Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

MISTERI Gapura [LKTCP 2018]

Earmuffs

Semprot Baru
Daftar
25 Oct 2017
Post
30
Like diterima
9
Bimabet
Selamat pagi / siang / sore / malam / subuh.

Saya sampaikan terima kasih kepada setiap pihak yang sudah menyelenggarakan ajang LKTCP ini. Saya doakan, ajang ini dapat terselenggara dengan baik.

Sebagai salah seorang 'pendatang baru', saya meminta izin kepada anda sekalian untuk menampilkan karangan cerita yang telah saya ciptakan.

Semoga kehadiran cerita ini mampu membuat anda sekalian terhibur.



screen-5.jpg


Kampung Langgasbuana. Pagi ini, matahari unjuk diri dengan segala keperkasaannya di angkasa, sementara angin sejuk dengan getol bersemilir di bawahnya. Keduanya saling menimbal dalam menciptakan hawa yang diinginkan tubuku. Aku menikmati itu semua dari kursi beranda rumahku, rumah yang baru kubeli beberapa waktu lalu; dengan secangkir teh di tangan. Aromanya membuatku begitu nyaman, selaras dengan suasana yang ditawarkan kampung ini. Kuteguk teh itu hingga lesap.


Cairan demi cairan yang mengalir masuk ke dalam tenggorokan membuat pikiranku mengawang kembali ke masa mudaku, kira-kira sepuluh tahun yang lalu. Bermula dari hasrat yang menggebu dalam mencari peruntungan, aku memutuskan untuk meninggalkan kampung ini dan pergi ke kota. Lika-liku kehidupan kemudian menghantamku satu per satu. Aku sempat terombang-ambing dan limbung untuk beberapa bulan, sebelum akhirnya berhasil mendapat pekerjaan di sebuah pabrik tekstil. Tak lama kemudian, kedua orangtuaku meninggal dunia dalam waktu berdekatan. Kejadian ini secara tidak langsung membuat semangatku terpacu. Aku terus mengembangkan karir hingga jabatan tertinggi berhasil diraih. Belum puas, aku memutuskan untuk membangun sebuah usaha yang menyatukan penjualan baju dan kedai dalam satu toko. Tak dinyana, usaha itu sukses besar. Setelahnya, aku pun kewalahan. Aku tak kuasa bekerja pada dua tempat yang menyita perhatianku sekaligus. Lantas, kuputuskan untuk mundur dari pekerjaan di pabrik dan memilih fokus pada toko baju dan kafe.



Semua jerih payahku selama ini terbayar tuntas. Tabunganku bisa dikatakan telah melebihi ambang cukup. Aku berhasil menjadi salah satu orang sukses di kota yang berangkat dari kampung, yang mana merupakan keinginan terpendam almarhum dan almarhumah orang tuaku. Sekarang, aku mampu lebih menikmati hidup, dan inilah salah satu kenikmatan itu: mempunyai rumah baru di kampung. Pemandangan indah, udara sejuk, jauh dari suara bising kendaraan, dan bercengkerama dengan penduduk pinggiran yang tak semunafik warga kota adalah empat dari berpuluh-puluh alasan keuntungan lain yang membuatku memilih untuk membeli rumah lagi di kampung setelah rumah orangtuaku dirubuhkan karena keadaannya begitu mengenaskan; reot dan tak bisa diperbaiki. Lagi pula, ini kampungku sendiri. Kampung yang kucintai. Kampung yang sudah kukenal dari cilik hingga remaja.


Lamunanku terputus tatkala mendengar suara gaduh dari arah gapura. Para warga terlihat berbondong-bondong datang ke sana. Aku lantas menaruh cangkir teh di meja dan segera menyusul. Sesampainya di sana, aku mendapati kehadiran pemimpin kampung. Dia sedang dikerubungi warga, dan mereka begitu berisik. Aku tidak dapat mendengar dengan jelas apa yang sedang dipergunjingkan.


"Ada apa?" tanyaku pada salah satu warga.


"Gapura kita dicoret-coret," jawabnya.


"Siapa yang jahil?"


"Tidak tahu."


Aku berjalan beberapa langkah untuk melihat gapura itu. Dia benar. Sisi kiri dan kanan gapura yang berwarna cokelat telah dinodai dengan berbagai macam tulisan dari kapur putih. Setelah kulihat lebih saksama, tulisan itu tampak seperti daftar. Tajuknya adalah Rahasia. Di bawahnya, terdapat berpuluh-puluh nomor beserta kalimat. Tak terlihat secara pasti ada beberapa nomor di sana, sebab pandanganku terhalangi warga.


"Para warga sekalian." Suara laki-laki tua yang menggunakan toa terdengar. Itu pemimpin kampung. "Saya mohon anda sekalian untuk sabar. Kami akan berupaya melakukan penyelidikan. Untuk sementara, para warga dipersilahkan kembali menjalankan aktivitasnya seperti biasa."


Para warga menurut. Mereka perlahan bubar dengan sendirinya. Kini, aku bisa melihat dengan jelas seluruh bangunan gapura. Daftar itu memiliki dua puluh nomor. Dengan cekatan, kuambil ponsel yang berada di saku celana dan memotret gapura itu diam-diam.


-----

Rahasia


1. Anggara: Mencuri ayam milik Kinan.


2. Abdul: Mencuri uang orang tuanya untuk berjudi; menyerempet mobil Dodit.


3. Bayu: Membocorkan ban motor Sinta dengan sengaja.


4. Caca: Mencuri perhiasan orang tuanya.


5. Darmawan: Berjudi dengan Abdul.


6. Desi: Mengetahui Abdul mencuri uang orang tua, tetapi tidak menyadarkan.


7. Elang: Memberikan permen bekas yang telah diemutnya pada Fahmi.


8. Erik: Mencuri buah mangga dari pohon milik Rusmadi.


9. Fani: Mengetahui Caca mencuri perhiasan orang tuanya, tetapi tidak menyadarkan.


10. Fardi: Mengetahui kalau Tuti dan Sarmono selingkuh, tetapi tidak menyadarkan.


11. Jatmiko: Kencing di bawah pohon mangga milik Wirawan.


12. Ratih: Selingkuh dari Haris; memecahkan bola plastik milik Elang.


13. Rudi: Kencing di bawah pohon mangga milik Wirawan.


14. Santi: Memecahkan kaca rumah Desi dengan batu.


15. Sarmido: Mencuri pot bunga.


16. Sarmono: Selingkuh dengan Tuti.


17. Tania: Membunuh anjing milik keluarga Dodi.


18. Tuti: Selingkuhan Sarmono.


19. Yadi: Menutup jalan menuju rumah Odank dengan motor; mencuri buah rambutan dari pohon milik Dumardi; mencuri buah pepaya dari pohon milik Zebadiah; membuang sampah pada halaman rumah Ingga.


20. Zulkarnaen: Mematahkan tongkat neneknya.



Siang hari. Aku duduk di beranda rumah. Mataku terikat pada layar ponsel yang sedang menampilkan gambar gapura yang kuambil pagi tadi. Kucermati isi daftar dengan saksama berulang kali. Aku geleng-geleng kepala. Daftar itu merupakan rahasia 'dosa' yang telah dilakukan para warga, dari perihal sepele seperti menutup jalan rumah tetangga dengan memarkir motor sembarangan, hingga yang krusial seperti merusak kaca rumah tetangga dengan lemparan batu. Nama-nama yang tercantum di sana hampir separuhnya kukenal. Setahuku, kampung ini begitu tentram dan aman. Tidak ada permasalahan besar yang terjadi di antara warganya.


Naluri detektifku terbit. Aku ingin mencari tahu sendiri siapa pelakunya. Tetapi sebelumnya, aku merasa harus mewawancarai orang-orang yang masuk ke dalam daftar itu untuk membuktikan apakah isinya berupa kebenaran atau bualan belaka. Jika semuanya benar, maka sebuah kemungkinan motif yang kupikirkan dapat tersingkap: sang pelaku mempunyai dendam terhadap dua puluh orang yang berada di dalam daftar.


-----


Setelah mengisi perut dengan masakanku sendiri, aku menghampiri orang yang namanya berada di urutan ke sepuluh dalam daftar itu: Fandi. Pada daftar itu, tercantumkan kalau dia melakukan satu rahasia 'dosa', yakni menyembunyikan fakta bahwa Tuti adalah selingkuhan dari Sarmono yang telah memiliki istri. Aku kenal Fandi. Dialah yang mengurus pembelian rumahku ini dari pemiliknya yang lama. Sengaja kujadikan dia sebagai narasumber pertama karena biasanya orang yang sudah dekat lebih mudah untuk diajak berbincang mengenai topik yang sensitif.


Jarak rumah Fandi dari rumahku sekitar satu kilometer. Kutempuh dengan berjalan kaki, agar bisa sekaligus berolahraga. Jalannya tidak beraspal dan sedikit berbatu, jadi aku berhati-hati agar tak terpeleset. Selama perjalanan, aku mendapati kehadiran aneka hewan: sapi, bebek, serta ayam. Tak terlupa, bau kotoran hewan yang menyapa cuping hidungku. Aku tak protes. Aku justru menikmatinya karena itu alam.


Akhirnya aku tiba di depan sebuah rumah minimalis berwarna putih dengan nomor 33 milik Fandi. Rumahnya tak memiliki pagar. Aku maju ke depan hingga mencapai muka rumah.


"Permisi," sapaku sembari mengetuk pintu rumahnya. Pintu itu tak lama terbuka. Fandi keluar dari dalam.


"Eh, Mas Bono," ucapnya ramah. "Ada apa?"


"Mau berbincang dengan Mas Fandi, boleh?"


"Oh, silahkan."


Dia memperbolehkan diriku masuk. Ruang tamunya kecil dan sederhana dengan warna putih yang pucat. Tidak ada aksesoris megah terlihat, kecuali jika aku mau memasukkan jam dinding berlogo salah satu bank swasta yang terpacak di salah satu sisi dinding. Kuyakin dia mendapatkan itu secara cuma-cuma, toh dia memang bekerja di sana.


"Mau minum apa?" tanyanya.


"Air mineral saja," jawabku.


Dia kemudian pergi ke dapur dan kembali dengan segelas air mineral. Kuteguk seperempat isinya.


"Mau membicarakan apa ya?" tanyanya sembari menggaruk dagu. Aku mengusir rasa gatal yang mulai menganggu tenggorokanku dengan berdehem.


"Apakah Mas melihat gapura itu?" tanyaku.


"Iya." Dia mengangguk. "Kurang ajar."


Dia tertawa, aku ikut tertawa.


"Paling juga pelakunya anak iseng," lanjutnya. Aku menghela napas.


"Tapi bagaimana dengan rahasia Mas yang tertulis di gapura? Apakah Mas risih?"


Dia terdiam. Aku perlu kepastian. Kulancarkan serangan berikutnya.


"Apakah itu benar?"


"Bohong. Seratus persen bohong," jawabnya sembari melihat ke arah kanan atas. Aku mengangguk-anggukkan kepala dengan pelan berulang kali. Setahuku, orang yang melakukan gerakan tersebut jika dilontarkan pertanyaan adalah orang yang sedang mengarang karena belum siap dengan sebuah jawaban. Aku curiga terhadapnya. Ingin kubertanya lebih lanjut, tetapi mimik wajanya sudah menunjukkan kejengkelan dan kejengahan yang kentara. Dia sudah tak bisa diandalkan. Aku harus bergerak pada narasumber selanjutnya. Kuputuskan untuk memilih Sarmono karena diriku kadung penasaran dengan kasus perselingkuhan ini.


"Sarmono ini yang tinggal di mana?"


Dia terdiam sejenak. Dia menatapku dengan tatapan curiga.


"Kurang lebih satu kilometer ke kiri dari rumah saya, yang nomor 50," ucapnya. "Memangnya, Mas mau apa?"


Aku tersenyum. Kubuat diriku setenang mungkin.


"Bersilaturahmi saja. Tidak salah, kan?" ujarku. "Lagi pula, aku terhitung pendatang baru di sini."


Dia mengedikkan bahu. Aman. Dia percaya. Aku lantas pamit dan segera pergi meninggalkan rumahnya. Tungkai-tungkai kakiku terus bergerak, memperteguh keyakinanku untuk memecahkan kasus ini di setiap tapaknya.


-----


Langkahku terkunci. Aku tertegun. Rumah Sarmono terhitung istimewa untuk ukuran kampung. Tidak ada pekarangan, tetapi bentuk bangunannya sendiri cukup besar serta terdiri atas dua lantai. Kalau di kota, rumah macam ini pasti dimiliki oleh kalangan menengah ke atas. Aku mendekat ke arah pagar. Disamping pagarnya terdapat bel. Kutekan bel itu. Seorang perempuan berambut keriting keluar dari dalam rumah. Dia menghampiriku.


"Mau cari siapa, Mas?" tanyanya. Kusunggingkan senyum.


"Pak Sarmononya ada?" tanyaku balik.


"Oh, sedang pergi," jawabnya. "Sebentar lagi mungkin kembali. Ada perlu apa?"


"Saya baru di kampung ini. Ingin bersilaturahmi saja," kataku. Dia mengangguk. Aku terdiam. Jalan buntu terpampang dihadapanku. Aku harus menyusun siasat agar diperbolehkan masuk.


"Sebaiknya saya pergi saja," ucapku.


"Tidak usah," balasnya. "Masuk saja. Lima belas menit lagi mungkin bapak akan pulang."


Berhasil. Dibukakannya pagar untukku. Aku pun berjalan dan masuk ke area ruang tamu. Mataku seketika membeliak. Astaga! Semuanya serba keramik; mulai dari jam dinding, meja, hingga pot untuk bunga artifisial. Orang ini pasti tajir melintir.


"Mau minum apa?" tanyanya.


"Air mineral saja," jawabku.


Dia pergi ke dapur. Aku mendaratkan bokongku di sofa ruang tamu. Sangat nyaman. Permukaannya begitu mulus. Kuduga bahannya berasal dari kulit hewan. Dia kembali ke ruang tamu dengan segelas air mineral.


"Bapak Sarmono ini kerja apa, kalau boleh tahu?" tanyaku. Dia menaruh gelas di atas meja.


"Pemilik ladang, sekaligus tuan tanah," jawabnya. Pantas. Dia kemudian duduk pada sofa lain yang letaknya berhadapan denganku.


"Mas, kapan tiba di sini?" tanyanya.


"Tiga hari yang lalu," jawabku.


"Asalnya dari mana?" tanyanya lagi.


"Kampung ini," jawabku. Dia mengernyit heran.


"Saya merantau ke kota waktu umur dua puluh tahun," jelasku. Dia mengangguk - angguk.


"Lha, kenapa balik?"


Kuambil gelas lalu kuteguk isinya sekali.


"Kangen kali, ya?" ujarku tertawa kecil. Dia tersenyum. Aku meletakkan kembali gelas ke atas meja.


"Maaf, Mbak ini siapa?" tanyaku. "Istri pak Sarmono, kah?"


"Saya Tuti, pembantunya," jawabnya. Aku tersenyum. Ini dia. Informasi bisa kukorek darinya.


Seorang perempuan lantas keluar dari salah satu pintu kamar. Dia berjalan begitu tertatih dan lambat, padahal usianya kutaksir tak begitu tua. Tubuhnya kurus kering. Dia tampak begitu kucel.


"Eh, Ibu!" teriak Tuti. Dia segera menghampiri perempuan itu dan memeganginya.


"Ibu bilang-bilang dong kalau mau keluar," katanya. Perempuan itu hanya tersenyum.


"Ibu, mau ke mana?" tanya Tuti.


"Kamar mandi," jawab perempuan itu. Tuti berdecak.


"Ibu kan bisa bilang ke saya. Kalau terjadi apa-apa, bagaimana?"


Perempuan itu tersenyum lagi. Tuti lantas mengantarkannya ke kamar mandi.


"Nanti bilang ya kalau sudah selesai?" pintanya pada perempuan itu.


"Iya," balas perempuan itu. Pintu kamar mandi kemudian tertutup. Tuti kembali ke ruang tamu. Otakku dibuat gatal dengan sebuah pertanyaan.


"Siapa itu?" tanyaku.


"Istrinya pak Sarmono," jawabnya sembari duduk. "Lima tahun terakhir sakit keras. Dia diagnosis menderita kanker."


Aku menelan ludah. Tiba-tiba, aku merasa paham dengan tindakan Sarmono. Mungkin dia lelah tak mendapat perhatian apa-apa dari istrinya. Aku mendadak segan untuk bertanya lebih lanjut, terlebih orang yang dikhianati ada di sekitar sini, dan dia sakit. Aku tak mau membuatnya tambah menderita.


"Tuti?" Panggilan perempuan itu terdengar menggema dari kamar mandi. Tuti menundukkan kepalanya.


"Sebentar ya, Mas?" izinnya. Dia bangkit berdiri lalu pergi ke muka pintu kamar mandi. Pintu kamar mandi kemudian terbuka dan Tuti segera memegangi perempuan itu.


"Ada siapa?" tanya perempuan itu sembari berjalan keluar.


"Tamu, Bu," jawab Tuti. "Cari pak Sarmono."


Perempuan itu menatap Tuti. "Boleh aku ke depan?"


Tuti menghela napas. "Ibu sebaiknya di kamar saja. Nanti capek."


Perempuan itu berhenti berjalan. Tuti mengernyit.


"Tenang saja," ucap perempuan itu. Seperti tersihir, Tuti pun dibuat menyerah. Dituntunnya perempuan itu ke ruang tamu.


"Sore, Mas," sapa perempuan itu seraya tersenyum padaku. Aku membalas senyumnya.


"Sore."


Perempuan itu dan Tuti duduk bersampingan.


"Mau cari siapa?" tanya perempuan itu.


"Pak Sarmono," jawabku. Perempuan itu menoleh ke arah Tuti.


"Suamimu ke mana?"


Aku mengernyit. Tuti menyenggol lengan perempuan itu.


"Kenapa Kamu senggol saya?" tanya perempuan itu kepada Tuti. Nadanya tidak terkesan mengancam, cenderung merendah.


"Ibu gak boleh begitu," jawab Tuti. "Sarmono itu suaminya Ibu."


Sepertinya mereka lupa dengan kehadiranku di sini.


Perempuan itu mengernyit. "Lha, saya salah? Kamu kan sudah jadi istrinya pak Sarmono sekarang."


Aku menelan ludah. Sebentar lagi, aku akan menyaksikan drama secara cuma-cuma.


"Buat apa? Sebentar lagi juga tempat tinggalku pindah ke kuburan, jadi debu tanah." Perempuan itu terdengar bergetar suaranya. "Pak Sarmono juga sudah bilang padaku dari beberapa bulan yang lalu. Aku mengerti, kok."


Bulir air mata perlahan mencelat keluar dari mata perempuan itu. Tuti mengelus-elus lengan perempuan itu.


"Pak Sarmono tidak selingkuh. Aku yang menyuruhnya. Kupikir kamu pantas untuknya," lanjut perempuan itu. Tuti menggeleng kencang. Dugaanku sebelumnya ternyata dimentahkan.


"Sudahlah. Aku mengikhlaskan Sarmono untukmu." Perempuan itu sekarang mengelus rambut Tuti lembut.


"Tidak," balas Tuti terisak. "Aku tidak ingin Sarmono. Aku hanya ingin merawat Ibu. Kalau ada orang di rumah ini yang begitu kusayang, itu hanya Ibu."


Tuti mengusap bekas lintasan bulir air mata di pipi perempuan itu dengan jempolnya. Aku mendadak merasa tak enak. Kehadiranku di sini tak dibutuhkan. Akal sehatku mengatakan untuk memberi mereka ruang berbicara. Aku harus pamit undur diri.


"Mmm..." Aku berusaha memanggil kata demi kata yang tercecer di otak untuk menyusun sebuah alasan yang masuk akal. Kesukaran menyelimutiku. Kedua perempuan itu menoleh dan menungguku untuk berbicara.


"Maaf, saya ada urusan," kataku. "Tadi ada yang sms. Harus segera pulang."


"Gak jadi tunggu pak Sarmono, Mas?" tanya Tuti.


"Tidak. Harus buru-buru," jawabku seraya bangkit berdiri. "Tidak apa-apa, kan?"


"Tidak." Tuti menggeleng. Aku tersenyum.


"Baiklah, kalau begitu. Selamat sore."


Kulangkahkan kaki untuk keluar dari rumah Sarmono. Nalarku bereaksi. Pernyataan pada daftar itu memang terbukti keabsahannya. Tetapi, sang penulis daftar nampaknya tak tahu apa yang terjadi di belakang. Dia hanya seorang pengintai.


-----



Aku harus mencari sumber informan baru untuk memperteguh keyakinan yang berhasil kudapatkan. Kunyalakan ponsel dan kulihat kembali daftar itu. Satu nama menarik perhatianku: Yadi. Dia sahabat karibku semasa kecil hingga pemuda. Pernyataan mengenai dirinya tercantum paling banyak dalam daftar itu. Kuputuskan dia sebagai target selanjutnya. Rumahnya hanya berjarak beberapa ratus meter dari rumah Sarmono.


Tak butuh waktu lama bagiku untuk sampai di depan rumah Yadi. Kuamati baik - baik rumah itu dengan dua bola mataku. Keadaan rumahnya begitu jomplang jika harus dibandingkan dengan rumah Sarmono. Rumah ini sederhana, setipe dengan kepunyaan Fandi. Aku berniat mengetuk pintu, tetapi terlambat sepersekian detik dengan terbukanya pintu. Tubuh gemuknya seketika keluar. Dia nyaris tak berubah semenjak terakhir aku melihatnya, hanya bertambah tinggi.


"Hai, No!" sapanya antusias. Dia langsung memelukku kencang. "Bagaimana kabarmu?"


"Baik," balasku sambil menepuk pundaknya. "Kamu?"


"Baik juga."


Dia melepas pelukannya. Aku berusaha mengatur napas. Aku serasa digencet babon.


"Lama tak melihatmu. Mari masuk."


Aku masuk ke dalam ruang tamunya. Segalanya serupa dengan ruang tamu rumah Fandi, hanya saja jam dindingnya berlogo kesebelasan bola Newcastle United. Tidak aneh. Dia penggemar fanatik liga Inggris.


"Aku sudah melihatmu berjalan ke sini dari kaca, makanya langsung membuka pintu," katanya. "Mau minum apa? Teh? Kopi?"


"Air mineral saja," jawabku. Dia menggeleng berulang kali.


"Dari dulu kamu selalu minum air mineral, tidak pernah yang lain."


Aku tersenyum melihat reaksinya.


"Tidak apa-apa, dong. Kan, sehat."


Dia menggaruk dagu. "Iya juga, sih."


Dia lantas mengambil termos dan gelas dari dapur dan menaruhnya di atas meja. Kutuang isi termos ke dalam gelas.


"Kamu sekarang kerja apa?" tanyaku. Dia duduk di sofa.


"Petani," jawabnya.


"Petani?" tanyaku tak percaya. "Memangnya kamu bisa?"


"Tidak. Tapi, aku punya suruhan. Omsetnya lumayan, lho," ujarnya. "Kamu?"


"Punya toko baju dan kafe." Aku tersenyum. Dia memajukkan bibirnya.


"Sombong."


"Lha, sama punya sawah sombongan mana?" tanyaku membantah. Kami berdua serempak tertawa.


"Ah, melihatmu datang, aku jadi teringat masa remaja kita. Masa-masa terbaik itu," katanya sembari mendongak ke kiri. Hal wajar yang dilakukan seseorang ketika berusaha mengingat sesuatu. Dia lalu kembali menatapku, "Kamu ingat sahabatmu selain aku?"


"Dodi, Rino, Abdi," jawabku.


"Seratus," balasnya.


"Ke mana mereka?" tanyaku.


"Semuanya menetap di kota," jawabnya. Aku mengangguk. Dia mengedikkan kepalanya ke arahku.


"Ingat betapa pemalu dan lugunya Kamu dulu?"


"Dan kamu yang paling bandel," balasku.


"Ya, ya, ya," katanya sembari menganggukan kepala. "Aku bangga bisa memperkenalkan seks padamu. Menjadi saksi bagaimana Kamu bermasturbasi pada komik stensilan, dan saat pejumu keluar, kamu bertanya, 'ingus aku kok keluar dari bawah?'"


Dia menyeringai begitu lebar; aku cemberut luar biasa. Mengapa dia masih ingat hal itu?


"Tapi yang paling kuingat dari semua momen bersamamu adalah saat Kamu dan tiga kawan kita yang lain berpesta miras sebelum melepasmu ke kota," lanjutnya. "Awalnya Kamu tidak mau, tapi karena kepandaian bujuk rayuku,"


"Atau ketololanku," selaku sembari tersenyum.


"Atau ketololanmu," sambungnya, "Kamu mau meminum miras. Kataku dulu, minum miras itu laki, padahal perempuan juga boleh minum." Dia tertawa kecil. "Kita akhirnya jadi melaksanakan pesta itu di hutan."


Aku mengernyit. "Aku tidak mengingat bagian itu."


"Wajar lupa. Kamu mabuk." Dia berdecak. "No, kita sempat minum dulu di rumahku sebelum berangkat, dan Kamu keburu mabuk," ujarnya. "Lalu, baru beberapa botol kita minum di hutan; aku, Dodi, Rino, dan Abdi dikejar - kejar anjing. Kamu tidak bergerak sama sekali karena merasa tidak takut. Betapa bodohnya kami waktu itu karena tidak tahu kalau anjing justru akan menyerang seseorang jika dia bergerak secara tiba-tiba. Kemudian, saat kami kembali, kamu sudah tergeletak pingsan. Kami khawatir Kamu terluka. Untungnya tidak apa - apa."


"Aku juga tidak mengingat bagian itu. Aku hanya teringat kalau diriku terbangun di rumahmu," balasku. Dia tersenyum.


Aku tertawa kecil. Hening di antara kami berdua kemudian terjadi. Kulihat gelasku masih terisi penuh. Saat itu, aku baru teringat dengan maksud kunjunganku ke rumah ini. Dasar, nostalgia sialan.


"Hei, apakah Kamu sudah melihat keadaan gapura?"


"Sudah." Dia mengangguk.


"Bagaimana pendapatmu menganai coret - coretan itu?"


Dia tertawa kecil.


"Aku tak menganggapnya sebagai masalah besar."


"Tetapi yang di-"


"Memang benar," potongnya. "Semua yang ditulis mengenai perbuatanku di sana benar. Menghalangi jalan masuk ke rumah orang, dan sebagainya."


Aku mengernyit. Dia terdengar dan terlihat menyampaikan itu tanpa beban.


"Menurutmu, siapa yang mencoret - coret gapura itu?"


"Aku tahu. Dia hanya seorang anak kecil yang iseng," jawabnya yakin. "Aku punya buktinya."


Dia pergi ke kamarnya lalu kembali dengan sebuah tustel mini di tangan. Matanya terpaku pada layar tustel, sementara tangannya berulang kali menekan tombol tustel.



"Nih."


Dia memperlihatkan layar tustel itu padaku. Aku mengernyit. Latar fotonya langit berwarna biru tua. Objeknya seorang anak kecil yang sedang mencoreti gapura menggunakan kapur putih. Yadi memotretnya dari arah kiri sehingga sang anak hanya terlihat bagian kirinya saja. Terdapat tahi lalat di pipi kiri dan lengan kiri anak itu. Aku mengerucutkan bibir. Kasusku sudah nyaris menyentuh titik akhir. Tidak kuduga secepat ini.


"Aku mengambilnya tepat saat adzan magrib berkumandang. Tidak ada yang melihat kejadian itu terjadi, kecuali aku."


Aku mengangguk pelan. Usaha anak itu kunilai cerdik. Dia memilih waktu yang tepat untuk melaksanakan kejailan: saat adzan magrhib. Tentu saja hampir semua orang pergi sembayang ke masjid. Kemungkinan orang untuk menangkap basah perbuatannya sangatlah kecil.


"Kamu tak berniat melapor?" tanyaku.


"Pada siapa?" tanyanya balik. "Pemimpin kampung?" Dia menggeleng. "Aku tak tertarik. Kasihan dia, hanya seorang anak kecil."


"Kamu tahu anak kecil itu siapa?" tanyaku penasaran. Ini pertanyaan penting. Jika dia tahu, kasus ditutup. Kalau benar hal itu terjadi, sungguh tak menarik.


Dia menggeleng. "Tidak."


"Apakah dia sering berkeliaran?" tanyaku lagi.


"Tidak. Baru kali itu aku melihatnya." Dia kemudian berdecak. "Ah, aku jadi teringat dengan Waila."


"Waila?" Alisku bertaut. "Siapa Waila?"


"Kamu lupa? Wanita yang tak waras itu. Aku sendiri yang mencetuskan nama itu, pada awalnya, kemudian seluruh anak kampung di sini memanggilnya dengan nama itu. Waila. Wanita gila. Sebenarnya, tidak ada yang tahu nama aslinya siapa."


Aku menghela napas. Aku mendadak tertarik dengan perempuan bernama Waila ini.


"Ke mana perempuan itu sekarang?" tanyaku.


"Aku tak tahu. Bukan pacarnya," jawab dia terkekeh. "Yang jelas, dia menghilang tak lama setelah Kamu memutuskan mencari kerja di kota. Beberapa bulan setelahnya, aku menyusul Kamu mencari kerja di kota. Aku baru kembali ke sini tahun kemarin dan tampaknya dia belum pernah muncul lagi."


Dia menggaruk lengannya. Aku meneguk isi gelasku.


"Kalau ingin bertanya lebih lanjut mengenai Waila, kamu bisa mencari Nuki," ucapnya. "Dulu, dialah anak kampung sini yang paling dekat dengan Waila."


Sebuah ingatan samar muncul di benakku. Kutaruh gelas di atas meja.


"Tunggu." Aku mengernyit. "Nuki? Rambutnya sebahu dan berwajah arab, bukan?"


"Iya," jawabnya. Dia kemudian mendengus. "Kalau cantik, diingat."


Aku tertawa kecil. Seingatku, dia memang cantik. Entah kalau usia ternyata telah meluluhlantakkan itu semua. Aku mungkin dapat mendatanginya esok hari, dan tentu niat utamanya bukan untuk membuktikan hal tersebut, melainkan menggali informasi lebih lanjut mengenai Waila.


Sehabis berbincang dengannya, aku disuruh makan malam di sana. Dia menjadi juru masaknya. Masakannya ternyata sungguh lezat. Perutku bahagia karena kekenyangan. Aku tersadar, kegiatan menjadi detektif gadungan ini secara tidak langsung membuat diriku berhemat. Aku tak perlu mengeluarkan uang untuk membeli makan maupun minum. Tinggal datang berkunjung dengan modus operandi bersilaturahmi, ditawari makan dan minum, kemudian berbincang. Hati senang, dompet tak menjadi cepat kurus.


-----


Tengah malam. Aku berbaring di kasur kamarku. Kelopak mataku terasa begitu berat, namun aku belum jua tertidur. Tiap kali kelopak mataku berhasil menutup sepenuhnya, kesadaranku langsung membuatnya kembali terbuka.


Tiba-tiba saja, telingaku menangkap suara ketukan pada pintu depan rumah. Aku lantas bangun. Siapa yang mau berkunjung ke rumah semalam ini?


Kulangkahkan kaki menuju pintu depan. Suara ketukan pada pintu masih saja terdengar. Aku menghela napas. Kubuka pintu. Tidak ada siapa - siapa. Kepalaku menoleh dari kiri menuju kanan, hanya ada angin menyapa. Aku memilih menutup pintu kembali. Mungkin suara itu hanya muncul dalam benakku. Ketika akan berjalan kembali ke kamar, suara ketukan itu terdengar lagi. Aku cukup geram. Kubuka pintu rumah dengan cepat. Lagi-lagi, angin yang menyapa. Aku melihat keadaan lingkungan luar dengan lebih jeli. Ada sesosok bayangan perempuan berambut panjang sedang berlari ke arah semak-semak. Entah didorong oleh apa, kuputuskan untuk meninggalkan rumah dan mengejar perempuan itu. Kuikuti dia dari belakang dengan waspada. Semak-semak yang tajam dan tinggi membuat tangan dan kakiku mulai diserang gatal dan perih, tetapi tetap kuterjang.


Dia mengarahkanku ke area hutan. Aku belum pernah ke tempat ini sebelumnya. Pohon-pohon tinggi menjulang nan rindang menjadi pemandangan akrab di sana. Ramai kerik jangkrik dan tonggeret mengusik telingaku. Perempuan itu terus berlari. Aku terus mengikutinya hingga akhirnya menyadari kalau bising jangkrik dan tonggeret telah sepenuhnya menghilang. Kini, semua senyap. Aku sampai mampu mendengar hela napasku sendiri.


Dia berhenti berlari. Aku mengendap pelan-pelan. Apa yang terjadi selanjutnya membuatku tercengang. Perlahan, dia membuka baju yang menutupi sekujur tubuhnya. Punggung putih dan mulus segera terlihat. Kemudian, dia mencopot celana yang menghalangi kakinya. Paha jenjang dan bokong yang montok lantas memamerkan diri. Dia begitu mempesona.


Birahiku seketika menggelagak. Akal sehatku berusaha meronta, tetapi sia-sia. Nalarku mendadak rubuh. Kusadari penisku mulai menegang, dan layaknya robot, aku mendekat ke arah perempuan itu. Dia lalu menungging. Mataku membeliak. Sungguh, vagina terelok yang pernah kutemui. Merah merekah dan mengembang seperti kue cubit.


Tanganku yang tak bisa dikontrol mulai membuka celana yang kukenakan. Tangannya mengedang ke belakang dan menjangkau penisku. Astaga! Tangannya terasa begitu lembut seperti kain beludru. Dia kemudian membimbing penisku untuk masuk ke dalam vaginanya. Kurasakan ruang sesak menghimpit penisku. Nikmat mulai datang menjelma. Aku memejamkan mata. Kutarik dan kudorong penis itu secara perlahan, kemudian semakin cepat, dan semakin cepat...


Aku tersapu gelombang orgasmik yang membuat tubuhku tak berdaya. Kubuka mata. Kunang-kunang lantas hadir menampakkan diri. Napasku tersengal. Kurasa semenku keluar banyak di vaginanya.


Dia menegapkan berdirinya. Ingin kuucapkan terima kasih padanya karena seumur-umur hidup di dunia, baru kali ini aku mendapatkan orgasme dengan begitu puas.


Dia lantas menoleh. Wajahnya tak ada. Hanya kulit.


Aku langsung menutup mata dan berteriak sekencang-kencangnya.


Tak lama, mataku terbuka secara tiba-tiba. Aku masih berada di kamar tidurku. Keringat membasahi wajah dan tubuhku. Mimpi buruk macam apa itu? Mengapa terasa begitu nyata?


Aku bangkit berdiri dan menyibak gorden jendela kamar. Kanvas langit sudah didominasi oleh warna biru yang cerah dan berkilau. Kulihat layar ponsel. Sudah pukul sebelas siang. Segera saja aku bergegas ke kamar mandi dan pergi bersih-bersih. Sudah ada tugas yang menantiku. Tugas detektif abal-abal.


-----


Hari ini, aku akan menelusuri lebih lanjut keabsahan isi daftar yang ditulis anak kecil itu. Aku juga ingin tahu secara pasti motif apa yang dimilikinya. Aku jelas membutuhkan bukti lebih untuk itu.


Begini rencana kegiatanku hari ini. Rumah pertama yang akan kudatangi adalah rumah Tania. Dia seorang sekretaris yang dahulu sempat menjadi rekan kerjaku. Selanjutnya, aku akan menyambangi rumah Sarmi, seorang pria yang membantuku mengangkat barang dan mengatur letak perabotan di rumah baruku. Setelah semuanya selesai, kuyakin waktu sudah beranjak sore, baru aku beranjak ke rumah Erik. Dia seorang pemuda yang membantuku membersihkan rumah beberapa hari lalu ketika diriku baru pertama kali datang. Total jarak tempuh berkisar sekitar empat kilometer. Jalan kaki kembali menjadi pilihanku.


Tapak demi tapak kulangkahkan. Dengan terik siang yang senantiasa mengiringi, akhirnya aku tiba di depan sebuah warung. Mendadak, perutku berkeroncong. Kuputuskan untuk masuk ke dalam. Okupasinya cukup baik. Dari sepuluh meja yang ada di sana, hanya tiga meja yang tersedia. Sisanya terisi. Kupilih meja yang letaknya berdekatan dengan posisi sang penjual.


"Pesan apa, Mas?" tanya sang penjual. Kulihat daftar menu yang tertera pada sebuah papan hitam yang terpacak pada salah satu kayu penyangga bangunan.


"Nasi kuning."


"Siap, Mas. Minumnya?"


"Air mineral saja."


"Oke."


Kutunggu sang penjual membuat pesananku. Di sela-sela itu, aku mengawasi keadaan sekitar. Aku menyadari bahwa hampir seluruh orang di warung itu menatapku dengan tatapan tajam nan menusuk, seolah-olah aku adalah sampah yang harus segera disingkirkan. Perasaan tidak nyaman segera menyeruak di hatiku.


Pesanan pertama akhirnya datang. Sebuah piring merah berisikan nasi kuning, potongan-potongan kecil telur dadar, orek tempe, serta sekerat ayam goreng. Asap tak berhentinya menguap dari sana. Aromanya begitu menggoda cuping hidung. Perutku segera bereaksi dengan keroncong tak henti. Segelas air mineral datang setelahnya. Kucuri waktu untuk melirik keadaan sekitar. Mereka masih memberikanku tatapan yang sama. Kuputuskan untuk segera melahap makanan. Sebaiknya aku cepat pergi dari tempat ini.


-----


Aku sudah berdiri di depan rumah Tania. Rumahnya minimalis, hanya saja diberi cat berwarna pink sehingga terlihat mencolok mata. Kuketuk kusen pintunya berulang kali.


"Permisi."


Tidak ada jawaban. Sepertinya dia memang sedang tak berada di rumah. Ada dua buah jendela di dekat pintu rumah itu, tetapi tertutupi gorden sehingga aku tak bisa melihat ke dalam. Aku terus mengetuk. Lima menit kemudian, masih tak ada reaksi dari dalam rumah. Kuputuskan untuk meninggalkan rumah Nuki dan pindah pada target selanjutnya: Tania.


Peluh mulai bercucuran dari dahiku. Berbeda dari kemarin, cuaca siang ini begitu kurang ajar padaku. Aku seharusnya memilih menggunakan motor saja.


Ketika sedang berjalan, aku menyadari kehadiran dua orang remaja yang berjalan berlawanan arah denganku. Mereka berada di tepi kanan jalan, sementara aku di kiri. Dua pasang mata itu menatapku begitu sinis. Aku mengernyit. Tepat setelah melewatiku, salah seorang dari mereka membisikkan sesuatu ke telinga rekannya di sebelah. Aku tak kuasa menoleh. Wajah rekannya itu mendadak terlihat kesal. Mereka kemudian terus melanjutkan perjalanan mereka.


Beberapa menit kemudian, seorang kakek melintas. Dia menatapku dengan angkuh. Aku terheran-heran. Sudah sedari aku menginjakkan kaki di warung tadi kujumpai hal serupa dari warga kampung untukku. Ada apa dengan kampung ini? Adakah sesuatu yang tersembunyi dan tak kuketahui? Apakah aku tak diinginkan? Pertanyaan itu terus membayang dalam benakku sembari aku terus berjalan.


-----


Tibalah aku di depan rumah Sarmi. Kembali kujumpai rumah bertipe minimalis. Kuketuk pintu rumah itu sebanyak tiga kali. Lama tak ada respons. Kuketuk sekali lagi.


"Permisi."


Pintu terbuka kecil. Mata dan sebagian wajah seorang perempuan terlihat mencuat dari sela-selanya. Tak lama, pintu kembali tertutup. Aku menghela napas. Kudengar dengan samar suara perempuan dari dalam rumah mengucapkan kalimat, 'Dia datang, Ayah.'


Pintu terbuka lagi. Kali ini, terbuka sepenuhnya. Manusia yang menyambutku sudah berganti. Sekarang, seorang laki - laki dewasa, tak lain dan tak bukan ialah Pak Sarmi.


"Ah, Bapak ini," katanya ramah. "Bagaimana kabar Anda? Baik?"


Aku mengangguk lalu tersenyum.


"Baik."


"Oke. Sekarang pergi."


Aku mengernyit. Rahangku kalau tidak kutahan sesungguhnya sudah turun menyentuh tanah. Perubahan yang teramat drastis.


"Aku sudah mendengar kabar dari tetangga, ada seseorang penduduk baru yang mendatangi rumah-rumah dan mengungkit kesalahan pemilik rumah. Perusak kedamaian," ujarnya menekan sembari menghunjamku dengan tatapan. Aku menelan ludah. Telingaku memerah.


"Apa maumu datang kemari? Menghancurkan keluarga kami? Memecah belah keluarga kami?"


Aku refleks mundur ke belakang. Kuakui nyaliku sedikit menciut.


"Tidak, Pak."


Telunjuknya mengarah padaku.


"Jangan-jangan kamu yang mencoret gapura? Mau saya lapor ke pemimpin kampung?"


Aku menggeleng. "Bukan dan tidak, Pak."


"Kalau begitu, pergi sekarang juga!" hardiknya dengan telunjuk mengarah keluar. "Dasar, anak kota!" Dibantingnya pintu dengan keras. Aku mematung.


-----


Kutendang batu-batu kerikil yang berserak tak beraturan di jalanan. Jiwaku letih, mungkin karena menemui kegagalan secara beruntun. Aku ingin cepat-cepat mengakhiri kegiatan pada hari ini. Kuakui diriku tak berbakat sebagai detektif. Aku butuh hawa segar. Kasus anak itu harus kutinggalkan dulu. Aku langsung teringat dengan Nuki. Lokasi rumahnya berdekatan dengan rumah Erik. Kuharap dia dapat mendatangkan aura positif bagiku.


Beberapa belokan sebelum mencapai rumah Nuki, bulu kudukku berdiri. Di sampingku telah terpampang sebuah hutan yang persis dengan hutan yang ada dalam mimpiku tadi malam. Tanpa diundang, perempuan tak berwajah itu seketika hadir kembali dalam benakku. Kuputuskan untuk mempercepat langkah dan segera berlalu.


Sebuah rumah bertipe minimalis lagi. Rumah Nuki adalah rumah terkecil yang kukunjungi dari serangkaian kunjungan yang sudah terlewati. Kuketuk pintu rumahnya. Seorang perempuan keluar setelahnya. Dia pasti Nuki. Lekak-lekuk wajahnya masih persis dengan apa yang ada dalam ingatanku. Dia tetap cantik.


"Bono?" tanyanya mengernyit.


"Nuki?" balasku bertanya. Dia berhenti mengernyit lalu mengangguk.


"Apa kabar?" tanyanya lagi. Kami lantas saling bergantian menempelkan pipi, bersalaman.


"Baik," jawabku.


"Kamu liburan? atau apa?"


"Aku beli rumah di sekitar sini."


Dia mengernyit.


"Hah? Kamu berniat untuk tinggal di sini?"


Aku mengedikkan bahu.


"Mungkin. Untuk sementara, rumahku itu hanya kupakai saat liburan saja. Baru akan kugunakan sepenuhnya saat sudah tua nanti."


Dia tersenyum.


"Masuk dulu," ajaknya.


Aku sama sekali tak menolak. Beberapa detik berselang, aku sudah duduk manis di ruang tamu rumahnya. Tak ada yang mencolok mata, semuanya serba sederhana.


"Kamu kerja apa di kota?" tanyanya.


"Usaha toko kafe dan baju," jawabku.


"Bukannya kerja di pabrik?"


Aku mengernyit. "Dari mana Kamu tahu kalau aku sempat bekerja di sana?"


"Saya sempat bertanya pada orang tuamu dulu," jawabnya.


"Kenapa Kamu bertanya pada orang tuaku?"


Dia terdiam. Pipinya mulai memerah seperti kepiting rebus. Aku baru ingat; dia sempat suka padaku. Kecanggungan ini harus segera kulibas.


"Bagaimana rasanya jadi guru TK?" tanyaku.


"Ya, begitulah," jawabnya sembari tertawa kecil. "Cukup menyenangkan. Saya senang dan gemas dengan tingkah murid-murid, tapi terkadang kesal juga kalau mereka tidak mau mendengarkan apa yang dibilang gurunya. Disuruh diam, tetap ribut. Disuruh menulis, malah kejar-kejaran."


Aku tertawa simpul. "Jangankan anak TK, yang sudah berumur saja ada yang seperti itu."


Dia tertawa; aku pun tertawa. Seketika, aku teringat sesuatu.


"Kamu tidak masuk dalam daftar itu."


"Daftar apa?" tanyanya mengernyit.


"Tulisan di gapura," jawabku. Dia kemudian tertawa kecil.


"Mungkin saya terlalu sibuk bekerja hingga lupa untuk berbuat dosa," ucapnya pelan. Giliran aku yang tertawa kecil.


"Astaga! Lupa." Dia menepuk pelan dahinya. "Kamu mau minum apa?"


"Air mineral saja."


Dia bangkit berdiri sembari menatapku. "Tidak mau yang lain?"


Aku menggeleng, "Tidak."


Dia kemudian pergi ke dapur lalu kembali dengan segelas air mineral. Tak terasa, tawa kecil terlepas dari mulutku. Sepertinya aku mulai bosan dengan pemandangan ini. Kuteguk dua kali isi gelas lalu kutaruh kembali gelasnya di atas meja.


"Sebenarnya kedatanganku kemari untuk menanyaimu sesuatu," ucapku. "Kamu masih ingat dengan Waila?"


Wajahnya mendadak lesu. Apakah aku telah salah bicara?


"Ada apa?"


Dia menggeleng kemudian tersenyum.


"Tidak," katanya. "Mengapa Kamu ingin bertanya tentangnya?"


Aku menghela napas. "Jadi, begini," kucondongkan badanku ke depan. "Kemarin, aku datang ke rumah Yadi. Kita berbicara mengenai masa kecil dan remaja sampai tiba-tiba dia menyebut nama Waila. Kutanya, siapa Waila? Ternyata seorang pemudi yang katanya aneh."


Dia terlihat sedikit murung.


"Aku sendiri sejujurnya lupa dengan dia, tapi aku tertarik dengan kisahnya. Kata Yadi, kamulah yang paling dekat dengannya," lanjutku sembari menggaruk-garuk kepala. "Bisakah kamu ceritakan kepadaku tentang dia?"


Dia menghela napas panjang. Telingaku sudah siaga menerima sesuatu yang menarik.


"Beberapa puluh tahun yang lalu, seorang anak perempuan lahir di kampung ini." Dia mulai bercerita. "Dia menderita gangguan kejiwaan. Kedua orang tuanya tak lama tewas bunuh diri karena tak sanggup menghadapi fakta bahwa anaknya gila. Anak itu pun tumbuh tak terurus. Keberadaannya mirip seperti hantu; ada, tapi sukar ditemukan. Tiap kali ditemukan, dia malah membuat onar seperti mencuri buah, kencing sembarangan..." kenangnya lebih lanjut.


"Beberapa waktu kemudian, dia menghilang. Warga tampak bahagia dengan itu. Para orang tua merasa nyaman; anak - anaknya tak perlu lagi bergaul dengan orang sinting. Mereka lupa kalau Tuhan berbakat dalam menciptakan komedi. Enam tahun kemudian, dia kembali ke kampung ini," cerocosnya. Aku meneguk isi gelas.


"Saat itu, aksinya lebih gila. Dia berulang kali mengejar warga yang melintas sambil menenteng parang panjang. Bahkan dalam lima hari berturut-turut, belasan warga berbicara kalau mereka diganggu dia. Pada suatu hari, karena takut hal-hal yang tak diinginkan terjadi, warga yang berjumlah sekitar 50 orang menyeret dia dari jalan menuju areal perladangan, dekat dengan letak gapura itu. Di sana, warga menganiaya lalu membakarnya hidup-hidup. Saya saksi matanya."


Hatiku teriris mendengar itu. Pasti tak enak menjadi dirinya.


"Tetapi warga kampung tidak tahu kalau saya memegang fakta yang tidak diketahui mereka. Beberapa hari menjelang dia menghilang, saya melihatnya berada di hutan. Saat itu, saya menguntit diam-diam dan mendapati dia tengah berhubungan badan dengan seorang pemuda. Saya tidak dapat melihat pemuda itu dengan jelas sebab waktu sudah malam. Beberapa saat kemudian, dia menyadari kehadiran saya dan memutuskan menghampiri saya, seolah tidak terjadi apa-apa. Saya sedikit emosi saat itu. Dia itu begitu ringkih. Saya takut dia tambah menderita. Saya pun memarahi dia. Alhasil, dia menangis dan pergi menghilang. Ketika dia kembali lagi ke kampung ini beberapa tahun kemudian, dia datang menghampiri saya. Tetapi, dia tidak membawa parang, seperti yang diceritakan orang-orang. Dia justru membawa seorang anak laki-laki. Saat itu, saya sedang dicari ibu. Sesaat sebelum ibu menemukan saya, dia berulang kali menunjuk ibu dan saya, kemudian menunjuk dia dan anak laki-laki itu. Seketika itu pula saya tahu dia ingin mengatakan kalau anak laki-laki itu adalah anaknya."


Dia terlihat seperti berusaha mengingat sesuatu. "Saya sepertinya punya foto anak laki-laki itu," ucapnya. "Sebentar, ya?"


Dia mengambil sebuah album foto bersampul hitam dari rak yang ada di sampingnya dan menaruhnya di atas meja. Lembar demi lembar dibukanya dengan cepat. Aku dilanda penasaran dan gusar secara bersamaan. Dia akhirnya berhenti. Diserongkannya album foto itu ke arahku.


"Yang baju putih lusuh."


Kutatap foto itu. Potret seorang anak laki-laki. Dia terlihat mirip denganku, dan ada dua tahi lalat yang terpampang; masing-masing di pipi kiri dan lengan kirinya. Kerongkonganku serasa tercekik. Penyelidikan ini telah mencapai ujungnya.


"Mas, kenapa?" tanyanya. Aku menggeleng.


"Tidak apa-apa. Saya pamit dulu ya?"


"Buru-buru sekali?" ucapnya heran.


"Aku tidak enak badan," balasku sekenanya.


"Sakit apa? Biar saya carikan obat."


Dia berdiri. Aku ikut berdiri dan menahannya.


"Tidak usah. Terima kasih."


"Serius, Mas?"


Dia menatapku iba. Aku hanya tersenyum dan mengangguk. Selalu ada hal yang menanti di ujung sebuah jalan. Jika aku tak mau melihatnya, seharusnya aku tak memulainya dari awal.


Dia lantas mengantarku hingga pagar dan mengajakku untuk berbincang lagi lain kali. Aku mengiyakan lalu segera berjalan pulang ke rumahku. Perjalanan itu terasa sangat lama. Langkah kakiku memberat, seakan-akan ada bongkah besi yang terikat di sana. Napasku tersengal, padahal tidak sedang berlari. Mataku mendapati kehadiran kunang-kunang, walau malam belum sedikitpun tiba. Tubuhku seperti tak menjejak tanah.


Semuanya tergambar dengan sangat jelas di kepala. Deduksi itu begitu mengerikan. Aku mencoba menahannya, tetapi dia selalu meloloskan diri. Jantungku berdegup kencang. Aku mencoba tak percaya, tetapi semua bukti telah mengarah ke sana. Aku tak bisa sembunyi. Aku tak bisa mengelak.


Waila hamil karena diriku, dan anak yang mencoret gapura itu adalah buah hatiku dan dirinya.


-----


Dini hari. Aku berdiri di beranda rumah. Angin sejuk begitu ganas bertiup, membuat rasa beku beredar di daerah ini. Tapi itu tak berpengaruh apa-apa bagiku. Tubuhku sudah membeku dengan sendirinya sejak beberapa jam yang lalu setelah menerima kenyataan pahit itu. Aku tak henti-hentinya memikirkan Waila. Betapa tragis nasibnya. Dia malu karena kehamilannya. Itu sebabnya dia melarikan diri, dan ketika dia kembali, dia malah menemui ajal secara mengenaskan. Aku seharusnya dapat membantu dia. Aku seharusnya mampu bertanggung jawab. Aku mahluk hina. Kampung ini hina.


Kulihat gapura dari kejauhan. Di sana, kudapati sesosok bayangan remaja laki-laki tengah memegang kapur. Dia sepertinya berniat untuk mencoret-coret gapura. Kukerjapkan mata berulang kali sebab diriku sudah tak bisa membedakan mana nyata dan mana khayalan. Pikiranku terlampau kacau.


Dia menoleh. Tangan yang memegang kapur diturunkannya perlahan. Selanjutnya, aku nyaris terjengkang. Dia mendekatiku. Semakin dekat, wajahnya semakin jelas terlihat. Alangkah terkejutnya diriku. Beberapa bagian wajahnya terlihat begitu mirip denganku, terutama pada dahi, mata, serta bibir.


"Kamu siapa?" tanyaku bergetar. Aku tak bisa menahan laju ketakutanku.


"Anakmu," katanya tegas. Bulu kudukku seketika berdiri.


"Aku tak tahu bagaimana cara membicarakan ini semua jadi kuputuskan untuk membuat ini." Dia menunjuk gapura itu. Kebenaran deduksiku telah diabsahkan olehnya.


"Aku memilih cara ini agar Ayah tahu bahwa kampung ini tak senyaman yang sering dibayangkan orang - orang."


"Ayah mengaku bersalah, Nak," ucapku bergetar. "Ayah rela kamu apakan saja untuk membayar kesalahan ayah. Bahkan kalau kamu mau, kamu dapat membunuh ayah."


Aku mendekatkan diri padanya. Dia hanya tersenyum kecil lalu menggeleng.


"Tidak. Manusia tidak ada yang tidak bersalah," ucapnya. Dia memegang bahuku. "Semuanya melakukan kesalahan. Tapi menurutku, setiap manusia punya kesempatan kedua." Dia mengedikkan kepala. "Lagi pula, engkau bapakku."


Remaja itu kemudian berbalik dan berjalan meninggalkanku. Ingin aku mengejarnya, tapi tubuhku tak bisa digerakkan. Kubiarkan saja dia semakin menjauh hingga akhirnya menghilang ditelan pekat subuh. Aku mendadak lemas. Tubuhku lantas bersimpuh di jalan. Kuluapkan sedu sedan yang mengiris.


-----


Pagi hari. Pemimpin kampung beramanat: gapura itu akan dicat ulang. Semua warga setuju. Siangnya, para tukang sudah melaksanakan tugasnya. Gapura itu bersih kembali, megah kembali. Tidak ada lagi yang menyerukan nada sumbang kepada pemimpin kampung. Mereka bahkan jauh lebih berbahagia karena gapura itu terlihat lebih segar dibandingkan saat sebelum dinodai tulisan.


Sore hari. Aku mengurung diri di kamar tidur. Terdapat sebuah gelas berisi cairan obat nyamuk di sebelahku. Aku menggenggamnya dengan gemetar dan mengarahkannya ke mulut. Keputusanku sudah bulat: aku akan mengakhiri nyawaku. Terlalu banyak derita yang harus kutanggung. Gelas itu semakin mendekat ke bibir dan perlahan kumiringkan ke bawah. Bisa kulihat cairan itu mulai bergerak keluar. Kubuka bongkah bibirku. Saat itu juga, aku teringat dengan perkataan anakku dini hari tadi. Dua kalimat, lebih tepatnya.


"Tapi menurutku, setiap manusia punya kesempatan kedua. Lagi pula, engkau bapakku."


Tanganku menjadi kaku. Cairan itu tumpah ke lantai. Aku menyadari bahwa ada tanggung jawab yang harus diemban. Masa lalu memang tak bisa diubah, tetapi masa depan ada digenggaman. Ada orang yang menungguku: anakku. Dia membutuhkanku. Akan tetapi, di manakah dia bisa ditemukan?


Aku terus termenung, sementara senja mulai turun dan burung-burung yang berpulang mengeluarkan kicau merdunya di luar sana.

 
Terakhir diubah:
Boleh boleh boleh
Cerita tentang pelajaran hidup
Semoga sukses
:jempol:
 
Aib itu seperti halnya jari.

Satu jari menunjuk ke depan, dan disaat bersamaan tiga jari menunjuk ke arah belakang

Orang lain salahnya satu, diri sendiri salahnya tiga


Penggambaran yang menarik
:tepuktangan::tepuktangan:
Selamat atas postingan untuk event tahun ini suhu.




Best regard
semoga sukses om ceritanya hihihihihi
Sukses suhu
good luck om
keren suhu..josss
Boleh boleh boleh
Cerita tentang pelajaran hidup
Semoga sukses
:jempol:
Terima kasih.
 
Loh... Udah slesai sampai disini ceriTanya? :bingung:pdhl masih pas asyik2nya ngebaca nih cerita:((
 
Terakhir diubah:
Ceritanya menarik :beer:
Di baca dg seksama agar lebih mengerti makna yg terkandung di dalamnya :tepuktangan:
 
Cerita yang menarik, aku vote cerita ini :jempol:
 
Ceritanya menarik :beer:
Di baca dg seksama agar lebih mengerti makna yg terkandung di dalamnya :tepuktangan:
Cerita yang menarik, aku vote cerita ini :jempol:
Dari awal cerita, sudah jelas arahnya mau kemana.
Meskipun tau, pembaca dibuat tidak ingin buru buru membaca cerita. Penulis membuat tulisan ini terasa berjalan ke arah yang baik. Delivery nya memikat sampai bingung harus berkomentar apa.


Semoga sukses om :ampun:

Maaf jikalau komentar Nubi lancang :ampun:
Keren... good luck
Terima kasih.
 
tetap masih menjadi sebuah misteri.. ajiiplah agan Earmuffs..
 
Keren hu tapi sayang itu listnya ga ke kupas semua :baca:
 
Bimabet
mantap alurnya dan penulisannya sangat menarik. ditunggu episode selanjutnya
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd