Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERPEN Misteri siswa baru

marsena

Adik Semprot
Daftar
14 Jan 2018
Post
112
Like diterima
102
Bimabet
“Awas...jangan..” teriak orang disampingku. Sontak aku melihat kearah objek yang membuat orang di sekitarku berteriak. Sesosok bayangan hitam terlihat di atas sebuah gedung berlantai 5 melambaikan tangannya yang memegang senter dan melompat ke bawah. Ketika sampai di TKP, aku melihat pak Narman, tetangga depan rumahku sudah tewas tertelungkup di atas tanah. Apakah beliau yang melompat tadi? Apa yang menyebabkan beliau melakukan bunuh diri? Apakah ini murni sebuah kasus bunuh diri, kecelakaan, atau bahkan pembunuhan berencana?. Kasus ini masih menjadi sebuah misteri yang belum terpecahkan.
*****​
Suara nyaring adzan shubuh menghentikan aktivitasku menyusun perlengkapan sekolah hari ini untuk salat berjamaah di masjid. Hari ini adalah hari pertamaku bersekolah di SMA. Aku sangat bersemangat karena hari ini ada upacara penyambutan siswa baru dan pengenalan beberapa ekskul. Setelah shalat subuh dan membaca beberapa lembar ayat suci Al-Qur’an, aku bergegas bersiap berangkat ke sekolah. Jarum jam menunjukkan pukul 06:15 saat aku keluar dari kamar untuk sarapan. Tiga piring berisi telor dadar dan nasi goreng sudah terhidang diatas meja. Sebuah surat undangan pernikahan berwarna ungu mengalihkan pandanganku ketika sedang menikmati sarapan. Pada halaman pertama surat undangan tertera sebuah nama yang asing bagiku.

“Bu, ini undangan dari siapa? Siapa yang menikah?” tanyaku penasaran.

“Oh...itu undangan dari Pak Narman. Anaknya yang bekerja di Sulawesi akan menikah di Surabaya minggu depan,” jawab ibuku sambil membawa secangkir teh untukku. Kedua orang tuaku memang sangat dekat dengan duda 2 anak yang bekerja sebagai arsitek itu. Rumahnya tepat berada di depan rumahku memudahkan kita untuk saling bersosialisasi.

“Jadi kita datang kesana, Bu?

“Ya..nggak lah. Surabaya itu jauh dari sini. Nanti ibu titip kado saja kepada Pak Narman,” gumam ibuku. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 06:30 saat aku pamit berangkat sekolah. Di persimpangan dekat sekolah tanpa sengaja aku bertabrakan dengan seorang pengemis. Uang receh di dalam mangkok plastik yang sedang dihitung pengemis itu jatuh berhamburan ke aspal.

“Maaf, Pak. Saya tidak sengaja,” aku membantu mengumpulkan uang receh pengemis tadi. Ia tidak menjawab permintaan maafku. Ia sibuk mengumpulkan kembali dan menghitung ulang uang recehnya.

“Uangnya kurang Rp 4.000!” ujarnya usai menghitung ulang. Ia kemudian menatapku dengan tajam.

“Kau yang mengambilnya’ kan,” tuduh si pengemis.

“Saya tidak mengambilnya, Pak. Sungguh.”

Kulihat pengemis itu semakin marah kepadaku. Ia terus mendesakku untuk mengaku. Aku memang tidak mengambil uang recehnya. Aku hanya membantu mengumpulkannya.

“Kalau kamu tidak mau mengaku, saya akan teriakkan kamu maling!” ancam pengemis itu. Aku berusaha menenangkan emosi dari pengemis itu. Tiba-tiba seorang siswi cantik berambut panjang datang berusaha menengahi kami.

“Pak, uang yang jatuh dan berhasil dikumpulkan ada Rp 16.000 terdiri dari 10 buah pecahan Rp 1.000, 10 buah pecahan Rp 500, dan 5 buah pecahan Rp 200. Apakah itu benar, Pak?” tanya siswi itu. Pengemis itu kembali mengecek jumlah uang yang dikumpulkan.

“Iya. Semuanya tepat,”

“Artinya ia tidak mencuri uang yang terjatuh,” ujar siswi itu.

“Tapi bapak hitung tadi sebelum jatuh jumlahnya ada Rp 20.000. Bapak tidak berbohong kok,” jelas pengemis itu. Aku sedari tadi berpikir dimana hilangnya uang Rp 4.000 itu. Kulihat mangkok plastik yang tadi digunakan sebagai wadah uang receh jatuh tertelungkup. Aku mengambil mangkok plastik itu,”Pak, sisa uangnya ada disini.” Pengemis itu langsung bergegas mengambil uang dan meminta maaf kepadaku.

“Maaf Bapak terlalu cepat emosi tadi. Uang ini sangat penting untuk beli obat anak bapak. Makannya waktu uangnya hilang Bapak langsung panik,” batinku terenyuh mendengar cerita sang pengemis. Kurogoh saku bajuku dan menyerahkan sebagian uang jajanku hari ini.

“Buat bapak. Siapa tahu bisa menambah kekurangan uang untuk beli obat” senyumku. Pengemis itu tidak berhenti mengucapkan syukur dan berterima kasih padaku sebelum pamit pergi ke apotek. Siswi itu tersenyum manis ke arahku. Ia mengulurkan tangannya mengajakku berkenalan. Kulihat seragam gadis itu sama denganku. Mungkin ia siswi baru sama sepertiku.

“Perkenalkan, namaku Aisyah.”

“Aku Romi. Kamu siswa baru juga?” ia menanggukkan kepalanya dan mengajakku pergi bersama ke sekolah.

“Aku terkejut loh....bagaimana caramu mengetahui ada uang dibalik mangkok plastik itu?” tanya Aisyah penasaran.

“Oh...itu sih gampang. Aku tidak sengaja menabrak pelan pengemis itu sehingga uang yang terjatuh tidak akan terlempar jauh,” jelasku. Kulirik Aisyah mengerutkan dahinya sambil mendengar penjelasanku.

“Uang receh yang terlihat berjatuhan sudah dikumpulkan, tetapi ketika dihitung jumlahnya berkurang dari perhitungan awal sebelum terjatuh,” gumamku. Kulihat Aisyah belum menanggapi penjelasanku. Mungkin ini adalah pembicaraan yang membosankan baginya.

“Saat itu kulihat seluruh uang yang terjatuh sudah dikumpulkan, tetapi jumlahnya masih kurang dari sebelum kejadian. Jadi aku berpikir pasti uangnya ada di bawah mangkok itu karena tidak ada lagi uang receh yang tercecer di sekitar kami,”ujarku. Kulihat Aisyah masih terdiam mendengar penjelasanku. Kurasa mungkin ia jenuh mendengar penjelasanku yang membosankan. Setiap orang yang mendengarkan penjelasan rumitku pasti merasa jenuh. Seharusnya aku tidak membahas ini. Mungkin seharusnya kubilang hanya menebak atau hanya ingin mengambil mangkok itu.

“Maaf, pembicaraannya sangat membosankan, ya?”

“Wow...pemikiranmu hebat sekali, Mi. Aku saja tidak kepikiran kalau uang itu ada di bawah mangkok. Aku kira kamu hanya iseng ingin mengambil mangkok itu. Ternyata begitu ceritanya,” ujar Aisyah tersenyum. Aku terkejut melihat reaksi Aisyah. Pertama kalinya ada orang yang mendengar teoriku dengan antusias.

“Ah...biasa saja kok. Aku lebih terkejut dengan kemampuanmu menebak jumlah uang yang terjatuh dengan tepat,” pujiku.

“Aku tidak menebaknya. Aku tahu karena aku mengingatnya. Apakah kamu tahu istilah memori photography?” aku tersenyum menggelengkan kepalaku. Aku saja baru mendengar istilah itu.

“Itu adalah kemampuan mengingat objek atau lingkungan yang baru saja dilihat dengan cepat dan tepat. Hanya ada sedikit manusia yang tahu dan mempunyai kemampuan ini. Aku adalah salah satunya” jelas Aisyah. Aku terkejut mendengar penjelasan Aisyah. Pantas saja ia bisa tahu jumlah uang dan nominalnya dengan tepat.
Hari pertama masuk SMA termyata sangat melelahkan. Upacara penyambutan berlangsung sangat lama disambung dengan demo ekskul dan penentuan kelas. Sekilas terlihat memang tidak memakan waktu lama. Tetapi sekolahku ternyata mempunyai 50 ekskul sehingga kegiatan demo ekskul berlangsung sangat lama. Jarum jam menunjukkan pukul 7 malam saat aku keluar dari gerbang sekolah.

“Ah...hari ini melelahkan sekali ya,” keluhku sambil berusaha meregangkan otot di tanganku.

“Ya... ini hari yang panjang dan melelahkan,” ujar Aisyah.

“Aku baru tahu ternyata kamu adalah siswa dengan nilai tertinggi saat ujian masuk.”

“Itu adalah hal yang mudah bagi orang sepertiku. Aku hanya tinggal membaca semua materi yang di ujikan dan aku pasti mengingatnya saat ujian,” senyum Aisyah. Aku dan Aisyah pulang bersama karena ternyata rumah kami hanya berbeda beberapa blok. Ketika kami sedang asyik mengobrol sambil berjalan, tiba-tiba orang di sebelah kami berteriak.

“Awas...jangan..” teriak orang disampingku. Sontak aku melihat kearah objek yang membuat orang di sekitarku berteriak. Sesosok bayangan hitam terlihat di atas sebuah gedung berlantai 5 seperti melambaikan tangan kanannya yang memegang senter dan melompat ke bawah. Aku dan Aisyah terkejut dan berlari menuju gedung yang sedang dibangun itu. Setibanya disana kulihat jenazah manusia tergeletak di tanah dengan luka di kepala. Setelah kuperhatikan lebih jelas ternyata ia adalah Pak Narman tetanggaku. Polisi bergegas datang dan mengamankan lokasi kejadian. Beberapa polisi sibuk memasang police line dan mewawancarai saksi di sekitar tempat kejadian.

“Aku melihatnya, Pak. Dia melompat dari lantai 5 bangunan ini. Aku tidak menyangka ia akan bunuh diri karena tadi siang beliau terlihat sangat ceria,” gumam salah satu buruh.

“Anda sedang berada dimana ketika kejadian berlangsung?” tanya penyidik kepolisian.

“Saya sedang berkumpul dengan teman-teman di pos satpam bersiap untuk pulang,” jawabnya.

“Saya melihat beliau berdiri dan mengayunkan senter dengan tangan kanan membentuk sebuah lingkaran sebelum melompat. Tadi pagi juga beliau bercerita ia mempunyai masalah yang hidup dan ingin mati secepat mungkin. Saya kira dia hanya bercanda ternyata dia benar-benar melakukannya” ujar mandor proyek.

“Anda berada dimana ketika kejadian berlangsung?”

“Saya berada di lantai 1 sedang istirahat,” aku sang mandor. Aku melihat kondisi jenazah Pak Narman yang terbujur kaku di atas tanah. Kulihat helm proyek berwarna biru masih melekat di kepalanya. keningnya membengkak dan pelipis kanannya mengeluarkan sedikit darah. Aku merasa janggal dengan keadaan mayat. Jika benar sebelumnya ia terjun dari lantai 5, seharusnya kondisinya lebih parah dari ini.

“Pak, menurut saya jika beliau benar-benar terjun dari lantai 5, seharusnya kondisi mayatnya lebih parah dari ini. Setidaknya ada beberapa bagian tubuh yang patah atau pendarahan hebat,” ujarku kepada salah seorang penyidik.

“Kamu sebaiknya menyingkir dari sini. Jangan menganggu polisi yang sedang bertugas!” bentak seorang polisi kepadaku. Aku terkejut sekaligus kesal melihat tingkah polisi yang sok berkuasa itu. Padahal aku hanya ingin beropini jika kasus bunuh diri ini sangat janggal. Aku bergegas meninggalkan TKP dengan kesal.

“Tunggu anak muda. Saya ingin mendengarkan pendapatmu tentang kasus ini,” ujar seorang polisi menahan tanganku.

“Saya adalah kepala penyidik dari kepolisian sektor ini. Saya akan sangat senang jika kamu ikut membantu mengungkap motif bunuh diri ini” pintanya. Aku menghela napas berusaha meredam rasa kesal karena kejadian tadi.

“Saya juga meminta maaf atas perlakuan anggota saya yang telah mengusirmu tadi,” aku memaksakan senyumku kearah penyidik itu. Aku, Aisyah dan penyidik itu naik ke lantai lima tempat Pak Narman melakukan bunuh diri. Aisyah berdiri di pinggir gedung sambil menundukkan pandangannya ke bawah gedung.

“Pak, saya merasa ada yang aneh disini,” ujar Aisyah.

“Aneh bagaimana, Nak?” tanya sang penyidik penasaran.

“Saya memang melihat kejadian ini dari kejauhan. Tapi saya yakin beliau tidak melompat di sekitar sini. Karena saya mengingat ada sebuah tiang penyangga di samping tempat beliau melakukan bunuh diri. Tapi jika melihat dari posisi jatuh terakhir beliau pasti melompat dari sini,” jelas Aisyah.

“Apakah kamu yakin, Nak? Beliau pasti melompat dari sini karena posisi terakhirnya sejajar dengan tempat ini,” sang penyidik meragukan penjelasan Aisyah.

“Pak, Aisyah itu mempunyai kemampuan memori photography. Dia dapat mengingat semua yang ia lihat dalam sekejap. Saya yakin semua yang ia katakan benar pak,” ujarku.

“Kalau dia tidak melompat dari sini, lantas dia melompat dari mana?” tanya penyidik penasaran. Aisyah tampak memejamkan matanya berusaha mengingat detik-detik sebelum kejadian.

“Disana, Pak. Tiang penyanggga yang ada di sebelah kanan” jawab Aisyah. Kami bergegas menuju tiang itu dan menemukan seutas tali karet khusus yang terikat pada tiang tersebut. Rasa kejanggalan dan curiga di hatiku semakin kuat ketika meihat ujung tali yang menjuntai itu seperti dipotong sangat rapih. Setelah melihat-lihat kondisi lantai 5, penyidik mengajak kami turun dan berdiskusi di lantai bawah. Sebelum turun ke lantai 1, aku sempat melihat dan mengambil sebuah benda mencurigakan di lantai 2.

“Jadi, apa pendapat kalian setelah melihat kondisi TKP?” tanya penyidik.

“Menurut saya ini bukan kasus bunuh diri atau kecelakaan kerja, Pak. Ini adalah kasus pembunuhan. Kondisi TKP, keadaan jenazah, dan barang bukti yang saya temukan bisa menguatkan dugaan saya, Pak,” ujarku.

“Saya sependapat dengan Romi, Pak. Bahkan saya bisa menduga siapa pembunuhnya” ujar Aisyah yakin. Sang penyidik terkejut mendengar pernyataan aku dan Aisyah.

“Bisakah Bapak memanggil kedua orang saksi tadi kemari? Saya akan menjelaskan kronologi kejadiannya,” pintaku. Penyidik kemudian memerintahkan anggotanya untuk memanggil Mandor dan pekerja bangunan yang menjadi saksi kejadian ini. Setelah semuanya berkumpul aku mengambil nafas dalam-dalam untuk menjelaskan dugaan kronologiku.

“Menurut saya ini adalah kasus pembunuhan. Jika beliau benar-benar bunuh diri dengan lompat dari lantai 5, maka pasti ada beberapa tulang dan sendi yang patah atau tergeser. Kondisi kepalanya juga hanya terdapat benjolan dan beberapa luka lecet saja. itu membuktikan bahwa beliau tidak terjatuh dari lantai 5,” jelasku.

“Bagaimana jika beliau terkena luka dalam? Wajar’kan seseorang meninggal karena parahnya luka dalam yang ia terima,” ujar sang Mandor keberatan.

“Saya sudah memeriksa kondisi mayat dan disana hanya ada luka biasa saja. Tidak ada luka yang meyakinkan jika ia tewas karena bunuh diri. Jika ada luka dalam yang fatal pasti terdapat memar membiru di beberapa bagian vital korban, tetapi dia hanya menderita luka biasa,” ujar Aisyah.

“Saya adalah tetangga dekat korban. Saya tahu ia mengidap penyakit jantung koroner dan yakin itulah yang menyebabkan ia meninggal. Yang menjadi permasalahan disini adalah apa penyebab penyakit jantung Pak Narman kambuh?” Aku menatap menatap kedua saksi. Tampak keduanya menatapku panik.

“Bisa kau jelaskan bagaimana kronologi kejadiannya menurutmu?” tanya penyidik kepadaku. Aku berpikir sejenak berusaha merangkai sebuah cerita yang menghubungkan seluruh barang bukti yang kutemukan.

“Pak Narman tidak terjatuh dari lantai 5. Menurutku dia terjatuh dari lantai yang lebih rendah. Ia terjatuh dari gedung bukan karena disengaja, tetapi ia didorong orang lain yang membuatnya terjatuh. Pak Narman terkejut dan membuat penyakit jantungnya kambuh. Melihat korban sudah mati, ia berlari menuju lantai 5 dan terjun dari sana. Sebelum ia melakukan aksinya, ia mengikat badan dan kakinya dengan tali khusus dan membawa tali tambahan untuk turun ke lantai 1. Ia sengaja mengayunkan senter untuk menarik perhatian dan membuat orang berpikir bahwa ini adalah kasus bunuh diri. Ketika ia sudah sampai di lantai 1, ia menarik talinya sampai batas maksimal dan memotongnya sehingga tali tersebut kembali memantul dan tersangkut ke atas,” jelasku. Penyidik mendengarkan opiniku dengan seksama. Sesekali kulihat ia mencatat sesuatu di buku kecil miliknya.

“Jadi menurutmu siapa pelakunya?” tanya penyidik. Sejenak aku memandangi kedua saksi yang dibawa oleh polisi. Mereka berdua tampak tegang menunggu pendapatku.

“Menurut saya Pak mandor adalah pelakunya,” jari telunjukku menunjuk kearah mandor proyek. Semua orang yang berada di dalam ruangan itu terkejut kecuali Aisyah.

“Hei, Nak. Kamu jangan sembarangan bicara, ya!” teriak sang mandor.

“Pertama saya mau tanya tentang kesaksian bapak tadi. Bagaimana bisa bapak tahu jika sebelum melompat tersangka mengayunyan senter membentuk sebuah lingkaran. Padahal jika bapak melihatnya dari jauh ia terlihat sedang melambaikan tangannya bukan sedang membentuk sebuah lingkaran,” kulihat raut wajah Pak mandor semakin tegang. Badannya terlihat gemetaran.

“Selain itu keterangan bapak terlihat meragukan. Bagaimana mungkin orang yang ingin menikahkan anaknya bunuh diri sebelum menyaksikan anaknya bahagia,” lanjutku.

“Pak polisi, anak itu sudah memfitnah saya. Saya tidak mungkin melakukan hal semacam itu kepada beliau,” mandor tersebut berusaha mengelak dan membela dirinya.

“Mengapa surat undangan pernikahan untuk bapak ada di lantai 2? Ini adalah salah satu bukti bapak telah menjatuhkan Pak Narman dari lantai 2. Saya pernah melihat Bapak beberapa kali bermain ke rumah Pak Narman ketika anak beliau masih di kota ini. Bapak pasti tidak terima karena gadis yang Bapak cintai yaitu anak Pak Narman menikah dengan laki-laki lain,” tuduhku. Kulihat Pak mandor sepertinya sangat marah padaku. Ia menatap tajam kearahku sambil mengepalkan tangannya.

“Kamu jangan sembarangan, ya! Saya memang kehilangan surat itu dan mencarinya kemana-mana. Mungkin saja terjatuh atau ada orang iseng yang menyembunyikan undangan untuk saya,” ujar sang Mandor sambil berusaha menenangkan dirinya.

“Lalu apakah bapak bisa menjelaskan mengapa id card bapak berada tepat di lantai bawah tiang yang diikat tali karet khusus?” tanya Aisyah. Ternyata id card mandor itu terjatuh ketika ia melompat. Kali ini sang Mandor tidak bisa berkelit lagi. Raut wajahnya semakin panik dan keringatnya terlihat bercucuran.

“Sialan kau....cepat kembalikan id card-ku!” sang mandor berusaha menyerang Aisyah, tetapi penyidik dengan singkap meringkus mandor itu.

“Baiklah...saudara Ahmad Arifin, anda kami tangkap sebagai tersangka kasus pembunuhan” ujar penyidik sambil memborgol tangan mandor itu.

“Kalian tidak tahu bagaimana perasaanku. Aku sudah lama berpacaran dengan anaknya dan putus karena tidak direstui bapaknya hanya karena harta. Ia malah menjodohkan anaknya dengan pengusaha. Saya tidak terima itu dan berencana membunuhnya. Jika saja kalian berdua tidak datang kesini penyamaranku tidak akan terbongkar,” ujar Pak Arifin, mandor sekaligus tersangka pembunuh Pak Narman.

“Anda bisa menjelaskan semuanya nanti di kantor. Sekarang anda ikut kami ke kantor polisi,” titah penyidik itu sambil menyuruh anggotanya untuk menggiring Pak Arifin ke mobil polisi.

“Saya mengucapkan terima kasih kepada kalian. Kalau boleh tahu siapa dan dimana sekolah asal kalian?”

“Nama saya Romi Affansyah, pak. Saya bersekolah di SMAN 2 Purwakarta.” aku mengulurkan tanganku.
“Nama saya Aisyah Nur Aini, Pak. Saya satu sekolah dengan Romi,” senyum Aisyah.
“Perkenalkan nama saya AKBP Agus Sitorus. Kalian boleh memanggil saya Pak Agus. Saya adalah KASATPOL Kriminal POLRES Purwakarta. Karena hari sudah gelap, anak buah saya akan mengantarkan kalian ke rumah masing-masing, bagaimana?” tawar Pak Agus. Kami berdua mengangguk menerima tawaran Pak Agus. Keesokkan harinya seluruh sekolah heboh karena banyak anggota polisi yang datang ke sekolah. ternyata Pak Agus dan anggotanya ingin memberikan penghargaan atas kerja kerasku dan Aisyah dalam mengungkap kasus bunuh diri semalam.
 
Dr awal ceritanya ja udh keren. Moga suhu bisa melanjutkan dan menamatksn cerita ini
 
Saya pernah baca cerita ini, tapi sayang lupa judul nya. Ini cerita saduran atau terjemahan dari cerita misteri pendek dari cerita aslinya yg berbahasa Inggris.
Dan memang ceritanya sesingkat itu, tidak ada kelanjutannya.
 
Izin bikin tenda dulu, suhu. Bacanya besok aja. Mau baca yg dewasa2 dulu wkwkwkw
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd