Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERPEN GRAZE

Rico Logan

Semprot Holic
Daftar
10 Feb 2016
Post
317
Like diterima
123
Bimabet
"Aku ingin uang dan kau ingin anak dariku, lalu?" Kunaikkan satu alisku menjawab pertanyaannya.

"Apa kau sama sekali tidak memperdulikan anak yang akan kau berikan pada kami?"

"Bukankah sudah ada kamu yang akan memedulikannya?"

Dia terdiam menerima pertanyaan alih-alih jawabanku. Dia tampak berusaha mencerna perkataanku dan aku bisa melihat keraguan dalam matanya.


"Apa lagi yang kau ragukan Dina?" Aku mengubah posisi dudukku.

Kaki bersilang dan tanganku melipat didepan dada. Jujur kukatakan jika aku sudah sangat lelah membahas perihal yang sama berulang kali. Dina selalu ingin membahasnya. Selalu mencari kesempatan sekecil apapun untuk membicarakannya. Dia benar-benar membuang waktuku. Sedari awal kami sudah sepakat tentang semua hal. Lalu apa lagi yang ingin dia diskusikan?

"Aku hanya tidak ingin jika ditengah jalan kau berubah pikiran Gina. Bagaimana jika tiba-tiba kau tidak ingin memberikan anak itu pada kami."


Yang benar saja. Apa dia benar saudariku? Seingatku kami sudah hidup bersama selama puluhan tahun. Bagaimana bisa Dina masih tidak mengenal kepribadianku.

"Aku bukan wanita seperti itu Dina, apa kau lupa?"

Dina menggigit bibir bawahnya. Masih banyak keraguan terpancar dalam bola matanya yang bisa kulihat jelas. Sepertinya memang sangat sulit untuk meyakinkan Dina jika dia tidak perlu mencemaskan apapun.

"Tapi Gin, aku.... Jika aku ya-."

"Dengar Dina." Kusela perkataannya dan kuhirup udara sebanyak-banyaknya kemudian berdiri dari posisi dudukku dan duduk disisi kiri tubuhnya.

"Bisakah kau berhenti berpikir terlalu keras? Bisakah kau berhenti untuk menyamakan persepsimu denganku? Apa lagi yang ingin kau dengar dariku agar kau berhenti ragu dan menjalani semuanya dengan tenang? Apa kita benar - benar perlu mendiskusikan semua dari awal? Apa kau tidak bosan? Tidak lelah?" Dalam satu tarikan nafas panjang aku berbicara tanpa berhenti.

Dina kembali terdiam. Sunyi menaungi ruangan kami. Hanya ada suara deru nafasku dan suara isakan kecil Dina yang mulai terdengar.


"Maafkan aku." Ucap Dina. Suaranya parau dan dia berusaha keras menahan diri untuk tidak menangis keras.

"Jika saja aku tidak seperti ini. Aku tidak akan merepotkanmu."

Kubelai bahunya dan dia menyenderkan wajahnya pada lekuk bahuku.

"Tidak ada yang salah Dina, kau tidak perlu meminta maaf. Aku sama sekali tidak merasa direpotkan. Bukankah ini hubungan mutualisme? Kita sama-sama di untungkan. Aku akan mendapatkan uang darimu dan kau akan mendapatkan anak dariku dan kita berdua tidak rugi apapun."


Aku menangkup wajah Dina, menyeka tetesan air mata yang mengalir di kedua sudut matanya dengan jemariku.

"Tenanglah Dina, semuanya akan baik - baik saja."

Tubuhnya semakin berguncang dan tanpa berpikir panjang kudekap dia dengan erat. Saudariku satu - satunya. Saudara perempuanku. Dia begitu menderita dan akupun sama.


***

Aku tidur bermalas - malasan diranjang besarku. Merenungi nasib dan kesialan.

Aku ditipu dan di tinggalkan kekasihku. Dia meninggalkanku dengan hutang yang sangat banyak. Membuatku di kejar-kejar oleh rentenir yang bisa saja membunuhku jika aku tidak melunasi hutang. Nasib burukku bahkan tidak berakhir disitu. Rumah yang setengah mati kucicil dari jerih payahku bekerja selama beberapa tahun musnah begitu saja. Dia menjualnya tanpa sepengetahuanku sehingga membuatku berakhir menjadi gembel tanpa tempat tinggal sebelum Dina memungutku.


"Fuh." Dina benar-benar beruntung bisa menikahi Bastian. Pria itu selain kaya juga tampan. Kamar yang kutempati seperti kamar mewah yang sering kulihat dilayar televisi dalam drama-drama romantis.

"Aku memang sial." Aku tidak akan pernah lagi mau mempercayai orang lain.

Tidak akan pernah. Pria yang menjalin hubungan denganku selama lima tahun saja sanggup melakukan hal kejam itu padaku. Apa lagi dengan orang-orang baru yang kukenal.

Aku tidak mengerti apa yang salah denganku? Aku hidup dengan baik. Tidak pernah menyakiti orang lain. Tidak pernah menuntut lebih pada orang tua yang tidak bisa memenuhi keperluanku. Tidak pernah iri pada Dina yang selalu bersinar.

Gina Dharmaja? Tidak ada yang memperhatikanku karena seorang Gina Dharmaja tidak bersinar seperti seorang Dina Dharmaja. Aku tidak menyalahkan Dina karena dia selalu mendapatkan perhatian lebih dariku.

Aku cukup puas dengan kekasih yang menipuku dulu, cukup puas dengan pekerjaanku, rumah kecilku, usaha kecilku dan impian-impianku. Itu sudah membuatku bahagia. Tapi nasib berkata lain. Aku sama sekali tidak diberkati.

***


"Apa yang kau lakukan Gin?"

Aku memiringkan kepalaku, melirik dengan sudut mataku kearah pintu kamar. Bastian masih dengan jas kerjanya mengunjungiku.


"Tidak ada. Aku hanya merenungi nasibku."

Dengan malas aku mengangkat tubuhku dan duduk bersandar pada kepala ranjang. Bastian mendekat. Dia menunduk agar wajahnya sejajar dengan wajahku.

"Apa kau menginginkan sesuatu? Dina bilang kau tidak memakan makananmu lagi." Bastian mengacak rambutku sembari tersenyum ramah.


Belasan tahun aku hidup bersama Dina baru kali ini aku merasa iri pada hal yang dia miliki. Dia benar-benar beruntung menikahi Bastian. Aku sampai harus menahan air mataku ketika secara tidak sengaja membandingkan mantan kekasihku dengan suaminya.

"Aku ingin sesuatu yang dingin."


"Es krim?" Dia langsung menebak.

Aku mengangguk malas.

"Tapi Dina tidak akan memberikannya padaku."


Aku menunduk. Memeluk perutku.

"Tunggulah, aku akan membawakannya untukmu."

"Tapi bagaimana dengan Dina?" Aku mendongak untuk melihat wajahnya.

Dia mengedipkan matanya sebelah dan kembali mengacak rambutku.


"Jangan beritahukan padanya. Anggap ini rahasia kecil kita."

Apa yang membuatku tambah ingin menangis adalah INI.

Kandunganku sudah mencapai usia dua bulan dan aku masih 'akan' merasakan morning sick entah sampai kapan. Tiap pagi selalu berlari kekamar mandi memuntahkan air. Tidak bernafsu untuk makan, dan selalu memiliki keinginan aneh yang disebut sebagai "mengidam".

Bastian begitu memedulikan perasaan dan keinginanku. Walau Dina juga seperti itu tapi sekarang dia lebih fokus pada bayi yang kukandung. Aku tidak bisa menyalahkannya karena dia begitu menginginkan bayi ini lahir dengan sehat hingga tidak bisa lebih fokus padaku yang mengandung dan memiliki keinginan memakan sesuatu yang tidak sehat.

Aku mengangguk sebagai persetujuan dan Bastian menghilang dari hadapanku.

"Huff"

Aku kembali merebahkan diri. Tanganku menjulur keatas seakan ingin meraih langit-langit kamar yang tinggi.

***


Dina tidak bisa memberikan anak kepada keluarga Bastian karena dia mandul. Kenyataan itu dia ketahui setelah mengecek kondisi tubuhnya beberapa bulan lalu. Dia datang menemuiku menceritakan semuanya. Menangis dan hampir mengiris pergelangan tangannya karena kecewa pada dirinya sendiri.

Dan nasib sungguh mempermainkan kami dengan baik. Saat Dina terpuruk saat itu pula aku mengetahui jika aku telah di tipu oleh kekasihku. Tidak tahu siapa yang awalnya mencetuskan ide jika aku akan menjadi sukarewalan yang mengandung benih Bastian.

Kejadiannya begitu cepat dan samar-samar dalam ingatanku. Aku dan Dina sama-sama dalam kondisi tidak bisa berpikir logis. Aku hampir gila dan Dina hampir mati. Aku butuh uang. Dina butuh anak. Kami akhirnya menjadi relasi yang saling menguntungkan. Aku memiliki rahim yang Dina butuhkan untuk memberikan anak pada Bastian dan Dina memiliki banyak uang yang kubutuhkan dari suaminya, Bastian.

***


Akhirnya aku hamil melalui proses inseminasi buatan. Aku tidak perlu melakukan hubungan intim dengan Bastian. Untunglah perkembangan kodokteran memudahkan segalanya. Membayangkan berhubungan dengan Bastian yang notabene adalah suami dari Dina aku merasa jijik pada diri sendiri. Walau kuakui aku memiliki sedikit rasa terhadap Bastian tapi tetap saja akal sehatku masih berjalan.

"Huahhh." Aku mengelus-ngelus perutku.

Disini. Dalam perutku ada sebuah jiwa dari seseorang yang dicintai oleh saudariku. Disini. Dalam perutku ada sebuah raga yang akan terus berkembang dan akan kuberikan pada mereka yang membantuku.

Apa aku sedih? Tidak! Aku sama sekali tidak merasakan kesedihan apapun karena akan memberikan bayi yang kukandung pada Dina. Aku merasa jika bayi ini memang bukan hakku. Bayi ini hanya sekedar singgah dalam rahimku dan begitu lahir dia akan berada dalam dekapan orang-orang yang mencintainya.


"Aku mengurus bayi?"

Mengurus diri sendiri saja aku tidak becus. Aku masih egois dan tidak mau terikat. Maka dari itu aku lebih memilih hidup bersama dengan mantan kekasihku tanpa menikah.


"Cepatlah lahir dengan begitu aku bisa bebas untuk kembali ke klub malam bersama teman-temanku." . .

***


"Bastian!!!! Kau ingin membuatku terlihat seperti babi?" Aku merengek menjauhkan piringku.

"Gina dia hanya membantumu mengambil makanan." Dina membela suaminya.

Mereka berdua memang pasangan yang serasi, selalu menyuruhku memakan makanan yang sangat banyak. Aku sudah kenyang dan mereka masih saja menyuruhku makan. Lihat saja lemak-lemak ditubuhku. Aku bahkan tidak berani lagi berhadapan dengan cermin.

"Tapi tidak sebanyak ini!!! Huh, ini banyak sekali. Aku bisa gemuk kalau memakan semuanya."

"Tubuh ibu hamil memang seperti itu Gin, nanti jika kau sudah melahirkan tubuhmu akan kembali langsing. Aku tahu kau ingin memakannya, jadi jangan memaksakan diri untuk menahan nafsu makanmu karena takut gemuk." Bastian mengedipkan matanya padaku dan kembali menaruh udang goreng dalam piringku.

Aku ingin membantahnya namun melihat makanan yang dia sodorkan aku menutup mulutku. Nafsu makanku mengerikan. Aku benci menjadi ibu hamil. . .


***

5 bulan.


Aku semakin sulit untuk bergerak dan Dina menyiksaku dengan membawaku berkeliling Mall membeli perlengkapan bayi.

"Kenapa kau tidak pergi membelinya bersama dengan Bastian saja Dina? Aku lelah!" Aku berhenti berjalan mengikutinya.


Dia menoleh kearahku. "Bastian nanti akan menyusul Gin! Ayolah, masih ada baju-baju bayi yang ingin kubeli di toko sana."

Aku mengerutkan keningku. "Masih?"

"Yah!!!"

"Kita sudah berbelanja banyak Dina!! Kau menghambur-hamburkan uang dengan percuma!"

"Tidak ada yang percuma untuk anakku." Dia melihat perutku dengan mata yang bersinar bahagia.

Dia benar-benar membuatku lelah. Tingkahnya seperti anak kecil. Tiap hari dia memaksaku untuk melakukan hal-hal aneh. Memutar lagu klasik yang membuatku mengantuk demi bayi diperutku. Mendaftarkanku senam khusus ibu hamil. Mengajakku berjalan-jalan agar kondisi tubuhku tetap fit.

Aku lelah! Aku ingin bersenang-senang. Dan aku merindukan alkohol. Aku mual selalu minum susu.

"Ayolah Gin!!! Semangat."

"Terserah." . .


***

Bukan Bastian yang menyusul kami tapi seorang pria tampan lainnya. Dia mengenakan jas seperti direktur-direktur muda pada umumnya. Dia membungkuk pada Dina kemudian mereka berbincang sejenak tidak menyadari keberadaanku yang terduduk kehabisan tenaga di sofa toko. Aku mengelus perutku. Kebiasaan yang muncul tanpa bisa kucegah. Kebiasaan itu datang sendiri dengan semakin membesarnya perutku.

"4 bulan lagi Gin. Semangat."

Dina menoleh kearahku, bersama pria tadi dia mendekatiku.

"Gin, Perkenalkan. Ini Simon. Dia assisten Bastian. Bastian tidak bisa menyusul dan menjemput kita karena itu dia mengirim Simon."


Aku berusaha berdiri. Pria yang bernama Simon itu membantuku dengan meraih lenganku dan menarik tubuhku agar aku tidak perlu merasakan beban saat berdiri. Kalau kuperhatikan dia benar-benar tampan.

Huff.

Sepertinya penyakitku yang gampang tertarik pada pria tampan tidak terpengaruh oleh rasa traumaku pada tragedy penipuan mantan kekasihku.


"Hi Simon. Perkenalkan Gina Dharmaja."

Aku mengulurkan tangan padanya setelah sanggup berdiri dengan kakiku sendiri. Tangannya menyambut uluranku. Senyumnya indah. Aku memajukan tubuhku untuk lebih jelas melihat wajahnya. Dia memundurkan wajahnya dan kudengar Dina berdehem untuk menegurku.

"Senyummu sangat indah Simon."


Simon hanya terkekeh menutup mulutnya dengan punggung tangan dan mengangguk sembari menatapku dengan malu.

Shy man? Aku tidak pernah menyicipi pria seperti itu. Aku menyeringai. . .


***

7 bulan.

"Sejak kapan Gina menjadi dekat dengan Simon?"

Aku mendengar suara Bastian dari arah ruang tengah ketika aku ingin mengambil beberapa buah untuk kumakan. Aku mengendap seperti pencuri bersembuyi dianak tangga terakhir yang dekat dengan ruang tengah. Aku berjongkok.

"Simon? Sejak beberapa minggu belakangan. Mereka sepertinya memiliki hobi yang sama. Kenapa?"


"Tolong peringatkan saja Gina agar jangan terlalu dekat dengan Simon."

Eh? Aku mengerutkan keningku. Kenapa aku tidak boleh dekat dengan Simon? Pria itu baik. Dia bahkan mau mengerti tentang kondisiku yang tengah hamil anak mereka. Dia selalu menghilangkan rasa sepiku ketika Bastian maupun Dina terlalu sibuk untuk mengurusku. Dia selalu membalas semua pesan singkatku. Simon sering menelponku hanya sekedar mengobrol. Lantas apa yang salah? Bastian tidak mempercayai assistennya sendiri?

"Kenapa?"

"Lakukan saja apa yang kukatakan."

"Setidaknya kau memberikan alasan yang jelas Bastian."

"LAKUKAN SAJA."


Aku tersentak. Baru pertama kali aku mendengar Bastian berteriak seperti itu. Aku membatu dalam posisiku berjongkok. Dadaku bergemuruh. Aku tidak bisa membayangkan di balik senyum Bastian dia bisa melakukan hal seperti terhadap Dina. Dia berteriak didepan Dina. Aku tidak tahu bagaimana ekspresi Dina saat ini karena aku bersembunyi dari mereka, tapi dari pengalamanku hidup bersamanya selama puluhan tahun aku yakin dia akan menangis. Dina tidak tahan dengan perlakuan seperti itu. Dia tidak suka dengan hal-hal yang kasar.

"Lakukan saja apa yang kukatakan."


Aku berlari pelan kekamarku. Tidak ingin lagi mengetahui apa yang mereka bicarakan. Tidak mau mendengar suara isakan Dina yang begitu memilukan.

Ada apa dengan Bastian? . .

Aku duduk bersandar pada kursi goyangku dihalaman belakang rumah. Didepanku kolam renang besar terpampang mengundangku untuk berenang. Aku ingin sekali menyeburkan diri kedalam sana. Mengambang seperti mayat agar aku tampak bodoh. Aku menghela nafas.

***


"Apa ada hal sulit yang kau pikirkan?"

Waktu yang tidak tepat. Sengaja aku menghindari Bastian setelah beberapa malam dia berteriak pada Dina. Aku belum sanggup menghilangkan suara kasarnya dalam benakku.

Aku mengacuhkannya dengan mengangkat bahu berlagak bosan dan dengan kesialanku dia duduk disampingku.


"Apa yang kau pikirkan Gin?"

"Tidak ada!" Aku memejamkan mata.

"Kau tidak bisa membohongiku. Kau dan Dina tidak pandai melakukannya."


Bastian memang pria baik. Dia memang sangat baik dan itu membuatku sekarang muak. Bagiku saat pertama kali dia memperlakukanku begitu istimewa aku berpikir itu karena dia menghormatiku yang mengandung anak mereka. Aku bahkan merasa bagai diatas angin karena diperlakukan istimewa dan begitu berharga olehnya. Membuatku hampir menangis dan bahkan membuatku iri terhadap Dina untuk pertama kalinya.

Tapi sekarang? Sikapnya berlebihan. Aku masih tersanjung dan merasa bahagia karena dia begitu fokus padaku, tapi aku tidak suka jika dia terlalu melebih-lebihkan. Bagaimana dengan Dina? Dia terlihat tidak baik beberapa hari ini. Dia tidak lagi secerewet biasanya. Dia berhenti mengerecokiku. Dia menghindariku lebih tepatnya.

"Aku benar-benar, baik-baik saja Bastian."


Aku berdiri dan dia segera meraih bahuku untuk membantu. Aku tidak menepisnya karena aku memang butuh bantuan. Tubuhku sekarang membengkak.

"Tidak perlu lagi membantuku. Aku bisa berjalan sendiri."

Aku menolaknya halus ketika dia mulai bergerak untuk mengikutiku. Aku berharap jika ini semua hanya pemikiranku. Aku berharap. Aku berharap jika Bastian tidak menyukaiku. Jika semua ini hanya halusinasiku. . .

"Apa kau menyembunyikan sesuatu yang mengerikan dariku?"


***

Aku bertanya pada Simon. Walau aku sudah di peringatkan oleh Dina agar tidak lagi menemuinya dengan alasan berdalih jika sebaiknya aku tidak mengganggu pekerjaan Simon tapi aku tetap bersikeras menghubungi pria didepanku.

Kami duduk saling berhadapan disebuah resto yang menyajikan fried chiken. Aku sedang ingin memakan paha ayam.

"Apa kau anak seorang gangster? Atau kau seorang kriminal?"

Simon terkekeh. Aku ingin tahu. Aku ingin mencari tahu alasan di balik sikap Bastian yang melarangku untuk berdekatan dengan Simon. Aku ingin mengenyahkan asumsiku yang berbisik setiap malam dalam tidurku jika Bastian melakukan hal itu karena dia merasa terancam. Dia merasa cemburu karena keberadaan Simon yang dekat denganku. Aku menggeleng. Jangan sampai hal seperti itu terjadi. Itu gila.

"Apa Bastian menyuruhmu menjauhiku?" Dia tahu.

Dia memajukan tubuhnya. Sikunya bersandar diatas meja. Dagunya dia tempatkan diatas punggung tangannya. Simon memiringkan wajahnya dan mengedipkan matanya padaku.

"Aku tidak tahu apa yang dia katakan. Aku tidak akan menjelaskan apapun padamu. Aku hanyalah Simon. Percayai apa yang ingin kau percayai, lakukan apa yang ingin kau lakukan. Apa jawabanku cukup membuatmu puas?" . .

***


Bulan terakhir kehamilan.

Aura yang terasa di ruangan ini sangat menekan. Bastian tidak bisa menyembunyikan aura marahnya pada Simon yang duduk disisiku. Berkali-kali aku mendapati dia melirik Simon dengan tatapan ingin membunuh.

Tak ada yang bisa mencairkan suasana. Aku ingin melarikan diri dari tempat ini. Kalau aku tahu kejadiannya akan seperti ini, aku tidak akan menyuruh Simon datang. Aku tidak mengira jika Bastian dan Dina akan pulang cepat malam ini. Beberapa hari ini mereka sangat sibuk sehingga selalu pulang larut malam. Nasib sialku memang tidak ada habisnya.


"Sebaiknya aku pulang, ini sudah larut malam."

Simon melihat jam di pergelangan tangan kirinnya. Dia beranjak dari sofa ditempat kami duduk.

"Aku akan mengantarmu."

"Tidak perlu, biar aku yang mengantarnya Gin." Bastian menahanku.


Dia sudah lebih dulu berdiri dan menekan bahuku agar tidak bergerak dari posisiku. Kulihat punggung mereka menjauh dari hadapanku dan aku tidak bisa mengabaikan sebuah tatajam tajam dari saudaraku sendiri. Dina.

"Gina bisa kita bicara sebentar?" Aku menelan air liurku. . .

Dia duduk ditepi ranjang disampingku. Mungkin kami sudah menghabiskan waktu lebih dari sepuluh menit, setengah jam atau mungkin sejam. Aku tidak begitu memperhatikan waktu. Tak ada yang mencairkan suasana diantara kami. Kecanggungan ini pertama kalinya kurasa selama aku hidup bersamanya. Aku tidak berani membuka mulut. Aku takut jika aku bersuara ada hal buruk yang akan terjadi.


"Apa kau menyukai Bastian?'

Aku membatu mendengar pertanyaan Dina yang tiba-tiba. Dapat kurasa bibirku bergetar ketika ingin menanggapinya.

"Apa maksudmu Dina?"


Aku mencoba bersikap santai. Masalah ini. Aku benci dengan suasana seperti ini.

"Jawab saja Gin, apa kau menyukai Bastian?"

"Tidak! Aku tidak be-."


"Tolong kali ini bisakah kau bersikap jujur." Dina memotong perkataanku.

"Aku tahu selama ini kau selalu mencoba mengabaikan perasaanmu. Aku tahu selama ini kau selalu menyimpan perasaanmu demi kebaikanku. Tolong kali ini. Bisakah kau jawab dengan jujur, kau menyukai Bastian?"

Aku tergagap. Seperkian detik pikiranku kembali melayang di awal bulan aku tinggal dengan mereka. Sikap Bastian, perlakuan Bastian yang mengistimewakanku. Segala sesuatunya. Aku hampir mengubah jawabanku menjadi

"Ya" untuk pertanyaan Dina. "Aku ti-."

"Aku mengerti."

Dina kembali menyelaku.


"Aku akan memberikannya padamu. Aku merasa jika Bastian menyukaimu. Dan jika kau juga menyukainya aku akan mem-."

PLAK.


Aku menamparnya. Pipiku terasa panas. Dadaku bergemuruh. Aku menutup mulutku rapat-rapat dan kemudian aku menjerit.

"Gin...."

Aku merasa bagian punggungku begitu sakit. Perutku terasa mulas.


"Gin..."

"Rumah sakit, Akh! Cepat! Sakit sekali."


Aku menekan punggungku. Dina mengangguk mengerti dan berlari keluar kamarku dan kudengar dia berteriak memanggil Bastian.

Aku meringis menahan sakit dan pikiranku melayang jauh pada proses melahirkan yang akan segera kuhadapi.

"Kenapa bayi ini ingin keluar disaat yang tidak tepat?" . .

***

Aku terbangun. Mengedipkan mataku berkali-kali hingga mataku kembali bisa merefleksikan bayangan dengan jernih.

"Ouch." Aku meringis saat mencoba menggerakkan tubuhku.

Bodoh! Aku baru saja melalui proses mengerikan. Tentu saja badanku akan terasa seperti ini ketika terbangun. Aku tidak begitu mengingat prosesnya dengan jelas karena aku terlalu fokus pada rasa sakit yang kurasa. Dan demi apapun didunia ini aku bersumpah ini pertama dan terakhir kalinya aku mengandung.

"Gin." Aku menoleh ke asal suara.

Bastian yang duduk disofa tak jauh dari ranjangku menyadari kesadaranku. Dia beranjak dan berdiri disampingku. Tangannya membelai rambutku kemudian beralih ke pipiku.

Aku ingin menepisnya tapi aku tak cukup kuat untuk melakukannya. Aku mencari sosok Dina dan dia berdiri menopang diri pada handle pintu. Wajahnya terlihat lelah dan matanya sama sekali tidak bisa membohongiku jika dia terluka. Tersakiti karena melihat sikap Bastian terhadapku.

Belum sempat aku membuka mulut Dina menggeser tubuhnya. Seorang perawat masuk membawa buntalan kecil dalam lengannya.

Bayiku. …..Bukan, bayi mereka.

Perawat itu mendekat dan dia menidurkan bayi yang dia gendong disamping tubuhku namun Bastian langsung meraihnya dan menyuruh Perawat itu alih-alih menidurkan bayi itu disampingku kedalam gendongannya. Mata Bastian berbinar bahagia.

"Halo cantik." Bastian mencolek pipi bayinya.


Cantik? Aku lupa bayi yang kukandung adalah seorang perempuan. Aku tidak begitu bersemangat saat mereka melakukan pengecekan jenis kelamin beberapa bulan lalu hingga tidak memperhatikan dan akhirnya melupakannya begitu saja.

"Kau wangi sekali." Bastian mencium pipi bayinya dengan penuh kasih.


Keningku berkerut. Bukankah sekarang ini seharusnya perasaanku menjadi tersentuh melihat pemandangan didepan mataku? Seharusnya aku menangis bahagia penuh haru biru melihat bayi yang kuperjuangkan untuk hidup di dunia ini telah lahir dan begitu di cintai oleh orang-orang sekitarnya.

Tapi, mengapa tak ada sedikitpun perasaan itu muncul memenuhi hatiku. Aku tetap tidak memperdulikan bayi yang baru saja kulahirkan dengan mempertaruhkan nyawa. Tidak perduli jika Bastian dan Dina akan mengambilnya. Aku malah merasa LEGA. Akhirnya kebebasanku kembali.


Kulirik Dina. Dia seperti terkucil dalam ruangan ini karena Bastian begitu terhanyut dengan bayi yang berada dalam buaiannya. Dina tampak ingin berlari keluar dan berteriak kemudian menangis untuk menghilangkan sesak yang dia rasa.

Aku bergerak mengabaikan rasa sakit dari tubuhku dan lagi sebelum aku sempat berbicara Bastian mendahuluiku.

"Dina..." Bastian memanggilnya dengan nada terindah yang pernah kudengar.

Dia tersenyum dengan air mata yang tergenang disudut mata besarnya. Dia mengangkat bayinya kearah Dina. Menyodorkannya agar Dina meraihnya.

"Dia cantik sekali. Anak kita Dina. Kau tidak ingin menggendongnya?"

Tangis Dina pecah dan kulihat Bastian menjadi panik. Dia menyerahkan bayinya padaku dan aku tergagap menerimanya. Bagaimana posisi yang benar menggendong bayi?

Aku meletakkan kepala mungilnya pada lengan atasku dan sebagian tubuhnya bersender diatas perutku. Apa ini sudah benar? Aku begitu sibuk mencoba mencari posisi yang nyaman untuk bayi mereka sehingga terkesiap begitu pertama kali aku melihat wajahnya.

Bastian benar. Dia cantik sekali. Bayi mereka benar-benar sempurna. Aku mulai membelai pipinya dan dia membuka mulut mungilnya.


"Kau benar-benar cantik."

Aku mencoba mencari rasa keibuan yang sering kudengar oleh orang lain. Insting yang akan datang ketika kau menjadi seorang ibu. Dimana seorang ibu akan memiliki rasa menyayangi dan melindungi yang tinggi untuk anak mereka dan lagi keningku berkerut.

Aku tidak menemukannya bahkan ketika bayi dalam buianku menghisap telunjukku. Perasaan atau insting keibuan tidak ada dalam nadi-nadiku. Aku memang menganggumi bayi dalam dekapanku tapi untuk menjaga dan memilikinya? Sama sekali tak terbersit dalam pikiranku.


"Hiduplah yang baik. Tumbuh yang cantik dan bahagia bersama orang tuamu. Mengerti?"

Aku mencium keningnya yang wangi. Kubiarkan pasangan didepanku berbicara mengenai perasan mereka. Sekarang ini aku hanya ingin menikmati rasa hangat yang menyelimuti hatiku. Bukan karena bayi ini. Aku masih berasumsi jika dia bukan milikku tapi milik mereka.

Aku akhirnya mendapatkan jawaban dari pertanyaanku. Aku melihat dari mata Bastian ketika dia menyodorkan bayi ditangannya kearah Dina. Dia tidak memiliki perasaan khusus untukku. Perlakuannya murni hanya karena Bastian perduli padaku yang mengandung anak mereka. Dia hanya mencintai saudariku. Dimatanya hanya ada Dina.

Aku yakin selama ini Bastian pasti selalu berspekulasi jika aku adalah duplikat Dina. Jika aku hanyalah sekedar wanita yang agak mirip dengan Dina yang meminjamkan rahim demi kebahagiaan mereka. Wanita yang dia hargai karena telah rela mempertaruhkan nyawa demi melahirkan anak mereka. Semua perlakukannya murni karena rasa keperdulian dan menghormatiku. Bastian mencintai Dina. Asumsiku sangat salah dan itu membuatku ingin tertawa.

Tapi satu hal yang masih mengganjal dalam pemikiranku. Kenapa Bastian melarangku untuk berhubungan dengan Simon jika dia tidak memiliki perasaan apapun terhadapku? . .

*****


"Jadi?"

"Seperti itulah."

Aku duduk diatas meja ruang kerja Dina yang berada di rumahnya. Pasca melahirkan 4 bulan yang lalu aku memutuskan untuk pergi dan tinggal di apartemenku sendiri. Walau aku harus menghadapi penolakan Dina dan Bastian terlebih dahulu, mati-matian menyakinkan mereka jika aku lebih nyaman hidup sendiri dan tidak ingin membebani mereka. Akhirnya sekarang aku hidup bebas sendirian.

"Apa maksudmu seperti itulah Dina?" Aku menaikkan satu alisku.

Tanganku menyilang. Yang benar saja. Bastian begitu bodoh. Sangat bodoh. Dia kuberikan predikat pria terbodoh di planet ini.


"Dia melarangku berdekatan dengan Simon karena dia tahu Simon adalah pria bejat yang suka mempermainkan wanita?"

Dina mengangguk.


"Dan dia merahasiakan alasannya karena dia takut begitu dia mengatakan hal itu kau akan bertanya lebih jauh dan mengorek dari mana dia mendapatkan informasi itu dan kemudian jika dia menjelaskan dia dulunya bersama Simon adalah pria seperti itu dia takut kau akan meninggalkannya?"

Lagi Dina mengangguk. Aku tertawa.

"Gin.."

"Suamimu itu bodoh. Dia tidak mengenalmu. Hanya karena dia dulu brengsek bukan berarti kau akan meninggalkannya kan?"

"Dia takut aku kecewa Gin. Dia begitu takut jika aku meninggalkannya jika tahu masa lalunya yang 'hitam'. Dia tidur dengan siapapun yang menawarkan diri padanya. Dia suka mempermainkan hati orang yang menaruh hati padanya, dia takut jika aku mengetahuinya pandanganku terhadapnya akan berubah."


"Dia bodoh." Ucapku.

"Aku tahu. Dia begitu bodoh hingga aku menghajarnya."

Menghajarnya? Aku turun dari meja kerja dan menghampiri Dina. Dia bisa menghajar orang lain? Ini informasi baru untukku.


"Bagaimana kau menghajarnya?" Tanyaku.

"Itu rahasia!!!" Wajah Dina memerah.

"Yang jelas mulai sekarang jangan dekati Simon karena menurut Bastian, Simon belum berubah sama sekali. Saat bersamamu pun Simon selalu menggandeng wanita yang berbeda-beda. Maka dari itu Bastian begitu cemas padamu."

Aku hanya diam tak memberikan reaksi apapun.


"Gin, Jangan dekati dia lagi. Mengerti?"

Aku memiringkan wajahku dan menatap mata Dina. Bibirku menyeringai.

"Kau tidak perlu memikirkan hal itu Dina. Kau mengenalkukan?"

"Karena aku mengenalmu maka-"

"Sst, tenang saja. Aku bisa menjaga diri, lagipula ada hal penting yang ingin kutanyakan. Bagaimana dengan anakmu?"


Air muka Dina berubah. Berseri-seri dan tampak sangat bersemangat. Aku harus menyiapkan diri selama berjam-jam dari sekarang karena Dina akan mulai berdongeng begitu anaknya di bahas. . .

***

Aku menjatuhkan tas channelku begitu saja diatas meja dan duduk menyenderkan punggungku pada sofa. Aku menghirup udara sebanyak-banyaknya.

"Kau sepertinya frustasi."

Aku tidak menoleh untuk melihatnya. Aku hanya diam duduk dengan nyaman.

Kurasakan pergerakkan kecil disamping tubuhku. Dia duduk dan menaruh gelas berisi air putih diatas meja. Aku langsung menyambarnya dan tanpa pikir panjang menegaknya sampai habis. Jemari tangannya mengusap bibir bawahku. Menyeka air yang menetes.

"Ada apa, hahh?"

Aku menolak untuk menjawabnya. Aku mengalungkan tanganku dilehernya dan mengangkat tubuhku mengangkang diatas pahanya. Tangannya secara otomatis melingkar dipinggangku.

"Dina baru saja mengingatkanku untuk menjauhimu."

Simon terkekeh.

"Lalu? Apa sekarang aku harus mengucapkan salam perpisahan denganmu?"

Aku berpura-pura berpikir. Simon menantiku. Aku mengangkat bahu.

"Tergantung." Kataku mulai menciumi lehernya dan membuat nafas Simon mulai memburu.


Tangannya mulai bermain dipahaku.

"Tergantung?" Tanyanya meraih daguku agar wajah kami saling berhadapan.


"Kalau kau mulai mengajakku menikah aku akan meninggalkanmu."

Simon tertawa keras. "Ck, kau wanita teraneh yang pertama kalinya kutemui! Selama ini aku selalu dituntut untuk menikahi wanita-wanita yang kukencani dan kau? Kau malah mengancam akan meninggalkanku jika aku memintamu menikahiku?"

Aku memutar bola mataku. "Kau tahu aku tidak suka terikat."

"Aku tahu, maka dari itu aku lebih menyukaimu daripada wanita-wanita lain yang kukencani."

"Apa masih ada wanita lain selain aku?" Aku memicingkan mataku dan Simon terkekeh geli.

"Apa kau sekarang perduli dengan wanita-wanita lainnya? Bukankah kau memberikanku kebebasan selama aku berada diluar? Bukankah kita hanya menc-"

"God Simon! Aku hanya bertanya!" Aku memukul pelan bahunya.


"Aku tidak peduli dengan wanita yang kau kencani. Tidak peduli jumlah mereka. Selama kau bisa memberikan apa yang kuinginkan, selama kau tidak menuntutku menikah itu semua tidak masalah. Mengerti?"

"Aku mengerti Gin, tidak menikah. Tidak terikat. Tidak mencampuri urusan pribadi."


Aku membelai kedua sisi pipinya dan tersenyum.

"God Boy. Sekarang bisa kita mulai kesenangan kita?"

Aku mengedipkan sebelah mataku dan Simon langsung bereaksi mengangkat tubuhku. Dia berjalan perlahan menuju kamar utama. Aku menyeringai. . .

END
 
Terakhir diubah:
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd