jalan sendiri?" tanyaku, sambil memindahkan kecupan di bibir wanita paruh baya rasa perawan ini.

"Menurutmu bisa jalan ndak kalau tempekku digempur sampai melar gini sama Gatot-mu itu?" Bu Rini balik bertanya. Pura-pura merajuk, tapi juga genit menggoda.

"Hahaha. Maaf, Mak. Tau sendiri kan Gatot-ku ini nggak bisa diem. Apalagi ..." aku dekatkan bibirku ke telinga Bu Rini, "tempek Emak legit banget kayak perawan."

Semburat merah di pipi Bu Rini keluar. Ia mendengus sambil menahan senyum. "Ngomong perawan kayak udah pernah nyobain yang masih gadis aja."

"Lah ini apa kalau bukan gadis." Aku meremas susu Bu Rini gemas.

"Ah, Kobe gitu!" pekik Bu Rini, manja.

"Hehehe. Ya udah, aku pulang dulu, Sayang."

"Hati-hati, ya."

Kami berciuman singkat.

Sebelum aku meninggalkan Bu Rini, aku teringat sesuatu. "Oh, iya. Jatah jagung sama kelapa buat Umi, ah, maksudku Nenek, di mana, Mak?"

"Ndak tau." Bu Rini membuang muka. Merajuk sungguhan.

Lah, kenapa pula ini wanita? Padahal sebelumnya baik-baik saja, kok sekarang malah seperti gadis ABG yang tidak dituruti beli seblak. Bajingan.

Kembali aku mendatangi Bu Rini. Berjongkok sambil mengelus perutnya. "Emak kenapa?"

"Panggil aja emak terus!" cebik Bu Rini, sewot.

Aku tepuk jidat. Ternyata hanya perkara panggilan. Pantas saja ia cemberut begini. Segera aku perbaiki sikapku, lantas tersenyum tipis. "Rini sayang."

Seketika Bu Rini menoleh. Secepat kilat air mukanya berubah cerah. Matanya berbinar penuh cinta. "Apa?"

"Rini sayang, kenthu lagi, yuk!"

"Ihhhh! Kok Rini di kenthu lagi, sih, Mas?" Bu Rini merubah gaya bicaranya. Yang entah mengapa, bulu kudukku langsung meremang dibuatnya.

"Rini nggak suka ya di kenthu sama aku?" bisikku.

"Su-suka, kok."

"Tapi kok nolak?"

"Ya ... tadi Mas tanya apa, kok langsung berubah itu lho pertanyaannya."

"Kok dipanggil mas segala? Kan Rini lebih tua dari aku."

"Ndak boleh, ya?" lirih Bu Rini dengan wajah tertekuk sedih. Ia bangkit duduk. Sedikit meringis sambil memegangi memeknya.

"Boleh-boleh aja. Cuma kalau Rini panggil aku kayak gitu, rasanya aku tambah cinta sama kamu."

"Justru Rini panggil kamu mas biar jatuh cinta sama Rini."

"Lama-lama aku perkosa dirimu," candaku.

"Perkosa aja Rini. Sekalian aja di depan suamiku yang bajingan itu." Bu Rini menyahut enteng.

Aku hanya tertawa saja mendengar. Kenapa tertawa? Ya kalau aku mulai ronde ketiga, bisa-bisa aku mati kehabisan cairan, dong. Bajingan.

Sambil berusaha berdiri, Bu Riniiii memegangi tanganku. Aku ikut berdiri. Membantu memapahnya sampai kami masuk ke dalam rumah.

Tak perlu diucap oleh Bu Rini, aku membimbingnya menuju kamar. Setelah aku dudukkan di pinggir ranjang, aku pandangi tubuh moleknya yang masih telanjang bulat.

Bu Rini mendongakkan kepala, lalu berkata, "Mas ambil sendiri ya di sebelah kanan rumah. Rini ndak bisa nganter. Linu semua badan Rini."

"Iya, Sayang. Ya udah, aku pamit. Besok aku ke sini lagi."

"Kok besok?" lagi-lagi Bu Rini cemberut. Ia bersedekap di depan dada jumbonya sambil memajukan bibir bawah.

"Emangnya kamu mau aku bacok-bacokan sama suami dan anakmu kalau aku menidurimu lagi nanti malam?"

"Pokoknya harus ke sini lagi nanti malam. Titik!"

"Iya, iya. Nggak janji, tapi aku usahakan."

"Beneran?"

"Iya, Sayangku."

Senyum Bu Rini merekah indah. Ia memeluk perutku begitu eratnya. Sampai-sampai dadanya menempel menggencet si Palu Gatot.

Kami pun berciuman singkat, tak lupa saling meremas tipis-tipis sebelum akhirnya aku melangkahkan kaki keluar kamar.

Ceklek!

Kunci pintu rumah aku putar ke kiri. Aku pegang handle, lalu membukanya setengah. Melongokkan kepala. Memastikan keadaan aman. Syukurlah. Ternyata tak ada seorang pun di sekitar rumah. Aku sedikit bernafas lega. Serta merta menuju samping rumah mencari jagung dan kelapa yang terbungkus rapi di dalam karung putih.

Dua karung sak bergantian aku ambil dan letakkan di atas jok belakang motor. Tak lupa aku ikat menggunakan tali tampar yang kebetulan melingkar di batangan besi samping warung.

Setelah dua sak berukuran besar, dan kiranya masing-masing memiliki berat di atas 10 kg, aku tunggangi motorku.

Brum!

Aku engkol besi tua ini, lalu aku gas satu kali sembari menunggu mesin panas sekaligus mengelap spedometer yang basah akibat hujan.

Sesaat ketika gigi aku masukkan, tiba-tiba seseorang menepuk pundakku. Refleks aku menoleh. Mendapati sosok bidadari berjilbab yang berdiri di sebelah kanan motor.

"Eh, Jihan." Aku menyapa, kikuk. Padahal sebelumnya aku tak mendapatkan seorang pun di sekitaran warung. Jangankan si Jihan, bapak-bapak yang nongkrong di dalam warung pun sudah minggat entah ke mana.

"Udah dikeluarin semua lendirmu, Be?" tanya Jihan, sarkas. Senyumnya cukup mematikan untuk sekelas wanita berparas kalem.

"Pertanyaan yang udah jelas kamu tau jawabannya."

"Enak ya jadi orang ganteng nggak perlu susah-susah nyari wanita. Wanitalah yang datang sendiri," ucap Jihan, dingin.

Aku mengernyit. "Kamu mau juga?"

"Hihihi, kayaknya satu lubang masih belum cukup buat mengeluarkan semua lendirmu."

"Bercanda, Han. Lagian mana berani aku menyentuh istrinya cucu kesayangan Nenekku."

"Buktinya sama Emak berani tuh. Kok sama aku enggak." Masih dingin, dan semakin sinis Jihan berkata tanpa sedikit pun berpaling dari wajahku. "Kamu itu sama aja kayak Adam. Tukang ngentot."

Uratku menegang. Sedikit banyak emosiku terpancing akibat ucapan Jihan yang setajam pedang. "Apa yang suami dan bapak mertuamu tabur, itu yang mereka tuai. Ini baru awal. Selanjutnya aku akan lebih gila lagi memberi hukuman atas perbuatan yang mereka lakukan sama Nenekku."

"Aku paham kok apa yang ingin kamu sampaikan, Kobe. Nggak usah basa-basi lagi. Ayo aja kalau kamu mau ngentot sama aku. Lagian aku nggak peduli sama Adam yang udah merusak pernikahan kami dengan kelakukannya sendiri."

"Sayang sekali. Aku nggak berminat nyentuh kamu untuk sekarang. Permisi, aku mau balik. Ada urusan yang lebih penting."

Jihan menatapku tajam. "Mau ngentot sama siapa lagi kamu?"

"Bukan urusanmu."

"Sebentar lagi aku melahirkan anak ini, dansetelah itu aku sama Adam udah nggak ada hubungan lagi. Aku berharap ..." Jihan balik badan. Menoleh sedikit dengan lirikan mautnya, lalu menambahkan, "kamu mau menerimaku seperti kamu menerima Emak."

Sebelum aku membalas ucapannya, Jihan sudah lebih dulu melangkah pergi. Berjalan pelan menuju warung.

Kami sempat berpandangan untuk beberapa detik, kemudian aku tancap gas. Membawa serta perasaan campur aduk memenuhi kepala. Satu lagi beban pikiran akan teka-teki bertambah seiring atensiku tertuju kepada Nenek.

Ya, benar.

Aku tak boleh melupakan tujuan utamaku demi mencari tahu siapa sebenarnya aku. Dan ... untuk apa aku lahir di dunia sialan ini.

***

Sebelum pulang, aku mampir ke toko kelontong setelah melewati jembatan sungai. Ada beberapa pembeli yang kesemuanya ibu-ibu desa. Pakaian mereka yang tak jauh berbeda dengan apa yang sering Nenek kenakan membuatku syik, syak, syok. Ah, sudahlah. Kalau lama-lama menetap bulatan di dada dan pantat mereka bisa-bisa aku nekat meremasnya.

Brum! Brum!

Cesss!


Aku tarik dua gas agak kencang, lantas mematikan mesin motor. Turun hati-hati takut bawaan berat tak sengaja tertendang kaki.

Kedatanganku di toko ini kontan menjadi pusat perhatian. Banyak pasang mata menatapku dengan sorot tak terbaca. Hanya pandangan satu wanita yang terlihat biasa saja seolah aku ini kecoak selokan.

"Budhe, tumbas." (Budhe, beli.) Aku menegur si pemilik toko.

"Tumbas nopo, Mas?" (Beli apa, Mas?) ini dia yang kumaksud wanita yang memandangku datar. Tak ada ekskresi macam-macam. Padahal aku berharap dengan pesonaku bisa memberikan kode secara tak langsung untuk kikuk-kikuk.

Aku jadi tersadar akan sesuatu. Tidak semua wanita berotak mesum meski berhadapan dengan lelaki tampan sepertiku.

"Jancok. Pedemu lho nggarai silitku keduten, su." (Jancok. Kepercayaan dirimu lho membuat pantatku berkedut, njing.) Seloroh si Palu Gatot, sambil merenggangkan badannya yang terjepit celana dalam.

Aku tampar si Palu Gatot, lalu membenarkan posisinya yang miring ke kiri. "Gimana sih kamu itu, Tot. Justru ketampananku ini bisa menjadi modal awal untuk mencari lubang baru. Nggak seneng kamu?"

"Oke-oke aja kalau aku, Kapten. Cuma jangan terlalu dipaksakan. Takutnya kamu salah langkah bisa-bisa batangku yang seksi ini di mutilasi."

"Tenang aja, Tot. Aku bakal main cantik. Percaya sama aku."

"Percoyo ambek kon podo ae koyok percoyo Arsenal juara UCL. Ora mungkin!"
(Percaya sama kamu saja seperti percaya Arsenal juara UCL. Tidak mungkin?)

"Lho, lho, lho. Ojok ngenyek kon, remahan biskuit roma. Ngunu-ngunu Arsenal tahun iki melbu zona UCL. Deloken lak merengene juara." (Lho, lho, lho. Jangan menghina kamu, remahan biskuit roma. Gitu-gitu Arsenal tahun ini masuk zona UCL. Lihatlah setelah ini juara.)

"Ora bakal, su. Lewati dulu King Madrid dan King Leverkusen." (Tidak bakal, njing. Lewati dulu King Madrid dan King Leverkusen.)

"Cok, lah. Mesti lak pesimis nyambek Myanmar iki." (Cok, lah. Selalu saja pesimis kadal Myanmar ini.)

"Wes-wes, gak usah bahas bal-balan. Sak iki yok opo enake?" (Sudah-sudah, tidak usah bahas sepakbola. Sekarang gimana enaknya?)

"Menurutmu piye, Tot? Disikat kabeh, ta?" (Menurutmu gimana, Tot? Disikat semua, kah?)

"Opone seng disikat, su? Pedamu iku sikaten disik ben nggilap. Peda rusuh bolot tok koyok ngunu. Wes gak tau diumbah, yok opo isok menarik betina. Congok." (Apanya yang disikat, njing? Motormu sikat dulu biar mengkilat. Motor kotor dakian seperti itu juga. Sudah tidak pernah dicuci, bagaimana bisa menarik betina. Bodoh.)

"Nggatheli temen kon suwe-suwe, Tot, karo Kaptenmu." (Menjengkelkan sekali kamu lama-lama, Tot, sama Kaptenmu.)

Plak!

Aku tampar si Palu Gatot saking kesalnya. Berbicara dengannya sama saja menambah stress. Bajingan.

"Awakmu kape tumbas opo tho sakjane, Le? Ditakoki kok malah umek karo manuk." (Kamu mau beli apa sih sebenarnya, Nak? Ditanya kok malah sibuk sama burung.) Seorang ibu-ibu paruh baya yang berdiri di sebelahku menegur. Ia menatapku keheranan.

Aku terkesiap. Sejurus, aku menyingkirkan tanganku dari area selangkangan, lalu menggaruk-gauk kepala sambil cengengesan.

"Le, he! Kok tambah plonga-plongo, seh?" (Nak, Hei! Kok tambah plonga-plongo, sih?) kembali menegur, si ibu paruh baya melirik ke arah selangkangan, lalu menatapku curiga.

"Hihihi, lucune putune Bu Zia iki. Gemes aku pengen tak cemplungno nang sumur," (Hihihi, lucunya cucunya Bu Zia ini. Gemas aku pingin aku lemparkan ke sumur,) timpal ibu-ibu di sebelahnya.

Cuk. Berisik sekali wanita-wanita ini. Tidak tahu apa lagi menahan nafsuku yang mulai meronta-ronta akibat tontonan gratis susu dibalut kurang putih. Belum lagi jarik coklat yang melilit tubuh mereka sebatas perut menyajikan keindahan mewah lekuk tubuh proporsional. Yah, meski badan mereka tergolong pendek dibandingkan Nenek, tetap saja yang namanya wanita punya kelebihan masing-masing.

"Hehehe. Enggak, Budhe. Ini lho celana saya basah kena air tadi." Aku memberi alasan. Jelas saja bohong. Sudah jelas celanaku kering. Basah sih sedikit karena si Palu Gatot sempat menangis ketika aku tampar barusan.

Eh, tapi tunggu dulu. Si ibu-ibu tadi sempat menyinggung soal aku cucunya Nenek. Apa mereka sudah kenal aku sebelumnya?

Aku menatap wajah dua ibu-ibu di depan atalase toko. Wajah mereka memang tak lagi muda. Tapi pancaran kecantikan khas wanita desa punya pesona tersendiri memikat orang kota sepertiku. Dan yang paling penting, wajah mereka familiar di ingatanku. Namun, aku tak bisa mengingat dengan baik siapa mereka-mereka ini.

"Oh, iya. Budhe, saya beli rokok Surya, ya." Aku mengalihkan pandanganku ke arah pemilik toko.

"Batangan apa sebungkus?"

"Sebungkus, Budhe. Eh, beli dua bungkus, deh."

Si pemilik toko segera mengambilkan rokok yang kumaksud. Ia letakkan di atas tumpukan beras. Kemudian, aku menyerahkan selembar uang pecahan 100 ribu dari dalam dompet.

Sambil menunggu kembalian, aku buka satu bungkus. Kucomot sebatang, lantas membakarnya.

"Enak ya jadi cucunya Bu Zia. Duit ndak ada harganya beli rokok yang mahal-mahal," celetuk si ibu paruh baya.

"Biasa aja, Budhe. Oh, iya. Saya Kobe. Baru datang semingguan, lah." Aku memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan.

"Udah ganteng, sopan lagi. Tapi sayang, kamu kayaknya lupa sama aku, ya, Le?" ucap si ibu paruh baya, seraya memandangku nakal.

"Hehehe, maaf, Budhe."

"Kalau sama Kairul apa lupa?"

Kairul? Siapa lagi nama lelaki itu?

Kairul ... Kairul ... ah!

Aku menepuk jidatku. Langsung saja aku teringat akan sosok teman mainku saat aku kecil dulu. Ya, Kairul si otak mesum. Ia tiga tahun lebih tua dariku. Kairul, bocah kampret yang suka mengajakku mengintip wanita-wanita desa mandi di sungai.

"Budhe Sekar?!" seruku tanpa sadar. Aku mengambil tangannya untuk salim. Tak hanya Budhe Sekar, wanita paruh baya di sebelahnya aku sedikit mengenalnya. Hanya saja, aku masih belum mengenal si pemilik toko.

"Hihihi, kalau ndak dipancing ndak bakal inget kamu, Le." Budhe Sekar menepuk-nepuk pucuk kepalaku.

"Maaf, Budhe. Udah lama banget saya nggak ketemu sampeyan. Gimana kabar Pakdhe Solikin sama Mas Kairul?" aku menarik tanganku. Memulai pembicaraan lebih lanjut.

Di sisi lain, si pemilik toko menyerahkan kembalian kepadaku. Aku pun menerimanya, lalu mengantongi ke dalam celana pendek.

"Alhamdulillah sehat, Le."

"Sibuk apa Pakdhe sama Mas Irul sekarang, Budhe?"

"Kalau Pakdhemu ya dipercaya Kakekmu ngurus ladang tebu di timur, Le. Nah kalau Masmu udah nikah terus pindah ke kota kabupaten sama istrinya."

"Alhamdulillah, ya, Budhe." Aku tersenyum hangat.

Tak kusangka Pakdhe Solikin selaku suami Budhe Sekar ini sudah berubah menjadi lebih baik. Pengaruh Kakek memang luar biasa. Aku masih ingat jikalau Pakdhe Solikin ini dulunya terkenal sebagai pribadi berwatak keras dan arogan. Tak ayal ia menjadi preman yang disegani di Desa Gentangan. Hobinya kalau tidak mabuk ya judi. Dulu, sewaktu kecil aku kerap mendapati Pakdhe Solikin pulang dalam kondisi mabuk dan berdarah-darah. Padahal, waktu itu hari masih sore. Luar biasa gila.

Selain daripada itu, aku salut sama Mas Kairul. Dengan segala sifat buruknya yang tak jauh berbeda seperti bapaknya, pemuda yang membentuk trio bersama aku dan Adam itu bisa juga jadi lelaki sejati. Memutuskan menikah sama saja membuang egonya demi istri tercinta. Aku jadi penasaran sosok istri Mas Kairul yang sanggup menjinakkan binatang buas itu.

"Ning Nilam, aku utang dulu kayak biasa, yo."

Lamunanku buyar mendapati suara si ibu paruh baya di samping Budhe Sekar. Oh, wanita itu seperti gabungan bintang porno MILF favoritku dan wali kelasku. Sosok wanita yang tak kalah memukau seperti Bu Rini.

Kalau aku tidak salah ingat, namanya itu ...

"Ngapunten, Mbak Maya. Utange sampeyan sampun numpuk ten catetan. Bukanne kulo mboten gelem diutangi, tapi kondisi keuangan warung minus katah. Ngapunten sanget, nggih, Mbak." (Mohon maaf, Mbak Maya. Hutangnya Anda sudah menumpuk di catatan. Bukannya saya tidak mau dihutangj, tapi kondisi keuangan warung minus banyak. Mohon maaf sekali, ya, Mbak.) Si pemilik warung yang dipanggil Ning Nilam itu menjawab sesopan mungkin.

Sementara si ibu paruh baya bernama Mbak Maya itu hanya bisa mendesah panjang. Raut wajah wanita yang usianya kutaksir tidak lebih dari 40 tahun seketika berubah muram.

"Walah, Ning. Suamiku belum transfer, Ning. Janji wes akhir bulan nanti aku lunasi semua. Ayo, ya, Ning."

Ning Nilam, atau yang lebih sopannya aku panggil Bu Nilam itu sontak menggeleng. Tega tidak tega dirinya harus tega jika tak ingin merugi. Sebab, seperti yang sudah Bu Nilam katakan sebelumnya jikalau kondisi warung tidak baik-baik saja.

"Ngapunten. Saestu kulo ngapunten." (Mohon maaf. Sungguh saya mohon maaf.)

Bu Maya, wanita itu dulunya buruh tani di sawah milik Kakek bersama ibu-ibu desa lainnya. Setahuku, Kakek melalui Tante Ima menggajinya lebih dari cukup. Bahkan sekelas pendapatan pekerja di desa tergolong besar.

Sejurus, kantung plastik berwarna hitam Bu Maya kembalikan ke Bu Nilam, setelahnya ia pamit pergi.

Melihatnya yang seperti terkendala uang membuatku tak tega. Bagaimana bisa aku jadi lelaki idaman kalau hal sederhana seperti ini tak bisa kuatasi.

Tanpa banyak bicara, segera aku keluarkan dompet. Maju selangkah tepat di depan etalase. "Bu, total semua belanjaannya Bu Maya sama hutangnya. Sekalian punya Budhe Sekar."

"Eh?!" ketiga wanita itu sontak terkejut. Bu Maya yang sudah akan melangkahkan kaki keluar toko langsung balik badan. Begitupun dengan Budhe Sekar dan Nilam yang terbengong-bengong mendengar ucapanku.

"Total aja, Bu. Biar saya yang bayar."

"Ka-kamu serius, Le?" Budhe Sekar bertanya, gagap.

"Edan tenan. Tenanan ta sampeyan mbayari kabeh, Mas? Nominal'e gak titik lho iki." (Gila sekali. Sungguhan kah kamu bayari semua, Mas? Nominalnya tidak sedikit lho ini.) Bu Nilam menegaskan. Mencoba agar aku mengurungkan niat baikku.

"Jangan, Dek, kamu ini ngawur. Nanti aku dimarahin Bu Zia kalau tau cucunya ngeluarin uang banyak gara-gara aku." Bu Maya ikut menyambung. Ia mendekat dan berdiri di sisi kiriku. Praktis saja aku diapit dua wanita bahenol.

Aku tersenyum. "Santai aja. Saya ini punya penghasilan sendiri, Budhe dan Ibu-Ibu sekalian. Lagipula saya nggak dikasih uang sangu sama Kakek dan Nenek. Jadi ya ini murni uang saya."

"Kerja apa kamu, Mas?" tanya Bu Nilam.

"Dibilang kerja sih enggak juga, Bu. Saya punya tabungan dari orang tua saya, sekaligus uang tabungan hasil saya ikut turnamen."

"Turnamen?"

"Iya. Turnamen masak."

"Kamu bisa masak, Le?" tanya Budhe Sekar, yang masih tak percaya.

Aku geleng kepala. Kuhisap rokokku dalam-dalam, lalu kehembuskan ke samping, sebelum berkata, "Udah. Tanyanya ditahan bentar, nggih. Ini Bu Nilam tolong ditotal dulu."

"Sek, sek!" (Sebentar, sebentar!)

Akhirnya reda juga pertanyaan demi pertanyaan yang diajukan oleh Budhe Sekar dan Bu Maya bergantian. Setelah puas, barulah mereka diam. Tapi tetap saja, mereka tak berhenti memandangku.

Selanjutnya, seperti yang aku harapkan dari Bu Nilam. Ia menyebutkan total belanjaan serta hutang milik Bu Maya. Pun belanjaan Budhe Sekar, yang ternyata memiliki tagihan.

Selesai membayar lunas, kedua wanita itu berterima kasih kepadaku. Mereka menatapku haru sambil memegangi tanganku dengan kedua tangan.

"Kalau gitu, saya pamit dulu, ya, Ibu-Ibu."

Aku sudah bersiap pergi. Sementara Budhe Sekar dan Bu Maya ikut mengantarku sampai motor.

"Le, makasih banyak udah bayarin belanjaan Budhe. Padahal kamu ndak usah repot-repot kayak gini." Budhe Sekar berkata pelan.

Aku naik ke atas motor. Menginjak engkol, lantas menarik gas motor sebanyak dua kali. Kemudian, aku membalas, "Ya udah, Budhe kembalikan aja belanjaannya ke warung, hehehe."

"Boh-aboh. Malah guyon kowe iki janan." (Boh-aboh. Malah bercanda kamu ini, kok.) Budhe Sekar tersenyum kecut. "Sekali lagi Budhe makasih, yo, Le. Hati-hati di jalan. Salam buat Kakek sama Nenekmu."

"Nggih, Budhe." (Iya, Budhe.) Aku mengangguk kecil. Lalu, aku menatap Bu Maya yang sedari tadi diam memandangku. Entah apa yang ia pikirkan, yang jelas aku bisa menangkap raut resah di sana. "Bu Maya, pamit, ya, Bu."

Bu Maya tersentak. Sedetik, ia tersenyum sungkan. "I-iya, Dek. Ibu suwun ambek awakmu. Ibu ndak isok bales kebaikanmu. Ibu mek isok ndungakno mugo-mugo awakmu akeh rejeki." (I-iya, Dek. Aku terima kasih sama kamu. Ibu tidak bisa balas kebaikanmu. Ibu hanya bisa mendoakan semoga kamu banyak rezeki.)

"Santai mawon. Monggo sedoyo." (Santai saja. Mari, semuanya.)

"Nggih." (Iya.)
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd