Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Keluarga Tabu

Bimabet
Part 7 Perbuatan yang Terungkap

Saat matahari pagi tiba, Sarah tersentak bangun oleh suara nyaring jam wekernya. Berdiri tegak, dia meregangkan tubuh dengan malas sebelum membereskan kamarnya setelah pertarungan sengit tadi malam. Merapikan selimut tebalnya dan menata sajadahnya dengan hati-hati sekali lagi, dia melirik ke arah waktu – saat itu sudah lewat jam enam. Biasanya sebagai seorang ibu yang taat, dia akan bangun pagi untuk sholat Subuh dan memastikan anaknya juga bangun pagi. Namun hari ini berbeda; alih-alih merasa bersalah karena melewatkan ritual suci dalam Islam yang sangat dijunjung tinggi oleh dia dan suaminya—dia malah tersenyum lembut ke cermin yang tergantung di dalam pintu kamar tidurnya yang luas.

Setelah mempersiapkan diri secara mental dan fisik, Sarah memulai harinya dengan penuh perhatian. Setelah mandi ia mengenakan legging putih sepaha pas bentuk yang menempel erat di setiap lekuk tubuhnya, memperlihatkan kulit yang cukup untuk menggoda siapapun yang melihatnya, dia mengenakan atasan crop top legging putih berlengan pendek yang menonjolkan perutnya yang masih terlihat kencang dan belahan dadanya yang besar. Rambut hitam sebahu tergerai di punggungnya sementara gelombang halus menambah volume di atas kepalanya. Ia menyisir rambutnya yang masih setengah basah setelah mandi. Tanpa repot dengan pakaian dalam di balik pakaian berbahan tipis atau bra yang menopang payudara penuhnya, dia bergerak dengan percaya diri di sekitar rumah. Meskipun hampir sepanjang pagi sendirian karena putrinya Naia masih tidur nyenyak di lantai atas, ada suasana sensualitas yang tak terbantahkan di sekitar Sarah saat dia hendak membuatkan sarapan untuk dua orang – satu piring masing-masing berisikan nasi goreng diatas piring keramik. Naia memiliki nafsu makan yang besar akhir-akhir ini.


Sarah dengan hati-hati meletakkan sepiring nasi goreng yang masih mengepul di atas meja sebelum mengambil laptop gratis yang baru diperolehnya dari kios gadget Terra Mall. Logo Windows 10 berwarna biru yang familiar muncul saat dia perlahan membuka tutupnya, dipenuhi dengan kegembiraan. Begitu layarnya menyala, ia meluangkan waktu sejenak untuk mengagumi desainnya yang ramping sambil mengirimkan foto barang yang ia dapatkan kepada suaminya melalui WhatsApp - meski ia tahu itu tidak perlu karena awalnya ditujukan untuk putri mereka. Namun, takdir berkehendak lain; alih-alih hanya menjadi penonton yang menyaksikan aktivitas mencurigakan di toko laptop tersebut, tanpa disadari dia menjadi saksi mata yang dapat mengidentifikasi kedua pihak yang terlibat secara langsung. Pergantian kejadian tak terduga ini tidak hanya memberinya beberapa keuntungan kedepannya tetapi juga memberinya hadiah gratis – sebuah laptop baru yang mengkilap kini terletak di samping piring makannya di meja yang sama tempat mereka berbagi banyak momen keluarga bersama.


Sarah mendapat respon dari pasangan tercintanya, Dior. Emoji ceria yang menghiasi pesannya tidak banyak menutupi ketegangan mendasar yang tampaknya selalu ada dalam pertukaran digital mereka. Meski begitu, Sarah hanya bisa tersenyum tipis; bagaimanapun juga, dia memahami tuntutan profesinya yang membuatnya sibuk pada jam-jam awal ini. Namun, ada kalanya emosinya menguasai dirinya – saat-saat di mana dia merasa diabaikan oleh sikap pria itu yang tampaknya menyendiri.


Namun tetap saja, dia menemukan penghiburan saat mengingat pertemuan penuh gairah yang mereka alami belum lama ini; bagaimana Dior membuatnya merasa diinginkan sekali lagi.

Mungkin itu hanyalah salah satu contoh singkat di mana dia membiarkan dirinya berkubang dalam rasa mengasihani diri sendiri sebelum kembali ke dunia nyata, mengingatkan dirinya sendiri mengapa dia memilih jalan ini bersamanya.


Di tengah renungannya, pesan lain dari Dior datang, membuat jantung Sarah berdebar kencang. Kata-katanya sedikit namun kuat, menyampaikan rasa kerinduan dan kerinduan mendalam yang bergema di dalam jiwanya. Dia berbicara tentang merindukan sentuhannya, kehangatan kulitnya di kulitnya, dan bisikan lembut yang biasa memenuhi kamar tidur mereka di malam hari. Seolah-olah dia bisa memahami isi dirinya, memahami dengan tepat apa yang perlu didengarnya untuk menghilangkan keraguan dan ketakutannya. Jadi, meski jarak memisahkan mereka secara fisik, Sarah merasa terhubung dengan Dior sekali lagi – terikat oleh cinta pantang menyerah yang melampaui ruang dan waktu.


Sarah menarik nafas dalam-dalam sebelum mengirim pesan kepada suaminya. Jari-jarinya perlahan menyentuh huruf yang dia inginkan [“Mama belikan laptop untuk Naia gapapa kan?”] Ia sedikit berhati-hati dalam memilih kata. Sarah menekan tombol kirim ke Whatsapp suaminya dengan penuh harap diatas kursi sambil menikmati hidangan yang telah dia siapkan sendiri.


Pintu kamar Naia terbuka pelan, disusul suara langkah kaki yang menggema di sepanjang lorong. Sarah memperhatikan putrinya muncul dari dalam kamar tidurnya. Ekspresi keterkejutan muncul di wajah Sarah ketika dia menyadari betapa percaya diri Naia membawa dirinya. Ia melihat anaknya keluar dari dalam kamarnya hanya menggunakan celana dalam hitam dan bra hitam ukuran sedang.


Dengan kesadaran yang belum penuh, Naia meluncur melewati ibunya, tidak menyadari tatapan yang tertinggal di belakangnya. Naia melewati mamanya tanpa sadar menuju kamar mandi.


Sementara itu, Sarah mendapati dirinya terpesona melihat punggung telanjang putrinya yang terlihat di balik bahan halus bra dan set celana dalamnya. Mencuci muka dan kencing sebentar, ia mengambil segelas air dari galon air di samping kulkas. Sarah melihat putrinya yang memasang sikap polos bingung mengapa hal itu terasa begitu intim baginya.

Sarah tidak bisa menahan senyum ketika dia melihat putrinya dengan santai menuangkan isi galon air itu ke gelas kosong digenggamannya, Naia tidak menyadari bahwa air putih itu mengandung lebih dari sekedar penyegaran untuk tenggorokan keringnya.


Faktanya, itu berisi ramuan khusus yang dicampur oleh Sarah sendiri – ramuan yang dirancang untuk meningkatkan feminitas dan gairah yang tak terkira. Dosis estrogen, progesteron, dan prolaktin yang diperhitungkan dengan cermat tidak hanya membantu perkembangan payudara; itu juga harapannya akan membuat Naia sangat memikat di setiap kesempatan. Lalu ada flibanserin, bubuk yang dilarutkan dalam air yang akan menjamin aktivitas hiperseksual yang konstan. Bagi seseorang yang bangga menjadi seorang ibu-dokter, eksperimen kecil ini hanyalah bagian dari peran sebagai orang tua.

Saat Sarah mengamati gerak-gerik putrinya, dia merasakan gelombang rasa bangga membuncah di dadanya. Dia tidak hanya mampu menciptakan ramuan yang begitu kuat, tapi dia juga bisa melihat efeknya pada Naia secara langsung. Cara gadis muda itu bergerak di dapur, sepertinya tidak menyadari kekuatan sensual yang dimilikinya, membuat Sarah merinding. Setiap pandangan, setiap sentuhan, menjadi bermuatan listrik saat Sarah membayangkan wanita seperti apa yang akan menjadi Naia di bawah bimbingannya. Itu menggetarkan sekaligus menakutkan—pemikiran bahwa dia memegang begitu banyak kendali atas nasib orang lain—tetapi pada akhirnya, hal itu memenuhi hatinya dengan kegembiraan karena mengetahui bahwa dia bisa membentuk Naia menjadi bentuk apa pun yang dia inginkan.


Coklat batangan dan beberapa pisang juga siap dimakan. Sarah taruh dalam kulkas meskipun Naia mungkin hanya melirik bagian rak berisikan coklat saja, Sarah berusaha mendidik anaknya sedikit demi sedikit memakan buah buahan.


Ah ya, Sarah juga merasa ragu dengan situasi ini. Bukan hal yang aneh jika anak-anak tidak terlalu menikmati buah-buahan seperti itu karena berbagai alasan seperti preferensi rasa atau masalah aksesibilitas. Di era modern ini, ketika makanan olahan yang mengandung bahan kimia tambahan dan pemanis buatan menjadi lebih populer dibandingkan sebelumnya, orang dapat berargumentasi bahwa menurut sudut pandangnya, hal ini bukanlah masalah yang mendesak.


Saat dia melihat putrinya berdiri terpaku oleh gelas berisi minuman misterius, Sarah tidak bisa tidak mengagumi betapa tinggi dan percaya diri Naia - dengan tinggi badan 168 cm yang mengesankan bahkan selama masa remajanya. Sinar lembut sinar matahari pagi yang mengalir melalui jendela seakan menyinari setiap inci kulitnya dengan kehangatan dan cahaya; menyorot setiap kurva dan kontur dengan sempurna. Meski sadar bahwa anaknya masih tumbuh dengan cepat, ada sesuatu yang menawan saat melihatnya berkembang menjadi seorang wanita muda yang anggun tepat di depan matanya.


Dengan pandangan sekilas ke arah area dadanya, Naia meletakkan gelas kosong sebelum dengan lembut mengusap kain hitam yang menutupinya – merasa sedikit diyakinkan oleh kekencangan gelas itu di telapak tangannya. Dia tidak bisa menghilangkan pemikiran yang mengganggu bahwa mungkin ada sesuatu yang salah mengenai payudaranya yang berkembang lebih awal dari yang diharapkan mengingat usianya. Namun, dia mencoba meyakinkan dirinya sendiri sebaliknya; mungkin itu normal saja? Atau mungkin perasaannya salah kaprah? Hanya waktu yang akan membuktikan apakah keraguan ini berpengaruh atau tidak..


Setelah menghilangkan dahaga, Naia merasakan sedikit getaran di sekujur tubuhnya. Napasnya tercekat sejenak saat sensasi bergejolak di dalam dirinya, menyebabkan kontraksi tak disengaja di sepanjang ujung saraf di vaginanya. Dia berjuang untuk menekan dorongan ini, berusaha mati-matian untuk mengabaikan desakan yang terus-menerus datang dari lubuk hatinya. Memaksa dirinya kembali fokus, dia mengambil camilan dari lemari es dan mengambil beberapa napas menenangkan sambil mencoba mendapatkan kembali kendali atas gairahnya yang meningkat dengan cepat.


Saat Naia berbalik untuk mengambil sebatang coklat dari lemari es, dia tidak bisa tidak melihat ibunya duduk di meja, asyik dengan laptop baru. Perangkat itu berkilauan di bawah lampu, memancarkan cahaya biru ke wajah Sarah yang diterangi oleh pendaran lembut layar. Ada sesuatu yang hampir tidak nyata dalam adegan ini; seperti melangkah ke dunia lain sepenuhnya. Sebagian dari dirinya ingin bertanya tentang benda itu, namun suara lain di dalam dirinya memperingatkan agar tidak mencampuri urusan terlalu dalam yang bukan urusannya secara langsung.


Karena penasaran, Naia mau tidak mau mempelajari desain laptop yang ramping serta layarnya yang cerah. Pandangannya mengikuti gerakan ibunya dengan seksama, memperhatikan setiap klik pada keyboard dan sesekali melirik ke arahnya sebelum kembali ke tugas apa pun yang kebetulan sedang dia kerjakan. Sesuatu memberitahunya bahwa ketertarikan barunya terhadap teknologi ini tidak akan hilang dalam waktu dekat; tidak ketika ada begitu banyak kemungkinan menarik yang menunggu di luar batas rumah kecil mereka.


" Ada apa sayang? Apakah semuanya baik-baik saja sayang?" Sarah bertanya, jari-jarinya meluncur dengan mudah di atas keyboard. Suara klik berirama memenuhi ruangan, menciptakan melodi yang menenangkan yang sepertinya selaras dengan kehadiran mereka bersama. Terlepas dari pertanyaan yang tidak berbahaya, ada rasa ingin tahu yang mendasari dalam nada bicaranya – seolah-olah dia tahu persis pikiran apa yang melintas di benak Naia. Dan mungkin dia melakukannya…


Tiba-tiba menyadari betapa dekatnya dia berdiri di belakang ibunya, Naia ragu sejenak sebelum mengumpulkan keberanian untuk bertanya tentang laptop tersebut. "Eh, itu laptop baru mama?" Suaranya terdengar lebih pelan dari yang diharapkan, nyaris tak terdengar di tengah dengungan samar kipas pendingin komputer. Saat dia menunggu jawaban dengan cemas, gambaran terlintas di benaknya – adegan ibunya mengetik dengan marah hingga larut malam, kehilangan konsentrasi saat dia menelusuri file dan dokumen yang tak terhitung jumlahnya. Mungkin ini hanyalah imajinasinya untuk menguasai dirinya sekali lagi…


Sarah tersenyum hangat ke arah putrinya sambil mengesampingkan laptopnya sebentar. "Iya sayang," jawabnya sambil mengulurkan tangan untuk menyisir sehelai rambut ke belakang telinga Naia. "Ini untukmu. Hadiah dari papamu dan aku."


Ada nada kasih sayang dalam kata-katanya yang membuat punggung Naia merinding; seolah-olah mereka berbagi pemahaman yang jauh lebih dalam dari sekedar peran sebagai orang tua. Pada saat itu, dia mendapati dirinya mendambakan kedekatan yang lebih erat dengan ibunya – hanya ingin merasakan tangan-tangan familiar yang membimbingnya melalui perjalanan hidup bersama.


Naia tersipu di bawah tatapan ibunya, campuran keterkejutan dan kegembiraan mengalir di nadinya. Laptop ini menunjukkan dirinya jauh lebih unggul dari apa pun yang pernah dilihat sebelumnya - lebih ramping, lebih cepat, dan jauh lebih elegan. Jelas sekali bahwa ini bukan sekadar teknologi biasa; tidak, ini adalah sesuatu yang sangat istimewa. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Sarah mengulurkan tangan dan menekan tombol daya menghidupkan ulang laptop, menyaksikan mesin itu hidup dengan dengungan lembut.


Merasakan pemikiran putrinya, Sarah menambahkan dengan meyakinkan, "Kami pikir ini mungkin berguna untuk tugas sekolahmu, dan mungkin kamu bisa memasang beberapa permainan menyenangkan di sini." Mendengar penjelasan ibunya dan senyuman lembutnya, Naia mau tidak mau merasakan sedikit kegembiraan bercampur ketakutan. Ini jelas merupakan pembelian yang mahal, yang menunjukkan tingkat kepercayaan dan tanggung jawab yang belum sepenuhnya dia pertimbangkan sebelumnya. Namun saat dia menatap mata Sarah, dia tidak melihat apa pun selain cinta dan dorongan yang terpancar dari dirinya. Mungkin ini memang akan menjadi perjalanan yang luar biasa – perjalanan yang akan membawa mereka lebih dekat satu sama lain daripada sebelumnya.


Sarah mengamati putrinya dari ujung kepala sampai ujung kaki, memperhatikan setiap detail penampilannya. Ada sesuatu dalam cara Naia membawa dirinya hari ini – suasana percaya diri bercampur dengan kerentanan yang membuat hati Sarah dipenuhi rasa bangga dan protektif. Dia memperhatikan perubahan halus dalam bahasa tubuhnya sejak masa pubertas; cara dia bergerak sekarang memiliki keanggunan tertentu yang mengisyaratkan kedalaman tersembunyi dalam karakternya. Saat mata mereka bertemu, Sarah bisa melihat pantulan emosi serupa yang tercermin dalam tatapan Naia. Mereka berdiri di sana beberapa saat lebih lama,


“Pakaianmu kemana sayang?” Sarah masih melihat tubuh anaknya dengan tatapan penasaran.


Naia menundukkan pandangannya, memalingkan muka sambil berkata,” E-eh i-itu ya.. ya itu karena pakaian tidur adek belum adek cuci ehehe…”


Sarag terkekeh pelan, ekspresi penuh pengertian muncul di wajahnya setelah mengamati beberapa hari kebelakang kondisi rak baju kotor anaknya.“Oh gitu, gapapa kok sayang… habis ini cuci bajunya yah. Mama liat udah numpuk banyak banget disitu pakaian kamu. Jangan males yah sayang, belajar pelan-pelan jadi anak rajin.” Sarah mengarahkan pandangan matanya ke arah rak baju kotor milik anaknya.


“I-iyah mah, habis ini adek cuci.” Ucap Naia dengan rasa bersalah.

Sarah membelai bahu putrinya dengan penuh kasih, merasakan tekstur lembut kulit mudanya di bawah ujung jarinya. Seolah-olah waktu telah berhenti bagi kedua wanita ini – yang satu baru memasuki masa remaja sementara yang lainnya memasuki usia paruh baya. Ikatan mereka melampaui sekedar kata-kata atau tindakan; itu ada dalam setiap napas yang mereka ambil dan setiap detak jantung mereka. Saat ini, Sarah berusaha mengungkapkan rasa cintanya melalui tindakan sederhana namun bermakna – berjanji akan menghargai kemandirian putrinya dengan memberikan sesuatu yang istimewa.


Dengan penuh pengertian, ia mencoba menyenangkan anaknya dengan pilihan,”Kalo Naia udah rajin nyuci pakaian sendiri mama janji bakal beliin kamu baju baru lagi untuk dirumah.”


”BENERAN MAMA MAU BELIIN BAJU BARU LAGI BUAT ADEK? Okey, adek bakal lebih rajin lagi mulai dari sekarang.”


Saat Naia meninggikan suaranya dengan penuh semangat, Sarah hanya bisa tersenyum bangga melihat tekad putrinya. Ruangan itu dipenuhi kegembiraan saat mereka berbagi momen manis bersama. Naia berputar-putar sambil bercanda sebelum jatuh ke pelukan Sarah, terkikik tak terkendali. Untuk sesaat, waktu seolah berhenti bagi kedua wanita ini yang menemukan pelipur lara dalam pelukan satu sama lain di tengah banyaknya tantangan hidup. Mereka terikat tidak hanya oleh darah tetapi juga oleh benang cinta yang tak terpatahkan yang menghubungkan mereka secara mendalam pada tingkat yang jauh melampaui apa yang bisa diungkapkan dengan kata-kata.


Sarah menarik kursi dari tempatnya menyuruh putrinya duduk di sampingnya, “Buruan makan. Mama bikinin nasi goreng buat kamu, habisin yah sayang.” Naia menganggukan kepala segera menghabiskan sarapan paginya.


Sarah melihat putrinya memakan masakan buatannya dengan lahap dengan pakaian dalam membuat jantungnya berdegup. Darah daging yang ia lahirkan, buah dari sperma pria yang dia sayangi sangat menawan dan imut. Ia berharap anaknya menjadi seperti dirinya dulu, berani mengambil keputusan dan percaya diri dalam setiap pilihan yang diambil. Sebagai orangtua yang baik Sarah siap mendukung apa yang putrinya mau.


Sarah melanjutkan aktivitas paginya. Menghidupkan tv dengan volume kecil untuk meramaikan kondisi rumah,membuka jendela dan menyibak kain gorden, mengikatnya sambil menatap kondisi lingkungan rumahnya. Ia menyapu seluruh lantai yang ada didalam rumah dengan pakaian leging pendek ketatnya. Sarah membiasakan dirinya tampil di depan anaknya semolek mungkin. Pakaian mini memang sangat dilarang dalam agama islam dan dia percaya itu. Tapi siapa yang menyalahkan dirinya ketika hanya ada dua orang didalam rumah yang cukup lebar ini. Tak ada yang menyalahkan dan melabeli dirinya berdosa.

Pakaian mini dan keimanan menurutnya adalah hal yang sama sekali tidak berkaitan. Suaminya bahkan tidak pernah mengatakan apa-apa jika ia sering menggunakan pakaian mini didalam rumah. Dan menurut Sarah itu cukup membuktikan bahwa tidak terjadi apa-apa dan tidak ada yang mencaci maki dirinya dirumah. Kebebasan yang diberikan suaminya sangat membuat Sarah merasa nyaman menjadi dirinya sendiri dan menemukan sebuah kesenangan dan obsesi kecil, terutama pada putrinya.


Setelah Naia selesai mandi, ia segera kembali ke kamar dan membawa setelan pakaian ke mamanya. Naia keluar kamar dengan bra putih dan cd satin putih. Naia menyerahkan kaos pink dan celana jeans mini ke mamanya.


Mamanya tersenyum, ia melihat tingkah laku putrinya seperti anak kecil dengan raut muka manjanya berdiri di depan. Sarah membantunya mengenakan kaos pink dan celana jeans mini. Celana jeans tersebut cukup ketat untuk menggambarkan lekuk tubuh putrinya, memperlihatkan kaki ramping dan bokong kecilnya.


"Ih mama jangan gitu… adek kaget." Sarah meremas pantat putrinya tiba-tiba.


"Mama gemes sama kamu hehe," Sarah tersenyum sambil mengancingkan celana jinsnya, memikirkan betapa miripnya Naia dengannya ketika dia masih muda.


"Bu, kamu tahu? Kurasa aku akan mulai lebih banyak berolahraga," kata Naia sambil melenturkan lengan mungilnya. "Aku ingin menjadi kuat sepertimu."


Sarah tersenyum pada putrinya dan mengacak-acak rambutnya dengan penuh kasih sayang. "Oh, sayang. Kamu tidak perlu khawatir tentang itu. Kamu sudah cantik apa adanya."


Naia cemberut. "Tapi Bu, aku ingin menjadi kuat, sepertimu. Ibu adalah orang terkuat yang kukenal."


Sarah tertawa pelan, matanya berbinar bangga. "Oh sayang. Kamu sudah kuat dengan caramu sendiri. Kamu memiliki hati yang baik dan selalu ada untukku saat aku membutuhkanmu. Itu yang membuatmu kuat."


Dia mengacak-acak rambut Naia lagi, tangannya menempel di bahu putrinya. Memang benar Naia memiliki bokong yang lumayan berisi, tapi Sarah tahu bukan itu satu-satunya hal yang membuat putrinya istimewa. Ada lebih dari sekedar penampilannya.


Dirinya mengingat momen mengapa Dior memilihnya. Sifat yang mau diatur, tidak gampang kepo, jarang bermain sosmed, dan mau mengakui jika ada salah dia rasa membuat Dior mau dengannya hingga sekarang.


"Mama, laptopnya aku bawa ke kamar yah." Ucapnya sambil menyunggingkan senyuman.


"Okey, tentu saja. Tapi jangan lupa waktu main laptopnya sayang," jawab Sarah dengan nada sedikit khawatir. Dia tahu betapa mudahnya anak zaman sekarang menghabiskan waktu dengan cara yang tidak bijak. Dia ingin sesekali memantau anaknya nanti sambil bertanya beberapa pertanyaan saat bermain dengan laptop barunya. Namun, setelah melirik kembali ke dalam lemari pendingin, sayuran dan beberapa bahan makanan nampaknya perlu di isi ulang.


Sarah mengikat rambut hitam gelombang nya, mengambil topi baseball hitam dari lemari baju, dipakaianya itu lalu menyemprot parfum sedikit di beberapa bagian tubuh. "Sayang, mama mau pergi kepasar sebentar, mau nitip apa, atau mau ikut sama mama?" Suara Sarah menggema di ruangan, bertanya pada putrinya yang telah pergi ke dalam kamar.


"Em…ngga dulu deh, gerah diluar, rame juga banyak orang. Biar adek yang jaga rumah aja." Naia berteriak dari dalam kamar, membuka pintu kamarnya sedikit lalu berkata,"Adek nitip milkshake aja satu, " belum sempat Sarah mengiyakan, putrinya mengucap kembali, "Oh ya sama pizza yang kecil aja satu yah mama…" Naia mengucap dengan nada manjanya.


"Oke, jaga rumah ya sayang. Mama pergi dulu." Sarah menenteng tas kecil, mengambil kunci mobil, memakai sandal lalu pergi kepasar terdekat.


Naia mendengar mamanya keluar membawa mobil Supra dengan kecepatan rendah. "Hehe, mama udah pergi," ia melepas kembali pakaian luarnya, menggunakan bra dan celana dalamnya didalam kamar. Melihat fitur dan cara menggunakan laptop dengan benar di YouTube, berusaha beradaptasi dengan barang barunya.


***


Di sudut ruangan sempit dengan penerangan seadanya, tampilan monitor sebuah komputer diatas meja kerja menunjukkan video cctv seorang pria tua pendek dengan tubuh sedikit renta menggerayangi tubuh mungil gadis berpakaian muslimah di atas kasur kecil. Pria tua berambut putih itu menjilati seluruh bagian kulit gadis kecil yang tidak tertutupi oleh kain gamis. Tangan cerahnya, jari lentiknya, wajah imutnya, kaki mulus tanpa bulu dan jari kakinya yang indah habis dilumuri cairan ludah karena permainan lidah pak tua itu. Mereka berdua tiduran diatas kasur merah tua, gadis muda itu berada dibawah terlentang dengan mata menyipit menahan aksi dari pria tua yang – setiap gerak tubuhnya – selalu meneteskan peluh keringat. Deru nafas pria itu membumbung tinggi dengan gairah nafsu seks sudah diujung batas.


Gadis itu hanya diam, respon yang wajar untuk anak baru melewati masa pubertas digerayangi oleh pria tua entah siapa. Dengan sedikit mengendurkan pertahanannya ia berusaha menikmati apa yang dia rasakan kini. Sensor sarafnya tak henti-hentinya membuat tubuhnya tersentak akan kenikmatan. Walaupun begitu, ia masih berusaha menahan kekuatan otot pria tua yang telah menindih tubuhnya dengan raut wajah penuh dengan nafsu. Tubuhnya masih kaku karena perlakuan yang tiba-tiba datang.


Di kehidupan lamanya tidak pernah seorang pun memperlakukan dirinya seperti ini. Sebuah dilema kecil dari lubuk hatinya seringkali mempertanyakan keadaannya sekarang. Namun, mengingat kedua orang tuanya telah tiada membuat dirinya harus berjuang tangguh apapun yang terjadi selama dia masih bisa hidup dengan aman dan nyaman.


Sudah tiga kali pertemuan gadis itu dengan pria tua berkumis yang memiliki kulit kendor di beberapa raut wajahnya. Dan sekarang adalah pertemuan keempat kalinya. Dia mencoba menerima realitas apa yang terjadi sekarang di depan matanya, menerima sedikit demi sedikit perlakuan yang menurutnya aneh. Pria tua berambut putih dengan potongan rambut pendek sedang meremas kedua payudaranya yang masih bertumbuh. Kulit coklat pria tua itu bersentuhan dengan kulit gadis suci bersih, putih dan terawat. Jari-jarinya menari dengan nafsunya yang membara. Menyentuh segala bentuk kontur tubuh gadis mungil dibawahnya dan menyusurinya dengan nafas tak karuan.

Kontolnya berdiri sangat gagah saat sesi berlangsung. Setiap dirinya menikmati hidangan tubuh gadis itu, cairan kental mengalir lembut dari lubang kontolnya. Cairan pre-cum pria tua itu menetes kemana-mana. Kondisi ruangan sempit semakin memanas selama sesi terus berlangsung. Ada empat mata pria tengah melihat aktivitas mesum itu dari ruangan kerja yang dingin dengan sikap menyilangkan kedua tangan didada.

“Aku harap pria itu tidak terlalu memaksakan kehendaknya, bukankah begitu Pak Ustaz?” Pria dengan kemeja hijau rapi penuh lencana penghargaan kemiliteran dari pemerintah tengah bicara dengan suara yang sangat berat. Ia berdiri disamping seorang Ustaz pemilik pondok pesantren yang telah didirikan dengan alasan tertentu.


Suara pak ustaz tertahan, mencoba menyusun kalimat di kepala dengan benar. Ia melihat santriwati nya telah melakukan perbuatan yang sangat cabul dengan pria tua itu. "Se-semoga begitu pak. Bahkan saya saja belum menikmati tubuhnya seperti yang dilakukan orang itu sekarang."


Ia menelan ludah. Hasrat ingin menyetubuhi anak didiknya sendiri memang ada, tetapi lebih besar rasa ketakutannya terhadap Dior. Kembali ke masa lalu ia ingat betapa menyiksanya waktu ia masih di dalam penjara. Kekerasan verbal non verbal sudah ia rasakan hampir tiap hari di sel penjara. Kasus pencabulan yang dia lakukan pada anaknya sendiri membuat dirinya ditinggalkan oleh istri sahnya. Ia ingat begitu jelas bagaimana gerak tangannya Dior dan ucapannya ketika berbincang di depan sel penjaranya. Dan kembali ke saat ini setelah dia dibebaskan oleh Dior, ia masih berhutang budi banyak padanya. Ia sedikit takut untuk memberikan argumen – yang bisa saja salah – menurut Dior.


Menggaruk kepala, Ustaz Ridwan menuturkan kalimat dengan sangat hati-hati, menundukkan kepalanya selagi berhadapan dengan Dior, "A-apakah sesi nya sudah cukup? Kurasa gadis itu sudah ngga bisa nahan gerakan impulsif dari pria itu. "


Dior mendengar kalimat itu memalingkan muka, melihat ekspresi wajah yang ditampilkan seorang ustaz. "A-apa katamu? Pria itu aja belum crot. Ngga usah khawatirkan anak didikmu, dia bakal aman."


Pria tua dengan tubuh sedikit kurus termakan usia tengah asyik menikmati tubuh gadis muda di ruangan itu. Ustaz Ridwan selaku guru dan pemilik pondok pesantren melihat anak yang ia bina mengepalkan kedua tangannya dengan rasa cemas. Ia berharap gadis itu tidak mengalami trauma setelah sesi selesai.


"Tugasmu adalah membuat anak didikmu menjadi terlatih dan terbiasa dengan perilaku mesum yang akan mereka rasakan nanti. Lakukan sebaik mungkin, buat mereka nyaman dan melupakan masa lalu mereka menjadi pribadi yang baru." Dior menatap kedua mata Ustaz Ridwan dengan tegas.


"Aku sudah mengeluarkan uang cukup banyak untuk pondok pesantren yang kamu buat. Aku harap aku tidak salah berinvestasi padamu."


"K-kalau saya boleh meminta, saya ingin seorang istri, tapi itu jika bapak berkenan."


Dior mengernyitkan dahinya, "Apa maksudmu? Alasan apa yang membuatmu butuh seorang wanita jika sekarang sudah ada murid perempuan yang kau miliki? Kurasa kamu kurang bersyukur Ustaz Ridwan" Ucap Dior dengan nada kesal.


"Ya-ya i-itu karena akan lebih mudah jika mereka dibimbing oleh orang perempuan dewasa karena figur seorang ibu bagi anak-anak remaja masih dibutuhkan. Mungkin bisa saja mempercepat proses pendewasaan mereka. Meskipun saya bisa saja meneruskan tanpa adanya seorang istri. Pun kalau bapak mau." Ustaz Ridwan menggaruk kepalanya, ia berharap tidak dicap sebagai orang yang kurang ajar.


Dior terdiam dengan pandangan kosong mencerna apa yang barusan ia terima sebagai permintaan. Di dalam pikirannya mungkin lebih mudah bagi gadis muda itu dibimbing oleh orang tua berjenis kelamin sama dengan mereka. Dior mencoba memahami apa yang diinginkan Ustaz Ridwan dengan baik. Seorang ibu lebih cepat menangkap sinyal anaknya yang sedang mengalami suatu peristiwa; seperti mendengarkan cerita maupun apa yang dirasakan anaknya. Dengan begitu mereka lebih cepat akrab dan lebih mudah untuk dimanipulasi serta dikontrol dengan bebas.


“Hmm… sepertinya masuk akal permintaanmu barusan. Memiliki orang tua yang mudah bergaul dengan anaknya adalah keuntungan besar, dan mungkin di keluarga normal itu adalah anugrah yang tak bisa dibeli dengan uang. Apalagi di zaman sekarang ini. Melalui seorang ibu yang mereka sayangi, mereka akan sangat cepat peka dengan apa yang diinginkan oleh ibunya daripada ayah mereka yang jarang ada dirumah. Meskipun kasusmu sekarang sangat berbeda. “

Ustaz Ridwan mengatur ulang posisi tubuh tegapnya, menggerakkan sebagian anggota tubuh, mengurangi tekanan yang tengah terjadi di dalam percakapan mereka. Sesekali ia menatap kedua mata Dior dengan perasaan patuh dan tunduk. Cukup masuk akal bagi dirinya meminta hal seperti itu. Lagipula hal itu cukup mudah didapatkan dengan uang.


Mengendurkan otot bahunya, Dior menyentuh pundak Ustaz Ridwan dengan ringan. “Baiklah, aku akan mencarikan seorang istri untukmu. Aku nggak bisa memberimu kepastian kapan, tetapi aku berjanji akan mendapatkannya. Dan teruslah bekerja dibawah komandoku, kau tak usah takut. Semua persoalan logistik aku yang tanggung. Tujuanku hanya satu, membuat sebuah kebiasaan baru untuk menjawab perkembangan zaman sekarang.”


“B-baiklah Pak, saya sangat berterima kasih atas perhatian bapak. Apakah ada pekerjaan lagi bagi saya disini?” Ustaz Ridwan mengendorkan sarafnya yang tegang sedari tadi. Suaranya mengalun pelan di telinga Dior. Ia mengusap bulir keringat di dahinya selagi bersikap layaknya seorang asisten sekarang.

“Kurasa sudah saatnya kau memanggil bocah itu. Aku ingin mempertegas posisinya di tempatku sekarang.” Dior melirik jam dinding mengarah pukul dua belas siang.

“T-tapi pak, apakah anda yakin memperlihatkan ayah kandungnya sedang bersenggama dengan seorang gadis sekarang?”


“Memang itu tujuanku. Aku tidak peduli dan tidak masalah soal respon apa yang bocah itu perlihatkan nanti. Sudah saat nya dia memahami peran dan tugas yang dia lakukan sekarang,” Dior mempertegas nada bicaranya, “Panggil dia kesini. Kurasa dia masih melihat proses agrikultur di perkebunan ***** dekat dengan menara mercusuar di sebelah utara pulau.”


Dengan posisi sigapnya Ustaz Ridwan mengatakan, “Baik Pak, siap laksanakan.”


Dior menatap sekeliling sendirian di ruang kerjanya. Ia memanggil pria tua yang sedang asyik mencabuli gadis muda dengan telepon. Dering telpon menganggu aktivitas sensual mereka, sesaat pria tua itu mengangkat panggilan itu, "Ada apa? Kontol aku aja belum masuk ke memeknya, mau apa kamu Dior?" Ia berbicara kasar karena telah diganggu.


Dior tertawa, " Hahaha, sopan kali kau jadi orang tua. Anak semata wayang mu akan ku panggil ke kantor, akan kuperlihatkan wujud aslimu yang sebenarnya. Akan ku kasih tau dia kalo ayahnya sendiri sangat cabul. Ku harap kau tidak keberatan."


Pria tua itu tertawa terbahak-bahak, "Ahahaha… mau berapa lama lagi kau menurunkan harga diriku setelah kau sita semua aset dan surat penting yang kupunya. Dasar bajingan berdasi. Ahahaha."


"Jadi maksudmu tidak masalah?"


"Terserah kau, aku tak peduli dengan anakku sekarang, kasih tau dia, aku ga masalah, DASAR ANJING PEMERINTAH."


"Hahaha.. mulutmu itu perlu disekolahkan lagi pak tua. Jangan harap anakmu menghormatimu lagi mulai dari sekarang."


Pak tua itu marah, "Surat tanah sepanjang pantai dekat pulau yang kau beli sekarang ada ditanganmu. Kau mau apalagi sekarang? Apa kurang cukup? Kurasa kau terlalu berhati-hati sebagai bajingan berdasi."


"Ahahaha… memang aku seorang bajingan. Sudah sepantasnya aku mengamankan surat itu. Aku tak mau kau tiba-tiba menjual tanah yang kau punya selain kepadaku. Aku tak mau hal itu jadi masalah nanti. "


"Tunggu saja kau bajingan. Wajah kau tak pernah di bogem orang kan? Lain kali aku akan memukulmu. " Teriak pria itu.


"Ahahah… itu kalau kau mau. Sudahlah tak usah berdebat. Nikmati saja semua fasilitas yang aku berikan. Kau tinggal duduk santai dan ga usah ikut campur. Lagian kau tu pria tua dengan nafsu besar. Gadis kecil aja kau setubuhi. Dasar pria otak mesum. Ahahaha…"


"Babi kau… yang ngasih aku cewek kan dirimu anjing! Yakali ga di apa-apain. Bajingan pemerintah. Uahahaha…"


Dior tertawa melihat ekspresi wajah pria kesal itu dari layar monitor. Dia melihat sebuah harapan kecil. Bagaimana orang tua itu telah berubah sifatnya 180 derajat akibat beberapa minuman yang membangkitkan gairah nafsu seksual. Mungkin pria tua itu tahu. Atau mungkin juga tidak. Atau dia malah menikmati sebuah sensasi nikmat dari efek minuman yang dia rasakan didalam tubuhnya.


Dior tengah mengembang beberapa obat perangsang khusus yang diproduksi langsung dari laboratorium miliknya. Istrinya membantu pengembangan proyek dirinya dari balik layar. Sebuah ikatan cinta dan tujuan pribadi menjadi suatu hal spesial antara mereka berdua. Beberapa percobaan selain obat obatan juga tengah dilakukan di dalam laboratorium miliknya. Dan kini pria tua itu adalah salah satu objek uji coba meskipun tanpa adanya surat perjanjian khusus.


Bagi Dior, penawaran hidup serba mudah kepada pria tua itu sangatlah menarik dan tak bisa ditolak. Profesi sebagai nelayan mungkin cukup untuk menghidupi dirinya dan anak satu-satunya. Tetapi usia tidak bisa berbohong. Penawaran Dior telah membuat pria itu sangat senang. Diberikan kamar pribadi, rumah kecil di dalam pulau milik Dior dan tak memusingkan soal uang cukup membuat pria itu mau dan mengikuti Dior. Terlepas dari perkataan dan sikapnya yang kurang ajar.


"Apalagi yang ingin kau katakan? Ganggu orang aja kau bodoh–" Pria tua itu menutup panggilan, loncat ke arah tubuh gadis kecil dan melepas pakaian gamisnya pelan-pelan.


Dior tertawa sambil menenggak kopinya. Melihat aksi pria tua cabul itu membuat dirinya tak sabar ingin mencicipi tubuh anak kandungnya juga. Ia ingin anaknya tumbuh jadi gadis yang terbuka dan penurut. Tetapi ia paham, dirinya tak boleh terburu-buru dalam bertindak. Untuk sekarang dia hanya menunggu. Cepat atau lambat memek anak kandungnya akan terisi dengan spermanya sendiri. Sebuah fantasi yang sangat diinginkan dirinya. Dan Sarah, sebagai istri dia pasti paham keinginan Dior. Keluarga kecil tumbuh dengan kasih sayang yang sebenarnya.


Setengah jam berlalu.


"Assalamualaikum" Luby memasuki ruangan kerja Dior yang berada cukup jauh dari tempat sebelumnya dengan berjalan kaki.


"Waalaikumsalam, masuk"


"Ada apa bapak memanggil saya kemari." Luby membasuh keringat lehernya dan di wajahnya dengan kaos putih nya. Sebisa mungkin ia hormat dengan Dior, karena ia sudah membantu keluarganya keluar dari kemiskinan.


"Oh aku mengerti kamu lagi belajar di area perkebunan. Apa yang kamu dapat selama ini?"


"Em… curah hujan sangat penting bagi tanaman. Pupuk dan pengecekan setiap minggu wajib dilakukan. Dan bibit-bibit tanaman yang unggul akan buruk jika tidak dipelihara dengan baik. Baru itu saja yang saya dapatkan pak."


"Oke. Baiklah, tetap terus belajar karena proyek ini juga salah satunya berkat bantuan ayahmu. Jangan sampai dia kecewa."


"Ba-baik pak. Saya akan terus mempelajari hal hal baru yang ada di pulau ini."


"Duduklah di kursi, aku akan memperlihatkanmu hal yang penting." Dior tersenyum dengan pikiran anehnya.


"Bagaimana pandanganmu tentang ayah mu sendiri. Aku ingin tahu."


Ia kemudian meraih kursi duduk dengan posisi sempurna. Luby hanyut seketika dalam lamunan, mengingat masa lalu nya sekilas. "Ayahku pernah bercerita bahwa dia adalah tawanan tentara yang kabur, dia dulu seorang aktivis PKI, dia kabur sampai ke sini ke Pulau Batam. Keluarganya tak tahu dimana sampai sekarang. Bisa dibilang ayah saya meninggalkan identitas lamanya dan menetap di bibir pantai sini. Membangun keluarga kecilnya sebagai nelayan. Dan aku adalah anak satu-satunya yang ia besarkan bersama istrinya. Meskipun aku tahu kenapa istrinya meninggalkan dirinya. Bagi saya ayah saya sangat penyayang dan mendidik saya dengan baik hingga sekarang. "


Dior tersenyum. Perjuangan ayahnya melanjutkan hidup memang patut diapresiasi. "Kamu ingat kenapa ayahmu ditinggalkan oleh istrinya"


Luby menatap kosong ke langit ruang. "Huft, ayah saya tertangkap selingkuh dengan wanita lain. Saat itu juga istrinya pergi tanpa ada kabar. Saya memang kesal saat itu. Sebagai anak kandungnya, anak dari darah daging istrinya, saya kesal dan ingin membunuhnya. Tapi saya takut akan jadi bermasalah.” Luby menarik nafas dalam-dalam, “Peristiwa itu telah berlalu, saya masih tinggal bersama ayah saya, tapi saya tak bisa terlalu dekat. Kadang saya heran dengan sikap saya sendiri yang masih seperti bocah tantrum, saya masih disekolahkan dengan baik hingga lulus SMA oleh ayah saya.”


Dior sangat tertegun dengan jawaban bocah berusia dua puluhan yang berada di depannya. Cukup sabar dan bijak mengambil keputusan.”Oke, cukup. Kurasa kamu tumbuh dengan baik dengan sikapmu seperti sekarang. Aku cukup bangga mendengar apa yang kamu utarakan. Biasanya anak seusia dirimu punya ego yang tinggi. Kamu mengerti alasan apa aku memanggilmu kemari?”


“Terimakasih atas sanjungannya pak. Bapak ingin menanyakan soal perkembangan saya kan?” Luby menatap mata Dior dengan percaya diri.


“Ahahaa… bukan itu. Sebelum itu kamu mengerti apa itu nafsu?”


Luby kaget dengan pertanyaan Dior, “M-maksud bapak nafsu seks?”


“Tepat sekali. aku ingin mendengar pendapatmu soal nafsu seks yang tak bisa dibendung dan harus dinikmati.”


Luby heran dengan pertanyaan aneh yang keluar dari mulut Dior. Orang dengan pangkat militer dan jabatan penting mengatakan seperti itu, sungguh hal konyol. “Kalau ga bisa dibendung bisa saja memang kondisi libido nya sedang tinggi, saya sendiri juga–mohon maaf sering onani jika perasaan itu tiba-tiba muncul. Tapi apa masalahnya bapak bertanya hal seperti itu?”


“Baiklah, setelah ini aku ingin kamu menjelaskan apa yang kamu rasakan dengan jelas. Lihat baik-baik dengan mata kepalamu sendiri.” Seketika Dior memindah kursor ke arah logo CCTV yang ada di tampilan layar monitor.


Belum ada semenit Luby berteriak,


“ASTAGAAAA… AYAH KENAPA NGELAKUIN HAL ITU?” Jantung Luby di pompa begitu kencang karena melihat ke arah layar monitor, terlihat ayahnya sedang menggerayangi gadis manis dengan telanjang. Tubuhnya berkeringat basah. Penisnya menggantung dengan kondisi setengah ereksi. Wajah ayahnya yang ia hormati sekarang telah hancur seketika. Tangannya mengepal keras. Ayahnya menjilati pentil gadis itu. Ekspresi mesum ayahnya terlihat jelas di layar. Luby sangat kesal, ia tidak menyangka ayahnya berbuat cabul dengan gadis kecil.


“Kenapa harus dengan anak perempuan? Aku.. aku tidak menyangka…” Nada suara Luby jadi melankolis. Ia menggertakkan giginya menahan malu dan perasaan tak percaya setelah melihat perbuatan ayah kandungnya. Pria tua dengan aksi cabul sungguh terlihat dosa di mata Luby. Ia masih tidak yakin dengan apa yang terjadi, tetapi tampang wajah dan bentuk tubuh pria itu memang benar ayah kandungnya.

Dior tertawa dalam hatinya, ia melihat ekspresi muka Luby terlihat begitu sedih dan frustasi. Matanya melebar shock melihat perbuatan ayah kandungnya. Dior menyaksikan dengan pikiran penuh pertanyaan didalam kepala. Apakah Luby akan membencinya seumur hidup mulai dari sekarang, apakah dia akan memukul ayah kandungnya sendiri, apakah dia akan mencaci maki perbuatan ayahnya didepan mukanya, tindakan apa yang diperbuat Luby setelah melihat kejadian ini Dior sangat penasaran. Ia membiarkan Luby kebingungan dengan keputusan apa yang akan dia ambil setelahnya.


.....

Maaf hu🙏 ga ada adegan mesumnya, masih otw
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd