Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA High Hopes (Part IV.2 Updated)

Status
Please reply by conversation.

YankeeDelta

Semprot Baru
Daftar
23 Feb 2018
Post
43
Like diterima
106
Bimabet
Setelah sekian lama saya membaca hasil karya suhu-suhu disini, saya pun ingin mencoba membuat karya saya sendiri. Ini pertama kali saya menulis, jadi maaf bila ada kekurangan. Mohon juga kritik dan saran dari para suhu sekalian. Terimakasih dan selamat membaca.

Disclaimer: Cerita ini hanya fiktif belaka, imajinasi dari pengarang dan kejadian dalam cerita ini tidak benar-benar terjadi. Penggunaan nama tokoh dan lokasi dalam cerita ini tidak merepresntasikan kehidupan nyata.



High Hopes

Sebuah cerita tentang kenangan, dusta, kasih sayang
dan
harapan.
Yours truly,

Yankee D.



PART I: First Hit

Pada siang hari yang cerah itu kegiatan kampusku telah berakhir karena memang jadwal hari ini hanya sedikit jadi bisa pulang lebih cepat, tapi besok ada tugas yang menunggu sehingga aku tidak bisa langsung pulang. Aku dan seorang sahabatku baru saja keluar dari kelas dan ingin menuju ke perpustakaan untuk mengerjakan tugas kuliah yang besok sudah harus dikumpulkan.

Oh iya, namaku Yuda Giantara, biasa dipanggil Yuda. Aku seorang mahasiswa semester 5 di salah satu universitas swasta di Jakarta. Saat ini kedua orangtuaku sedang sibuk dengan urusan bisnisnya di Kalimantan, sedangkan satu-satunya saudara kandungku yaitu kakakku sedang sibuk melanjutkan pendidikan S2nya di Australia. Jadi aku hanya tinggal sendirian di rumah, tapi itu bukan masalah karena aku sudah terbiasa hidup mandiri dari dulu. Disini aku akan bercerita tentang rentetan pengalaman dan kejadian yang tidak akan pernah aku lupakan seumur hidupku.

“Eh Yud, hari ini di kampus katanya ada seminar ya?” ucap temanku yang sedang berjalan dibelakangku, memecah keheningan saat kami sedang berjalan di lorong kampus yang sedang sangat sepi.

Temanku ini bernama Jason Kurniawan, dipanggil Jason. Aku mengenalnya sejak SMA dan kami pun sekarang berkuliah di universitas dan jurusan yang sama. Yah bisa dibilang kami sudah bersahabat cukup lama dan Jason adalah orang yang selalu membantuku jika ada kesulitan.

“Hah? Seminar apaan? Iyasih kayanya. Tumben-tumbenan disini sepi banget.”

Jujur aku orangnya sangat tidak tertarik dengan kegiatan di luar kampus, apalagi semacam seminar-seminar begitu.

“Gatau juga sih. Lagian kita gabisa ikut kan ini mau ngerjain tugas kelompok bareng, banyak lagi tugasnya,” jawab Jason yang mengingatkan kalau kami masih ada tugas yang harus dikerjakan.

“Ya iyalah banyak. Orang tugas dari dua minggu lalu, baru mau kita kerjain sekarang.”
Kami berdua hanya tertawa kecil dan saat aku ingin berbelok ke kiri arah lorong dimana ruang perpustakaan berada tiba-tiba…

BRUUK!!!

Aku ditabrak seseorang yang berlari dari arah lorong perpustakaan sampai aku terpental kebelakang dengan posisi terduduk. Damn! Pantatku langsung terasa sakit.

“AH LAPTOP GUE!”

Aku menengok keatas untuk melihat dari siapa arah datang suara itu. Ternyata seorang perempuan, aku ditabrak seorang perempuan sampai jatuh terpental sedangkan dia masih kokoh berdiri. Oke, bukan masalah, kan tadi dia lari jadi jelas saja aku yang terjatuh.

Sementara aku masih tidak percaya dan mencari-cari alasan kenapa aku bisa kalah dari seorang wanita, aku sudah kembali bangkit berdiri dengan bantuan dari Jason. Sedangkan, si perempuan yang menabrakku sedang berlutut membuka laptopnya yang sepertinya terjatuh saat dia menghantam diriku.

“Lu gapapa, Yud? Sampe mental begitu,” tanya Jason kepadaku.

“Santai. Ga kenapa-kenapa kok gua,” jawabku yang agak kesal diingatkan kalau tadi aku terpental karena ditabrak perempuan.

Aku hendak menghampiri si perempuan yang masih sibuk memeriksa laptopnya untuk mengecek apakah ada masalah,

“Aduh kok gamau nyala sih ini?!” ucap perempuan itu dengan wajah yang jengkel.

“Ada masalah mbak?” tanyaku dengan sopan.

Aku mencoba menjadi orang yang baik meskipun perempuan ini telah menabrakku. Toh gaada untungnya juga marah-marah, kan dia juga ga sengaja.

“Mas selain buta ternyata budek yah? Liat nih laptop gue gabisa nyala! Lagian mas jalan ga liat-liat apa? Gara-gara mas halangin saya, laptop saya jadi rusak nih!” omel perempuan itu padaku yang kembali berdiri dan mengambil laptopnya kemudian menatapku jengkel seolah aku mempunyai salah.

“Lah..?? Kok jadi mbak yang marah-marah? Jelas-jelas mbak yang nabrak saya. Udah tau mau belok malah lari. Ehh.. sekarang malah nyalahin saya laptopnya rusak!” balasku kepada perempuan itu.

Aku yang tadinya tidak ingin marah malah jadi ikutan emosi. Apa-apaan sih cewek ini? Sudah jelas salah dia masih aja menyalahkan aku. Kalo dipikir-pikir, dia ini siapa yah? Sepertinya aku baru pertama kali melihat dia di sekitar sini.

Kalau aku perhatikan, cantik juga perempuan ini. Tubuhnya yang tinggi dan langsing terlihat menarik meski dia hanya mengenakan kemeja putih dan rok selutut yang terlihat simpel. Rambutnya hitam panjang lurus melewati bahunya. Wajahnya juga manis, dengan tatapan mata yang meski melihatku sinis tetap saja tidak bisa menutupi kecantikannya. Tapi yang tidak bisa dilewatkan adalah tahi lalat dibagian bawah kanan wajahnya yang entah kenapa membuat wanita ini semakin menarik untuk aku pandangi. Ah.. andai saja saat ini dia sedang tersenyum kepadaku.

“Woi, mas! Dengerin ga sih saya ngomong apa? Malah bengong aja. Masnya bego yah?” ucap perempuan itu. Kudengar dari belakang Jason mencoba menahan tawanya.

“Ah, iya. Denger kok!” jawabku agak panik. Tapi berani juga perempuan ini bilang bego padaku padahal ga kenal.

“Ngomong apa coba?!” balas perempuan itu sambil memasang wajah yang licik seolah dia tahu kalau aku dari tadi tidak memperhatikan dia berbicara.

Sial. Aku tadi kebanyakan ngelamun memperhatikan dia jadi sekarang aku kebingungan sendiri. Ga habis pikir, baru pertama kali ketemu tapi cewek ini udah buat aku sakit, marah, dan malu.

“KAK SHANIAAA!!!” terdengar suara teriakan dari ujung lorong, perempuan yang dari tadi memarahiku ini langsung menoleh kebelakang. Orang yang berteriak itu berlari kearah kami. Seorang perempuan yang sepertinya teman dari perempuan yang memarahiku dari tadi.

Thank God. Untung aja temannya datang jadi aku bisa keluar dari posisi awkward ini.

“Lah, Gracia? Lu darimana aja coba? Lelet banget jadi orang!” ucap perempuan galak yang sepertinya bernama Shania kepada temannya yang dia panggil Gracia.

“Kan kakak yang ninggalin aku tadi! Udah tau aku bawa banyak barang, turun dari taksi bukannya bantuin aku malah lari ninggalin. Sekarang kakak ngapain disini? Bukannya kita udah mau telat ikut seminarnya yah?” ucap temannya itu.

Oh, ternyata mereka ikut seminar yang tadi aku bicarakan dengan Jason. Sepertinya juga mereka bukan mahasiswi kampus ini. Setelah aku perhatikan mereka berdua mengalungi semacam ID Card di leher mereka. Sepertinya mereka menjadi pembicara di seminar itu. Aku coba lihat, tertulis di ID Card perempuan yang dari tadi memarahiku, SHANIA JUNIANATHA, sedangkan milik temannya yang baru datang tertulis, SHANIA GRACIA. Lucu juga kedua wanita ini memiliki nama depan yang sama.

Penampilan perempuan yang baru saja datang ini, yang sepertinya dipanggil Gracia, juga cukup menarik. Postur tubuhnya sedikit lebih pendek dan lebih berisi dari Shania. Gracia juga mengenakan kemeja putih namun dengan celana bahan panjang ketat. Menurutku, wajahnya terlihat sedikit lebih cantik dari Shania terutama dengan hidung yang mancung dan pipi yang agak tembem. Tatapan matanya yang sayu tapi tajam menjadi ketertarikan sendiri. Dia juga lebih murah senyum sehingga lebih nyaman memperhatikan dia, terlebih lagi gigi gingsulnya yang membuatnya terlihat semakin manis.

Tapi agak kasihan juga melihat Gracia. Sementara Shania hanya membawa sebuah laptop dan tas jinjing kecil, Gracia harus menggendong sebuah tas ransel dan membawa sebuah tas tangan dan tas laptop di tangannya.

“Duh gimana yah? Laptop gue tiba-tiba gabisa nyala nih gara-gara jatoh, gue tadi nabrak ini cowok ga liat-liat sih kalo jalan, Mana orangnya daritadi cuman bengang-bengong aja lagi!” kata Shania yang masih terus menjadikanku kambing hitam.

“Apa-apaan?! Kok masih terus nyalahin gua sih? Udah jelas lu yang lari, lu yang nabrak. Jadi, lu lah yang salah! Dan siapa juga yang bengong terus?!” balasku yang kembali dibuat emosi.

“Udah! Jangan berantem dong. Yaudah, Kak Shania tenang aja, di laptop aku ada backup file-nya kok. Mending kita sekarang buru-buru ke ruang seminarnya. Daripada terlambat kan?” ucap Gracia mencoba menenangkan suasana.

Benar saja. Wajah Shania yang daritadi bete tiba-tiba sedikit berubah menjadi lebih senang setelah mendengar temannya ini membawa kabar baik untuknya.

“Serius? Aduh, untung ada lu yah,” ucap Shania dengan senyuman. Namun senyuman itu hanya untuk Gracia karena setelah itu dia kembali menghadap kearahku dengan memasang muka galak dan berkata, “dan buat lu, gue ga bakal maafin lu yah. Tapi tenang aja gue juga paling bakalan lupa sih sama lu. Bye.”

Aku hanya terdiam dan merespon dengan tarikan dan hembusan nafas yang panjang. Entah apa yang ada dipikiran perempuan itu. Yah aku mengalah sajalah, percuma juga aku melawan itu hanya akan membuang waktu dan tenagaku.

“Maafin kak Shania yah, mas. Dia sebenernya baik kok orangnya. Aku pergi dulu yah,” ucap Gracia kepadaku sambil sedikit membungkukan badan seolah-olah dialah yang memiliki salah padaku.

“Ah.. iya-iya. Gapapa kok. Tenang aja,” balasku singkat.

Mereka berduapun pergi ke arah ruang seminar. Aku dan Jason juga kembali melanjutkan langkah kami ke arah perpustakaan.

That was weird,” kata Jason padaku.

Indeed, it was.

***

Waktu sudah mau menunjukan jam 5 sore sedangkan tugas kelompok aku dan Jason belum selesai.

“Ah, gila! Belom beres juga nih tugas sialan. Udah jam segini pula,” keluhku sambil berbisik karena mengingat aku masih ada di perpustakaan.

“Hmm.. gini aja deh, Yud. Kita balik aja sekarang. Udah tinggal dikit kok ini tugasnya. Ntar malem gua lanjutin aja sendiri. Pasti beres sama gua,” kata Jason. Ucapannya bagaikan sebuah pawai di telingaku. Sebenernya aku merasa tidak enak, tapi kan dia sendiri yang nawarin jadi yasudahlah.

“Wah, beneran nih? Yaudah, Jas. Yang penting jangan lupa diberesin yah. Lu langsung balik nih? Gua ngadem disini bentar yah, capek mata gua ngeliatin layar lapto mulu daritadi,” kataku pada Jason.

“Iya nih. Gua duluan yah. Gausah mikirin tugas, besok udah pasti beres. Jangan lama-lama lu, jam 6 ditutup nih perpus. Gua gamau punya temen yang bego sampe bisa kekunci diperpustakaan” canda Jason yang disambut tawa kecil kita berdua. Lalu dia mengemas barang-barangnya dan kemudian meninggalkan perpustakaan.

Sekitar 5 menit aku hanya berdiam di perpustakaan sendirian mengecek smartphone-ku dan tak lama kemudian akupun memutuskan untuk pulang ke rumah saja dan nanti masak sendiri saja di rumah untuk makan malam.

Aku menuju parkiran dan mencari mobilku. Parkiran mobil sudah terlihat sepi dan hanya ada beberapa mobil yang kutahu memang milik staff kampus yang masih bekerja sampai agak malam.

Akupun mulai mengendarai Honda Civic Type-R bewarna putih milikku. Saat aku melewati lobby kampus untuk menuju arah pintu keluar, aku melihat dua sosok orang yang sepertinya aku kenal dan sepertinya mereka sedang menunggu untuk dijemput. Ya, mereka berdua adalah wanita yang tadi siang tidak sengaja aku temui, Shania dan Gracia.

Entah karena apa, tiba-tiba muncul keinginan untuk menghampiri mereka, akupun mengemudikan mobilku ke arah depan lobby untuk menemui mereka.

“Loh, mbak-mbak belom pada pulang?” tanyaku kepada mereka lewat kaca mobil dan sepertinya mereka agak sedikit terkejut karena tiba-tiba ada yang berbicara pada mereka.

“Lah, lu kan yang tadi nabrak gua? Ngapain lu nyamperin gue? Lu mau gangguin gue lagi?” balas Shania padaku dengan tatapan yang sama saat kami bertabrakan.

Gracia tampak kebingungan saat melihatku, mungkin dia tidak terlalu ingat dengan wajahku. Wajar saja sih tadi kan dia terburu-buru. Sedangkan temannya yang satu lagi pasti tidak mungkin melupakan raut wajahku.

“Oh lu masih inget sama gue? Well, kayanya tadi ada yang bilang bakalan lupa sama gue tuh. Ternyata masih inget juga. Heh,” ucapku sambil memasang wajah yang tengil, entah kenapa aku malah merasa senang saat berhasil mengusik cewek jutek ini.

Shania tidak membalasku dengan kata-kata, tapi dia semakin mengernyitkan dahinya. Dia tampak tidak senang dengan perkataanku. Hell yes, aku semakin senang karena berhasil membuatnya sebal. Ah, kenapa aku ini malah mengganggu orang lain. Niatanku menghampiri mereka kan untuk bertanya baik-baik.

“So, kalian kenapa masih disini? Udah sore loh dan bukannya seminarnya udah selesai daritadi yah?” tanyaku kepada mereka.

“AH!” tiba-tiba Gracia berteriak sambil matanya menghadap keatas dan jari telunjuknya diacungkan. Lalu dia langsung menatap dan menunjuk ke arahku sambil berkata, “Mas yang tadi siang yah? Oh kirain siapa, pantes kok kayanya akrab banget sama kak Shania. Iya, jadi kita tadi harusnya dijemput sama temen. Udah nungguin lama eh dia tiba-tiba gabisa jemput. Daritadi kita mau mesen taksi online cuman belum ada yang ambil-ambil nih.”

“Oke, Gre. Pertama, gua gakenal sama orang gajelas ini jadi jangan sekali-kali lu bilang gua akrab sama dia. Kedua, lu dan mulut besar lu. Bisa ga sih jangan dikit-dikit jawab pertanyaan orang?” kata Shania pada Gracia. Cara bicara Shania memang tidak seperti membentak tapi aku bisa merasakan emosinya, atau mungkin bukan emosi tapi lebih ke gengsi.

“Ah, iya. Maafin aku, kak,” ucap Gracia sambil menundukkan kepalanya merasa bersalah.

“Duh, jangan malah pada berantem. Jadi gitu, kalo diliat-liat emang daerah sekitar sini sepi kalo udah sore. Gimana kalau gua anterin lu berdua pulang? Gua ga keberatan kok,” tawarku kepada mereka. Perlu diingat, disini aku tulus ingin membantu mereka dan tidak ada maksud lain. Yah, tapi tidak bisa dipungkiri kalau aku juga ada rasa penasaran dengan wanita yang bernama Shania dan ingin lebih mengenalnya.

Shania menunjukkan ekspresi bingung dan terkejut saat aku tawarkan untuk mengantar mereka, mungkin dia heran dengan kebaikan hatiku. Sedangkan Gracia, tampak senang mendengar tawaranku dan segera ingin mengiyakan jawabanku. Tapi kalau dilihat dari interaksi kedua orang ini sejak tadi siang, keputusan terakhir ada di Shania.

“Gausah. Kita gaperlu dibantuin, terutama sama orang kaya lu,” ucap Shania menolak ajakanku yang dibarengi dengan ekspresi kecewa Gracia, tapi aku tahu ada keraguan dalam perkataan perempuan ini.

“Yakin?” kataku sambil menyenderkan kepalaku di bagian atas setir mobil sambil terus melihat ke arah mereka berdua melewati jendela mobil yang terbuka.

“Oke, kalau boleh jujur walaupun gua masih ga ngerasa bersalah atas apa yang terjadi sama laptop lu. Tapi saat lu bilang lu gamau maafin gua, gua berfikir mungkin ada cara buat lu berubah pikiran kalau gua bisa ketemu sama lu lagi dan ternyata cepet juga bisa ketemu lagi. Karena bagi gua gaenak rasanya kalau dipikirin gua punya orang yang gamau maafin kita” kataku dengan sedikit omong kosong untuk meyakinkan Shania.

“Jadi, sekali lagi gua tanya. Kalian berdua mau ga gua anterin pulang kalau ga gua pergi sekarang soalnya langit udah mau gelap,” lanjutku.

Shania terdiam berpikir, dia menoleh ke arah Gracia dan dia hanya mengangguk-anggukan kepalanya seolah menyuruh Shania menerima tawaranku.

“Oke. Kita mau dianterin sama lu. Tapi, inget gue masih kesel sama lu,” ucap Shania yang akhirnya menerima tawaranku meski dengan cara yang terbilang tidak sopan.

Suit yourself,” balasku.

Setelah mendengar jawabannya aku langsung menyenderkan kepalaku ke jok mobil dan langsung menghelakan nafas. Sebenarnya buat apa aku susah-susah menawarkan bantuan sih? Aku yang malah capek sendiri jadinya. Apalagi perempuan ini ditanya baik-baik masih saja ngeselin. Yah, tapi mungkin suatu hari aku akan mendapatkan imbalan karena kebaikanku.

Mereka berdua kupersilahkan masuk ke dalam mobil, Shania duduk di depan dan Gracia duduk di belakang. Raut wajah Shania hanya datar mungkin moodnya masih belum baik karena ditolong oleh orang yang tadi siang dia marahi, sedangkan Gracia terlihat tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya mendapat tumpangan pulang.

“Nama gue Shania,” ucap Shania pelan

“Hah?” balasku yang memang kurang mendengar dia bilang apa.

“Nama gue Shania! S-H-A-N-I-A! Kita belum kenalan, nama lu siapa?!” kali ini dia berbicara lebih keras dan sedikit berteriak.

“Oh iya-iya. Gausah ngegas juga kali. Nama gua Yuda. Mahasiswa universitas ini,” balasku. Benar juga, daritadi aku belum memperkenalkan diri sedangkan aku sudah tahu kedua nama mereka dari tanda pengenal yang mereka kenakan tadi siang dan juga pembicaraan mereka yang saling menyebutkan nama.

“Yang dibelakang itu junior sekaligus temen gue, Gracia,”

“Salam kenal, kak Yuda” sahut Gracia sambil tersenyum.

“Iya, salam kenal juga. Jadi gua harus kemana nih?” tanyaku.

Setelah diberitahu tujuan mereka berdua oleh Shania, aku langsung menjalankan mobilku. Ternyata rumah mereka masing-masing masih searah dengan rumahku dan rumahku juga jaraknya masih lebih jauh lagi, jadi setidaknya aku tidak perlu capek muter-muter kesana kemari.

Sepanjang perjalanan kami bertiga berbicara basa-basi dan aku juga bertanya soal seminar tadi dan soal dia kuliah dimana. Aku menjadi tahu kalau mereka berdua ini kuliah di universitas yang sama namun Shania ada di semester 5 sedangkan Gracia semester 3, mereka berdua menjadi sahabat karena sering melakukan projek untuk kuliah bersama.

Selama mengobrolpun aku jadi tahu kalo memang benar kata Gracia tadi siang, Shania ini orangnya baik dan enak juga diajak ngobrol. Tapi yah tapi karena memang karakternya jutek dan gampang emosi jadi terlihat galak. Sedangkan Gracia, aku tidak terlalu memahaminya. Dia terlihat polos dan lugu, tetapi aku merasakan ada yang dia usaha tutupi dari dirinya. Apa karena mungkin dia memang orangnya tertutup? Tapi tertutup kok bawel? Entahlah. Tapi setidaknya dia lebih sering tersenyum dibandingkan temannya yang satu lagi.



Beberapa waktu berlalu, kami sudah sampai di depan rumah Gracia. Dia pamit padaku dan Shania, sambil mengucap terimakasih juga kepadaku karena sudah diantar.

Perjalananpun aku lanjutkan, suasana di mobil jadi lebih sepi. Ya mungkin karena daritadi yang sibuk mengobrol itu Shania dan Gracia saja dan aku hanya nimbrung saja kalau ngerti.

“Yud..” panggil Shania. Kulihat dia memasang wajah yang serius sambil melihat jalan di depan.

“Ya?”

“Gua belum minta maaf sama lu,” kulihat wajahnya semakin serius.

“Minta maaf? Minta maaf apa yah?”

“Lu gausah sok pura-pura gatau yah! Yaudah gue gajadi minta maaf deh,” sekarang dia memasang muka kesalnya.

“Iya, gausah marah atuh. Gua cuman ngetes aja lu serius atau ga. Jadi beneran lu minta maaf nih? Lu udah ngerasa bersalah? Udah ga bakal nyalah-nyalahin gua lagi soal laptop lu?”

“Ya ga gitu juga sih,” sekarang dia memasang wajah yang terlihat licik.

“Ga juga? Maksudnya gimana?” tanyaku bingung.

“Ya gue minta maaf kalau tadi gue udah marah-marah sama lu. Udah ngata-ngatain lu. Udah nabrak lu sampe lu jatuh. Tapi, laptop gue rusak itu salah lu!” dia mengakhiri kalimatnya sambil melihat dan menunjuk kearahku.

“Oke gue terima permintaan maaf lu. But, wait, kenapa laptop lu rusak itu salah gua?” tanyaku semakin dibuat bingung.

“Soalnya lu jadi cowok lemah banget ditabrak sama cewek malah melayang sampe jatoh kaya gitu. Coba lu kuat jadinya kan gabakalan jatoh laptop gue,” kata dia dengan nada jengkel.

“Err.. lu tau kan perkataan lu barusan itu gamasuk akal?” balasku dengan jengkel

“Ya, biarin. Pokoknya itu tetep salah lu!”

“Terus gimana? Gua harus gantiin laptop lu?” tanyaku pada Shania. Aku mengiyakan saja perkataan dia karena aku tau kalau aku lanjutkan dia akan tetap keras kepala dan aku juga sedang menyetir jadi aku tidak boleh memecahkan fokusku untuk berdebat.

“Ganti? Ga kok. Ga perlu.”

“Jadi?” aku tanya pelan, tapi batinku sedang berteriak karena kesal tidak bisa mengerti arah pembicaraan ini.

“Jadi sebagai ganti karena lu udah rusakin laptop gue, gue minta kontak lu.”

“Kontak gua? Buat apa?”

“Ya biar bisa ngontak lu lah. Bego banget sih. Mana sini hape lu?!”

“Oh, iya. Nih,” aku langsung mengeluarkan hapeku dari kantong celana dan memberikannya pada Shania. Dia memegang smartphone-nya dan smartphone-ku dan terlihat mengetik sesuatu.

“Nih gue juga udah simpen nomor gue sama udah gue add line gue di hape lu yah,” jawabnya santai sambil mengembalikan smartphone-ku.

“Udah gitu doang?”

“Ya ga gitu doang lah, lu kalau gue telpon ya angkat. Kalau gue chat ya bales,” ucapnya dengan tegas.

Aku terdiam sejenak mendengar perkataannya.

“Pfffttt... HAHAHAHAHAHAHA!!!” aku tertawa ngakak, karena aku merasa geli mendengar apa yang baru saja dia katakan.

“Ih kok lu ketawa sih?!” tanya Shania dengan kesal.

“Ga kenapa-kenapa cuman lucu aja. Yaampun lu gausah sampe muter-muter gitu deh mau minta kontak gua. Lu langsung minta aja gua kasih. Bahkan lu ga minta juga pasti nanti gua yang minta kontak lu,” kataku yang masih tersenyum akibat perkataannya tadi.

“Yaudah sih! Udah bagus permintaan gue ga aneh-aneh. Apa lu mau gue jadiin babu baru gue maafin lu?! ” kulihat mukanya sebel tapi pipinya merah karena malu.

“Aduh jangan, enak aja gua jadi babu lu. Yaudah kalau gitu, gua nurut aja sama lu,” kataku sambil masih tidak bisa menyembunyikan rasa geli.

“Lu tuh orangnya aneh dan ngeselin tau ga?” ucapnya kali ini dengan sedikit senyuman.

“Kalau mau nilai orang ngaca dulu deh, sendirinya aneh marah sama dengan alasan ga jelas,” balasku yang tidak mau kalah.

“Apa deh?” ucap Shania sambil memutarkan bola matanya.

Aku hanya menggelakan kepalaku sambil berdecak keheranan.

“Eh ini udah mau nyampe daerah rumah lu nih. Beloknya kemana?”



Sekarang aku sudah berada di depan rumah Shania, lumayan besar juga rumahnya. Tapi sepertinya sepi sekali, apa dia tinggal sendiri juga sepertiku? Entahlah. Tapi yang pasti sekarang waktunya dia kembali ke tempat tinggalnya dan akhirnya akupun dapat pulang ke rumahku.

Okay. Here we are,” kataku

“Makasih yah, Yud. Udah mau nganterin gue sama Gracia juga tadi,” ungkapnya sambil menatapku dan kali ini sambil tersenyum manis.

“Sama-sama, Shan. Udah gausah dipikirin. Emang mau bantuin aja kok gua. Sama mau mastiin kalo lu itu galak beneran atau sok-sokan,” ucapku bercanda.

“Bukan cuman itu. Makasih juga udah tetep baik sama gue walaupun jelas-jelas pertama ketemu aja gue marah-marahin lu, sampe-sampe omongan gue yang ga serius jadi lu masukin hati gitu. Lu orangnya baik banget,” ucap Shania dengan muka yang serius. “Atau mungkin lu orangnya terlalu bego sih,” lanjutnya sambil tertawa.

Aku hanya tersenyum.

“Udah ah gue balik dulu. Sampai ketemu lagi, Yuda” ucapnya sambil tersenyum lalu Shania turun dari mobilku dan berjalan ke arah rumahnya.

Ternyata benar dugaanku, dia terlihat lebih manis saat tersenyum.

See you,” balasku sambil melambaikan tangan.



Akhirnya aku sendirian dan bisa pulang ke rumah. Sungguh hari yang melelahkan. Wait, dia bilang sampai ketemu lagi? Ah, berarti ini bukan terakhir kalinya aku akan berjumpa dengannya. Terlebih lagi dia sudah memiliki kontakku. Tapi, aku tidak usah mempunyai harapan lebih karena semua ini hanya pertemuan yang kebetulan. Sekarang saatnya aku pulang dan mengistirahatkan diri setelah hari yang panjang ini.

To be continued…
 
Terakhir diubah:
Lanjutkan sampai tamat ceritanya bro, menurut gue bagus alur ceritanya
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Keren thor, hehe, penasaran kelanjutannya :D lanjutin sampe tamat
 
Lanjutkan sampai tamat ceritanya bro, menurut gue bagus alur ceritanya
Akhirnya ada cerita bagus lagi....
Lanjut hu!
Keren thor, hehe, penasaran kelanjutannya :D lanjutin sampe tamat

Terimakasih. Jika Tuhan berkehendak akan segera saya update part selanjutnya.

Tandai dulu gan sepertinya menjanjikan
nitip tikar dulu hu... belum nangkep hehehe

Selamat datang. Semoga betah yah disini.
 
Penasaran dengan korban pertamanya, apakah gracia atau shania
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Status
Please reply by conversation.
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd