Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Nenekku, Pahlawanku [TAMAT]

Happy ending or sad ending?


  • Total voters
    493
Bimabet
Setelah aku check langsung spek tante ima bu rini jihan lik sum kempot semua
 
Bimabet
***

Gemerisik pohon bambu yang saling bersinggungan mengundang serta hembusan angin sepoi di tengah terik matahari membakar ubun-ubun. Lirih tenang aliran air membentuk buih-buih yang jauh dari kata tercemar.

Iklan yang numpang lewat sebelumnya hanya sebatas buah liar imajinatif terkontradiksi sebuah momentum dilatasi waktu terbunuh sepi. Hanya dalam satu untaian kata tuk bisa memahami betapa sulitnya menggapai kata fokus manakala satu atau dua batu sandungan turut serta membantu menyedapkan rasa sebuah drama cinta tabu nan haram, yang kemudian melahirkan benih-benih nafsu berlandaskan janji suci dua insan mabuk kecubung.

"Hm, Umi," bisikku. Perlahan, aku menindih tubuh Nenek. Menatap wajahnya yang selalu tersenyum. "Aku ngaceng."

Nenek mengganguk. Seolah mengerti keinginanku. "Mau ngenthu di sini, Sayang?"

Aku melirik kanan-kiri. Mencoba memastikan sekali lagi spot yang duduki tak ada eksistensi manusia iseng yang mencoba mengintip. Atau kemungkinan terburuk malah ikut-ikutan jatah. Haduh. Kalau sudah begitu, moodku jelas hancur lebur. Bisa-bisa kepalanya aku jadikan gulai, lalu aku lempar ke kandang singa. Bajingan.

"Aman kan tapi?" tanyaku, sedikit ragu.

"Ndak tahu." Nenek malah tersenyum jahil. "Kalau ada yang ngintip pun, anggap aja rejeki."

"Aku yang nggak rela tubuh Umi jadi bahan coli, lah!"

"Tapi kan ndak sampai nyentuh ya biarin aja, tho, ya. Anggap aja sedekah."

"Sedekah susumu!" aku ngegas. Terlalu gemas diriku akan kegilaan Nenek yang harus ekstra sabar menghadapi kelakukan absurdnya bak apotik tutup. Tidak ada obat, bajingan.

Ya sudahlah. Sekali pun ada yang melihat kelakuan bejat kami, dan kalau sampai ikut campur, aku tinggal memukul kepalanya dengan batu.

Cup!

Hembusan angin sepoi-sepoi menjadi tanda dimulainya bibir Nenek yang masih tersenyum, untuk segera aku lumat. Memagutnya. Kami hanyut dalam ciuman yang perlahan membangkitkan nafsu birahi.

Seiring ciuman kami yang semakin liar, gestur tubuh Nenek kurasakan semakin resah gelisah. Bergerak ke kanan-kiri. Pahanya digesek-gesekkan di bawah tindihan si Palu Gatot.

Cup!

Kecupan keringan kuberikan di bibir Nenek, sebelum akhirnya aku menyudahi fase ciuman kami yang tanpa jeda nafas.

Dada Nenek naik-turun. Olah nafasnya tak beraturan. Dengan segera, aku menarik lepas kaus Nenek, berikut membuka kait bra besar yang menbungkus hampir seluruh payudaranya.

Boing-boing!

Bertelanjang dada sepunuhnya, tumpah ruah dua benda jumbo nan kenyal berwarna putih di hadapanku. Ukuran bak buah pepaya membuat ngiler setiap aku memandangnya. Belum lagi areola besar berwarna hitam yang di tengahnya terdapat puncak gunung nampak tegak menjulang senada mengeluarkan setitik air kenikmatan. Sungguh, darahku semakin berdesir melihatnya.

Aku ulurkan kedua tanganku meremas dan memijit dua pepaya Nenek. Jemari tanganku ikut aktif bergerak memilin-milin dua puting yang secara bertahap mulai besar, mekar, dan menegang. Persis seperti dot bayi.

Kemudian, bibir dan lidahku bergerak dinamis menelusuri wajah Nenek. Menjilatinya sampai tak sedikit pun wajah itu terlewati sapuan bibirku.

Dan sekarang, bibirku menuju telinga kiri Nenek. Menggigitnya lembut. Dengan sendirinya, kepala Nenek miring ke kanan dibarengi erangan lembut. Seolah memberikanku keleluasaan untuk menelusuri titik sensitifnya di sana. Kujulurkan lidahku menjilat rongga telinganya. Menghisap daun telinganya. Lalu, bibirku tiba di leher Nenek. Aroma keringat yang menguar dari tubuhnya semakin membutakan mataku.

Cup!

Kulit leher jenjang aku beri tanda bahwa ini adalah milikku. Tak boleh ada yang menerobos masuk selama tanda ini masih menempel di sana. Sebuah cupang merah kuberikan. Gigit dan hisap kuat.

"Ahhhhh ... Beeee ...." Badan Nenek seketika bergetar saat merasakan rangsangan pada lehernya. Kedua tangannya refleks menjambaki rambutku.

Hingga kemudian, getaran badan Nenek berangsur reda manakala aku menyudahi menyupang leher sebelah kanan dan kiri. Sedikit besar kubuat karena saat kuperhatian, aku tanpa sadar menghisapnya dengan liar dan buas.

Bibirku beralih pada ketiak Nenek. Kedua tangannya yang semula bertengger di kepalaku segera kutangkap, kupegang, lalu kuangkat hanya dengan satu tangan.

Sekarang, terpampang begitu jelas area sensitif lainnya yang kali ini memamerkan pemandangan lebih menyegarkan mata. Seorang wanita dewasa penuh misteri. Memiliki segudang keindahan dibalik umurnya yang memasuki usia senja.

Ekspresi wajah Nenek yang binal bin cabul, kedua dadanya tertarik ke atas hingga membusung seiring kedua tangannya terangkat ke atas. Terakhir, dua ketiak putih tanpa bulu itulah yang akan menjadi santapan bibirku berikutnya.

Cup! Cup! Cup!

Aku mengendus-endus ketiak Nenek kanan dan kiri, lalu mulai menjilatinya. Meninggalkan liur mengundang aroma maskulin yang membuat Nenek kembali bergetar. Melenguh laksana kura-kura di dalam tempurung. Mendesis bak ular menelusuri naik ke pepohonan.

Masih tetap mencium dan menjilati ketiak Nenek, aku melepaskan kaus hitam polos yang melekat di badanku. Setelahnya, aku yang sudah setengah telanjang ini membantu Nenek untuk duduk. Kami berpandangan penuh cinta. Mata kami mengalirkan percikan magnet yang mendorong kami untuk kembali berciuman. Lebih panas. Nafsu sudah menguasai. Batasan-batasan yang diatur oleh norma telah kami terjang.

"Hmm ... hmmm ... hmmmm ...." Gumam Nenek, tidak jelas. Lidahnya membetot lidahku kuat. Tak ayal, salivanya turut keluar membasahi bibir kami, dan memudahkan bibir kami saling menari-nari.

Sejurus, pasca pagutan kami terlepas, aku membelai pipi Nenek, sebelum berkata, "Umi, aku mau nenen."

"Ayo, Sayang, susuku udah keras. Penuh. Ayo mentil, Sayang, habiskan susuku." Nenek berkata dengan nafas tersenggal.

Aku pun menempatkan diri tiduran di paha Nenek yang sudah rapat dan lurus. Dua pepaya besar yang telah tersaji di depan mata dengan dua puting yang melambai-lambai ingin segera dimanjakan, tanpa berlama-lama, aku mencaplok puting kanan susunya.

Slurp!

Menyedotnya kuat, lalu menghisapnya. Aku menetek layaknya bayi. Bayi besar. Bedanya, jika bayi biasa menetek tanpa embel-embel nafsu, sementara aku menetek penuh luapan nafsu birahi yang membuat Nenek mendesis-desis belingsatan.

Kuarahkan bola mataku ke atas. Menatap wajah Nenek yang kini sudah merah padam, menunduk dengan mata sayu.

Kegiatan mesum yang tak biasa ini memasuki fase selanjutnya. Yang mana, tangan Nenek mencoba memelorotkan celana pantai sekaligus celana dalamku dalam satu tarikan. Melihatnya sedikit kesusahan, tanpa melepas gigitan di puting, aku mengangkat pinggul.

Tuing!

Terpampanglah si Palu Gatot kebanggaanku. Batang kontol coklat gagah perkasa mengacung-ngacung di depan mata. Menantang siapa pun betina yang berniat menaklukkannya.

"Sayang, gedhe banget, tho! Hmmm!" dengan gemas, Nenek mengocok lembut kontolku, setelah sebelumnya meludahi telapak tangannya. Untuk pelumas, sudah jelas.

Aku merasakan nikmat. Kelembutan serta usapan penuh perasaan yang dilakukan Nenek membuatku melayang hingga langit ketujuh.

Clek! Clek! Clek!

Batang kontolku semakin keras dan tegang. Begitu pun dua puting Nenek yang membesar. Payudaranya kian mengencang meski ASI di dalamnya telah habis kuteguk. Hanya putingnya yang bergantian aku mainkan silih berganti. Tak berhenti. Pun tak berniat melewatkan kesempatan kenyamanan yang tercipta pada hubungan tabu ini.

"Ughhh ... Umi ... ughhh ... ughhh ... hhhhh ...." Aku melenguh-lenguh. Bibir dan tanganku semakin gencar bergerilya di dua pepaya Nenek.

"Aduh ... panas banget tho manukmu ini, Be. Ahhh ... mau ngecrot ta, Be? Ayo, Be, crot aja. Keluarkan semua, Sayang, ahhhh ... enak ya dikocok sama Umi? Enak, Sayang?" bisik Umi, menggoda. Ia mengeluarkan kata-kata yang semakin membakar darahku. Memompa jantungku.

"Umiii ... terus, Mi, aku mau ... ahhhh ... ahhhh ... bentar lagi, Mi! Ahhhh! Iya ituuu! Kepalanya, Mi! Ahhhhhhh!" aku mendengus. Kelojotan. Badanku bergetar. Lalu, bibirku tanpa sadar menggigit puting payudaranya saat kurasakan kocokan Nenek semakin cepat dan intens. Lahar panas seketika berkumpul pada satu titik, dan ...

CROT! CROT! CROT! CROT!

Spermaku menembak ke segala arah. Tak ayal, sebagian dadaku serta tangan Nenek berlumuran cairan putih kentalku. Alih-alih menghentikan kocokan pada si Palu Gatot yang sedang menyelesaikan tugasnya menyemburkan sperma, jempol tangan Nenek dengan nakalnya mempermainkan kepala kontolku. Melumurinya menggunakan spermaku sendiri sampai merata ke pangkal kontol.

Aku kian bergetar. Ngilu. Tapi enak. Tapi geli. Tapi ... tapi ... tapi ... BAJINGAN!

"Umi, udah, Umi. Geli, lho!" protesku, sambil mencoba menjauhkan tangan Nenek dari kontolku.

Tangan Nenek berhenti bergerak. Ia menatapku jahil. "Tapi enak, kan?"

"Enak sih enak. Tapi bentar dulu. Aduh!" aku kelimpungan. Lalu, mencoba bangkit untuk duduk. Kakiku lemas sekali rasanya. Kulihat kontolku masih setengah tegang, tetapi aromanya sungguh membuatku mual. "Tak cuci dulu."

"Eh, ngapain. Biar aku aja yang cuci pentunganmu."

"Hah?"

Aku baru sadar arti ucapan Nenek saat ia yang setengah telanjang segera berdiri. Mendorongku agar rebah kembali, lalu memposisikan kepala mengarah ke kontolku, dan langsung melahap kontolku.

Posisi enam-sembilan yang pernah kulihat di video porno, aku dapatkan pengalaman berharga ini bersama Nenek. Wanita genit yang memiliki nafsu besar. Sebesar susunya yang seperti pepaya.

Sambil menahan rasa nikmat campur ngilu saat Nenek dengan lahap menjilat dan mengulum batang kejantananku, aku menarik turun resleting celana kain yang dikenakan Nenek sampai terlepas dari kakinya.

Tersisa celana dalam warna putih motif bunga-bunga yang menutupi seluruh area kewanitaannya. Belum dibuka saja sudah menguarkan aroma khas kemaluan wanita. Kali ini, aromanya tercium segar dan tak ada bau aneh.

Penasaran. Aku memegang masing-masing ujung celana dalam Nenek, lalu melepaskannya pula. Kuletakkan celana dalam Nenek jadi satu dengan celana kain.

Serrrrr!

Darahku berdesir.

Sangat jelas, dan tanpa kain penghalang, untuk kesekian kalinya aku bisa melihat bentuk memek Nenek sampai ke lipatan-lipatan di dalamnya.

Aku pegang paha gempal Nenek, lalu menurunkan pada pinggulnya agar tepat di depan wajahku. Sedikit kuangkat kepalaku, dan mulailah aku mengendus memek tanpa bulunya yang berwarna coklat kehitaman ini. Kujulurkan lidah untuk menjilat, menghisap, dan menggigit-gigit kecil klitorisnya yang sebesar kacang polong.

"Ahhhhh ... Kobeeee ...." Nenek mendesah kencang, lalu kembali menghisap kontolku lebih ganas.

Aku semakin bersemangat. Kugunakan bibirku untuk menarik-narik labia mayoranya yang menggelambir bak jengger ayam. Aku lakukan gerakan tambahan dengan menghisap lubang kencingnya.

Desahan dan gumaman Nenek tidak jelas akibat tersumpal si Palu Gatot. Semakin keras saat jariku ikut andil ke dalamnya. Mula-mula kutusukkan satu jari mengobel-obel memek Nenek. Basah dan banjir. Aromanya semakin kuat.

"Kobeee ... Kobeeee ... jangan ... ahhhh ... sudahhh ... jangan diterus ... KAN!!!" Nenek berkata terputus-putus, dan berakhir menjerit. Melengking. Adalah satu jariku ikut menerobos masuk. Mengocok memeknya. Begitu lancar tanpa kendala. Sebab, memek beceknya terus-menerus mengeluarkan cairan.

Hingga kemudian, Nenek menggenggam kuat batang kontolku. Badannya bergetar. Kedua pahanya dirapatkan ke kepalaku. Selangkangannya terhempas jatuh tepat di depan mukaku dengan lidah masuk bermain di klitorisnya. Jelas saja aku kaget dan kelabakan tidak bisa bernafas. Tapi saat aku hendak mengangkat bokong Nenek, paha Nenek kian kencang mengapit kepalaku, dan ...

Crats! Crats! Crats! Crats!

"SAYANGGGG! NGECRITTT! JANCUKKK! AKU ENAKKK!!!" erangan keras suara Nenek menerbangkan burung-burung yang hinggap di pohon. Seiring lubang surgawinya mengeluarkan cairan bening squirt. Menyemprot deras bertubi-tubi ke wajahku. Sebagian masuk ke mulutku.

Tak ingin kehilangan momentum, aku membalikkan tubuh Nenek hingga telentang, aku kangkangkan kedua pahanya yang bergetar-getar tak karuan. Yang kemudian, aku ulurkan tangan kanan untuk memasukkan dua jariku sekaligus ke memeknya yang sedang dilanda banjir bandang. Lantas tangan kiriku kujulurkan ke depan. Kuarahkan jemari tanganku ke mulut Nenek, dan langsung ia hisap dan kulum.

Sejurus, aku mencari titik g-spot-nya. Meraba-raba. Ketemu. Lalu, kuberikan kocokan lembut tapi bertenaga.

"Ojokkk! Adohhh! Ojok dilebokno manehhh! Adohhh! Ahhhhh!" (Jangannn! Adohhh! Jangan dimasuki lagiii! Adohhh! Ahhhhh!) larang Nenek dengan mata mendelik, yang kian menggelinjang. Tangannya memukul-mukul lenganku. Pahanya bergerak menutup. Seolah ingin aku menghentikan kenakalanku.

Aku mencium paha Nenek ringan, lalu menatapnya gemas. "Aku bakal bikin Umi terbang. Mau lihat?"

Nenek menggeleng lemah. "Ja ... jangan ...."

Aku masih tersenyum. Mengabaikan larangan. Karena menurut insting yang menuntunku, larangan adalah perintah. Toh, Nenek pasti akan menyukainya. Seperti yang pernah aku lihat di film porno, kalau dua jari saja sudah membuat wanita belingsatan, bagaimana dengan tiga jari?

Ya!

Kutambahkan jari manisku untuk ikut andil membantu puncak klimaks maksimal Nenekku tersayang.

Clok! Clok! Clok!

Kuat tapi tidak kasar, tiga jariku keluar-masuk di dalam memek Nenek. Kontan, badan Nenek terkejang-kejang. Menggeliat bak cacing kepanasan. Cengkeram tangannya di lenganku menguat, seiring kontraksi liang senggamanya berkedut-kedut. Menjepit. Menyempit.

Crats! Crats! Crats!

"AHHHHH! BAJINGANNNN!!!" teriak Nenek, tertahan.

Kaki Nenek menjejak-jejak tikar. Pinggulnya terangkat beberapa centi, lalu terhempas ke bawah. Hanya butuh satu menit, memek Nenek kembali squirt. Yang kedua ini lebih dahsyat. Cairan bening tanpa aroma keluar deras menerjang rerumputan. Menyiraminya agar tumbuh subur.

Clep!

Kukeluarkan tiga jariku yang basah cairan cinta Nenek. Kugantikan jariku yang dihisap Nenek dengan jari-jari cairannya sendiri.

Tak kusangka, Nenek dengan binal menghisapnya rakus. Menyesap. Terakhir, ia mengiggit jariku kuat.

"Cok! Kok dicokot, seh?" (Cok! Kok digigit, sih?) protesku, dan refleks memaki. Kutarik tanganku, lalu kutiup-tiup.

Nenek yang masih terengah-engah sambil mengatur nafas hanya menjulurkan lidah. Mengejek.

Benar-benar wanita ini. Di kondisinya yang sedang lemas pun, masih ada tenaga ia untuk bercanda. Memang gila Nenekku. Nenekku? Iya, siapa lagi? Masa Neneknya Gan-

"PRITTTT!!!" tetiba si Palu Gatot membunyikan peluit, yang entah darimana ia mendapatkannya. Mana peluit itu ditiup keluar sisa cairan sperma yang masih ada sebelumnya. Jancok.

"Asu Gatot ini. Untung nggak jantungan aku, bajingan."

"Gak usah kakean cangkem, Kapten Celeng. Wes pegel aku ngenteni perkenthuan yang tak kunjung dimulai. Isok-isok lumuten lambeku."
(Tidak usah banyak ngomong, Kapten Celeng. Sudah lelah aku menunggu persenggmaan yang tak kunjung dimulai. Bisa-bisa berlumut mulutku.)

"Iki kape tak adusi awakmu. Kok rewel ae sak bendino uget-uget pakan iwak cupang iki." (Ini mau aku mandikan kamu. Kok bawel mulu setiap hari uget-uget makanan ikan hias ini.)

"Ya kamu pakai acara bikin squirt itu betina. Kalau dia lemes nggak mau ngentot gimana? Mau kamu taruh mana mukaku yang manis ini kalau pembacamu protes gegara aku langsung crot cuma dikocok pakai tangan? Asu!"

"Makanya itu, ditahan kalau mau keluar. Kamu juga malu-maluin aku, tahu."

"Diam!"

"Kamu yang diam!"


Aku mengetuk-ngetuk jidatku. Ngomong sama peliharaan tak tahu diri ini sungguh menguras kesabaran. Untung saja namaku Kobe, B-nya bijaksana. Jadi aku tak ambil pusing soal kicau tidak jelas si Palu Gatot. Masih untung aku memakai jasanya, coba aku biarkan bertapa? Bisa-bisa ia pergi sendiri mencari lubang saat aku tidur nanti.

"Kapten Celeng!"

"Hahahahaha."


Kembali aku fokus kepada Nenekku tercinta yang masih rebahan. Sengaja atau tidak, Nenek memasang wajah sange dengan dua tangannya terbuka memamerkan ketiaknya yang bersih tanpa bulu. Hal itu mengundang kejantananku untuk kembali tegang tanpa disuruh.

"Kamu kok nakal, sih, Be? Lihat, jadi kotor kan tikarnya?" Nenek nyeletuk. Cemberut. Lucu sekali.

Aku mendekat. Memberi kecupan di kening, lalu di bibir Nenek. "Sebentar lagi tambah kotor, Umi."

"Ndak, ah. Udahan aja. Aku lemes banget."

Nenek mencoba berdiri. Aku cepat membantunya, tapi kemudian aku memposisikan Nenek untuk nungging. Gaya yang baru pertama kali aku mainkan. Wajar. Kami lebih sering gaya konvensional, kalau tidak ya Woman On Top.

"Kobe?"

Nenek mau protes, tapi dengan cepat kubungkam bibirnya dengan bibirku. Awalnya Nenek tidak membalas. Ia sepertinya masih sebal. Namun, lama kelamaan Nenek luluh juga. Ia sendiri yang lebih agresif melumat bibirku. Bahkan membelitkan lidahnya ke lidahku.

Sejurus, kami berpandangan. Mata Nenek berkaca-kaca. Ia seolah sedang mengkhawatirkan sesuatu.

Entah benar atau tidak, aku justru berkata, "Aku genjot pelan-pelan, kok."

"Ya wes. Terserah kamu ae. Yang penting aku jangan dibuat kencing kayak tadi."

"Lho kenapa? Bukannya enak, ya?" godaku, seraya menggenggam batang kontol, lalu kugesek-gesekkan ke klitoris Nenek.

Nenek memutar kepalanya ke belaiang untuk menatapku. Tapi tatapannya sungguh sensual nan binal. "Uhm ... sssshhh ... enak, Sayang, hmm ... cuma aku capek. Jangan lupakan kalau aku sudah ndak muda lagi."

"Terus gimana? Dimasukkin nggak, nih?" aku berbisik pelan.

Kepala Nenek mengangguk dua kali. "Ya, dong! Ayo cepet. Apemku sudah basah."

"Apem? Bukannya ini namanya tempek, ya?"

"Ih! Jangan ngomong jorok, dong! Apem itu. Nah kalau ini ..." Nenek mengarahkan sebelah tangannya mencari kontolku, lalu menggantikan tanganku untuk menuntun ke celah memeknya, kemudian berkata lirih, "yang ini namanya burung. Ugh! Burung garuda."

"Kecil?"

"Besar."

Slebbbb ... blessss!

Setelah mengatakan itu, dan masih dengan posisi saling beradu pandang, Nenek membawa kontolku menyelami memeknya. Pun pinggulku ikut mendorong maju agar masuk lebih dalam. Praktis, penetrasi yang kami lakukan mengundang lenguhan panjang di bibir kami berdua.

"Ahhhh! Mentok, Be," desah Nenek, yang lantas mengembalikan kepala ke semula. Menatap ke arah depan. Punggungnya meleungkung ke bawah. Membuat pantat besarnya kian menantang.

Plok! Plok! Plok!

Pompaanku kusesusaikan dengan tempo gerakan maju-mundur yang dilakukan Nenek. Pelan tapi pasti. Dapat kulihat dengan jelas saat kontolmu keluar-masuk di memeknya yang mengundang tanganku untuk merabanya. Mengelus jengger ayamnya, berikut klitoris yang menegang.

Goyangan kami masih dimanis. Mempertahankan tempo genjotan sambil menahan nafsu yang menggelegak cukup sulit manakala mataku setia memandangi bokong dan lubang luburnya. Ya, pantat besar putih montok dengan lubang blackhole sempit.

Plok! Plok! Plok!

Semakin lama, genjotanku semakin kuat. Nene pun memilih diam menikmati saja sambil mendesah-desah keenakan.

"Ahhhh ... ahhhh ... ahhhh ... Sayanggg ... kenthu terusss ... terusss ... jangan berhenti, Sayang," rintih Nenek, seraya kembali ikut memaju-mundurkan badan. Dua pepaya besarnya bergoyang-goyang tak beraturan saat hentakan demi hentakan aku lancarkan.

Plak! Plak! Plak!

Tak lagi bisa kutahan tanganku untuk tak meremasi dan menampari dua bulatan besar di hadapanku. Warna merah cap tangan jelas menjadi warna pembeda pada kulit bokong Nenek yang putih bersih tanpa noda. Pun jempol tanganku ikut menyelinap masuk ke liang dubur Nenek.

Kontan, Nenek tersentak detik itu juga. Ia menoleh ke belakang. Matanya berair, entah kenapa. Ia mengigit bibir bawahnya untuk menahan suaranya.

Hal itu jelas menjadikan semangat diriku untuk memompa memek, menampar pantat, dan mencucuk-cucuk lubang pantat Nenek dengan jempol.

"Ahhhh ... ahhhh ... ahhh ... ahhhhh ...." Hanya desahan yang keluar dari bibir tebal Nenek. Wajahnya kian menunduk. Matanya sayu berkaca-kaca.

"Umiii ... Umiii ... enak, Umi!" dengusku, menggebu-gebu.

"Ughhhh ... iyaaaa ... hmmm ... hmmm ... jancukkkk ... mentok kontolmu, Sayang!" lenguh Nenek. Dan sedetik, kepalanya menggeleng-geleng ke kanan dan ke kiri. Badannya kaku. Terasa kakinya bergetar. Pun dinding memeknya secara perlahan berkontraksi. Menjepit dan mengempot-empot.

"Ahhhhh ... Umiiii ... Umi mau ngecrit, ya?" tanyaku, di tentah-tengah genjotanku yang tiada lelah merojoh-rojoh memek sempit Nenek.

Nenek tak menyahut. Sama sekali tak ada ucapan lain selain desahan dan erangan. Sedetik ...

Seerrrrrrr! Seeerrrrrrr!

"AHHHHHHH!!!" jerit Nenek, melengking.

Setelah siraman cairan cinta pertama Nenek memandikan si Palu Gatot, kuhentakkan kontolku sampai mentok. Yang kemudian, semburan cairan orgasmenya menyusul. Deras. Becek.

Kepala Nenek jatuh ke atas tikar. Badannya lemas. Hampir saja ia ambruk, andai aku tak segera memegangi pinggulnya.

Untuk sesaat, kubiarkan Nenek menikmati orgasmenya. Desahan nafasnya bercampur rintih nikmat. Masih di posisi yang sama, Nenek melirikku. Ia ingin mengatakan sesuatu. Segera tanggap diriku menegakkan badan Nenek. Kupeluk perut Nenek agar kami bisa berdekatan tanpa melepaskan kontol dari memek.

"Ampun, Sayang," desah serak Nenek.

Aku menyambar bibir Nenek. Kutenangkan ia dengan pelukan hangat dan ciuman ringan. Kubiarkan ia mengatur nafasnya yang tersenggal-senggal.

"Umi kayak nggak pernah ngenthu aja," ucapku.

"Bukan gitu. Hhh ... aku belum pernah sampai ngompol seperti ini, Sayang,"

"Umi yang ngajarin aku kalau Umi lupa."

"Aku jadi menyesal mengajarimu."

Kami tertawa cekikikan. Setelah itu, kami berpandangan penuh cinta. Kugerakkan pinggulku secara perlahan. Nenek membalasnya. Masih dengan doggy style, bedanya kedua tangan Nenek kulipat ke belakang. Membuat kedua susunya yang besar semakin membusung ke depan.

Posisi menantang ini sudah jelas membuat nafsku terpecut. Apalagi susu Nenek meneteskan ASI.

Sedikit susah, tapi akhirnya aku bisa menjangkau puting susunya. Aku memberi penetrasi genjotan ke memek Nenek yang licin dengan kepalaku menyamping menetek di payudaranya.

Tangan Nenek secara otomatis memeluk punggungku. Tangannya yang lain meremas-remas rambutku.

"Ahhhhhh!" sekali lagi, desahan Nenek kembali terdengar. Matanya yang teduh memandangiku. Senyum kecil di bibirnya menambah manis wajahnya. "Aku tresno kowe, Sayang." (Aku cinta kamu, Sayang.)

Dadaku bergemuruh. Ucapan tulus itu untuk kedua kalinya memompa jantungku. Debaran tak menentu. Luapan api cinta yang tersampaikan lewat tatapan matanya sudah jelas itu hanya untukku. Ya, hanya untukku.

Kuhentikan kulumanku di susu Nenek. Kepalaku bergerak ke atas untuk menempelkan pipi kami, yang kemudian aku mempercepat tusukanku. Memborbardir memek Nenek.

Meski tak membalas ucapannya, aku yakin jika Nenek juga merasakan betapa aku menyayangi dan mencintainya. Ya, kami adalah dua insan perwujudan dosa tabu yang menentang takdir, jikalau lingga dan yoni telah bersatu, tak peduli mereka sedarah, nafsu yang dibungkus indah dengan kata cinta telah menyatukan jiwa dan raga. Jadi satu. Tak terpisahkan.

"Beee ... aku mau keluar lagi," rengek Nenek, pelan. Aku tahu ia sudah lelah, jadi ia tak berteriak-teriak seperti sebelumnya. Wajar bila Nenek berkata pelan untuk memberitahuku secara tidak langsung jika ia sudah tak bisa melanjutkan persetubuhan ini.

Aku mengangguk. "Ya, Sayang, keluarkan saja."

Lalu, badan Nenek kembali mengejang. Tangannya mencari-cari pegangan. Cepat kutangkap tangannya. Kami menyatukan kelima jari. Setelahnya, memek Nenek berkontraksi.

Serrrrrrr!

Orgasme kedua Nenek telah datang. Kembali menyiram si Palu Gatot yang masih perkasa tak menunjukkan tanda-tanda ingin keluar. Wajar saja. Ronde dua adalah pembuktian sesungguhnya seorang lelaki. Kalau sampai ronde dua juga loyo, jual saja itu pentungan, lalu uangnya buat beli micin.

Beberapa saat kemudian, Nenek ambruk tengkurap di atas tikar. Otomatis, kontolku ikut tercabut dari sarangnya. Punggung Nenek penuh keringat. Nafasnya sudah hampir habis. Melihatnya kelelahan seperti ini, aku jadi tak tega.

Kuhampiri Nenek. Mengecup tengkuknya. Lalu, beralih mencium pipinya.

Sesaat, Nenek membuka mata, sedikit. Ia mencoba tersenyum. "Kamu belum keluar?"

"Gampang. Aku justru khawatir sama Umi. Umi nggak pa-pa, kan?" tanyaku, halus.

"Genjot aja lagi sampai kamu ngecrot. Aku ndak apa-apa."

"Nggak. Umi pasti capek. Apemnya juga pasti lagi ngilu, kan?"

Nenek mencubit hidungku. "Perhatian banget pacarku yang ganteng ini."

"Pacarku juga cantik." Aku mengajak Nenek untuk duduk secara perlahan. Lalu, kujamah susunya yang tak pernah bosan kumainkan. "Dan seksi."

Dalam kondisi letih pun, Nenek masih punya asa untuk tersipu malu. Wajahnya pucat, tapi senyumnya penuh kepuasaan. Kendati demikian, tak mengurangi sedikit pun pesona ayu khas pedesaan. Tipikal wanita idaman, yang kalau ditinggal sehari pasti jadi incaran garangan.

"Renang, yuk?" tawarku, sekaligus mengajak.

Nenek mengangguk kecil. "Gendong."

"Yaelah. Manja amat nih pacarku, hehehe." Kekehku, sambil merentangkan tangan.

Nenek menyambut manja. Tersenyum lagi. Ia meloncat ke badanku. Mengalungkan tangan di leherku, berikut mengunci kakinya di pinggangku.

Hati-hati aku menuruni ke sungai. Bawa barang berat soalnya.

Brrrr!

Air sungai yang super jernih nan dingin membawa kedamaian tersendiri. Dalamnya yang sebatas perutku, memudahkanku untuk menduduki pasir lembut.

Kerikil kecil sedikit menusuk daging pantatku, tapi ini seperti sensasi pijat. Lama kelamaan aku dapat menyesuaikan diri.

Sementara itu, Nenek masih nangkring di tubuhku ini ikut menikmati kenyamanan yang tercipta. Ia menyandarkan kepala di pundakku sambil menciprat-cipratkan air ke wajahku.

Dengan air sungai yang bersih kami berdua saling membasuh badan. Bercanda tawa seperti biasanya. Kali ini sedikit dibumbui gombalan cinta. Sesekali kami adu kuat-kuatan tahan nafas di dalam air. Tentu saja Nenek kalah karena ia tak kuasa menahan geli saat puting payudaranya aku pelintir.

"Curang, yo! Awas ae engkok tak gawe crot manukmu!" (Curang, ya! Awas saja nanti aku buat crot burungmu!) cetus Nenek, sembari menggapai kontolku yang dalam mode tidur. Namun, saat Nenek memegangnya, ia mengernyit. "Kok lemes, Be, sentolopmu?"

"Ya gimana, kan kita lagi nggak usluk-usluk, Mi. Masa iya disuruh ngaceng terus."

"Hehehe." Nenek hanya tertawa kecil. "Lucu ya kalau tidur gini. Kayak bekicot."

"Ngawur. Bekicot gini bisa bikin seseorang minta ampun kejang-kejang." Aku membalas, jumawa.

"Nye-nye-nye."

"Duh! Gemes banget aku sama Umi. Ayo wes, kita langsung ke balai desa."

"Ngapain? Minta sembako?"

"Enggak. Mau pinjem bulpen Pak Kades buat ganti status Umi."

"Terus?"

"Aku ganti jadi janda. Setelah itu ...." Aku sengaja tak meneruskan kata-kataku. Yang kulakan berikutnya adalah menaik-turunkan kedua alisku sambil tersenyum lebar.

"Eleh. Emang kamu punya uang berapa mau nikahi aku?" tantang Nenek.

"Aku emang nggak punya uang. Tapi aku punya cinta dan burung."

"Huahahahaha. Pehhh! Jancuk tenan. Ancene titisan Cu Pat Kai iki ndak onok obate."(Huahahahaha. Pehhh! Jancuk sekali. Memang titisan Cu Pat Kai ini tidak ada obatnya.)

"Bercanda tapi serius. Ngomong-ngomong, Umi minta mahar berapa?"

"Daripada nikah sama aku yang sudah tua ini, kenapa kamu ndak nyoba nyari gadis lain aja?" tanya Nenek dengan sorot sendu.

"Nggak mau?"

"Ya mau! Tapi ..." Nenek berpikir sejenak. Lalu, ia menjentikkan jari di depan wajahku, "aku punya syarat."

"Kalau Umi nyuruh aku bikin candi, aku mundur dari sekarang. Sumpah, iya."

"Hahahaha. Bukan itu. Syarat dariku itu mudah. Mudah sekali."

"Oke. Lalu?"

"Terakhir Umi hamil sampai keguguran adalah dua tahun lalu. Sejak saat itu, Umi ndak pernah hamil meski, ya ... kamu tahu sendiri, lah. Karena itulah, Umi ingin kamu menghamili Umi. Kita buktikan kamu layak atau endak jadi suami Umi."

"Ibarat memilih ditebas pedang atau dihujani anak panah, itu sama aja bukan pilihan yang bagus."

"Yes or no?"

"Koyok wong bule ae ngomonge." (Seperti orang bule saja ngomongnya.) Aku menghela nafas pendek. "Yes," sambungku, setelah menatap mata Nenek yang sama sekali tak bercanda.

"Tapi aku yang ndak mau, wleeee!"

"DASAR NENEK KURANG AJAR!"

Nenek tertawa terbahak-bahak. Gema suaranya sampai membuat satwa liar di hutan menjerit ketakutan. Berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Balapan lari yang sama persis seperti yang dilakukan Nenek menjauhi diriku yang mengejarnya.

Layaknya sang putri yang berharap dikejar sang pangeran, Nenek berenang cepat ke sana-ke mari hingga tak memperhatikan sekitar. Alhasil kepalanya menabrak batu. Sakit. Mengelusnya pelan. Kemudian, batu itu ia pukul. Giliran tangannya yang sakit. Kontan saja wajah Nenek muram mau menangis.

Aku tertawa geli melihatnya. Nenek ini terllau menggemaskan untuk sekaliber wanita yang sudah berumur. Segera aku berenang menghampiri Nenek. Memeluk tubuhnya yang setinggi pundakku. Cukup tinggi untuk ukuran wanita normal.

Kuusap-usap kening Nenek yang memerah, lalu aku kecup lembut. "Masih sakit, Yang Mulia?"

Nenek sedikit terkesiap. Ia mematung beberapa saat, lalu menunduk. Menggeleng kecil. Lantas, kedua bola matanya mendongak melirikku.

Sialan!

Mana tahan diriku berada di situasi awkward karena tindakan sembronoku yang membuat Nenek jadi malu-malu kucing seperti saat ini.

"Ah! La-lanjut mancing lagi kali, ya." Aku mengalihkan perhatian. Mencoba membangun obrolan lain. "Gimana, Mi? Banyak nih ikannya, hehehe."

Seolah tersadar, Nenek membuang muka. Tak ingin melihatku, tapi kemudian menjawab, "Oh iyo. Sip iku, Be. Ayo wes, lanjut mancing." (Oh iya. Sip itu, Be. Ayo sudah, lanjut mancing.)

"Karo mudo ngene, ta?" (Sambil bugil begini, kah?)

"Sek, tak golekno godong gedang." (Bentar, aku Carikan daun pisang.)

"Dikiro tarzan?" (Dikira tarzan?)

Hahahahahaha!

Kami kompak tertawa lagi. Sedikit canggung, tapi tidak ada pengaruh.

Sambil menyelam minum air sungai yang memang kadar mineralnya cukup tinggi, aku renang gaya bebas. Segar. Rasa haus dan gerah sebelumnya perlahan sirna.

Di pinggir sungai, kami menggenakan pakaian. Walaupun nafsu melihat onderdil Nenek, tapi aku tak berniat melanjutkan permainan lomba keringat. Sepertinya Nenek juga berpikir demikian biar pun matanya tak pernah melepaskan pandangan pada batang kontolku yang gundal-gandul.

Sat-set!

Kemudian, duduk bersila sambil membawa pancingan. Angin berembus lembut menyapa kulit. Membawa ketentraman hati, yang berimbas pada mataku yang meredup. Ngantuk.

"Be, kok malah tidur itu, lho!" tegur Nenek, yang kali ini sudah kembali ceria seperti sebelumnya.

Aku menguap. "Ngantuk, Ndoro. Sini, susu Umi tak buat bantal," jawabku, ngawur.

"Enak aja. Nanti susuku gepeng, yo."

"Heleh. Kan nanti bisa ditiup lagi. Jadi besar lagi, deh."

"Sembarangan! Dikira balon?"

"Emang balon. Balon raksasa."

Hahahahahaha!

Kami tergelak bersama.

Sungguh, bersama Nenek, duniaku tiada kata bosan. Kebahagiaan yang terjalin ini, aku berharap untuk tetap bertahan selama mungkin. Aku berharap lagi, semoga cinta kita yang penuh canda tawa dan kegilaan ini abadi sampai maut memisahkan.
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd