SundayTheSix
Adik Semprot
- Daftar
- 10 Oct 2019
- Post
- 102
- Like diterima
- 240
Part 2
"Menurut saya mas, secepatnya itu lebih baik karena katanya nggak baik kalo menunda-nunda pernikahan." ucap om Tyo yang paling bersemangat tentang pernikahan ini.
Om Prasetyo atau om Tyo memiliki badan yang jauh lebih kecil dari putrinya, dengan wajah yang teduh namun penuh dengan keriput yang menunjukan bagaimana dirinya kalah oleh putaran waktu. Dia memotong pendek rambutnya yang membuat uban uban diantara rambut hitamnya semakin jelas. Senyum nampak selalu hadir diwajahnya yang menunjukan bagaimana bahagianya akan semua ini.
Aku mengerti kenapa dia nampak begitu bahagia, semakin cepat pernikahan ini terjadi, semakin cepat utang budi yang dia miliki terhadap Ayahku akan terbayarkan. Aku masih tak tahu utang budi apa yang dia punya terhadap Ayahku, namun kuyakin itu cukup besar baginya untuk bisa menukarkan putrinya untuk membayar itu. Kehadiran istrinya yang setuju dengan semua perjodohan ini menambah keyakinanku atas besarnya utang budi yang dimiliki keluarga Frieska terhadap Ayahku, aku harus mencari tahu apa itu nanti karena dengan mengetahui utang budi apa yang mereka punya akan memberiku ide kenapa Ayahku mau setuju dengan perjodohan ini.
Tentu Ayahku tak serta merta setuju atas perjodohan ini karena dia ingin putra kesayangannya bahagia, pasti ada sesuatu yang diinginkan Ayahku dari ini semua dan aku harus tahu apa itu. Aku tahu om Tyo tak memiliki jabatan atau perusahaan yang cukup untuk membuat Ayahku mau menjadikan dia bagian dari keluarga besar kami. Tentu ini bukan bagian dari cara Ayah untuk menjalin kembali hubungan kami yang sudah rusak, Ayah tak membutuhkanku sebagai penerus perusahaannya, adikku Jonathan lah yang akan melakukannya, aku bahkan yakin Ayah membenci ide untuk mewariskan hartanya kepadaku. Lalu apa?
"Menurut kamu sendiri bagaimana nak?" tanya Ayah kepadaku. Haha, kuyakin dia ingin muntah setelah harus beramah tamah denganku. Aku harus memujinya untuk keingin kerasnya itu, apapun yang dia inginkan dari ini semua pastilah sangat berharga untuknya.
Ayahku menatapku dalam-dalam dengan bola mata coklatnya itu, dia bahkan tak mau membuang tenaganya dengan memasang wajah 'emosional'nya kepadaku, dia tahu itu tak berhasil kepadaku, aku kebal terhadap manupulasi emosinya karena kami memiliki bakat yang sama. Saat dia sadar bahwa dia telah menurunkan kutukannya itu kepadaku, saat itulah dia mulai membenciku.
Tanpa topeng 'emosi' yang selalu dipakainya didepan orang-orang wajah Ayahku tampak kosong. Wajah tuanya keras seperti marmer yang kami injak sekarang, tak ada jejak emosi di wajahnya, tak ada senyuman, tak ada api di bola matanya, tatapan benci pun tak terlihat. Ayahku yang selalu memakai topeng emosi setiap harinya, lupa apa itu emosi yang sebenarnya saat dia melepas topengnya. Untuk melengkapi topeng emosinya, Ayahku memotong rambutnya pendek dan menyisirnya kesamping dengan gaya klasik. Saat dia memakai topengnya Ayahku nampak berwibawa, belum lagi dengan setelah jasnya yang selalu rapi. Namun tidak sekarang, didepanku sekarang dia tak ubahnya sebuah manekin di salah satu toko Giorgio Armani.
"Aku setuju dengan om Tyo, lebih cepat, lebih baik." jawabku sambil memberikan senyuman kepada semua orang di meja makan. Mendengar jawabanku Ayahku dengan cepat membuang wajahnya, sepertinya dia sudah cukup mendengar apa yang dia butuhkan dariku.
Om Tyo dan istrinya tersenyum lebar mendengar jawabanku, sementara Frieska nampak mencoba menutupi parasaannya yang berkecambuk. Kuyakin Frieska masih tak sepenuhnya setuju dengan ini semua, terlebih setelah mengetahui bahwa pria yang dijodohkan dengannya itu adalah aku, yang membuatku penasaran apakah cara yang dipakai om Tyo untuk membuat Frieska mau melakukan ini semua. Apakah dia mengancam Frieska untuk mau melakukan perjodohan ini? "Kamu harus mau nikah dengan anak temen Ayah atau kamu tidak Ayah anggap anak lagi!" Ataukah dia menyerang Frieska dari sisi emosional? "Apa Ayah pernah minta hal lain dari kamu, cuma ini permintaan Ayah, menikahlah dengan anak teman Ayah itu." Atau mungkin Ayah Frieska dengan jujur mengatakan bahwa dia berutang budi pada Ayahku dan dengan menikah denganku maka untang budi itu akan terbalaskan "Ayah utang budi banyak sama keluarga mas Pram nak, cuma ini cara agar Ayah bisa membayar semuanya, Ayah tidak mau hidup sebagai orang yang tidak tahu diuntung." Aku juga harus tahu cara apa yang dipakai om Tyo untuk meyakinkan Frieska karena itu hal memberitahuku dua hal, yang pertama orang seperti apa om Tyo itu, dan yang kedua yaitu apa cara terbaik untuk memanipulasi Frieska.
"Kalo menurut kamu sendiri gimana cah ayu?" Tanya Ibuku pada Frieska. Ibuku menatap Frieska dengan bola mata hitamnya yang dipenuhi oleh rasa harap, meski di kedua sisi pinggir matanya sudah dipenuhi oleh keriput halus, tatapan mata Ibuku masih kuat dan penuh arti. Wajah bulat Ibuku membuatnya nampak lembut secara alami, ditambah rambut panjang hitamnya yang selalu diikat tinggi semakin menambah kesan wanita jawa tradisional, meski begitu Ibuku tak pernah mengenakan batik dan lebih memilih mengenakan gaun terusan polos dengan warna-warna lembut yang membuatnya nampak elegan.
"Aku...aku setuju dengan..dengan Chris, tante." jawab Frieska yang nampak sakit mengucapkan kata-kata itu. Kasihan.
"Kok tante, panggil Ibu dong kan sebentar lagi kamu juga jadi anak Ibu." balas Ibuku sebelum menepuk tangan Frieska dengan pelan.
"Iya, Bu maaf masih agak kaget."
"Iya Ibu paham, kamu juga Chris manggilnya jangan om Tyo tapi Ayah."
"Iya Bu, maaf." jawabku.
"Nggak apa-apa kok mbak, mungkin Chrisnya aja yang belum biasa, panggil om aja dulu juga nggak apa-apa." ucap om Tyo yang sekali lagi datang membelaku.
"Ya harus dibiasain dong." balas Ibuku lagi, kali ini om Tyo nampak tak berani menjawab perkataan Ibuku dan memilih untuk menundukan kepalanya. "Ya udah, ayo semua dimakan makanannya nanti kalo udah dingin nggak enak."
Setelah mendengar ajakan Ibuku itu, makan malam kami pun dimulai.
"Menurut saya mas, secepatnya itu lebih baik karena katanya nggak baik kalo menunda-nunda pernikahan." ucap om Tyo yang paling bersemangat tentang pernikahan ini.
Om Prasetyo atau om Tyo memiliki badan yang jauh lebih kecil dari putrinya, dengan wajah yang teduh namun penuh dengan keriput yang menunjukan bagaimana dirinya kalah oleh putaran waktu. Dia memotong pendek rambutnya yang membuat uban uban diantara rambut hitamnya semakin jelas. Senyum nampak selalu hadir diwajahnya yang menunjukan bagaimana bahagianya akan semua ini.
Aku mengerti kenapa dia nampak begitu bahagia, semakin cepat pernikahan ini terjadi, semakin cepat utang budi yang dia miliki terhadap Ayahku akan terbayarkan. Aku masih tak tahu utang budi apa yang dia punya terhadap Ayahku, namun kuyakin itu cukup besar baginya untuk bisa menukarkan putrinya untuk membayar itu. Kehadiran istrinya yang setuju dengan semua perjodohan ini menambah keyakinanku atas besarnya utang budi yang dimiliki keluarga Frieska terhadap Ayahku, aku harus mencari tahu apa itu nanti karena dengan mengetahui utang budi apa yang mereka punya akan memberiku ide kenapa Ayahku mau setuju dengan perjodohan ini.
Tentu Ayahku tak serta merta setuju atas perjodohan ini karena dia ingin putra kesayangannya bahagia, pasti ada sesuatu yang diinginkan Ayahku dari ini semua dan aku harus tahu apa itu. Aku tahu om Tyo tak memiliki jabatan atau perusahaan yang cukup untuk membuat Ayahku mau menjadikan dia bagian dari keluarga besar kami. Tentu ini bukan bagian dari cara Ayah untuk menjalin kembali hubungan kami yang sudah rusak, Ayah tak membutuhkanku sebagai penerus perusahaannya, adikku Jonathan lah yang akan melakukannya, aku bahkan yakin Ayah membenci ide untuk mewariskan hartanya kepadaku. Lalu apa?
"Menurut kamu sendiri bagaimana nak?" tanya Ayah kepadaku. Haha, kuyakin dia ingin muntah setelah harus beramah tamah denganku. Aku harus memujinya untuk keingin kerasnya itu, apapun yang dia inginkan dari ini semua pastilah sangat berharga untuknya.
Ayahku menatapku dalam-dalam dengan bola mata coklatnya itu, dia bahkan tak mau membuang tenaganya dengan memasang wajah 'emosional'nya kepadaku, dia tahu itu tak berhasil kepadaku, aku kebal terhadap manupulasi emosinya karena kami memiliki bakat yang sama. Saat dia sadar bahwa dia telah menurunkan kutukannya itu kepadaku, saat itulah dia mulai membenciku.
Tanpa topeng 'emosi' yang selalu dipakainya didepan orang-orang wajah Ayahku tampak kosong. Wajah tuanya keras seperti marmer yang kami injak sekarang, tak ada jejak emosi di wajahnya, tak ada senyuman, tak ada api di bola matanya, tatapan benci pun tak terlihat. Ayahku yang selalu memakai topeng emosi setiap harinya, lupa apa itu emosi yang sebenarnya saat dia melepas topengnya. Untuk melengkapi topeng emosinya, Ayahku memotong rambutnya pendek dan menyisirnya kesamping dengan gaya klasik. Saat dia memakai topengnya Ayahku nampak berwibawa, belum lagi dengan setelah jasnya yang selalu rapi. Namun tidak sekarang, didepanku sekarang dia tak ubahnya sebuah manekin di salah satu toko Giorgio Armani.
"Aku setuju dengan om Tyo, lebih cepat, lebih baik." jawabku sambil memberikan senyuman kepada semua orang di meja makan. Mendengar jawabanku Ayahku dengan cepat membuang wajahnya, sepertinya dia sudah cukup mendengar apa yang dia butuhkan dariku.
Om Tyo dan istrinya tersenyum lebar mendengar jawabanku, sementara Frieska nampak mencoba menutupi parasaannya yang berkecambuk. Kuyakin Frieska masih tak sepenuhnya setuju dengan ini semua, terlebih setelah mengetahui bahwa pria yang dijodohkan dengannya itu adalah aku, yang membuatku penasaran apakah cara yang dipakai om Tyo untuk membuat Frieska mau melakukan ini semua. Apakah dia mengancam Frieska untuk mau melakukan perjodohan ini? "Kamu harus mau nikah dengan anak temen Ayah atau kamu tidak Ayah anggap anak lagi!" Ataukah dia menyerang Frieska dari sisi emosional? "Apa Ayah pernah minta hal lain dari kamu, cuma ini permintaan Ayah, menikahlah dengan anak teman Ayah itu." Atau mungkin Ayah Frieska dengan jujur mengatakan bahwa dia berutang budi pada Ayahku dan dengan menikah denganku maka untang budi itu akan terbalaskan "Ayah utang budi banyak sama keluarga mas Pram nak, cuma ini cara agar Ayah bisa membayar semuanya, Ayah tidak mau hidup sebagai orang yang tidak tahu diuntung." Aku juga harus tahu cara apa yang dipakai om Tyo untuk meyakinkan Frieska karena itu hal memberitahuku dua hal, yang pertama orang seperti apa om Tyo itu, dan yang kedua yaitu apa cara terbaik untuk memanipulasi Frieska.
"Kalo menurut kamu sendiri gimana cah ayu?" Tanya Ibuku pada Frieska. Ibuku menatap Frieska dengan bola mata hitamnya yang dipenuhi oleh rasa harap, meski di kedua sisi pinggir matanya sudah dipenuhi oleh keriput halus, tatapan mata Ibuku masih kuat dan penuh arti. Wajah bulat Ibuku membuatnya nampak lembut secara alami, ditambah rambut panjang hitamnya yang selalu diikat tinggi semakin menambah kesan wanita jawa tradisional, meski begitu Ibuku tak pernah mengenakan batik dan lebih memilih mengenakan gaun terusan polos dengan warna-warna lembut yang membuatnya nampak elegan.
"Aku...aku setuju dengan..dengan Chris, tante." jawab Frieska yang nampak sakit mengucapkan kata-kata itu. Kasihan.
"Kok tante, panggil Ibu dong kan sebentar lagi kamu juga jadi anak Ibu." balas Ibuku sebelum menepuk tangan Frieska dengan pelan.
"Iya, Bu maaf masih agak kaget."
"Iya Ibu paham, kamu juga Chris manggilnya jangan om Tyo tapi Ayah."
"Iya Bu, maaf." jawabku.
"Nggak apa-apa kok mbak, mungkin Chrisnya aja yang belum biasa, panggil om aja dulu juga nggak apa-apa." ucap om Tyo yang sekali lagi datang membelaku.
"Ya harus dibiasain dong." balas Ibuku lagi, kali ini om Tyo nampak tak berani menjawab perkataan Ibuku dan memilih untuk menundukan kepalanya. "Ya udah, ayo semua dimakan makanannya nanti kalo udah dingin nggak enak."
Setelah mendengar ajakan Ibuku itu, makan malam kami pun dimulai.