Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CSI: Misteri Pesan Kematian yang Terhilang

FelixDF

Semprot Baru
Daftar
22 Aug 2014
Post
37
Like diterima
8
Lokasi
Death Valley
Bimabet
Dengan tergesa-gesa, Detektif Laura berjalan melewati lobi hotel yang penuh dengan kerumunan, lalu masuk ke dalam lift. Di koridor lantai ke-tigabelas, ia mendapati Inspektur Haris sedang berbicara dengan salah satu anggota tim forensik.

“Baiklah, apa yang kita dapatkan di sini?” tanya Detektif Laura kepada Inspektur Haris.

“Seorang korban bernama Agus Darmawangsa,” jawab Haris. “Dia dan istrinya, bersama dengan satu pasangan lain, sedang berlibur di sini.”

“Aku butuh nama,” pinta Laura.

“Istrinya bernama Lisa. Pasangan lain bernama Bima dan Arimbi Jayakusuma. Untuk lebih jelasnya, kau bisa melihat berkas ini…”

Laura menerima berkas yang disodorkan oleh Haris. “Oke. Sekarang, apa yang telah terjadi?”

“Awalnya, kedua pasangan ini sedang berada di kasino untuk berjudi. Mereka lalu berencana untuk makan malam di salah satu restoran paling eksklusif di kota ini. Tempat yang sangat berkelas. Entah bagaimana, Tuan Darmawangsa meninggalkan kasino duluan dan datang ke sini untuk mandi dan ganti pakaian; yang lain datang belakangan. Ketika mereka sudah berganti pakaian dan siap untuk berangkat, Tuan Darmawangsa belum juga keluar dari kamarnya. Saat itulah Tuan Jayakusuma datang ke sini dan menemukan jenazah Tuan Darmawangsa,” papar Haris.

“Tidakkah Nyonya Darmawangsa melihat suaminya saat dia datang ke sini untuk berganti pakaian?” tanya Laura.

“Tuan Darmawangsa adalah seorang pendengkur. Istrinya tidak bisa tidur di kamar yang sama dengan dia, bahkan saat di rumah. Mereka memiliki kamar terpisah di sini, jadi dia tidak tahu ada sesuatu yang salah sampai Tuan Jayakusuma memberitahukannya.”

Laura menggeleng. “Bagaimana Tuan Darmawangsa mati?” tanyanya.

“Dia ditembak dengan pistolnya sendiri,” ungkap Haris. “Dia adalah orang yang gemar memakai perhiasan, jadi dia selalu membawa pistol itu untuk proteksi. Kurasa pistol itu tak lagi setia dan bekerja melawan dirinya sendiri kali ini.

“Dia ditembak tepat di jantungnya dari jarak dekat. Ada cukup banyak darah, seperti apa yang akan kau lihat nanti. Tim forensik berkata bahwa dengan jenis luka seperti itu, Tuan Darmawangsa mungkin masih bisa hidup untuk sepuluh atau lima belas detik pasca tertembak, tapi tidak lebih.”

Inspektur Haris mengantarkan Detektif Laura ke kamar hotel mendiang Agus Darmawangsa. Beberapa polisi tampak sedang menyisir ruangan untuk mencari petunjuk. Salah satu dari mereka menghampiri Laura.

“Kami telah melakukan pencarian secara menyeluruh,” kata petugas, “tapi kami tidak dapat menemukan sesuatu yang mencurigakan selain ini…”

Petugas itu menyerahkan kantong plastik yang berisi sebuah pistol dan sepotong logam hangus kepada Laura. Benda hangus itu tampaknya adalah selongsong peluru.

“Hanya ini?” tanya Laura. “Bagaimana dengan saksi?”

“Sayangnya, tak ada seorang pun yang menyaksikan secara langsung atau bahkan sekedar mendengar suara tembakan,” kata Haris. “Seperti yang akan kau ketahui, kamar hotel ini kedap suara dan tidak ada CCTV. Dan kurasa, karena itulah kau ditugaskan kemari, Detektif.”

“Ya, kurasa kau memang benar, Inspektur. Bolehkah aku melihat jenazahnya sekarang?” tanya Laura.

“Tentu saja,” jawab Haris sambil melirik ke arah kamar tidur.

Jenazah Agus Darmawangsa terbaring di lantai dekat ranjang, ia tampak sedang memakai pakaian dalam dan sandal saja. Seorang pria yang cukup besar, ia tertelungkup dengan tangan kanan yang terjulur ke atas kepalanya dan berlumuran darah, sementara tangan kirinya tertindih di bawah dadanya. Genangan darah tampak menyebar keluar dari bawah tubuhnya.

Laura mengalihkan perhatiannya ke arah ranjang. Terbaring di atas ranjang itu adalah satu stel tuxedo: sebuah jas dan celana hitam; di samping celana adalah sepasang kaus kaki hitam; di samping jas adalah sebuah dasi hitam dan kemeja putih yang berlumuran darah. Sementara di dekat kaki ranjang adalah sepasang sepatu hitam.

“Kelihatannya dia bahkan tidak sempat berganti pakaian,” gumam Laura sambil berjalan mendekati jenazah Agus Darmawangsa.

Berjongkok di dekat kepala jenazah untuk mengamati lebih detil, Laura menyadari ada sesuatu yang aneh dengan lantai di sekitar tangan kanan jenazah.

“Hmm… pasti ada seseorang yang dengan sengaja menghapus noda darah di lantai ini,” duga Laura. “Mungkin, saat sedang sekarat, korban sempat menulis pesan kematian dengan darahnya sendiri; pesan yang memberikan petunjuk menuju identitas pelaku.

“Pelaku lalu menyadari hal itu dan mengelapnya menggunakan kemeja putih di atas ranjang untuk menghilangkan petunjuk. Jika kita perhatikan tepian noda darah yang rapi ini, maka dugaan ini akan masuk akal.”

“Tepat seperti dugaan kami sebelumnya,” kata Haris. “Tapi sekarang percuma saja, petunjuknya sudah musnah. Siapa pun pelakunya, dia cukup berhati-hati untuk tidak meninggalkan petunjuk apapun.”

Laura merogoh saku kiri jasnya dan mengeluarkan sesuatu yang mirip dengan sebuah botol parfum. Ia lalu menyemprotkan isi botol itu ke arah lantai di sekitar tangan jenazah.

“Inspektur, tolong matikan lampunya sebentar,” pinta Laura.

Tepat setelah Haris mematikan lampu ruangan, sebuah tulisan menyala berwarna biru muncul di atas lantai bekas noda darah yang diduga terhapus tadi.

“G18,” ucap Laura dan Haris hampir bersamaan.

Dengan sigap, Laura pun memotret tulisan itu beberapa kali untuk mengabadikannya. Lampu ruangan kembali dinyalakan dan tulisan berwarna biru itu pun kembali menghilang.

Haris tampak begitu takjub seolah baru saja menonton sebuah pertunjukan sulap. “Apa yang—” ucapnya terputus.

“Luminol,” kata Laura. “Senyawa kimia ini akan menyala dalam gelap jika terkena kontak dengan benda yang dapat menyebabkan proses oksidasi.

“Untuk dapat menghasilkan nyala yang terang dan kuat, luminol membutuhkan sebuah katalis untuk mempercepat proses oksidasinya. Dalam hal ini, zat besi yang terkandung di dalam hemoglobin akan menjadi katalis yang baik. Luminol bahkan mampu mendeteksi bekas noda darah yang sudah dibersihkan sejak tahunan yang lalu.”

“Itu terdengar mengesankan, Detektif,” sahut Haris.

“Tidak ada bukti atau petunjuk yang benar-benar hilang dalam sebuah kasus kriminal, Inspektur. Mereka hanya belum ditemukan.”

“Tapi sekarang masalahnya adalah,” ujar Haris, “apa maksud dari pesan kematian yang sangat singkat itu?”

“Sebelum menjawab pertanyaan itu, aku ingin berbicara dengan mereka dulu. Di mana mereka berada?”

“Ruang sebelah, di kamar sang istri,” jawab Haris.

Laura pun pergi ke kamar hotel Nyonya Darmawangsa. Tiga orang tampak sedang duduk dengan wajah pucat dan gugup. Seorang wanita bergaun kuning yang kemudian diketahui sebagai Lisa Darmawangsa jelas terlihat sedang menangis. Laura lalu menghampiri wanita itu untuk menanyainya.

“Sebelum terjun ke dunia bisnis,” kata Laura, “mendiang Tuan Darmawangsa dulu pernah mengajar sebagai seorang guru kimia di salah satu SMA favorit di kota ini. Benarkah begitu?”

“Apa ada yang salah dengan hal itu?” pekik Lisa sambil terisak. “Suamiku melakukan itu bukan untuk mencari uang, tapi semata-mata karena passion. Dia selalu cinta kimia.”

Laura membuka mulutnya untuk berbicara, tapi segera terhenti oleh interupsi Lisa.

“Aku tahu kau pasti akan menuduh aku yang membunuh suamiku karena aku membenci kebiasaan mendengkurnya... itu tidak benar. Lalu bagaimana jika dia berselingkuh? Tidak, dia hanya mencintai aku seorang. Hanya aku!”

Alis Laura naik karena ucapan itu. Ia lalu beralih ke arah Bima Jayakusuma.

“Kalau tidak salah, kau adalah keturunan dari keluarga berdarah biru. Benarkah begitu?” tanya Laura.

“Ya, tapi aku tidak suka jika kesuksesanku selalu dikaitkan dengan status itu,” ungkap Bima. “Aku dan Agus Darmawangsa memulai perusahaan ini dari nol dan tanpa intervensi dari pihak keluarga. Dia adalah orang yang sangat kompetitif dan dedikatif. Aku benar-benar merasa kehilangan dirinya.”

Bima mengusap wajahnya dengan kedua tangannya, sesekali ia menggeleng lemah dan pandangan matanya kosong. Sementara itu, Laura beralih ke arah wanita bergaun merah.

“Arimbi,” kata Laura, “meskipun kau bukan berdarah biru tapi kau adalah wanita yang sangat cantik dan selalu berpenampilan menarik. Tak heran jika Tuan Jayakusuma memilihmu sebagai pendamping hidupnya. Dan maaf, jika boleh berasumsi, apakah kecantikanmu itu juga membuatmu menjadi selingkuhan dari mendiang Tuan Darmawangsa?”

“Astaga, tidak!” sergah Arimbi. “Bukan berarti dia tidak mencobanya. Oh, maaf, Lisa, tapi kenyataannya adalah suamimu memang pernah beberapa kali menggodaku, tapi aku tidak pernah mau, dan tak ada yang pernah terjadi di antara kami berdua, titik.”

“Oke, kalau boleh tahu lebih lanjut,” kata Detektif Laura, “mendiang Tuan Darmawangsa meninggalkan kalian di kasino untuk kembali ke hotel dan bersiap untuk makan malam, apakah saat itu kalian sedang bersama-sama?”

“Tidak,” jawab Bima. “Aku sedang bermain blackjack.”

“Aku sedang berada di mesin slot,” kata Lisa.

“Dan aku berada di roda roulette,” sahut Arimbi.

“Kurasa salah satu dari kalian datang ke kamar hotel Tuan Darmawangsa lebih awal dari yang kalian klaim,” deduksi Laura. “Lalu beradu mulut dengannya, kehilangan kesabaran, dan menembaknya dengan pistolnya sendiri. Dan kurasa aku tahu siapa orang itu. Aku yakin aku bisa membuktikannya setelah semua barang bukti sudah diperiksa.”
 
@kakuno:
Sebenarnya ini adalah cerita teka-teki atau riddle one shot. Jadi, jawabannya sudah terkandung di dalam cerita, hanya saja 'sedikit' tersamarkan atau terdistorsi. Dan mungkin butuh 'sedikit' kecermatan dan pengetahuan untuk mengungkapnya. Mohon maaf kalau cerita ini membuat suhu bingung. :ampun:
 
Dengan tergesa-gesa, Detektif Laura berjalan melewati lobi hotel yang penuh dengan kerumunan, lalu masuk ke dalam lift. Di koridor lantai ke-tigabelas, ia mendapati Inspektur Haris sedang berbicara dengan salah satu anggota tim forensik.

“Baiklah, apa yang kita dapatkan di sini?” tanya Detektif Laura kepada Inspektur Haris.

“Seorang korban bernama Agus Darmawangsa,” jawab Haris. “Dia dan istrinya, bersama dengan satu pasangan lain, sedang berlibur di sini.”

“Aku butuh nama,” pinta Laura.

“Istrinya bernama Lisa. Pasangan lain bernama Bima dan Arimbi Jayakusuma. Untuk lebih jelasnya, kau bisa melihat berkas ini…”

Laura menerima berkas yang disodorkan oleh Haris. “Oke. Sekarang, apa yang telah terjadi?”

“Awalnya, kedua pasangan ini sedang berada di kasino untuk berjudi. Mereka lalu berencana untuk makan malam di salah satu restoran paling eksklusif di kota ini. Tempat yang sangat berkelas. Entah bagaimana, Tuan Darmawangsa meninggalkan kasino duluan dan datang ke sini untuk mandi dan ganti pakaian; yang lain datang belakangan. Ketika mereka sudah berganti pakaian dan siap untuk berangkat, Tuan Darmawangsa belum juga keluar dari kamarnya. Saat itulah Tuan Jayakusuma datang ke sini dan menemukan jenazah Tuan Darmawangsa,” papar Haris.

“Tidakkah Nyonya Darmawangsa melihat suaminya saat dia datang ke sini untuk berganti pakaian?” tanya Laura.

“Tuan Darmawangsa adalah seorang pendengkur. Istrinya tidak bisa tidur di kamar yang sama dengan dia, bahkan saat di rumah. Mereka memiliki kamar terpisah di sini, jadi dia tidak tahu ada sesuatu yang salah sampai Tuan Jayakusuma memberitahukannya.”

Laura menggeleng. “Bagaimana Tuan Darmawangsa mati?” tanyanya.

“Dia ditembak dengan pistolnya sendiri,” ungkap Haris. “Dia adalah orang yang gemar memakai perhiasan, jadi dia selalu membawa pistol itu untuk proteksi. Kurasa pistol itu tak lagi setia dan bekerja melawan dirinya sendiri kali ini.

“Dia ditembak tepat di jantungnya dari jarak dekat. Ada cukup banyak darah, seperti apa yang akan kau lihat nanti. Tim forensik berkata bahwa dengan jenis luka seperti itu, Tuan Darmawangsa mungkin masih bisa hidup untuk sepuluh atau lima belas detik pasca tertembak, tapi tidak lebih.”

Inspektur Haris mengantarkan Detektif Laura ke kamar hotel mendiang Agus Darmawangsa. Beberapa polisi tampak sedang menyisir ruangan untuk mencari petunjuk. Salah satu dari mereka menghampiri Laura.

“Kami telah melakukan pencarian secara menyeluruh,” kata petugas, “tapi kami tidak dapat menemukan sesuatu yang mencurigakan selain ini…”

Petugas itu menyerahkan kantong plastik yang berisi sebuah pistol dan sepotong logam hangus kepada Laura. Benda hangus itu tampaknya adalah selongsong peluru.

“Hanya ini?” tanya Laura. “Bagaimana dengan saksi?”

“Sayangnya, tak ada seorang pun yang menyaksikan secara langsung atau bahkan sekedar mendengar suara tembakan,” kata Haris. “Seperti yang akan kau ketahui, kamar hotel ini kedap suara dan tidak ada CCTV. Dan kurasa, karena itulah kau ditugaskan kemari, Detektif.”

“Ya, kurasa kau memang benar, Inspektur. Bolehkah aku melihat jenazahnya sekarang?” tanya Laura.

“Tentu saja,” jawab Haris sambil melirik ke arah kamar tidur.

Jenazah Agus Darmawangsa terbaring di lantai dekat ranjang, ia tampak sedang memakai pakaian dalam dan sandal saja. Seorang pria yang cukup besar, ia tertelungkup dengan tangan kanan yang terjulur ke atas kepalanya dan berlumuran darah, sementara tangan kirinya tertindih di bawah dadanya. Genangan darah tampak menyebar keluar dari bawah tubuhnya.

Laura mengalihkan perhatiannya ke arah ranjang. Terbaring di atas ranjang itu adalah satu stel tuxedo: sebuah jas dan celana hitam; di samping celana adalah sepasang kaus kaki hitam; di samping jas adalah sebuah dasi hitam dan kemeja putih yang berlumuran darah. Sementara di dekat kaki ranjang adalah sepasang sepatu hitam.

“Kelihatannya dia bahkan tidak sempat berganti pakaian,” gumam Laura sambil berjalan mendekati jenazah Agus Darmawangsa.

Berjongkok di dekat kepala jenazah untuk mengamati lebih detil, Laura menyadari ada sesuatu yang aneh dengan lantai di sekitar tangan kanan jenazah.

“Hmm… pasti ada seseorang yang dengan sengaja menghapus noda darah di lantai ini,” duga Laura. “Mungkin, saat sedang sekarat, korban sempat menulis pesan kematian dengan darahnya sendiri; pesan yang memberikan petunjuk menuju identitas pelaku.

“Pelaku lalu menyadari hal itu dan mengelapnya menggunakan kemeja putih di atas ranjang untuk menghilangkan petunjuk. Jika kita perhatikan tepian noda darah yang rapi ini, maka dugaan ini akan masuk akal.”

“Tepat seperti dugaan kami sebelumnya,” kata Haris. “Tapi sekarang percuma saja, petunjuknya sudah musnah. Siapa pun pelakunya, dia cukup berhati-hati untuk tidak meninggalkan petunjuk apapun.”

Laura merogoh saku kiri jasnya dan mengeluarkan sesuatu yang mirip dengan sebuah botol parfum. Ia lalu menyemprotkan isi botol itu ke arah lantai di sekitar tangan jenazah.

“Inspektur, tolong matikan lampunya sebentar,” pinta Laura.

Tepat setelah Haris mematikan lampu ruangan, sebuah tulisan menyala berwarna biru muncul di atas lantai bekas noda darah yang diduga terhapus tadi.

“G18,” ucap Laura dan Haris hampir bersamaan.

Dengan sigap, Laura pun memotret tulisan itu beberapa kali untuk mengabadikannya. Lampu ruangan kembali dinyalakan dan tulisan berwarna biru itu pun kembali menghilang.

Haris tampak begitu takjub seolah baru saja menonton sebuah pertunjukan sulap. “Apa yang—” ucapnya terputus.

“Luminol,” kata Laura. “Senyawa kimia ini akan menyala dalam gelap jika terkena kontak dengan benda yang dapat menyebabkan proses oksidasi.

“Untuk dapat menghasilkan nyala yang terang dan kuat, luminol membutuhkan sebuah katalis untuk mempercepat proses oksidasinya. Dalam hal ini, zat besi yang terkandung di dalam hemoglobin akan menjadi katalis yang baik. Luminol bahkan mampu mendeteksi bekas noda darah yang sudah dibersihkan sejak tahunan yang lalu.”

“Itu terdengar mengesankan, Detektif,” sahut Haris.

“Tidak ada bukti atau petunjuk yang benar-benar hilang dalam sebuah kasus kriminal, Inspektur. Mereka hanya belum ditemukan.”

“Tapi sekarang masalahnya adalah,” ujar Haris, “apa maksud dari pesan kematian yang sangat singkat itu?”

“Sebelum menjawab pertanyaan itu, aku ingin berbicara dengan mereka dulu. Di mana mereka berada?”

“Ruang sebelah, di kamar sang istri,” jawab Haris.

Laura pun pergi ke kamar hotel Nyonya Darmawangsa. Tiga orang tampak sedang duduk dengan wajah pucat dan gugup. Seorang wanita bergaun kuning yang kemudian diketahui sebagai Lisa Darmawangsa jelas terlihat sedang menangis. Laura lalu menghampiri wanita itu untuk menanyainya.

“Sebelum terjun ke dunia bisnis,” kata Laura, “mendiang Tuan Darmawangsa dulu pernah mengajar sebagai seorang guru kimia di salah satu SMA favorit di kota ini. Benarkah begitu?”

“Apa ada yang salah dengan hal itu?” pekik Lisa sambil terisak. “Suamiku melakukan itu bukan untuk mencari uang, tapi semata-mata karena passion. Dia selalu cinta kimia.”

Laura membuka mulutnya untuk berbicara, tapi segera terhenti oleh interupsi Lisa.

“Aku tahu kau pasti akan menuduh aku yang membunuh suamiku karena aku membenci kebiasaan mendengkurnya... itu tidak benar. Lalu bagaimana jika dia berselingkuh? Tidak, dia hanya mencintai aku seorang. Hanya aku!”

Alis Laura naik karena ucapan itu. Ia lalu beralih ke arah Bima Jayakusuma.

“Kalau tidak salah, kau adalah keturunan dari keluarga berdarah biru. Benarkah begitu?” tanya Laura.

“Ya, tapi aku tidak suka jika kesuksesanku selalu dikaitkan dengan status itu,” ungkap Bima. “Aku dan Agus Darmawangsa memulai perusahaan ini dari nol dan tanpa intervensi dari pihak keluarga. Dia adalah orang yang sangat kompetitif dan dedikatif. Aku benar-benar merasa kehilangan dirinya.”

Bima mengusap wajahnya dengan kedua tangannya, sesekali ia menggeleng lemah dan pandangan matanya kosong. Sementara itu, Laura beralih ke arah wanita bergaun merah.

“Arimbi,” kata Laura, “meskipun kau bukan berdarah biru tapi kau adalah wanita yang sangat cantik dan selalu berpenampilan menarik. Tak heran jika Tuan Jayakusuma memilihmu sebagai pendamping hidupnya. Dan maaf, jika boleh berasumsi, apakah kecantikanmu itu juga membuatmu menjadi selingkuhan dari mendiang Tuan Darmawangsa?”

“Astaga, tidak!” sergah Arimbi. “Bukan berarti dia tidak mencobanya. Oh, maaf, Lisa, tapi kenyataannya adalah suamimu memang pernah beberapa kali menggodaku, tapi aku tidak pernah mau, dan tak ada yang pernah terjadi di antara kami berdua, titik.”

“Oke, kalau boleh tahu lebih lanjut,” kata Detektif Laura, “mendiang Tuan Darmawangsa meninggalkan kalian di kasino untuk kembali ke hotel dan bersiap untuk makan malam, apakah saat itu kalian sedang bersama-sama?”

“Tidak,” jawab Bima. “Aku sedang bermain blackjack.”

“Aku sedang berada di mesin slot,” kata Lisa.

“Dan aku berada di roda roulette,” sahut Arimbi.

“Kurasa salah satu dari kalian datang ke kamar hotel Tuan Darmawangsa lebih awal dari yang kalian klaim,” deduksi Laura. “Lalu beradu mulut dengannya, kehilangan kesabaran, dan menembaknya dengan pistolnya sendiri. Dan kurasa aku tahu siapa orang itu. Aku yakin aku bisa membuktikannya setelah semua barang bukti sudah diperiksa.”

G18 = Ar
Inisial arimbi yg juga berarti arsenik dalam tabel periodik

Semoga benar
 
Revisi dikit, Arsenik inisialnya As ..

Tapi setuju sama jawaban ini, kl ngikutin tabel periodik unsur kimia, No 18 itu inisial Ar (kode buat Arimbi) .. cuma G nya apa yaa? 🤔 Gas Mulia?
G18, coba lihat di tabel periodik yang dalam bahasa inggris 😊
 
Bimabet
G18.. Ar, Argon, cocok dgn Arimbi.
G18, Gas Argon atau Guilty Ar...
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd