Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT LORO BRONTO NANDANG CIDRO (by siganteng_rusuh)

Status
Please reply by conversation.
Om Ganteng rusuh, cerita 'Arimbi'-nya dilanjutin dong. Dah lama mangkrak tuh suhu!
 
3 november 2012
original written by siganteng_rusuh



copyright © 2013





DENGAN BANGGA MEMPERSEMBAHKAN






LORO BRONTO NANDANG CIDRO






Chapter I

PROLOG






Kabut masih dingin menyelimuti malam, embunpun masih enggan membasahi pucuk pucuk rerumputan. Semilir udara dingin masih memeluk larut dalam mimpi dan semua matapun masih terpejam.

"jdog dog dog dog!!!" Tiba tiba pintu kamarku di gedor dengan begitu kasarnya.

"Pardi, masih tidur kamu ya?! Pemalas amat sih kamu jadi babu!" Lengkingan suara si penggedor pintu tak kalah kasarnya.

Kembali pintu kamarku di gedor dengan kasar untuk yang ke dua kalinya. "jdog dog dog dog!!!"

"bangun kampret!" Di cariin ibuk tu!" Teriakan kasar anak gadis Ndoroku memaksaku bangun dari tidur.

Malam masih dini hari dan Adzan subuh belum juga berkumandang, tapi aku sudah di bangunkan dengan begitu kasarnya tanpa prikemanusiaan. Tak bisakah aku di berikan sedikit saja waktu untuk menikmati indahnya hidup walau hanya sekedar di dalam mimpi.

"mmmh.... iya iya, ini Pardi sudah bangun kok Non. Ada apa sih Non?" Jawabku begitu bangun dan membuka pintu kamarku dengan mata yang masih terkantuk kantuk.

"kamu itu kerjaannya tidur terus! di cariin ibuk tu! udah sana cepet!" Perintah Non Ega bernada kasar tak berprikmanusiaan.

Sayang sunguh teramat di sayang, wanita secantik Ndoro Ayu Gayatri - nama anak ndoroku - harus bertabiat buruk seperti ini. Coba kalau Non Ega sedikit saja berperangai lemah lembut, pasti Non Ega akan semakin sempurna sebagai seorang seorang Raden Ayu yang memang berparas ayu itu.

Tak ingin membuat juraganku marah, aku langsung buru buru menemui Ndoro Putri - ibu Ndoro Ayu Gayatri - yang sedang berada di dapur.

"nyuwun sewu Ndoro Putri."
("maaf Ndoro Putri.")
"wonten nopo nggih?"
("ada apa ya?") Tanyaku dengan sopan santun tingkat babu.

"wonten nopo wonten nopo!"
("ada apa ada apa!")
"tugasmu saben ndino ki ngopo?!"
("tugasmu tiap hari itu apa?!") Hardik Ndoro Putri garang sambil berkacak pinggang.

"wonten nopo nggih Ndoro?"
("ada apa ya Ndoro?") Tanyaku lagi karena benar benar tak mengerti apa kesalahanku.

Aku merasa kemarin apa yang seharusnya menjadi tugasku sudah aku kerjakan semua. Tadi malam aku sudah mengerjakan tugas terakhirku menimba air untuk mandi pagi keluarga majikanku ini. Benar benar aku tak mengerti apa kesalahanku hari ini sampai aku harus di marah marahi di pagi sebuta ini. Aku benar benar tidak mengerti.

"kowe ki jan ra nggenah babar blas dadi menungso."
("kamu itu nggak bener banget jadi orang.")
"wis tugase saben ndino kok sek iso lali."
("sudah tugasnya tiap hari kok masih bisa lupa.")
"kae motomu melek'o, jo kakean turu."
("itu buka mata kamu, jangan kebanyakan tidur.")
"wong jedhing ora ono banyune ngono kok sek takon ono opo ono opo!"
("orang bak mandi gak ada airnya gitu kok masih nanya ada apa ada apa!")
"penggaweanmu ki nyapo wae sih?!"
("kerjaan kamu tiap hari itu apa sih?!") Omel Ndoro Putri masih dengan berkacak pinggang.

Aku hanya bisa menundukkan kepala di caci maki seperti ini. Padahal aku yakin seyakin yakinnya bahwa tadi malam aku sudah mengisi bak mandi karena itu pekerjaan yang aku lakukan terakhir tadi malam. Jadi bagaimana bisa sekarang tiba tiba airnya habis?

Tanpa berani membantah ataupun membela diri, aku kemudian buru buru menimba air kembali mengisi bak kamar mandi rumah juraganku ini.

"nyuwun ngapunten Ndoro Putri."
("maaf Ndoro Putri.")
"mbok bilih kulo kesupen."
("mungkin saya lupa.")
"sepindah malih nyuwun ngapunten Ndoro."
("sekali lagi maaf ndoro.") Maafku tanpa berani menatap Ndoro Putri.

"ono opo sih Buk ne?"
("ada apa sih Buk?")
"pagi pagi kok sudah gemberah wae."
("pagi pagi kok sudah ribut.") Terdengar suara bariton Ndoro Kakung yang ternyata juga sudah bangun.

"kae loh Pak ne, bocah gemblung kae."
("itu loh Pak, bocah gemblung itu.")
"wis dadi tugase saben dino kok sek iso sampek kelalen."
(udah jadi tugasnya tiap hari kok masih isa lupa.")
"jian nyatu dasar bocah pekok."
("emang dasar bocah begok.") Jawab Ndoro Putri masih memaki maki ku.

"Buk, ngomong ki mbok yo sing nduwe unggah ungguh toto kromo to buk."
("Buk, kalau ngomong itu mbok yang punya tata krama apa buk.")
"ora usah kasar ngono yo iso toh?"
("nggak usah kasar gitu juga bisa kan?")
"priyayi kok omongane koyo wong ra nduwe aturan."
("bangsawan kok bicaranya kayak orang gak punya aturan.")
"pantesan Ega ki saiki omongane koyo bocah alasan."
("pantas Ega sekarang omongannya kayak ocah liar.")
"lha ibuk'e dewe tebak'e sing ngajari."
("ibunya sendiri ternyata yang ngajarin.")

"halaah... Bapak iki."
("halaah... Bapak ini.")
"Pardi kae ojo panggah di belani wae."
("Pardi itu jangan di belain terus.")
"suwe suwe marai nglunjak."
("lama lama bikin nglunjak.") Jawab Ndoro Putri tak mau kalah.

Mendengar itu semua aku hanya bisa menangis dalam hati. Apa sebenarnya dosa hidupku sampai aku harus menjalani kisah hidup sepahit ini. Setiap hari aku selalu di hujani dengan makian demi makian yang seakan tak ada habisnya. Kesalahan sekecil apapun, bahkan tanpa kesalahan sekalipun aku selalu mendapatkan marahan, omelan dan makian itu. Bahkan Ndoro Putri (Raden Ayu Hartati / ibu Non Ega) tak segan segan main tangan kepadaku.

Tak ubahnya seperti Ndoro Putri ibunya. Non Ayu Gayatri juga bersikap seperti itu. Belum pernah dalam ingatanku Non Ega bersikap lembut tanpa di bumbui dengan makian setiap bicara kepadaku.

Semua penghinaan itu aku telan mentah mentah tanpa berani sedikitpun aku melawan. Aku sadar diri siapa aku di sini. Aku hanyalah orang numpang (ngenger dalam bahasa jawanya) di rumah Raden Mas Haryo Seto ini. Aku sadar, tanpa budi baik mereka mungkin aku sudah mati atau terlantar lontang lantung di jalanan.

Biarpun begitu paling tidak mereka mau menampungku di rumah megah mereka, memberiku makan dan hidup serta menyekolahkan aku.

Hanya Raden Mas Haryo Seto (ayah Non Ega) atau yang biasa aku panggil Ndoro Kakunglah satu satunya orang di rumah ini yang bersikap baik kepadaku. Ndoro Kakung selalu membelaku saat aku di hujani caci maki oleh istri dan anaknya. Ndoro Kakung jugalah yang selalu menasehati dan menguatkanku agar aku sabar dan tabah menghadapi semua ini. Wejangan demi wejangan Ndoro Kakung itu yang membuatku bisa bertahan sampai sekarang.

Ndoro Kakung juga selalu meyayangiku. Beliau berusaha tak membeda bedakan aku yang hanya seorang abdi dengan Non Ega anak kandungnya. Apa yang beliau berikan untuk Non Ega, Ndoro Kakung juga memberikannya untukku. Walaupun itu harus di iringi dengan kemarahan dan omelan Ndoro Putri istrinya.

"le Pardi, sing sabar yo ngger."
("le Pardi, yang sabar ya nak.")
"omongane Ibukmu kae ojo di lebokne neng ngati yho le."
("omongan Ibukmu itu jangan di masukin hati ya nak.") Kata Ndoro Kakung berusaha menghibur sambil menepuk pundakku.

Ndoro Kakung adalah sosok orang yang baik hati, arif dan bijaksana. sosok seorang lelaki, bapak, dan pemimpin yang sempurna di mataku. Seandainya saja beliau adalah ayahku, betapa beruntungnya aku.

"halah... mboten nopo nopo kok Ndoro."
("halah... gak apa apa kok Ndoro.") Jawabku mencoba menyembunyikan kegetiran hatiku.

Aku tak tau siapa sebenarnya jati diriku. Aku juga tak tau siapa sebenarnya ibu bapakku. Yang aku tau dari kecil aku sudah di asuh oleh keluarga Raden Mas Haryo Seto ini.

Dulu aku mengira mereka adalah kedua orang tuaku. dulu aku juga mengira kalau Raden Ayu Gayatri adalah saudaraku. Dulu aku juga mengira kalau aku juga seorang Raden, Raden Mas Supardi lebih tepatnya. Tapi kenyataanya ternyata aku bukanlah siapa siapa. Aku hanyalah anak yang entah dari mana asalnya yang di rawat keluarga priyayi ini sampai aku dewasa seperti sekarang ini.

Yah beginilah nasib yang harus aku hadapi. nasib dari seorang anak yatim piatu bernama Supardi bin pulan yang biasa di panggil Pardi atau kampret oleh Ndoro Ayu Gayatri alias Non Ega.

Selesai mengerjakan apa yang sudah menjadi kewajibanku tiap pagi, aku buru buru mandi karena waktu sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Selesai mandi dan berseragam, secepat kilat aku sarapan dan setelah itu segera berangkat ke sekolah.

Seperti biasa sebelum berangkat aku berpamitan cium tangan dulu kepada Ndoro Kakung dan Ndoro Putri. Seperti biasa, setiap pagi Ndoro Kakung selalu sibuk dengan burung perkutut kesayangannya sambil mendengarkan kleningan gending jawa dari tape mini kompo kesayangannya.

"Ndoro, kulo nyuwun pamit badhe bidal sekolah rumiyen."
("Ndoro, saya pamit berangkat sekolah dulu.") Pamitku kepada Ndoro Kakung.

"yo ngger, ngati ati yho."
("iya nak, hati hati ya.")
"sekolah sing pinter."
("sekolah yang pinter.") Jawab Ndoro Kakung sambil menyodorkan tangannya.

Segara aku menyambut sodoran tangan beliau, menjabat dan mencium tangannya. Setelah menyelesaikan rutinitas pamitan, aku segera menggenjot sepeda jengki inventarisku.


==========LBNC==========

SMA Negeri 1 Trenggalek

Karena tugas yang harus aku selesaikan di rumah setiap pagi, hampir setiap hari aku selalu terlambat datang kesekolah. Untung saja pihak sekolah bisa memahami dan memaklumi itu karena nama besar Raden Mas Haryo Seto. Karena pengaruh Ndoro Kakung jugalah aku bisa bersekolah di sini, di SMU terbaik di kabupaten Trenggalek ini. Disini jugalah Ndoro Ayu Gayatri bersekolah. Non Ega setingkat denganku hanya berbeda kelas.

Hari ini sudah lewat jam tujuh aku baru sampai di sekolah. Setelah memarkir sepeda jengki alat trasportasiku setiap hari, buru buru aku berlari masuk ke kelasku.

"tok tok tok...."
"nyuwun sewu pak.... permisi...."

"eh Pardi.... masuk di...."
"kamu telat lagi ya....?" Kata pak Bambang guru wali kelasku penuh wibawa.

"enggih pak... nyuwun sewu..." Jawabku sopan.

"yo wis.... ayo masuk...." Perintah pak Bambang.

Di sekolah ini aku bisa menemukan sedikit kenyamanan hidup walau tak bisa sepenuhnya. Paling tidak disini tidak ada Ndoro Putri yang selalu memandangku dengan dendam dan telingaku bisa sedikit beristirahat dari teriakan dan cacian beliau.

"Pardi.... ke kantin yuk....?" Ajak Rudi teman sekelasku saat jam istirahat sekolah.

"enggak ah Rud.... terimakasih...." Jawabku menolak.

Aku memang lebih suka berada di kelas dan membaca buku buku pelajaranku dari pada bermain atau sekedar jajan di kantin begitu jam istirahat sekolah. Selain karena aku ingin belajar biar pintar, karena aku juga tidak punya uang untuk jajan jajan di kantin.

Sebenarnya aku bukannya tidak punya uang sama sekali karena sejahat apapun Ndoro Putri, beliau tetap memberikan aku uang saku. Tapi aku tak ingin menghabiskan uang yang tak seberapa itu hanya untuk sekedar jajan jajan di kantin. Lebih baik uang itu aku tabung buat bekalku setelah lulus sekolah nanti.

"haiyaah.... ayo lah...."
"tenang aja tak bayarin...." Ajak Rudi lagi.

"beneran enggak Rud... terima kasih...." Jawabku lagi.

"yo wis lah.... aku ke kantin dulu ya di..." Kata Rudi sambil berjalan keluar dari kelas.

Sekeluarnya Rudi dari ruangan kelas, aku kembali membolak balik buku pelajaranku. Satu tekatku bahwa aku harus belajar dengan giat karena aku sudah di tingkat akhir sekolahku dan ujian nasional tinggal satu tahun lagi. Aku ingin lulus dengan nilai terbaik, aku ingin membanggakan Ndoro Kakung yang selama ini sudah teramat baik kepadaku. Aku juga ingin membuktikan kepada Ndoro Putri dan Non Ega bahwa aku bukanlah sampah, bahwa aku juga bisa berguna bisa membuat bangga keluarga. Mungkin hanya dengan itu aku bisa membalas segala budi baik beliau semua.

"Pardi.... rajin banget Di...."
"udah ganteng, pinter, rajin lagi...." Canda Sri dan trio gerombolannya yang baru masuk kelas setelah beristirahat.

"haiyaah.... apa sih Sri....?"
"gak usah aneh aneh lah...." Jawabku sambil masih membolak balik buku.

"yeee... Supardi ini di bilang ganteng kok gak percaya..."
"kalau kamu mau aku mau kok jadi pacarmu Di..." Sambung Siti sobat segerombolan Sri.

"kamu jangan nyolong start duluan apa Ti..."
"emang kamu doang yang mau jadi pacarnya Pardi...?"
"kita kita juga mau tau... ya gak Sri...?" Sambung Eka salah satu anggota dari gerombolan trio macan itu.

"hehehehehe..... aku jadi malu....."
"kalau Pardi mau sih Sri gak bisa nolak..."
"pokoknya Pardi holic deh..." Jawab Sri dengan pipi merona merah menahan malu.

"haiyaah.... iki opo toh....."
"wong elek kok buat rebutan...."
"lagi pula...maaf ya nona nona yang cuantik..."
"Supardi bin pulan gak sempat buat yang namanya pacar berpacaran..."
"Supardi ingin belajar dengan tekun biar bisa menjadi orang yang berguna bagi nusa bangsa dan agama..." Jawabku serius atas candaan mereka.

Sementara ini aku tak pernah ada niat dan punya waktu untuk yang namanya asmara. Aku ingin belajar dengan tekun dan menjadi orang sukses sebagaimana wejangan Ndoro Kakung.

Tapi aku juga tak bisa sepenuhnya menutup mata dan hatiku dengan yang namanya asmara. Aku tau ada beberapa gadis yang menaruh hati kepadaku. Selain Sri dan Siti yang selalu terang terangan menggodaku, sebenarnya ada satu gadis lagi yang aku tau pasti bahwa dia sangat menaruh hati kepadaku.

Dari tatapan matanya, dari senyumnya, dari sikapnya, dari segala gerak gayanya aku tau kalau dia menaruh hati kepadaku.
gadis itu bernama Triana Subur Lestari atau yang biasa di panggil Ana. Ana adalah satu satunya gadis di sekolah ini yang sebanding dengan Non Ega dari segala segi.

Hanya ada satu yang menjadi pembeda antara Ana dan Non Ega.
Ana yang tak kalah kaya cantik dan tenar dengan Non Ega itu lebih bersifat ramah sopan santun baik hati dan tidak sombong. berbanding terbalik dengan Non Ega yang angkuh sombong dan congkak. Karena itulah mereka selalu menjadi musuh bebuyutan, karena hanya Ana jugalah satu satunya yang berani melawan Non Ega di sini.

"jiaaaah... ada yang hancur tu hatinya..."
"hahahaha.... kasiaan deh trio macan..."
"ni Di...." Tawa Rudi terbahak bahak mendengar itu sambil memberikan seplastik minuman dingin kepadaku.

"oh... terimakasih Rud..." Jawabku sambil menerima sedekah Rudi tersebut.

"apaan sih Rud...?"
"nyamber aja kayak jambret sih..."
"sirik kamu ya mentang mentang gak laku....?" Jawab Siti manyun.

"yeeee.... ada yang sewot nie yee...."
"lagi pula emang kalian berani sama Ndoro Ayu Gayatri yang terhormat itu hah...?"
"tar di semprot pada tau rasa kalian..." Jawab Rudi ngeledek.

Tiba tiba saja....

"jgluaagh...!!!" Suara meja di gebrak.

Kami berlima terkejut mendengar suara gebrakan meja itu.

"heh...!!! pada ngomongin aku kalian ya...?!" Bentak Non Ega yang tiba tiba saja sudah berada di sini.

Inilah yang aku maksud tak bisa menikmati sedikit kenyamanan hidup sepenuhnya. Karena di sini juga sikap Non Ega kepadaku tak ada bedanya dengan di rumah. Non Ega tetap saja berlaku kasar dan semauanya sendiri kepadaku.

"apa apaan sih kamu Ga...?"
"biasa aja kali..." Kata Siti sewot.

"iya ni... mentang mentang Raden Ayu belagunya minta ampun..." Sambung Eka tak kalah sewotnya.

"udah udah udah... kalian apa apaan sih...?" Kataku berusaha melerai Siti dan Eka yang sewot karena ulah Non Ega itu.

"apa kalian....?!"
"gak suka, mau ngajakin ribut hah...!" Balas Non Ega menantang.

"udah udah... yang waras ngalah aja..."
"kita keluar aja yuk, sebelum di gigit genderuwo..." Kata Siti mengajak teman temannya menghindar dari konfrontasi dengan Non Ega.

"heh... apa kamu bilang...?!"
"sudah mulai berani kalian rupanya hah..?!"
"udah bosen hidup kamu ya...?!" Hardik Non Ega yang semakin tersulut emosi mendengar perkataan Siti itu.

Tanpa berani menjawab lagi, kemudian Sri dan gerombolannya keluar dari ruang kelas dengan masih di iringi tatapan mata tajam menantang dari Non Ega. Tak satupun di antara mereka ada yang berani membalas tatapan itu, karena itu bisa berakibat fatal buat mereka.

"heh... ngapain kamu lihat lihat...?"
"jarang lihat cewek cakep kamu ya...?"
"sana pergi kamu... nyepet nyepetin mata aja kamu..."
"sana sana sana minggat...!" Kata Non Ega yang sekarang malah balik mengusir Rudi.

Tak ingin membuat aku semakin sulit, Rudi langsung bergegas keluar dari ruang kelas meninggalkan aku dan Non Ega berdua. sudah bukan rahasia umum lagi kalau aku sering di perlakukan Non Ega kurang manusiawi seperti ini.

"ada apa ya Non...?"
"kok tuben kesini...?" Tanyaku.

"udah deh... jangan sok polos kamu jadi anak..."
"ya jelas aku ada perlu ama kamulah..."
"ni kerjain PR aku... nanti sore harus udah kelar...!" Kata Non Ega sambil memberikan buku PR nya.

"iya Non... baik..." Jawabku tak bersemangat.

"heh... gak usah pakek lemes gitu juga kali..."
"kerjain tu cepet.. jangan kebanyakan ngeluh..." Perintah Non Ega.

"oh iya... satu lagi...."
"jangan pernah lagi deket deket ama gerombolan cewek kampungan itu apa lagi dengan yang namanya Triana semprul Lestari itu...!"
"awas kalau kamu berani macam macam...!!!" Ancam Non Ega sebelum keluar dari kelasku.

"iyaaaa...." Jawabku terpaksa banget.

Yah begitulah nasibku tidak di rumah tidak di sekolah. Selalu saja di intimidasi sama yang namanya Raden Ayu Gayatri. Bahkan Non Ega juga mengatur dengan siapa aku boleh dan tidaknya bergaul di sekolah. Sungguh sungguh penderitaan seorang kacung yang tiada akhir.

Belum sempat Non Ega keluar dari kelasku, Triana yang baru di omongin Non Ega itu tiba tiba juga muncul di kelasku.

"halooo... barusan kayaknya ada yang manggil aku ya...?" Suara lembut Triana si gadis cantik berlesung pipit yang tiba tiba sudah berdiri di pintu kelasku.

Mendengar dan melihat musuh besarnya berada di situ, tatapan mata Non Ega tiba tiba berubah memerah mengisyaratkan permusuhan. Sepertinya Non Ega sudah bersiap melancarkan konfrontasi dengan Triana.

Segera kau mendekati Triana dan memintanya segera keluar dari sini sebelum terjadi konfrontasi antara dua gadis cantik ini dan sebelum aku semakin di persulit Non Ega karena keberadaanya. Dan seperti biasanya Ana selalu memahami kesulitanku sehingga di segera keluar dari sini menghindari konfrontasi dengan Non Ega.

Sepulang sekolah aku langsung pulang ke rumah dan langsung menyerahkan buku PR Non Ega yang sudah selesai aku kerjakan tadi di sekolah.

Tanpa sempat beristirahat walau barang sejenak, setelah makan aku langsung kembali melakukan pekerjaan rutinku sehari hari. Di awali dengan menimba dan mengisi bak mandi sampai penuh, bersih bersih rumah dari nyapu sampai ngepel, mencuci piring dan pakaian yang segunung banyaknya.

Setelah selesai melakukan semua pekerjaan di rumah, tanpa ada waktu beristirahat aku kemudian pergi mencari pakan untuk sapi dan kambing Ndoro Kakung yang lumayan jumlahnya. Selesai mencari pakan yang baru selesai sekitar jam lima sore, aku langsung kembali melakukan pekerjaan rumah lainnya.

Sehabis mencari pakan aku menyapu halaman depan dan belakang rumah joglo yang lumayan besar ini. Rutinitas harianku ini di akhiri dengan menimba air buat mandi keluarga Ndoroku besok pagi. Rangkaian pekerjaan itu baru bisa aku selesaikan sekitar jam enam sore, setelah itu aku baru bisa beristirahat.


==========LBNC==========

R.A. GAYATRI NOYOLESONO

Raden Ayu Gayatri Noyolesono binti Raden Mas Haryo Seto Noyolesono, itulah nama lengkap anak gadis Ndoroku yang biasa aku panggil Non Ega.
Non Ega adalah gadis yang sungguh sempurna dari segi manapun kita ingin melihatnya. Parasnya yang ayu khas putri priyayi bersenyum manis dengan tatapan mata sayu. Wajahnya, bibirnya, hidungnya, alisnya, tubuhnya, kulitnya semua indah sempurna.
Keayuan Non Ega membuat siapa saja yang memandang akan langsung jatuh hati kepadanya. Siapa saja, tak terkecuali aku sang kacung.

Walaupun aku hanya seorang abdi di keluarga ini, tapi diam diam aku menaruh hati kepada Ndoro Ayuku ini. Perasaan cinta kasih dan sayang yang mungkin hanya akan bisa aku simpan rapat rapat selamanya di dalam hati.

Mungkin karena rasa itulah aku bisa menerima segala perlakuan tak manusiawi Non Ega kepadaku selama ini. Aku bahagia kalau Non Ega memanggilku walau dengan bentakan. Aku bahagia kalau Non Ega menyuruhku walau dengan makian. Aku bahagia walau harus teraniaya asal Non Ega bahagia.

"Pardi..." Pangil Ndoro Kakung.

"enggih Ndoro... wonten nopo...?"
("iya Ndoro... ada apa...?") Jawabku sopan sambil menghadap beliau.

"bapak karo ibuk arep tinda'an neng Madiun..."
("bapak ibuk mau pergi ke Madiun...")
"kowe jogo omah karo Ndoro Ayumu kae yo..."
("kamu jaga rumah sama Ndoro Ayumu itu ya...")

"enggih Ndoro...."

"yo wis ngati ati...."
("ya udah hati hati...")
"bapak ibuk budal yho...."
("bapak ibuk berangkat ya...")
"ndok... Ega... bapak ibu budal ndok..."
("ndok... Ega... bapak ibuk berangkat ndok...")

"enggih pak..."
"pokoke ojo lali oleh olehe...."
("pokoknya jangan lupa oleh olehnya...") Teriak Non Ega dari dalam kamarnya.

Karena Ndoro Kakung dan Ndoro Putri sedang ada urusan ke Madiun yang katanya selama tiga hari. Jadi selama tiga hari ini hanya ada aku dan Non Ega berdua di rumah ini.

Selesai mengerjakan pekerjaan sapu menyapu halaman depan dan belakang, aku berniat untuk menimba air. Tapi hari ini rutinitasku entah kenapa sengaja atau tidak jadi terbalik. aku yang biasanya menimba air dulu baru mandi, kini malah sebaliknya. aku berniat mandi dulu baru setelah itu menimba air.

tanpa melihat kanan kiri atau ada tidaknya orang di dalam kamar mandi, aku langsung saja menyelonong masuk karena pintu tak terkunci.

"kyaaaaaih...."
"uediaan kowe yo....?!" teriak non ega sambil menutupi aurat sekenanya.

ternyata di dalam kamar mandi itu ada non ega. walaupun sekilas aku bisa melihat betapa mulus dan montoknya tubuh polos non ega. non ega yang cantik semakin kelihatan cantik dengan tubuh telanjang dan rambutnya yang basah.

"nyuwun sewu ndoro ayu...."
"saya gak sengaja..." kataku meminta maaf sambil bergegas keluar dari kamar mandi.

sumpah aku ketakutan setengah mati karena itu. Aku takut bukan karena kemarahan non ega, tapi aku takut kalau kalau non ega sampai melaporkan kejadian ini kepada orang tuanya.

biarpun tapi aku juga bahagia tak terkira, karena rupanya tuhan masih berbaik hati kepadaku. tuhan masih menganugerahi dan memberiku kesempatan untuk menikmati keindahan raga non ega walau hanya sekejap mata.

"pardi.... sini kamu...!" panggil non ega membentak.

mendengar panggilan non ega itu aku benar benar ketakutan. takut kalau ini akan menjadi bencanaku. apa jadinya kalau non ega sampai melaporkan kecelakaan ini ke orang tuanya.

"heh... sini kamu kampret...!"
"kalau nggak aku laporin kamu nanti ke ayah sama ibuk..."
"mau kamu aku laporin hah...?!" teriak non ega lagi.

"ja... ja... jangan non...."
"sumpah pardi gak sengaja non ega..."
"pardi jangan di laporin ndoro kakung ama ndoro putri ya non..." kataku memohon.

akhirnya walau ragu aku memberanikan diri untuk mendekat memenuhi panggilan non ega.

begitu mendekat menghadap non ega, kembali aku terkejut setengah mati dengan apa yang aku lihat. ternyata non ega hanya menutupi tubuhnya dengan lilitan handuk yang tak sempurna menutup tubuhnya. sedetik aku bisa menikmati lagi keindahannya.

tanpa berani bersikap lebih tidak sopan, aku segera menundukkan wajahku di hadapan non ega walau sebenarnya aku ingin menikmati keindahan itu lebih lama lagi.

"pardi mohon non ega...."
"pardi jangan di laporin ya non...?" kataku sekali lagi memohon.

"ya udah, kamu gak akan aku laporin..."
"tapi kamu harus di hukum karena sudah berani tidak sopan." jawab non ega yang sedikit bisa mengobati ketakutanku.

aku sedikit lega mendengar jawaban non ega itu. walau aku yakin seyakin yakinnya bahwa hukuman dari non ega itu tak akan ringan. walau seberat apapun hukuman yang nantinya akan non ega berikan aku siap, asalkan jangan sampai aku di laporkan.

"iya non... terimakasih...."
"pardi siap di hukum asal jangan di laporin ke ndoro kakung dan ndoro putri..."

"ya udah... kamu pergi sana dulu..."
"ntar aku pikirin dulu apa hukuman yang pantas buat kamu..."

dengan sedikit kelegaan aku segera pergi meninggalkan non ega dengan senyum penuh arti. selalu terbayang indah tubuhnya, ayu wajahnya, basah rambutnya, wangi aroma tubuhnya. kemolekan raga sang putri dengan kesempurnaan sejati seorang priyayi.

selesai non ega mandi, baru aku kembali lagi kebelakang dan melanjutkan pekerjaanku menimba air kemudian mandi setelah itu.

sebenarnya aku heran dengan keluarga raden mas haryo seto ini. bagaimana mungkin rumah seorang priyayi sekaya beliau tapi di rumahnya belum mempunyai sanyo maupun jet pump. sungguh sebuah tanda tanya besar.

hari itu hari minggu yang berarti dua setelah keberangkatan ndoro kakung dan ndoro putri dari urusannya di madiun.

"pardi...." panggil non ega dari dalam.

saat itu aku sedang di halaman belakang sedang memotong rumput teki yang sudah mulai rimbun.

buru buru aku masuk dan menemui non ega.

"iya non.... ada apa...?

"cepet kamu mandi trus dandan yang rapi..." perintah non ega.

"loh... emang mo kemana non..." tanyaku bingung tentang maksud non ega.

"udahlah.... jangan banyak cingcong napa..."
"mau kamu aku laporin ke bapak ibuk soal yang kemarin...?" ancam non ega.

mendengar ancaman non ega itu seketika keringat dinginku bercucuran. buru buru aku menuruti perintah aneh non ega, jangan sampai non ega melaporkan kejadian kemarin kepada kedua orang tuanya yang bisa berakibat berakhirnya riwayat ku si anak yatim teraniaya ini.

selesai mandi dan berpakaian rapi, aku kemudian menemui non ega yang sudah menungguku di ruangan depan.

ternyata non ega juga sudah berdandan rapi. cantik sekali non ega kalau berdandan seperti itu. mengenakan baju biru berbelahan dada rendah dengan tank top putih di dalamnya di padu dengan celana hot pants coklat setengah paha ketat yang semakin mempertegas keayuan dan kelincahan seorang gayatri. dengan baju seperti itu, belahan dada non ega sedikit mengintip dari celah kerah tanktop ya. dan dengan celana model begitu kemulusan dan kemontokan paha non ega semakin jelas tersaji. rambut hitam bergelombangnya yang panjang di biarkan indah tergerai yang semakin memperayu parasnya.

menyadari kedatanganku, non ega memandangiku dengan lekatnya dari ujung rambut sampai ujung kaki. bahkan non ega menyempatkan diri berputar mengelilingiku untuk memastikan sudah pantas atau belumkah penampilanku.

aku yang mengenakan kaos oblong putih dangan celana blue jeans merasa malu dan risih di perhatikan seperti itu.

"emang kita mau kemana non...?" tanyaku sekali lagi.

"ya ya ya ya...lumayan..."
"ayuk jalan..." ajak non ega tanpa memperdulikan pertanyaanku.

langsung kami mengendarai sepeda motor F 1 ZR lansiran tahun 2001 warna hitam orange milik non ega menyusuri jalanan kota trenggalek yang sepi nan asri. tentu saja aku yang berada di depan selaku babu dan tukang ojek non ega.

dengan navigasi non ega, setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam melintasi jalan yang berkelok naik turun pegunungan, akhirnya kami sampai di sebuah pantai yang bernama karanggongso di prigi trenggalek.

sebuah pantai lepas yang indah dengan deburan ombak yang dahsyat berpantai pasir putih nan indah. sebuah pantai yang masih asri alami yang tak kalah indahnya dengan pantai kuta di bali. cuma sayang belum melegenda dan mendunia seperti pantai kuta di bali.

hamparan batu batu karang besar banyak tedapat di bibir pantai yang menjadi lokasi favorit para sejoli memadu kasih. hamparan pohon pandan di luar bibir pantainya semakin memperidah panorama pantai karanggongso. mungkin inilah yang di maksud trully paradiso.

sesampainya di pantai aku menghentikan motor di bawah teduhnya pohon kelapa.

"kita mau ngapain ke sini non...?" tanyaku penasaran kenapa non ega mengajakku ke sini.

"mau senam...!!!"
"begok amat sih kamu jadi kutu kupret...!"
"orang ke pantai kok masih nanya mau ngapain...!"
"udah deh jangan banyak bacot...!" jawab non ga dengan nada tinggi.

"iya iya ndoro ayu... sendiko dawuh..."

non ega kemudian turun dari motor dan berjalan di bibir pantai berpasir putih bermain dengan riak debur ombak. aku hanya melihat dan memperhatikan non ega dari tempatku memarkirkan motor.
terlihat bahagia sekali non ega berada di sini. dengan lincah dia belarian berkejaran dengan riak ombak yang membasahi kakinya.

sejenak non ega berhenti berlarian dan memandangku. terlihat dari gerak tubuhnya non ega sedang memanggilku. suara non ega tak terdengar karena kalah dengan suara deburan ombak.
aku yang sedang menikmati kelincahan sang putri tak menghiraukan panggilannya. aku masih duduk diam di tempatku menikmati betapa bahagia dan lincahnya sang putri bermain pasir putih di antara riak deburan ombak yang membasahi kakinya.

"paardiiii....!!!"
"kesini kampreeet...!!!" teriakan non ega yang sayup terdengar di telingaku karena kalah dengan suara deburan ombak.

tersadar akan panggilan sang ndoro ayu, aku buru buru berlari menghampirinya.

"ada apa non ega...?" tanyaku.

"kuping kamu budeg kali ya...?!"
"di pangil pangil sampai serak kok gak denger..."
"temenin apa... jangan cuma nongkrong doang..." jawab non ega.

aku bingung mendengar permintaan non ega itu. di temanin yang seperti apa maksud non ega ini.

"maksud non ega gimana ya...?" tanyaku bingung.

"guoblog banget sih kamu..."
"udah deh jangan tolol tolol banget apa..." kata non ega sambil menarik lenganku.

aku hanya mengikuti apa maunya ndoro ayuku ini. ternyata non ega mengajakku naik ke atas bukit karang di pinggir pantai. karena sulitnya medan untuk naik ke bukit itu, terpaksa aku manahan tubuh non ega dari belakang dan mendorongnya naik mendaki bebatuan terjal itu.

sumpah tanpa aku sengaja, saat mendorong tubuh non ega tanpa sadar aku malah menyentuh bokong montok non ega.
sebenarnya aku takut kalau non ega akan marah kepadaku, tapi ternyata ketakutanku itu tak terbukti. non ega tidak marah ataupun menunjukkan gelagat tidak suka.

setelah bersusah payah, akhirnya kami sampai juga di atas bukit. dari sini kami bisa melihat pemandangan biru samudra lebih luas lagi. non ega kemudian mengajakku duduk di bawah sebuah batu besar yang agak tersembunyi. begitu kami duduk, kami mendengar ada suara suara aneh tak jauh dari tempat kami duduk. sejenak tatapan mata kami beradu heran dan mencari asal suara apa itu.

ternyata di balik batu besar tempat kami duduk ada sepasang sejoli mesum. si cewek yang memakai rok itu sedang duduk di pangkuan cowoknya sambil menggoyang goyangkan pinggulnya maju mundur.

"ooocch.... eeemmmh...." suara desah tertahan cewek itu.

mengetahui itu mata kami berdua melotot seakan tak percaya bahwa ada yang berani berbuat senekat itu di sini. sedetik tatapan kami beradu. terlihat sungging senyum misterius di bibir tipis non ega. sebuah senyum yang sudah pasti berakibat buruk buatku.





BERSAMBUNG
Ceritax mantap banget bro
 
wooee aku wong nggalek. behh iki top critane.. pokok e:mantap: suhu.
ki Ts e yo ko nggalek to.
 
16 Desember 2012
Original writen by Siganteng_rusuh


SIGANTENG_RUSUH PRODUCTION @ 2012











Chapter XIII

MASA JAYA PUTIH ABU ABU






Putaran waktu tak kenal kata menunggu.
Meninggalkan semua kenangan menjadi masa lalu.

Masa lalu bukan untuk disesali.
Masa kini bukan hanya untuk dinikmati.

Segalanya sealur senada saling melengkapi.
Setulus janji dan sebening hati.

Tak terasa waktu berjalan dengan begitu cepatnya. Meninggalkan semua di belakang menjadikan sebuah kenangan. Menyisakan memori untuk menyongsong kini, dan memberikan pembelajaran untuk masa depan.

Setelah empat bulan berlalu, ternyata tak terjadi apa apa. Ancaman Non Ega yang beberapa bulan lalu sempat terucap, sepertinya hanyalah gertakan sambal semata. Bahkan selama itu juga, Non Ega sengaja menjauh menghindariku. Dia tak lagi mengganggu kemesraanku dan Ana. Sepertinya dia sudah lelah menjadi kerikil pengganggu di antara kami.

Setelah berusaha keras belajar dengan tekun di sela sela konflik batin yang aku hadapi, akhirnya aku berhasil juga melewati ujian akhir nasional dengan selamat, tanpa kekurangan suatu apa pun. Dan selama empat bulan terakhir ini juga, aku sudah mulai bisa menata hatiku, aku sudah bisa menyemikan benih cinta untuk Ana di dalam hatiku. Kemesraan di antara kami dari hari ke hari semakin intim tak terpisahkan.

menurut kabar yang beredar luas di seantero sekolahan, kamilah pasangan paling panas seTrenggalek raya abad ini.

Hari ini adalah hari penggumuman kelulusan. Semua murid menunggu pengumuman hasil ujian nasional dengan harap harap cemas. Di saat semua murid sekolah seangkatanku sedang berkumpul di sekolahan menanti pengumuman, Non Ega malah tak kelihatan batang hidungnya di sekolahan.

"selamat enjing mas dab... siapkah anda menerima kenyataan...?" Sapa Rudi bercanda untuk menutupi keresahannya menunggu pengumuman.

Seperti biasanya juga, Rudi juga berdua dengan Siti kekasih hatinya. Meraka bergandengan mesra sekali.

"hehehe... kenyataan pahit sudah bersahabat denganku wahai anak muda..." Jawabku bergaya ala dialog Brama Kumbara.

"oh... benar begitukah adanya wahai kisanak...?" Balas Rudi meladeni sambil mengambil duduk di kursi di depan kami, di susul diajeng nya Siti Marfuah yang duduk di sebelahnya.

"kalian apa apa'an sih....?"
"sok berlagak kayak Saur Sepuh, sok tua banget sih...?" Omel Siti yang langsung di amini Ana.

"iya... tau ni berdua... kayak orang kurang kerjaan aja..."
"eh... kamu mau pesan apa Ti...? Sambung Ana.

"kok Rudi marudi yang ganteng lucu dan imut ini kok gak di tawarin juga sih...?"

"uweeek... di sini gak ada yang jual rambanan sayang..." Jawab Siti mesra namun berkalimat menghina.



"guasyuu... semprul... emange aku wedus po, kon mangan rambanan..."
("anjing... semprul... memangnya aku kambing apa, di suruh makan rambanan...?") Gerutu Rudi tak terima di katai seperti itu oleh kekasihnya.

Belum sempat Siti memesan sesuatu seperti yang di tawarkan Ana, tiba tiba terdengar derap kaki setengah berlari menuju ke arah kami berempat.

"drap... drap... drap..." Suara derap langkah kaki itu.

Langsung pandangan kami berempat berputar mencari arah datangnya derap langkah kaki itu.

"gebruuk...."
"huh... huh... huh... huh..." Suara meja yang setengah tertabrak dan dengus nafas memburu.

Ternyata Jayeng anak IPA yang datang. Entah ada apa si anak bernama tengah Chounthoul ini datang ke kami dengan berlarian seperti itu.

"Ti... target sudah dalam pantauan radar..." Kata Jayeng tak jelas maksudnya setelah dia sedikit bisa mengatur nafasnya kembali.

"ada apa sih Yeng... kayak yang darurat banget..." Timpal Ana penasaran.

"begini nyisanak... Begawan Jayeng ini se..." Jawabnya masih dengan gaya tengil ciri khas nya. Jawaban itu belum selesai tapi sudang langsung di srobot di potong oleh Siti.

"haiyah... gak usah bertele tele..."
"Jayeng naksir Eka... dia minta aku comblangin..." Kata Siti memotong dengan langsung, tegas, lugas, dan jelas ke inti pokok permasalahan.

"yaaah... usai sudah kisah si trio macan kalau begitu..." Gumanku pelan.

"ya udah deh... kalau begitu aku tinggal dulu ya..."
"ayuk Rud... mau ikut nggak...?" Kata Siti sambil beranjak dari duduknya.

"ya ikut lah... kalau gak ikut ntar malah kamu lagi yang di tembak si tengil Chounthoul kriwil ini..." jawab Rudi sambil turut beranjak berdiri.

"haiyaaah... emange manuk apa di tembak...?"
"mamen mabrada Kanjeng Raden Mas Suparpret..."
"mohon doa pangestu Kanjeng..." Kata Jayeng lagi masih bergaya tengil degan lagak sok menyembah hormat ala keraton.

"yo ngger... sugeng pangentot..." Jawabku membalas tak kalah tengilnya.

"wis wis wis.... kono gek ndang minggat..."
("udah udah udah... sana cepat pergi...") Kata Ana yang sedari tadi hanya diam memperhatikan mengusir.

Setelah mereka bertiga melangkah pergi, kami berdua berpandangan sejenak. Gelak tawa yang dari tadi mati matian berusaha aku tahan tak sanggup lagi aku pertahankan.

"jgak gak gak gak gak...." Ledak tawaku terpingkal pingkal.

Ana memandang keheranan melihatku tertawa terpingkal pingkal seperti itu.

"kenapa sih yang kok malah ketawa begitu...?" Selidik Ana yang heran melihat tingkahku yang malah tertawa terpingkal pingkal.

"Jayeng... bocah koyok Jayeng kok arep nembak cewek..."
("Jayeng... anak kayak Jayeng kok mau nembak cewek...")
"opo ora yho malah dadi dagelan to yho..."
("apa nggak malah jadi dagelan...") Jawabku masih dengan semburat tawa yang tak terahan.



Mendengar jawabanku, Ana langsung ikut tertawa terpingkal pingkal tapi masih dengan gayanya yang anggun.

"huahahahahahaha..." Tawa kami bersama bersahutan terpingkal pingkal sampai perut sakit dan meneteskan air mata.

Aku bukannya meremehkan, tapi apa jadinya kalau Jayeng, bocah yang tidak pernah bisa serius di segala macam cuaca dan kondisi itu menembak cewek.

"iya juga sih ya... pasti lucu tu yang..." Jawab Ana sambil masih belum bisa menghentikan gelak tawanya.

=========================

Sekitar jam setengah sebelas siang, akhirnya pengumuman kelulusan dan nilai hasil ujian pun keluar juga. Berbondong bondong para murid yang sudah menantikan pengumuman itu dari pagi berkumpul di depan mading sekolahan untuk melihat hasilnya.

"kayaknya pengumuman sudah di pasang tu yang..."
"kita lihat yuk..." Kata Ana mengajakku melihat pengumuman yang terpajang di mading sekolah.

"tar dulu deh An... aku belum siap..."
"aku grogi segrogi groginya ni..."

"ayo dong yang... semangat dong... sayang pasti jadi yang tebaik..."
"kan sayang murid terbaik di sekolah ini..." Sambung Ana menyemangatiku.

Entah kenapa mentalku tiba tiba saja menjadi mengkerut mengecil sekecil kecilnya. Aku takut bila harus menghadapi kenyataan pahit. Aku takut kalau hasil yang keluar nanti tak sesuai dengan harapan dan cita citaku.

"ayo dong yang... semangat...." Semangat Ana sekali lagi sambil menarik paksa lenganku menuju ke mading sekolahan.

Dengan teramat sangat terpaksa sekali, akhirnya aku menyerah dan menuruti paksaan Ana itu.

Sesampainya di depan papan pengumuman, aku memalingkan wajahku. Aku tak sanggup dan belum siap untuk melihat hasil pengumumannya.

"iiih sayang... lihat dong..." Kata Ana sambil memaksa kepalaku berputar menghadap mading.

Ku hirup nafas dalam dalam sebelum aku memberanikan diri melihat hasil pengumuman itu. Jantungku berdebar debar kencang, semakin kencang, dan bertambah semakin kencang.

Betapa terkejutnya aku begitu melihat hasil pengumuman itu. Dari sekian ratus nama siswa yang di nyatakan lulus ujian di papan pengumuman itu, tak ku temukan nama Supardi tertera di situ.

Sontak badanku menjadi lemas, tulang belulangku serasa pergi meninggalkan ragaku. Bayangan buruk langsung beterbangan di benakku. Hancur sudah segala angan dan cita citaku. Berakhirlah juga kisah hidupku cukup sampai di sini.

aku tidak lulus... modiaar.

Hampir saja aku jatuh pingsan tak kuat menerima kenyataan pahit ini. Pandanganku tiba tiba menjadi gelap, cuit kicauan burung kenari dan bintang bintang seakan berputar putar di atas kepalaku.

"yang... yang... yang... lihat yang..." Suara Ana riang yang terdengar begitu pelan di telingaku.

Hatiku semakin teriris tercabik cabik perih mendengar keriangan kekasihku itu. Bisa bisanya dia begitu lincah dan riangnya di saat aku sedang terpuruk jatuh terbenam dalam seperti ini.

"sayaaang... lihat doong..." Kata Ana sekali lagi masih dengan nada dan gaya riangnya yang malah semakin memperdalam luka hatiku.

"udahlah An... gak usah... namaku juga kan gak ada di situ..." Jawabku lemah.

"yaiyalah jelas nama sayang nggak ada di situ..."
"nama sayang ada di pengumuman yang satunya lagi tu..."
"sayang peringkat satu di sekolah ini..." Jawab Ana riang gembira sambil tangannya menunjuk ke sebuah kertas pengumuman lainnya yang terpajang di atas pengumuman kelulusan.

"jgluaaaar....!"

Begaikan di sambar petir di cerah hari aku mendengar perkataan kekasihku itu. Pandanganku yang semula redup mengarah gelap tiba tiba langsung kembali bersinar cerah terang benderang. Burung burung dan bintang khayal yang semula berputar putar di atas kepalaku sontak langsung kabur pergi menghilang.

"jangan bohong apa An..." Kataku pelan berusaha menyembunyikan kegembiraan hatiku yang meletup letup.

"serius yang... kenapa juga coba Ana harus bohong..."
"bohong itu dosa tau sayaaang..."
"itu lihat tu... di papan paling atas, di daftar peringkat sepuluh terbaik..." Jawab Ana sambil menunjukkan pengumuman yang di maksudnya.

Dengan pelan bagaikan berada dalam mode slow motion, pandanganku berputar ke arah yang di tunjukkan Ana.

Hampir saja aku meloncat kegirangan setelah melihat ke arah yang di tunjukkan Ana itu. Hampir saja aku menari nari dan berteriak histeris seperti orang gila seandainya saja aku tak mampu mengontrol adrenalinku.

Di papan pengumuman itu tercantum nama peringakat sepuluh besar terbaik di sekolah kami.

10 : Bambang Wicaksono
9 : Eko Sarwo Wibowo
8 : Sri Rahayu
7 : Siti Marfuah
6 : Kartika Sari
5 : Sugeng Raharjo
4 : Sukaryo
3 : Triana Subur Lestari
2 : Budi Utomo
1 : Supardi

Sontak kami langsung berpelukan dan berteriak histeris seperti orang kesurupan. Kebahagian ganda langsung aku dapatkan hari ini. Selain karena aku berhasil mewujudkan segala harapan dan cita citaku, aku juga bahagia melihat nama kekasihku juga tercantum di situ, tercantum di peringkat ketiga dalam daftar peringkat sepuluh terbaik.

terimakasih Tuhan atas anugrah yang Engkau limpahkan kepadaku.
Engkaulah sang maha pemurah lagi maha penyayang.


Sumpah aku tak pernah menyangka dan membayangkan Ana akan berada di situ. Sungguh aku seakan tak percaya dengan kenyataan membahagiakan ini. Tuhan sudah terlalu baik kepadaku hari ini.

"An... kamu juga masuk di sepuluh besar An..."
"kamu peringkat tiga... kamu hebat banget sayang..." Pujiku kepada kekasihku sambil semakin mengeratkan pelukanku. Kami tak memperdulikan lagi ratusan pasang mata yang memandang kami dengan iri.

Saat kami sedang asik larut dalam pelukan, terlihat Rudi dan Siti berlari kecil bergandengan tangan menuju ke arah kami. Di belakangnya menyusul Jayeng, Eka, dan Sri yang juga berlarian kecil menuju ke arah kami.

"Siti....!!! kesini cepet Ti..." Panggil Ana riang begitu mengetahui kehadiran Siti.

"iya mbak... ada apa...?"
"pasti berita mas Pardi juara satu... selamat ya mas..." Jawab Siti begitu sampai di hadapan kami sambil tak lupa mengucapkan selamat kepadaku.

"kamu juga masuk sepuluh besar Ti..."
"lihat itu... kamu di peringkat ke tujuh..."
"hebat kamu Ti... selamat ya..." Sambung Ana sambil berpelukan denga Siti dan cipika cipiki.

Melihat tingkah lucu dua gadis cantik itu, kami berlima hanya tersenyum memandangnya.

"mbak Ana lebih hebat lagi malah..."
"mbak Ana peringkat ke tiga... hebat banget mbak... selamat ya mbak..." Balas Siti memuji Ana.

Tak ketinggalan Rudi, Jayeng, Eka, dan Sri bergantian menyalami dan mengucapkan selamat kepada kami bertiga.

Persis seperti di film film india, Jayeng si bocah tengil yang kebetulang sedang menenteng gitar langsung memainkan gitar itu dan menyanyikan sebuah lagu untuk kami bertiga, untuk kami semua lebih tepatnya.

Seakan sefaham dan tak ingin ketinggalan momen kemeriahan, Rudi langsung berlari masuk keruang TU dan keluar sambil menenteng galon Aqua kosong.

Langsung gebukan Galon dan petikan gitar begaya punk selaras senada menghasilkan irama musik yang menghentak penuh dengan semangat membara dan suka cita. Seakan juga tak mau kalah ketinggalan, Bambang yang entah kapan dan dari mana datangnya angsung menyambar menyayikan lagu yang sesuai dengan nada irama musik made in Rudi/Jayeng itu.

Bergaya bak raper kondang, Bambang menyanyikan lagu itu dengan suara Serak serak basahnya di bumbui dengan gaya tengil ciri khasnya yang semakin mempersemarak suasana.

Eiyo... it's not the end, it's just beginning

Ok... detak detik tirai mulai menutup panggung
Tanda skenario... eyo... baru mulai diusung
Lembaran kertas baru pun terbuka
Tinggalkan yang lama, biarkan sang pena berlaga

Kita pernah sebut itu kenangan tempo dulu
Pernah juga hilang atau takkan pernah berlalu
Masa jaya putih biru atau abu-abu (hey)
Memori crita cinta aku, dia dan kamu

Saat dia (dia) dia masuki alam pikiran
Ilmu bumi dan sekitarnya jadi kudapan
Cinta masa sekolah yang pernah terjadi
That was the moment a part of sweet memory

Kita membumi, melangkah berdua
Kita ciptakan hangat sebuah cerita
Mulai dewasa, cemburu dan bunga
Finally now, its our time to make a history

Bergegaslah kawan tuk sambut masa depan
Tetap berpegang tangan, saling berpelukan
Berikan senyuman tuk sebuah perpisahan
Kenanglah sahabat kita untuk s'lamanya

Satu alasan kenapa kau kurekam dalam memori
Satu cerita teringat di dalam hati
Karena kau berharga dalam hidupku, teman
Untuk satu pijakan menuju masa depan

Saat duka bersama, tawa bersama
Berpacu dalam prestasi... (huh) hal yang biasa
Satu persatu memori terekam
Di dalam api semangat yang tak mudah padam

Ku yakin kau pasti sama dengan diriku
Pernah berharap agar waktu ini tak berlalu
Kawan... kau tahu, kawan... kau tahu kan
Beri pupuk terbaik untuk bunga yang kau simpan

Bergegaslah kawan tuk sambut masa depan
Tetap berpegang tangan, saling berpelukan
Berikan senyuman tuk sebuah perpisahan
Kenanglah sahabat kita untuk s'lamanya

*kita selamanya - Bondan Prakoso fade 2 black

Sungguh sebuah spontanitas kreatif level para dewa dari Jayeng Bambang dan Rudi. Pemilihan lagunya pun juga sempurna menggambarkan kisah akhir dari seragam putih abu abu kami.

Suasana sekolah yang memang sudah riuh ramai menjadi semakin semarak karenanya. Di awali Ana, Siti, Sri, dan Eka yang mulai ikut bernyanyi dan menari dengan riang, pelan pelan teman teman sekolah kami yang lainnya pun juga mulai turut larut ikut menari dan bernyanyi dalam kebahagiaan.

Mirip seperti flash mob yang di awali dengan Satu, kemudian bertambah lima, bertambah lagi menjadi sepuluh, dua puluh, lima puluh, seratus, dan akhirnya seluruh murid yang ada ikut menari dan bernyanyi, tak terkecuali juga denganku.

Kami menari serempak dengan gerakan yang selaras dalam baris yang berjajar rapi. Semua kelihatan seperti sudah terencana dan terkonsep dengan rapi, padahal sebenarnya itu semua hanyalah spontanitas yang sama sekali tak ada perencanaan sedikitpun.

Di penghujung akhir lagu kami semua bersorak melompat bersama sama. Setelah itu kami bergantian saling berjabat tangan dan berpelukan dalam senyum dan keceriaan. Tak ada sedikitpun gurat kesedihan terpancar di sini. Semua tertawa, semua gembira, semua ceria, walaupun mungkin ini adalah momen terakhir kami bisa tertawa bersama.

=========================

Tak ada pesta yang tak usai. Sekitar jam setengah satu akhirnya satu persatu murid sekolah ini mulai pulang ke rumah masing masing dengan membawa berita gembira, kebahagiaan, dan kenangan indah yang terekam pasti di dalam memori masing masing. Semua murid di sekolah ini lulus seratus persen tanpa ada satupun yang tertinggal, termasuk juga dengan si anak iblis, Gayatri Noyolesono.

mengucapkan namanya merusak kebahagiaan hari ini.

Ku hampiri Ana yang sedang asik bercanda bersama geng trio macan Siti cs untuk mengajaknya pulang.

"An pulang yuk..."

"ayuk... Semuanya, Ana pulang duluan ya..." Salam Ana kepada the trio macan sambil cipika cipiki sebelum beranjak pergi.

Di tengah perjalanan menuju parkiran sekolah, kami bertemu dengan Rudi, Jayeng, dan Bambang yang sepertinya akan menghampiri geng trio macan cs.

"udah mau pulang kalian..." Sapa Bambang si peringkat sepuluh begitu berpapasan dengan kami.

"yo masbro..." Jawabku singkat.

"langsung balik... ra sah mampir mampir..."
("langsung pulang... nggak usah mampir mampir...") Sambung Rudi dengan mengerlingkan matanya najis.

"ra sah kakean cocot cok..."
("nggak usah kebayakan bacot cok...")
"eh Thol... tugas rahasia mu wis berhasil nggak...?" Semburku ke Rudi dan menyambungnya dengan menanyakan misi rahasia Jayeng menundukkan kebinalan Eka Pradibta.

"yo jelas sukses to yho... Chonthoul gitu loh..." Jawabnya pongah sambil menepuk dada menyombongkan diri.

"double sukses malah pret... Sri malah yo wis di dekep si Bengbeng..."
("double sukses malahan pret... Sri malah juga sudah di dekap si Bengbeng...") Sambung Rudi mengabarkan berita gembira yang lain. Ternyata Bambang juga mengikat jalinan asmara dengan Sri Putri Damayanti.



"woow... selamat yo Mbang... jangan di sia siain loh..."
"terus malam pertama jangan kasar kasar loh..." Kata Ana mengucapkan selamat di iringi guyonan mesum.

Bambang yang juga berpredikat si anak tengil bin koplak itu sontak terdiam. Wajahnya tertunduk dan bersemu merah menahan malu di bercandai seperti itu oleh gadis kasta ksatria selevel Ana.

Sungguh sebuah akhir yang sempurna. Kebahagian total untuk kita semua. Di akhir masa sekolah, di penghujung waktu sang putih abu abu, semua mendapatkan bonus tambatan hati mereka masing masing sebagai hadiah dari ketekunan kami menimba ilmu selama tiga tahun terakhir.

kecuali Gayatri Noyolesono si anak iblis

Setelah selesai berbasa basi dengan mereka, kami langsung melanjutkan perjalanan pulang. Bersepeda jengky seperti biasanya, aku mengantarkan Ana pulang dulu ke rumahnya sebelum aku pulang ke rumah Ndoroku.

"yang... bikin dedek dulu yuk...?" Ajak Ana berbuat mesum saat kami sedang meluncur diatas dua roda sepedaku.

" ntar jadi beneran loh..." Jawabku sambil mengayuh sepedaku.

"ya biarin to yho... bagus malah..." Jawab Ana santai condong mengarah senang seperti biasanya.

"ngomong ngomong aku selalu nyemprot di dalam tapi kok kamu gak hamil hamil ya An..." Tanyaku penasaran dengan Ana yang tak kunjung berbadan dua. Padahal setiap kali kami melakukan perbuatan mesum, aku selalu mengeluarkan spermaku di dalam.

"hehehehe... sayang gak mampu kali..." Jawab Ana ngawur meledek.

Walaupun aku tau dia hanya bercanda, tapi kata katanya tepat menusuk jantungku.

masa iya sih aku gak mampu...?

"sembarangan aja kamu kalau ngomong..."
"jangan merusak suasana bahagia apa..." Semburku kesal.

"bercanda yang... gitu aja sewot..."

"ya iyalah sewot... harga diri itu An..."

"sayang mau tau nggak sebuah rahasia..." Kata Ana sambil semakin mengeratkan pelukannya di pinggangku.

"rahasia apa...?" Tanyaku penasaran.

"taraaaa..." Sambungnya sambil menunjukkan sesuatu kepadaku.

Dia menunjukkan satu strip obat yang aku tak tau obat apa itu.

"opo kui...?"

"ini pil Kb sayang ku..." Jawab Ana memberitahukan obat apakah itu.

"kamu dapat dari mana obat kayak begituan..." Tanyaku semakin penasaran.

"jangan bilang bilang ya sayang... ini rahasia loh...."
"Ana nyolong punya ibuk..."

"ih dasar kamu..." Jawabku sambil mendorongkan bahuku kebelakang. Aku tak menyangka kalau pacarku ini akan senakal itu.

Tak terasa saking asiknya mengobrol, tau tau kami sudah sampai di depan rumah Ana.

"sayang nggak mampir dulu...?"
"serius ni gak mau bikin dedek dulu...?"
"ini momen special loh yang... masa nggak di rayain...?" Kata Ana sambil turun dari boncengan sepedaku.

"hush... ngomong kok gak lihat lihat situasi kondisi kamu..."
"enggak ah... aku mau langsung pulang aja..."
"aku mau secepatnya menyampaikan kabar gembira ini ke Ndoro Kakung ku..." Jawabku menolak tawaran kehangatan tubuhnya.

"oooo yo wis kalau begitu... Pak Seto pasti bangga sekali yang..." Sambung Ana di susul dengan kecupan hangat di pipi kiriku.

Setelah berpamitan dengan kekasihku itu, aku langsung mengayuh sepedaku secepat mungkin menuju ke rumah.

Tergumpal semangat dan bangga di dada karena aku berhasil mewujudkan harapan dan cita citaku selama ini. Inilah mungkin kali pertama aku bisa membanggakan Ndoroku. Mungkin juga inilah akhir dari Supardi yang selama selalu di hina dan di remehkan.

Dengan ini aku bisa membuktikan kalau aku bukanlah sampah. Aku juga bisa berguna dan membanggakan untuk keluarga mereka. Harapanku, semoga Ndoro Putri dan Non Ega berubah cara pandangnya kepadaku setelah aku mendapatkan prestasi ini.

Sesampainya di rumah, setelah menaruh sepedaku di garasi, aku langsung bergegas setengah berlari menuju ke ruang keluarga. Jam jam seperti ini biasanya Ndoro Kakung dan Ndoro Putri sedang bersantai di ruang keluarga. Aku ingin secepatnya menyampaikan kabar membanggakan ini.

Tapi begitu aku sampai di pintu menuju ke ruang keluarga, aku tak sanggup melanjutkan langkahku. Aku hanya bisa berdiri mematung di ambang pintu menyaksikan apa yang sedang terjadi di dalam ruang keluarga.

Di dalam sana, terlihat Ndoro Kakung sedang berkacak pinggang sambil berteriak teriak penuh emosi. Sepertinya beliau sedang marah besar. Suara bariton beliau terdengar begitu berat dan menakutkan. Baru kali ini aku melihat Ndoro Kakung marah besar seperti ini.

Sementara itu di atas sofa panjang di ruang keluarga tersebut, Terlihat Non Ega sedang menangis di dalam pelukan Ibunda nya.

apa sebenarnya yang tengah terjadi...?

"edian kowe Gayatri... gendeng...!!!"
("gila kamu Gayatri... gila...!!!")
"kamu sudah mencoreng aib ke muka Bopo mu ini...!!!" Kata Ndoro Kakung penuh dengan amarah menggelegar.



Tak ada satupun yang berani menyela perkataan Ndoro kakung tersebut. Non Ega masih saja terisak menangis di dalam dekapan Ndoro Putri Ibunda nya.

Ndoro kakung yang sepertinya sudah kalap kesetanan itu kemudian menjambak rambut hitam panjang nan indah milik Non Ega dan mendaratkan sebuah tamparan keras di pipi anak gadis semata wayangnya itu.

"plaak...!!!" Suara keras tamparan Ndoro Kakung.

Menerima tamparan keras seperti itu, Non Ega sampai terpental dan tersimpuh di lantai. Masih belum puas, Ndoro Kakung berusaha melayangkan taparan untuk yang kedua kalinya tapi keburu di hentikan Ndoro Putri.

"Pak...! uwis to pak... uwis..."
("Pak...! sudah dong pak... sudah...")
"Ega jangan di siksa seperti ini Pak... cukup..." Kata Ndoro putri berusaha mencegah Ndoro kakung sambil menahan tangan beliau.

"minggir Buk... col ke... ben tak ajar sisan bocah edan iki...!"
("minggir Buk... lepaskan... biar tak hajar sekalian bocah gila ini...!") Hardik Ndoro Kakung menyuruh Ndoro putri melepaskan genggamannya.

"ora Pak...ampun Pak... Ega ojo di sekso meneh Pak..."
("nggak Pak... ampun PaK... Ega jangam di siksa lagi Pak...")
"mesakne Ega Pak... kan Ega ora salah Pak..."
("kasihan Ega Pak... ka Ega tidak salah Pak...") Kata Ndoro Putri berusaha membela Non Ega.

Terlihat dari sela sela bibir Non Ega yang sedang tersimpuh di lantai itu mengeluarkan setitik darah segar. Tamparan Ndoro Kakung tadi begitu keras sekuat tenaga beliau. Gadis lemah seperti Non Ega pasti tak sanggup menerima tamparan sekeras itu.

"opo Buk... opo... ora salah jaremu...?!"
("apa Buk... apa... nggak salah katamu...?!")
"berarti kowe podo gendenge karo anakmu...!"
("berati kamu sama gilanya dengan anakmu..."!) Jawab Ndoro Kakung sambil berusaha melepaskan pegangan Ndoro Putri.

Ndoro Putri terpaksa melepaskan genggaman tangannya yang menahan Ndoro kakung. Beliau langsung menghampiri anak gadisnya yang sedang tersimpuh terisak menangis di lantai itu, membangunkannya, dan kembali membenamkan gadis itu di pelukannya sebelum keduluan tamparan Ndoro Kakung. Beliau menjadikan dirinya tameng untuk melindungi Non Ega dari amukan kesetanan Ndoro Kakung.

Sungguh besar kasih sayang dari seorang Ibu. Seorang Ibu rela menjadikan dirinya tameng untuk melindungi anaknya. Seterpuruk apapun anaknya, bahkan saat anak itu di hina dan di caci dunia, tangan Ibulah yang pertama terulur untuknya.
Kasih Ibu sepanjang jalan.


"anakmu ini hamil di luar nikah masih tidak bersalah katamu hah...?!" Hardik Ndoro Kakung.

"JEGLUAAAAAR....!!!

Bagaikan kilatan petir di siang bolong yang cerah, kata kata Ndoro kakung itu begitu mengejutkanku.

Non Ega hamil...???
Dengan siapa...???
Perbuatan siapa...???


"kena tak ajare sisan... ra sido nduwe anak wedok ora opo opo aku...!"
("sini aku hajar sekalian... nggak jadi punya anak perempuan nggak apa apa aku...!")
"kene... minggir Buk... minggir...!!!"
("sini... minggir Buk... minggir...!!!") Emosi Ndoro Kakung yang semakin berapi.

Beliau merangsek dan menarik kembali tubuh lemah Non Ega dan bersiap mendaratkan tamparannya untuk yang kesekian kalinya. Untung saja Ndoro Putri masih sempat menahan lagi tamparan Ndoro Kakung itu sebelum benar benar menghantam pipi Non Ega yang masih menyisakan bekas merah akibat tamparan yang pertama tadi.

Menyaksikan aksi kekerasan yang baru pertama kali ini terjadi di dalam keluarga Raden Mas Haryo Seto, aku hanya bisa terdiam terpaku menyaksikan itu semua. Aku setengah tak percaya dengan pandangan mataku sendiri, aku tak pernah menyangka kalau Ndoro Kakung bisa berbuat sekasar itu kepada Non Ega anak gadis semata wayangnya sendiri.

apa sebenarnya yang tengah terjadi...?
bagaimana mungkin Non Ega bisa tiba tiba saja hamil...?
dengan siapa dia melakukan perbuatan itu...?


Gagal melampiaskan amarahnya dengan tamparan yang keburu di hentikan Ndoro Putri, Ndoro Kakung malah mendorong dan menghempaskan tubuh Ndoro Putri yang melindungi Non Ega itu. Belaiu sampai harus jatuh terjengkang karenanya. Lepaslah sudah perlindungan Ndoro Putri.

Begitu Non Ega lepas dari lindungan Ndoro Putri, Ndoro Kakung kembali menjambak rambut hitan Non Ega.

"jal ngomongo... sopo sing metengi kowe hah...?!!"
("coba bilang... siapa yang menghamili kamu hah...?!!")
"sopo...?! jawab...!!! jo mek gur isine kur nagis wae kowe...!"
("siapa...?! jawab...!!! jangan isinya cuman nangis aja kamu...!") Bentak Ndoro Kakung mengintrogasi siapakah si oknum penghamil anaknya itu.

Non Ega yang masih terisak menangis masih diam belum menjawab. Dia meringis menahan sakit kerena jambakan itu. Seperti menyadari kehadiranku, dengan masih berada di dalam jambakan Ndoro kakung, perlahan dia mengarahkan pandangannya kepadaku. Tersungging senyum khas si anak iblis di bibir manisnya.

edan... bisa bisanya dia tersenyum di saat seperti ini.

Mengetahui arah pandangan Non Ega yang berpaling ke arah pintu, ke arahku berdiri, Ndoro Kakung dan Ndoro Putri sontak turut mengikuti arah pandangan Non Ega memandangku.

Aku tiba tiba saja merasakan ada sinyal firasat buruk yang akan menimpaku.

"Pardi Pak..." Jawab Non Ega pelan.

"JEGLUAAAAR...." Kali ini sambaran kilat di siang bolong nan cerah ini tepat menyambar tubuhku.

"Apa.....???!!!" Pekik Ndoro Kakung, Ndoro Putri, dan tak ketinggalan juga dengan ku.

inikah ancamannya tempo hari...?
inikah cara dia menghancurkan aku...?
apa sebenarnya dosaku kepadanya sampai dia tega sekeji ini kepadaku...?
adakah aku pernah berbuat salah kepadanya di masa lalu...?


Belum sempat aku menyangkal atas tuduhan yang Non Ega tuduhkan kepadaku itu, Ndoro Kakung keburu menghambur ke arahku dan langsung mendaratkan tinjunya tepat di rahangku tanpa bertanya terlebih dahulu benar tidaknya tuduhan itu.

"jebruuaat...!!!" Suara hantaman tinju itu.

Tinju itu begitu telak dan keras menghantamku sampai aku terpental dan jatuh tersungkur terlentang di lantai. Rahangku terasa sakit dan ngilu. Dari sela sela bibirku menetes darah segar bukti kerasnya hantaman tinju itu.

Dengan terhuyung huyung aku berusaha untuk bangkit berdiri. Biar bagaimanapun juga aku harus menyangkalnya karena aku tidak berbuat seperti apa yang Non Ega tuduhkan kepadaku.

Belum sempat aku berdiri dengan tegak, tiba tiba pukulan yang kedua kembali melayang dan mendarat telak tepat menghantam wajahku.

"jbruuaat..."

Kembali aku jatuh terpental menerima hantaman tinju kedua yang tak kalah telak dan kerasnya dengan yang pertama itu. Untuk yang kedua kalinya ini aku tak sanggup lagi berdiri. Pandanganku kabur dan menjadi gelap. Hanya suara jerit histeris Ndoro Putri yang sayup aku dengar di ambang pintu pingsanku.

"Paaak... uwis pak... uwis..."
"eling Pak... eling... cukup Paak..." Suara teriak histeris Ndoro Putri.

Dalam samar pandangan kaburku, aku melihat Ndoro Putri menghambur berlari ke arahku, menghampiriku dan mendekapku. Beliau mendekapku erat, membaringkan kepalaku di atas pangkuannya. Dekapan beliau hangat dan nyaman. Dekapan beliau itu mengantarkanku ke dalam pingsan.






BERSAMBUNG





Proof reader
* mr jaya suporno
* mr reditya​
Sangat hebat anda membuat cerita bro...sangat salut saya ...anada penulis hebat
 
2 juni 2013
Original writen by Siganteng_rusuh





copyright © 2013. siganteng_rusuh





Chapter XIX

SELAMAT JALAN







Hidup ini bagai hembusan angin. Kapan angin datang dan kemana dia akan berhembus sulit untuk di terka. Setiap detik angin selalu berhembus bergerak. Kadang sepoi melenakan, kadang pula sesekali berhembus kencang menjadi topan yang sanggup memporak-porandakan segalanya.

Seperti aku, sebelumnya aku tidak pernah menyangka perjalanan hidupku akan seberliku ini. Dari seorang pemuda yang lugu, sampai terjebak di antara cinta dua orang putri. Dari seorang hamba sahaya, tiba-tiba menjadi anak seorang bangsawan. Segalanya berjalan begitu cepat, begitu sulit di nalar dengan akal sehat.

Sesaat hidupku porak-poranda karena-nya. Tapi perlahan hembusan sepoinya menyibak titik terang hariku. Dari semua itu, dari pahit getir hidup yang pernah aku jalani, dari remahan kepingan-kepingan cerita masa lalu yang aku peroleh, aku bisa menarik satu penafsiran.

Kebenaran hari ini belum tentu kebenaran esok hari

Tapi, langkah hari ini menentukan perjalan kita di esok hari

Dan ujian hari ini jadikanlah pengalaman untuk esok hari

Karena apa yang kita tanam hari ini, akan kita tuai di kemudian hari

Baru aku berusaha menerima, tantangan seberapa besar kelapangan dadaku sudah berjalan dengan anggun-nya ke arahku. Di koridor rumah sakit saat aku akan ke rumah Ana, aku berpapasan dengan Eyang Kakung yang dulu sudah begitu jahat kepada almarhum Ibuku.

Jujur darahku mendidih. Tapi aku tidak mau begitu saja menuruti emosiku. Aku bukan lagi bocah ingusan yang mudah tersulut emosi. Aku sudah cukup dewasa, sudah kenyang dengan tempaan asam garam dan pahit getir kehidupan. Yang lalu biarlah berlalu, mari kita semai benih baru, benih indah tentang memaafkan dan cinta kasih.

"Kanjeng Eyang." Ku jabat cium tangan beliau menghaturkan hormat. Biar bagaimanapun juga, beliau toh tetap Eyangku juga.

"Iyo ngger. Mau kemana kamu ngger?"

"Bade teng nggriyane Ana Eyang. (Mau ke rumah Ana Eyang)" Jawabku sambil berganti menjabat dan mencium tangan Eyang Putri. "Eyang."

"Monggo Eyang, kulo tinggal rumiyen. (Mari Eyang, saya tinggal dulu)" Pamitku kemudian langsung pergi meninggalkan beliau berdua.

"Yo ngger... Ngati-ati." Jawab beliau berdua bersamaan.

Tak berapa lama perjalanan akhirnya aku sudah sampai di rumah Ana. Tapi entah kenapa, sesampainya di sana aku malah ragu. Segala kekuatan-ku seolah runtuh begitu menginjak-kan kaki di sana. Aku yang seharusnya perkasa gagah berani, tapi malah gentar saat akan menemui seorang Ana yang notabene-nya makhluk lemah pada kodratnya.

Beberapa saat bergelut dengan ragu, rupanya kedatanganku di ketahui Pak Bambang yang -sepertinya- akan berangkat kerja. "Loh... nak Pardi, ngapain di situ? Ayo sini masuk nak." Panggil Pak Bambang menyuruh-ku masuk.

"Iya Pak." Ku tuntun motorku masuk, menyetandarkan-nya, dan langsung menghampiri Pak Bambang yang sedang duduk santai di teras depan rumah sambil menikmati secangkir kopi. "Pak." Kataku sambil menjabat dan mencium tangan beliau.

"Iyo ngger" Jawab Pak Bambang. "Ayo duduk, ada perlu apa kesini Di? Keadaane Ega gimana, wis mendingan?" Tanya Pak Bambang sambil mempersilahkan ku duduk.

Belum sempat aku menjawab, tiba-tiba Ana keluar sambil membawa tas kerja ayah-nya. "Ini tas-nya Y-yah." Ana terkejut melihat keberadaanku di sini. Sontak matanya berubah merah begitu melihatku.

"Ngapain kamu kesini hah...?!" Tanya-nya dengan intonasi tinggi. Terasa dari nada bicaranya dia begitu tidak menyukai kehadiranku di sini.

"Eh... An." Kataku sambil berdiri dan berjalan menghampirinya.

"Pergi kamu dari sini! Pergi...!!! Kata Ana sambil menunjuk mengusirku.

"Ana!" Pak Bambang sontak berdiri melihat kelakuan anak gadisnya itu.

"Minggat kamu...!!!" Ana tak mendengarkan Ayahnya. Dia terus mengusirku bahkan sampai mendorong tubuhku. Setelah mendorong tubuhku Ana kemudian berbalik masuk sambil membanting pintu. "Jegluuuuar..." Keras suara Ana membanting pintu.

Langsung aku berlari mengejar Ana. Aku sudah tak memperdulikan lagi yang namanya unggah-ungguh dan toto-kromo. Aku mengejar Ana sampai di kamarnya. "Jebruuuak..." Kembali Ana membanting pintu.

"Ceklek... cekleek." Ku putar gagang pintu kamar Ana tapi pintu itu tak terbuka. Ana sudah mengunci pintu sedetik sebelum kedatanganku. "Tok... tok... tok... tok... An... Ana..." Ke ketuk-ketuk pintu itu sambil memanggilnya.

Sementara aku sibuk mengetuk pintu kamar Ana, dari bawah terdengar suara teriakan Bu Ratri. "Paaak... opo sih kok bontang-banting lawang. (Paaak... apa sih kok ngbantingin pintu.) Ono opo to Pak? (Ada apa to Pak)"

"Mboh ke anakmu kae. (Tau tu anakmu itu)" Jawab Pak Bambang.

Beberapa kali aku mengetuk, tapi masih belum ada sahutan dari dalam. "Tok... tok... tok..." Kembali aku mengetuk pintu. "Tok... tok... tok... tok... An... Ana... Tolong buka pintunya An." Kataku sambil mengetuk pintu.

Setelah beberapa kali ketukan, akhirnya terdengar suara langkah dari dalam. "Ceklek..." Dan setelah ketukan terakhir akhirnya Ana mau membukakan pintu.

Begitu membuka pintu Ana lansung menatapku tajam. Sorot matanya seakan ingin menelanjangi setitik harga diriku. "Mau apa sih?!" Tanya-nya dengan intonasi tinggi.

"An, aku ingin bicara sebentar sama kamu."

"Ya udah cepetan." Jawabnya ketus.

Sedetik aku ragu untuk mulai berbicara. Aku tak tau harus mulai dari mana. Aku merasa asing berhadapan dengan-nya, seolah kami belum mengenal sebelum-nya. "Aku harus bisa, demi Ega." Kata hatiku menguatkan.

"Oyo cepet! Kok malah bengong sih."

"Oh iya maaf. B-begini An, Ega pengen ketemu sama kamu."

"Heh..." Mendengar perkataanku, Ana hanya menyeringai sinis. "Mau apa? mau ngajak berantem?"

"An, Ega lagi sakit."

"Terus...?"

"Aku mohon An, aku mohon kamu mau menemui Ega. Aku mohon An." Ku raih tangan-nya memohon kepadanya.

Ana menampik tanganku. "Sadar nggak sih betapa sakitnya aku karena kalian berdua?" Air matanya mulai menetes. "Aku sakit tau nggak?!"

"Aku mohon An, aku minta maaf kalau kami salah. Tapi aku mohon kamu mau menemui Ega."

"Maaf aku tidak bisa menemui Ega. Percuma saja kamu di sini, jadi tolong sekarang kamu pergi dari sini." Katanya lagi sambil menyeka air matanya.

"Tapi An... tolong An." Kembali aku raih jemarinya memohon.

Kembali Ana menampik tanganku dan mengusirku. "Ssst... maaf, tolong jangan pegang-pegang. Silahkan anda pergi dari sini." Tanpa memperdulikanku lagi, Ana kembali masuk dan mengunci pintu kamar-nya.

"An... An... Ana..." Teriak-ku memanggilnya.

"Prok... prok... prok..." Terdengar suara langkah menaiki anak tangga. "Anaaaa...." Suara bu Ratri memanggil.

Sesampainya di depan kamar Ana, Bu Ratri langsung mengetuk pintu kamar Anak gadisnya itu. "Tok... tok... tok... An... kamu kenapa sih?" Tanya Bu Ratri sambil mengetuk pintu.

Sementara Bu Ratri sibuk mengetuk pintu, aku hanya diam berdiri di samping beliau. "Buk, tolong suruh Pardi pergi." Teriak Ana dari dalam.

"Heh ndok, kamu kan sudah bukan anak kecil lagi. Kamu harus bisa bersikap lebih dewasa dong." Kata Bu Ratri mencoba menasehati Ana.

Ana tak mendengarkan lagi nasehat Ibunya. "Prang... grumpyaaang..." Ana malah mengamuk di dalam kamar membanting barang-barang yang ada. "Pergiiii....!!!" Teriak Ana histeris mengusirku.

"Ana... kamu kok gitu to ndok." Kata Bu Ratri lagi masih berusaha menasehati.

"Prok... prok... prok..." Terdengar suara keprak sepatu Pak Bambang sedang menaiki tangga. "Piye Buk?" Tanya Pak Bambang.

"Ana kae loh Pak."

"Ya udah... jangan di paksa. Nak Pardi balik lagi aja ke rumah sakit, Biar nanti Ana Bapak yang Bujuk." Kata Pak Bambang.

"Baik Pak, kalau begitu Pardi nyuwun pamit. Monggo." Akhirnya aku menyerah dan kembali ke rumah sakit dengan misi yang gagal.

==========LBNC==========

Sesampainya di rumah sakit, aku langsung menuju ke kamar Ega. "Di... Pardi... dari mana aja sih?" Terdengar suara Mbak Nora memanggilku dari belakang.

"Eh Mbak Nora, kapan datang Mbak?"

"Kamu baru dari mana aja sih?" Kata Nora balik bertanya. Dari raut dan logat gayanya terlihat kalau dia sedang cemas.

"Dari rumah Ana Mbak."

Mbak Nora sedikit kaget mendengar jawabanku. "Ngapain kamu kesana?" Tanya Mbak Nora agak ketus.

"Ega yang nyuruh Mbak, katanya pengen ketemu Ana."

"Terus... Ana nya mana?"

"Gagal Mbak, Ana ndak mau."

"Ya udah. Ayo cepet ke kamar Ega Di, Ega ngedrop."

"Degg..." Mendengar itu aku langsung berlari secepat mungkin ke kamar Ega. Di luar kamar berkumpul semua Trah Noyolesono tanpa terkecuali. Aku tak lagi memperdulikan mereka dan langsung menyelonong masuk ke dalam kamar. "Di... tunggu Di..." Terdengar suara Ndoro Kakung mencegah tapi sudah tak ku perdulikan lagi.

Sesampainya di dalam ku lihat ada Pak dokter yang sedang memeriksa Ega. "Ga..." Panggilku.

Pak dokter yang sedang memeriksa Ega terkejut melihatku yang masuk tiba-tiba. "Eh... maaf mas... tolong menunggu saja di luar." Kata suster yang menemani Pak dokter mengusirku.

Ku tampik tangan suster yang berusaha menghentikan ku itu. "Ga... kamu kenapa?" Aku berdiri di samping ranjang sambil menggenggam jemarinya.

Pak dokter menghentikan pekerjaan-nya memeriksa Ega dan ikut juga berusaha menyuruhku keluar. "Mas... tolong mas kel..." Belum selesai Pak dokter berbicara, Ega meraih lengan Pak dokter. Seakan faham maksud Ega, dokter itu kemudian mengajak suster keluar meninggalkan kami.

"Ana mana?" Tanya Ega dengan suara lemah bahkan nyaris tak terdengar.

"Ana ndak mau Ga." Jawabku pelan. Matanya berkaca kaca mendengar berita dariku. Terlihat dia begitu terpukul mengetahui Ana tidak mau datang menemuinya.

"Ana..." Katanya lemah memangil-manggil nama Ana.

Hatiku sakit menyaksikan itu semua. Ega begitu mengharapkan kehadiran Ana tapi Ana begitu membencinya sampai tidak mau datang menjenguk walau Ega sudah semakin parah.

Ku dekat tubuh lemah-nya yang terbujur. "Sabar ya Ga." Ku ciumi pipi-nya dan ku usap lembut kening-nya berusaha menghibur kesedihan-nya. Tak terasa air mataku tak mampu lagi aku bendung.

Sementara itu di luar kamar, sayup terdengar Ndoro Putri sedang mengintrogasi Pak dokter yang baru keluar. "Anak saya bagaimana dok?" Tanya Ndoro Putri sambil sesenggukan.

Entah apa yang di katakan Pak dokter itu sampai tiba-tiba Ndoro Putri langsung mendobrak masuk. "Hoalah ndok... hiks... hiks... hiks..." Kata beliau sesenggukan sambil memeluk dan menghujani Ega dengan ciuman

Di saat kondisi seperti ini, Tuhan rupanya masih sudi menunjuk-kan sedikit mukjizat-Nya. Orang yang sangat Ega nantikan kehadirannya akhirnya mau datang juga. "Di... Ana datang." Kata Mbak Nora setengah berbisik dari celah pintu.

"Oh... iya Mbak." jawabku sambil mengusap air mataku.

Mendengar nama Ana, tatap mata Ega yang semula mulai kosong mendadak terisi dan segar kembali. "Suruh Ana masuk mas." Kata Ega lemah setengah berbisik bahkan nyaris tak terdengar.

Baru aku mau melangkah keluar, Ana sudah berdiri dia ambang pintu. Dalam rangkulan Bu Ratri Ana terlihat enggan untuk melangkah masuk. "Masuk An." Kataku sambil meraih tangan-nya.

Ana masih saja diam di ambang pintu. "Ayo ndok masuk." Kata Bu Ratri sambil sedikit mendorong Ana.

Perlahan -walau awalnya enggan- Ana melangkah masuk. Sesampainya di samping Ega, Ana langsung menghambur memeluk Ega. "Kamu kenapa to Ga? Hiks... hiks... hiks..." Tangisnya langsung pecah melihat keadaan Ega yang begitu menyedihkan. Di hujaninya Ega dengan ciuman di kening dan pipi bertubi-tubi.

Tak terlihat lagi permusuhan yang pernah ada di antara mereka. Sepasang sahabat yang dulu pernah terpisah sekarang sudah bersatu kembali. Suasana mereka berpelukan setelah sekian tahun saling bermusuhan sungguh mengharukan. Aku, dan semua yang melihat adegan itu tak mampu menahan untuk tak meneteskan air mata.

Walau samar, lirih terdengar Ega membisik di telinga Ana "Terima kasih kamu mau datang Na." Lirih suara bisikan Ega.

"E'eh..." Jawab Ana. Perlahan Ana mulai melepas pelukan mereka. Ana kemudian duduk di pinggiran ranjang dan mengusap air mata Ega. "Kamu cepat sembuh ya Nyeng" Kata Ana lagi sambil mengusap rambut Ega yang tinggal beberapa helai saja.



Perlahan Ega menggerak-kan tangan memanggilku. Melihat itu aku segera mendekat. "Ini mas Ga, ada apa?" Ku genggam jemari-nya sambil ku usap pipi-nya yang pucat.

"An..." Dengan lemah Ega juga memangil Ana untuk mendekat di sampingku.

Ana langsung menuruti Ega dan ikut meraih satu jemari Ega. "Iya Ga, aku disini." Jawab Ana.

Perlahan -walau lemah- Ega menggerak-kan tangan-nya. Di ambilnya tangan-ku dan Ana di satukan dalam genggaman-nya. "Mas, malaikat sudah datang." Kata Ega merancau.

"Kamu ngomong apa Ga?"

"Waktuku sudah hampir habis mas."

"Ga...?"

Pandangan matanya kosong menatap ke arah pintu "Dia sudah datang, dia sudah berdiri ambang di pintu."

"Ga... Kamu jangan ngomong begitu Ga."

Ega terus saja berbicara merancau. Sepertinya dia tak mendengar sama sekali perkataan-ku dan terus saja bicara sendiri. "Setelah aku tiada, mas tolong menikah dengan Ana." Genggaman-nya semakin kuat tapi jemarinya terasa semakin dingin.

Adegan ini di saksikan semua orang yang ada. Tak ada satupun orang yang tak menitik-kan air mata karenanya. "Pak... Buk..." Kata Ega lagi memanggil kedua orang tuanya.

Ndoro Putri yang sedari tadi berdiri di sampingku langsung merangsek dan memeluk Ega. Sementara Ndoro Kakung juga langsung menyusul dan ikut menghujani Ega dengan peluk dan ciuman. "Ndok..." Kata Ndoro Kakung parau dengan berlinang air mata.

"Kamu harus sembuh ndok. Hiks... hiks... hiks..." Kata Ndoro Putri sambil terisak.

Semua orang yang tadi hanya menyaksikan adegan mengharukan ini dari pintu akhirnya masuk dan berebut menghujani Ega dengan peluk dan cium silih berganti. Suasana kamar ini jadi riuh ramai dengan isak tangis.

"Ndok... hiks.. hiks... hiks..." Kata Eyang Putri sambil terisak mencium Ega.

"Ga... Ega... hiks... hiks... hiks..." Mbak Nora juga terisak sambil memegangi paha Ega.

Semua orang berkumpul di samping ranjang Ega. "Mas..." Ega memanggilku. Tangan lemahnya menggapai dan membenamkanku dalam pelukan-nya. Terdengar di telingaku yang menempel di dada-nya, detak jantungnya semakin lemah. "T-ti-titip An.. Ana... mas." Itulah kalimat terakhir yang keluar dari mulunya.

Tubuh Ega kemudian perlahan mulai dingin, dingin, dingin, dan semakin dingin. Tak ku dengar lagi lemah detak jantungnya. Ku lepaskan diri dari dekapan-nya. "Ga... Ega... Ga...!!!" Ku tepuk-tepuk pipinya berusaha membangunkan-nya.

Ternyata angin telah meniup ruh-nya terbang jauh melintasi mega-mega. Meluruhkan cincin rumput yang melingkar indah di jari manisnya. Mengantarnya menembus tinggi cakrawala langit ketujuh. Bersinggasana abadi di sisi sang Khalik sang maha pencipta. Kekal abadi sampai saat-nya nanti tiba.

innalillahi wainnaillaihi roji'un......

Trah Noyolesono telah kehilangan seorang putri cantik yang telah meramaikan keluarga mereka untuk selama-lamanya. Ega, Raden Ayu Gayatri Noyolesono, adik-ku, istriku, akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya dalam dekapan-ku. Darai tangis dan air mata mengiringi kepergian-nya bersinggasana abadi di syurga.

Lingsir wengi
Sepi durung biso nendro
Kagodho mring wewayang
Kang ngerindhu ati

Kawitane
Mung sembrono njur kulino
Ra ngiro yen bakal nuwuhke tresno

Nanging duh tibane aku dewe kang nemahi
Nandang bronto
Kadung loro
Sambat-sambat sopo

Rino wengi
Sing tak puji ojo lali
Janjine mugo biso tak ugemi


==========LBNC==========

Sepuluh tahun kemudian
20 Agustus 2012


Aku bersimpuh memanjatkan doa di depan pusara indah yang terbuat dari batu marmer murni. Kemegahan dan keindahan pusara itu begitu mencolok di antara yang lain-nya. Terlihat jelas dengan kasat mata bahwa yang bersemayam di situ adalah Trah dari keluarga bangsawan.

"Ini makan siapa sih ?" Tanya seorang gadis kecil yang bergelayut manja di pundak-ku.

"Ini makam Bulik." Jawabku kepada gadis kecil itu.

"G-ayatri No-yolesono. Kok namanya sama ma aku?" Tanya gadis kecil itu lagi.

Sesuai dengan wasiat terakhir Ega, Tiga tahun kemudian setelah aku selesai menamatkan program Diploma ku, akhirnya aku mempersunting Ana. Setahun kemudian Ana mengandung dan melahirkan seorang anak gadis cantik yang aku beri nama, Raden Ayu Gayatri Noyolesono. Nama yang persis mirip dengan nama-nya.

Anak-ku yang juga biasa kami panggil Ega sekarang sudah berusia enam tahun. Ega kecilku sama persis dengan Ega. Raut wajahnya, gaya bicaranya, semua mengingatkan kami akan kenangan Ega. Kehadiran-nya telah menggantikan Ega yang dulu telah pergi, menyemarak-kan lagi Trah Noyolesono yang sempat muram selepas kepergian-nya. Ruh nya seakan menitis kembali kepada Ega kecil ku.

"Iya sayang, karena kamu Ega kecil kami." Jawabku.

"Mah... Bulik dulu cantik nggak." Tanya-nya kepada Ana, Ibunya.

Sejenak Ana menatapku sambil tersenyum. "Cantik banget sayang." jawab Ana.

"Cantikan mana ma Mama?"

"Ya masih cantik-kan Bulik mu dong sayang."

"Kalau ma Aku?" Tanya Ega kecil centil sambil bergaya menunjuk pipinya dengan telunjuk.

"Mmmm...." Ana bingung untuk menjawab-nya.

"Sama sayang, kalian sama-sama cantik." Jawabku. "Sudah ah, Berdo'a dulu yuk sambil kamu kenalan sama Bulik." Ajak-ku.

Dengan khusuk kami bertiga kembali memanjatkan doa di pusara Ega.

"Ga... Apa kabar, ini aku sama Ana datang. Kami juga membawa Ega kecil kami. Dia cantik Ga, dia cantik seperti kamu. Wajah-nya dan semua yang ada pada-nya mirip sekali sama kamu. Sekarang kami tak sedih lagi, karena ada Ega kecil di antara kami. Semoga kamu tenang di alam sana."

*****

Selesai berziarah ke makam Ega, kami langsung pulang ke rumah Ndoro Kakung, Bapak-ku. Di sana Ndoro Putri dan Ndoro Kakung -yang sekarang menjadi Eyang- sudah menunggu.

Mereka begitu kangen dengan Ega kecil kami karena Ega kecil kamilah yang menjaga kenangan Ega tetap hidup di keluarga ini. Di samping itu karena ini adalah pertama kali-nya kami pulang kampung setelah lima tahun merantau di Jakarta.

"Eyang..." Ega kecil langsung berlari dan melompat ke gendongan Ndoro Putri, Eyang-nya. "Eyang... Ega baru dari makam Bulik." Kata Ega Manja.

"Sini Eyang tunjukin photo photo Bulik mu." Ndoro Putri kemudian menggendong Ega kecil masuk ke kamar yang dulu menjadi kamar Ega.

Ana kemudian ikut menyusul Ega kecil dan Eyangnya masuk ke kamar Ega. Sementara aku duduk santai di teras rumah bersama Bapak. "Di, kamu katanya mau ikut magang Bupati Trenggalek ya?" Tanya Bapak.

"Iya Pak."

"Nanti kalau kamu jadi pemimpin, pesen bapak kamu kudu amanah. Ojo adigang adigung adiguno. Jangan sampai kamu terlibat korupsi, utamakan kepentingan rakyat di atas segalanya." Wejang Bapak.

"Enggih Pak."

"Sek yo sebentar, Bapak ada sesuatu buat kamu." Bapak kemudian masuk ke dalam rumah. Tak berapa lama kemudian Bapak keluar lagi sambil membawa sebuah kotakan kayu jati berukiran indah di tangan-nya. "Ini milik-mu ngger." Kata Bapak sambil memberikan kotak itu kepadaku.

"Ini apa Pak " Samar aku ingat dengan kotak ini. Ini adalah kotak yang ada di dalam kotakan kayu besar bersama dengan lukisan Ibu di gudang waktu itu. Terakhir kali aku ingat, dulu kotak ini terasa panas saat ku pegang, tapi kini kotak ini terasa begitu sejuk berada di tanganku.

"Bukalah" Perintah Bapak..

Perlahan aku buka kotak itu. Ku ambil sebuah bungkusan kain kafan yang berada di dalam-nya. Perlahan aku buka kain kafan yang membungkus sesuatu di dalamnya itu. Begitu aku buka, ternyata sebuah keris yang terbungkus di dalam-nya.

"Itu keris Kyai Drajat ngger, pusaka Trah Noyolesono. Dulu Bapak berikan keris itu kepada Ibumu, dan Mbah Sinem menggunakan keris itu untuk memotong pusarmu. Dulu keris itu terasa panas ngger. Tapi bersama dengan lunasnya sumpah Ibumu, keris itu kembali seperti sedia kala. Gunakan keris itu baik-baik ya ngger." Kata Bapak menceritakan keris itu.

"Iya Pak." Jawabku sambil meletak-kan keris itu di tempatnya semula.

Sejenak aku menerawang. Mengingat kisah yang telah terlewati. Walau penuh dengan duka, tapi suka juga tak kalah mewarnainya. Kisah klasik tentang cinta segi tiga dan penghianatan yang telah membangun jiwaku menjadi tangguh seperti sekarang ini. Loro bronto nandang cidro, from trenggalek with love akhirnya berakhir bahagia.

Wis sak mestine ati iki nelongso
Wong sing tak tresnani mblenjani janji
Opo ora eling naliko semono
Kebak kembang wangi jroning dodo

Kepiye maneh iki pancen nasibku
Kudu nandang loro koyo mengkene
Remuk ati iki yen eling janjine
Ora ngiro jebul lamis wae

Gek opo salah awakku iki
Kowe nganti tego mblenjani janji
Opo mergo kahanan uripku iki
Mlarat bondo seje karo uripmu

Aku nelongso mergo kebacut tresno
Ora ngiro saiki ne cidro








LORO BRONTO NANDANG CIDRO


copyright © 2013. siganteng_rusuh

EDITOR:
siganteng_rusuh


PROOF READER :
Mr jaya suporno
Mr reditya
Mr elmoscreamooo
Ms cath
Mr Sanoo
Mr Anova


TATA LETAK ISI :
siganteng_rusuh


DESAIN SAMPUL :
siganteng_rusuh


PENERBIT :
siganteng_rusuh production








TAMAT






copyright @ 2012/2013
Cerita hebat.....sy jg trharu bacax dan sepx jadi baper
 
Romansa berbalut mistisme dan juga adat budaya jawa, sebuah cerita yg indah. Terima kasih atas karya sastra yg indah ini, semoga senantiasa memberikan yang terbaik dalam karya karya berikutnya.
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Terima kasih suhu., anda menyajikan cerita yang luar biasa baguss :mantap:
dan terima kasih juga sudah mempromosikan kota Trenggalek, kota kecil yang masih asing :D.. sungguh penggambaran settingnya memang real apa adanya Trenggalek beberapa tahun lalu. sedikit info kota Trenggalek saat ini lebih tertata dan lebih banyak tempat wisata tentunya.. dan gadisnyaa jangan ditanyaa pasti:mantap: lah;)

sekali lagi terima kasih suhu:ampun:
 
Keren suhu..

:baris:
 
hu index daftar isi nya error di klik tiap chapter ko balik lagi ke halaman 1
 
Bimabet
Baca dulu .....
Again en again...
Tak pernah bosan karya Om Panjoel ini....
 
Status
Please reply by conversation.
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd