Aku duduk dipinggir kasur dalam kamarku. Merenung. Semalam Ana menanyakan kabarku. Hah, kenapa aku bisa melupakan kedua adikku? mungkin harusnya aku selalu berkomunikasi dengan mereka.
haaaaahhhss.... kupejamkan mataku
Ainun... bathinku
To : Ainun
Terima kasih telah menemaniku
Kemarin
From : Ainun
Sama-sama
Jadi diri sendiri ya sayang...
To : Ainun
Iya,
From : Ainun
Iiih, ada anak muda godain bu RT-nya
Hi hi hi...
Dah, cepetan berangkat sayang
Benar-benar aneh sekali dengan kehidupanku. Ainun, baru saja aku mengenalnya tapi kenapa dia bisa sampai merasa nyaman sekali bersamaku. Padahal hanya teman ngorbol saja, bisa sampai sedalam ini. Apakah aku pantas untuk mengharapkannya? Sedangkan dia selalu mengatakan tidak mungkin bersama. Ahhh, aku tidak tahu jalan pikiran wanita.
Kulihat kembali atap kamar kontrakanku dari dalam kamarku. Genting-genting berjajar saling menumpuk. Berkerjasama untuk menutupi bagian dalam rumah ini. Agar tidak panas dan tidak terkena hujan. Begitupula dengan aku dan ketiga sahabatku dulu, bersama untuk menyongsong masa depan. Tapi jalan yang kami pilih salah. Hmm.. bukan salah tapi kurang benar. Tidak seperti genting-genting itu yang tertata rapi. Seandainya dulu kami tidak seperti saat itu, mungkin. Ah, itu hanya seandainya tapi semua sudah terjadi.
Andri, Aku akan mewujudkan impian kita. Aku akan tetap disini untuk menuntut ilmu. bathinku
Selepas aku ber-SMS dengan Ainun, aku kembali bersiap-siap untuk berangkat. Bangkit dari dudukku dan mengambil pakaian yang di belikan Ainun kemarin. Aku memakainya, pas. Ternyata dia memang benar-benar tahu ukuranku. Dasar wanita, sangat misterius.
Aku melangkah keluar dari kamarku. Terhenti sejenak ketika melihat ruangan kecil yang biasa aku gunakan untuk bercanda dengan kedua sahabatku. Lagi-lagi ingatan akan tawa muncul dalam pikiranku.
Titit titit...
From : Andrew
Kemari lu!
Atau gak kenal ama gue!
To : Andrew
Iya Ndrew, iya
Andrew, andrew, hah! Aku akan datang ke tempatmu sekarang. Kulanjutkan langkah... eh, aku kan belum ngrokok. Buat teh hangat dulu sajalah, sambil ngrokok, baru kemudian ke Andrew. Palingan disana sudah ada banyak orang. Sebenarnya gugup juga kesana dengan jati diriku yang asli. Sebentarlah. Sebatang atau dua batang atau tiga batang atau empat batang atau... terlalu lama. Sebatang saja.
Baru setengah batang sembari meminum teh hangat. Kembali sms dari Andrew masuk. Dan, sialnya dia sama cerewetnya dengan Andri. Benar-benar mengingatkan aku kepada Andri kamu Ndrew. Segera setelah SMS masuk aku melangkah keluar kontrakan.
Sssshhh... huuuufttthh....
Udara segar tidak seperti dalam kontrakanku yang penuuh dengan asap rokok. Kunyalakan satu batang dunhill kembali, dan kembali aku melangkah ke depan gang. Perasaan gugup masih menyertaiku tapi masa bodohlah. Aku harus tetap kesana dan harus melanjutkan kuliahku. Kalau aku tidak kesana, bagaimana aku akan menghadapi teman-teman ketika kuliah nanti? Aku ingin sekali mewujudkan mimpi-mimpiku.
Setelah menunggu beberapa saat didepan gang. Ku berhentikan taksi berwarna biru. Jujur saja kalau naik angkutan umum, aku tidak tahu harus turun dimana. Dengan berbekal sms, aku katakan tujuanku kepada sopir taksi. Aku mengira perjalanan akan memakan waktu yang lama. Tapi hanya sekitar 45 menit perjalanan aku sudah sampai di Rumah Sakit Kota.
Gedung yang megah, mungkin memang hanya ada dikota saja. Di desaku tidak mungkin ada Rumah Sakit yang bertigkat seperti ini. Aku masuk, pintu terbuka sendiri tanpa harus aku membukanya. Keren! Heran aku, heran. Hal pertama yang harus aku lakukan, bertanya ke bagian informasi. Setelah celingak-celinguk kanan dan kiriku untuk mencari bagian informasi. Dan tak harus menunggu lama, aku menemukannya.
Lhadalah, setelah aku dekati mbaknya cantiknya puol. Pake kerudung putih, senyumnya manis lagi. Aduh kenapa pikiranku malah tentang kecantikan mbaknya. Fokus Ar, fokus.
Bisa saya bantu mas? tanya mbaknya dengan sigap ketika aku mendekat ke meja bagian informasi
Eh, anu mbak, itu... pasien bernama Andrew Nugraha dimana ya? tanyaku gugup
Oh ya mas sebentar saya ceknya dulu ucap mbaknya
Setelah mengecek di komputer. Mbaknya kemudian menjelaskan kepadaku lantai beserta nomor kamar Andrew. Beberapa kali aku bertanya kembali karena memang masih asing bagiku. Setelah yakin aku mengucapkan terima kasih kepada mbaknya dan...
Eh, mbak sebentar tanya lagi ndak papa kan mbak? tanyaku kembali
Iya mas jawab mbaknya, dengan senyum manisnya. Sama sekali tidak kelihatan jengkel.
Emm, gini mbak. Ada tempat buat ngerokok ndak ya mbak? tanya saja mbak, sapa tahu ada tanyaku
Haduh masnya ini, di rumah sakit kok malah merokok. Temen mas itu kan ada dilantai paling atas. Mas-nya bisa ke atap gedung mas lewat tangga disamping lift. Masnya coba nanti nengok ke samping kanan lift, itu kan ada tangga. Mas-nya naik saja, ada kok tempat buat merokok disana. Atau kalau gak, ya masnya waktu keluar dari lift nengok ke kiri, itu kan lorong. Mas-nya ikuti saja lorong itu, nanti ada tulisannya Smoking Area, gitu. Tapi inget tutup pintunya pas ngrokok! Biar gak masuk ke ruangan! jelas mbaknya
I-iya mbak aku sedikit takut, mbaknya jadi sedikit galak
Ngrokok gak baik mas, kasihan sama diri sendiri napa! ucap mbaknya sedikit keras
Eh, i-iya mbak, iya jawabku
Berhenti ngrokok! sekali lagi mbaknya berucap keras
I-iya mbak, iya... terima kasih mbak aku langsung melangkah cepat meninggalkan mbaknya
Haduh bener deh, semua cewek apa memang ndak suka sama cowok yang ngrokok ya? eh, sebentar, tadi mbaknya bilang lift? Berarti sama dengan dulu ketika aku diajak mas Raga. Lha tapi dulukan yang mencet-mencet si Ana dan Ani. Aku bingung sendiri. aku diam sejenak didepan lift ini, tiba-tiba seorang Ibu-ibu dengan kerudung putihnya berada disampingku. Entah kapan dia datang. Dan aku masih disini, bingung cara membuka lift ini, hmm.
Bu, bu... kalau mau ke lantai atas bagaimna caranya ya bu? kuberanikan diriku bertanya kepada ibu-ibu tersebut. Sejenak ibu tersebut memandangku dari atas hingga bawah.
Gak pernah naik lift ya mas? tanya ibu itu kepadaku. Aku menggeleng.
Mas nya mau ke lantai berapa? tanyanya kembali, aku jawab sesuai dengan apa yang dikatakan oleh mbaknya informasi.
Ya udah, sama saya. Saya juga mau kelantai atas ucapnya,
iya bu, terima kasih jawabku
Ting...
Baru saja aku selesai berbicara dengan si Ibu. Tiba-tiba terdengar bunyi ting dan pintu besi itu terbuka. Sesaat kemudian, aku diajak masuk oleh si Ibu. Ibu itu sedikit mengajariku mengenai pengoperasiannya. Didalam lift, Si Ibu kembali bertanya-bertanya kepadaku. Si Ibu ini kelihatan penasaran denganku, sedari tadi selalu melihat wajahku. Kemungkinan besar dari logat daerahku yang terlalu ndeso ini. Selama didalam lift aku berbincang dengan si Ibu. Si Ibu dikasih cerita malah senyam-senyum sendiri ini.
Masnya itu lucu ya? tanya Ibunya
Eh, ya begini ini saya bu. Memang dasarnya saya itu deso jawabku
Desanya mana mas? Saya itu dulu juga dari desa lho mas lanjut ibunya
Ya, desa pokoknya bu, desa he he he malu saya bu jawabku kembali
Iya, iya. Oia, dari manapun asalnya, masnya jangan minder saja kalau berada di kota, ya? tetep semangat belajarnya ucap Si Ibu dan aku mengiyakannya
Jujur saja saya itu familiar sama wajah mas-nya. Mas-nya itu mirip lho sama Ayah saya, tapi sudah lama saya itu gak pernah mengubungi Ayah saya. Jadi tidak tahu kabar mengenai beliau lanjutnya
Ah, masa sih bu? Kebetulan saja kali he he sama-sama orang ndeso bu jawabku singkat
Ya mungkin memang kebetulan saja, tapi kalau kebetulan, kenapa bisa ketemu disini ya mas? kembali si Ibu bertanya kepadaku
Namanya juga kebetulan ketemu bu, dan kebetulan mirip. Jodoh mungkin bu jawabku sekenanya. Tapi kalau aku mirip Ayahnya, kalau aku saudaranya kenapa si Ibu ndak ada mirip-miripnya sama keluargaku ya? he he he... tambah konyol pikiranku ini
Hi hi hi benar mas kebetulan mas hi hi hi jawabnya, eh cara si Ibu ini ketawa...
Ting...
dah sampai mas ucap Ibu tersebut mengajakku keluar dari Lift. Buyar sudah lamunanku.
Eh iya bu jawabku, aku mengikuti Ibu tersebut keluar dari lift
Nah, mas-nya kalau ke kamar nomor 17, lurus saja mas ucap Ibu tersebut
I-iya bu, terima kasih aku membungkuk sembari mengucapka terima kasihku
Iya sama-sama, Ibu seneng ketemu sama mas-nya. Sopan banget Ibu itu menimpali
Sejenak kami mengobrol dan kemudian Ibu tersebut pamit terlebih dahulu. Si Ibu kemudian berjalan ke arah lorong kanan. Aku perhatikan dari belakang, Ibunya ternyata cantik juga. Dari percakapan dengan Si Ibu tadi, Ibunya ternyata mudah sekali akrab denganku. Mungkin memang kami berjodoh untuk bertemu. Mungkin.
Sejenak aku melihat ibu itu melangkah menjauh. Sembari melihat si Ibu, aku menengok ke kanan lift. Ternyata memang benar ada tangga disana. Berarti yang lorong kiri, ada ruang untuk merokok juga. Berarti aman, aku bisa merokok disini.
Dari lift aku melangkah maju, sesuai dengan apa yang dikatakan mbaknya. Setelah mencari-cari akhirnya aku menemukannya. Kamar nomor 17, aku sudah berada didepannya sekarang. Kuhela nafas panjang, agar rasa gugup ini hilang.
Tok... tok... tok....
Permisi.. ucapku sedikit keras. Segera aku raih gagang pintu dan membukannya.
Kleeeek...
Aku masuk dan semua mata tertuju kepadaku. Aku hanya bisa tersenyum untuk menutupi kegugupanku. Segera aku masuk, berbalik menutup pintu. Aku masih menghadap ke pintu. Ku hela nafas panjangku kembali. Sesaat kemudian, ku balik tubuhku perlahan.
Ha-hai... ucapku gugup. Tak ada balasan sama sekali.
Winda memeluk erat Desy. Desy tersenyum melihatku sembari memeluk Winda yang tampak ketakutan melihatku. Dina yang menjatuhkan sebagian tubuhnya di kasur Andrew, melihatku heran. Dini berdiri bersedekap memandangku heran juga. Kepalanya kadang miring ke kanan dan kekiri. Irfan dan Johan, yang duduk pada kursi dan bersandar pada tempat tidur Andrew. Bersedekap dan tersenyum melihatku. Salma, Tyas dan Dinda, mereka juga tersenyum ketika melihatku.
Helena, dia tersenyum. Sedangkan Andrew, bibirnya datar sembari geleng-geleng.
Siapa ya masnya? tanya Johan
Eh... aku sedikit terkejut
Mau nengok siapa mas-nya? lanjut Dinda
Eh, siapa sih dia? Dina menimpali
Gak tahu gue, coba tanya Dini jawab Salma
Eh, kok gue. Coba gue ingat-ingat... hmm... gak ingat gue-nya. lu tahu yas? jawab Dini
Hmmm... sama Din, gue juga gak tahu siapa sebenarnya yang berdiri dihadapan kita ini. Han, Fan, kalian tahu? balas Tyas
Eh, ini a-aku... Ar... ucapku terpotong
Mana kita tahu, liat aja baru saja! ucap mereka bersamaan
Sebentar-sebentar, tante jadi bingung. Kalian tidak kenal sama dia? ucap seorang Ibu-ibu yang tiba-tiba saja berdiri dari duduknya. Mereka semua kompak menggelengkan kepala ke arah Ibu tersebut. Ibu tersebut kemudian mendekatiku, aku semakin gugup.
Saya ibunya Andrew, yang terbaring sakit itu. Nama kamu siapa? tanya Ibu tersebut kepadaku
Ar-arta bu... jawabku
Oh, lha Arta kenal sama mereka semua? Atau mungkin Arta salah kamar? tanya Ibu Andrew
Ini kenapa malah tambah membingungkan. Apa benar-benar mereka tidak mengenaliku sama sekali ya? adakah yang benar-benar berubah dariku? Hufth, ya sudahlah. Tapi kalau kulihat wajah mereka, seperti orang yang sedang mengerjaiku.
Ma-Maaf bu, i-ini kamar nomor 18 kan? tanyaku berbalik ke Ibunya
Ini nomor 17 ibu Andrew lembut sekali ketika menjawab.
Be-Berarti saya salah kamar bu, maaf... saya ijin ke-keluar dulu bu aku membungkuk ke Ibu tersebut
Iyaaa, gak papa Ar jawab Ibu tersebut
Aku berbalik dan menghada ke pintu. Ketika baru satu langkah dari tempatku berdiri.
Mah, minggir dikit aku mendengar Andrew berteriak sedikit keras dibelakangku
Praaak...
Achh.... sebuah benda tepat mengenai belakang kepalaku. Aku lihat sebuah piring plastik jatuh didepanku. Kuraih kemudian bangkit dan langsung berbalik.
Sakit, woi! Siapa tadi yang lempar! ucapku sedikit keras. Dengan satu tanganku mengelus bagian kepala yang terkena piring tersebut
Dasar Curut! bentak Andrew
Sesaat, setelah aku mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Andrew. Aku terdiam, melihat Andrew yang tersenyum kepadaku. Kuliat bayangan Andri ada didalamnya. Aku menunduk, senyumku mengembang.
Lho kalian sebenarnya saling kenal atau tidak? tanya ibu Andrew
Tidak mah, tidak kenal. Sama sekali tidak kenal. Kalau saja dia tidak kuliah bersama kami semua jawab Andrew
Aku mengangkat kepalaku, kembali aku tersenyum.
Maaf... hanya itu yang keluar dari mulutku
Tiba-tiba saja, Dina. Mendekatiku. Kedua tangannya merangkul pundakku. Satu tangannya kemudian menaikan daguku.
Arta ya? tanya Dini, kedua tangannya kini menjalar merangkul leherku. Pandangannya bagaimana gitu, hmm.
Eh, i-iya n-na... aku gugup
Gantengnyaaaaa.... ucapnya, bibirnya digigit bagian bawahnya
Eh, i-itu a-anu... aku benar-benar gugup
Arghh...
Sakiiit Naaaaa... suaraku menjadi cempreng, karena hidungkudi betet keras oleh Dina
Ayo ngaku, lu kan yang ada di median malam itu, ayo ngaku! Ngaku! Dina terus membetetku sangat keras
I-iya... iyaa... maaf na, maaf, sakit naaaa... Dina melepas. Aku memegangi hidungku yang terasa sangat saki setelah di betet Dina.
Mmm... maaf Arta sayang, maaf ya hi hi hi Dina kini berdiri dan bersandar pada kasur Andrew. Tawanya membuat seisi ruangan tertawa. Tapi Ibu Andrew tampak masih bingung.
Ini kok gak ada yang jelasin ke tante? tanya tante
Maaf tante sebentar... ucap Desy mendekatiku
Kalau begini kalian dah kenal apa belum? Desy memakaikan kembali kacamataku. Kulihat dia sudah tidak lagi jengkel denganku. Kini dia berada tepat disamping kananku.
Ooooo Arta si culun... Ha ha ha ha... teriak mereka bersama, kecuali Winda yang terlihat masih sedikit takut kepadaku
Aku menggaruk-garuk kepalaku. Kepalaku tertunduk dan hanya bisa tersenyum ketika mendengar tawa mereka. Irfan mendekatiku sebentar, memukul bahu kananku.
Keren lu bisiknya ditelingaku ditengah tawa mereka semua
Eeeeh... ini malah pada ketawa kok gak ada yang cerita sama tante? tanya tante membuat semua yang tertawa memperhatikannya
Tuh Umi aja yang jelasin kata Dini kepada Ibu Andrew, sembari menunjuk ke arah Desy
Pah, temen-temen kakak aneh banget ya? tanya seorang gadis kecil kepada seorang lelaki
Coba kamu tanya mamah kamu itu atau kak Andrew ucap Lekaki tersebut. Kalau dilihat dari kata-katanya, dia adalah Ayah dari Andrew. Sedangkan gadis kecil tersebut adik Andrew.
Desy kemudian menyela. Dia menjelaskan kepada Ayah, Ibu dan Adik Andrew tentang siapa aku ini. Memang benar jika Desy adalah perempuan yang dewasa seperti yang aku lihat. Dari setiap kata-kata yang dia ucapkan, sangat padat. Dia tidak menjelaskan terlalu detail kejadian malam itu. Sesekali dia melirik ke arahku, mungkin untuk memastikan emosiku. Bisa dibilang kata-kata yang keluar dia sesuaikan, agar tidak terlalu membuatku sedih.
Setelah penjelasan Desy, Ibu Andrew pun mengenalkan aku pada Ayah dan Adik Andrew. Dan benar sesuai dugaanku, Lelaki tersebut Ayah Andrew sedangkan gadis kecil itu Adik Andrew. Ibu Andrew tampak senang sekali karena aku telah menyelamatkan hidup Anaknya. Dipegangnya kepalaku dan dipeluknya.
Mmmmh... makasih ya Ar. untung ada kamu, coba kalau tidak ada. Tante pasti kelimpungan ucapnya tersenyum kepadaku.
Iiih, mamah kok gitu. Peluk-peluk cowok didepan papah cetus Ayah Andrew
Eh, papah. Kan ini ucapan terima kasih mamah sama Arta, jangan cemburu dong jawab Ibu Andrew
Tidak pokoknya papah cemburu balas Ayah Andrew
Eeeeh, jangan marah dong pah ucap mamah Andrew, mendekati Ayahnya sekaligus merayunya. Semua tertuju pada pasangan kekasih yang bisa dibilang seumuran dengan orangtua kami. Tampak mesra sekali, aku tersenyum melihatnya.
Aaa... tante mesra sekali, aku jadi pengen kaya tante sama om kalau sudah menikah ucap Dina yang tiba-tiba mendekati orang tua Andrew
Pah, Mah... kalau mesra-mesraan jagan disini napa. Malu banyak temen Andrew ucap Andrew
Kan sudah sah, makanya Helen cepetan kamu nikahi. Dasar cowok, sukanya menunda-nunda hi hi canda Ibu Andrew
Kan Anderw masih sekolah... balas Andrwe tak mau kalah.
Ha ha ha ha.. tiba-tiba tawaku pecah.
Aku benar-benar merasakan bahagia saat ini. tanpa kusadari hanya aku yang tertawa. Dan sesaat kemudian aku baru benar-benar sadar jika semua orang yang berada dalam ruangan memperhatikanku.
ha... ha.... haha... ha... ha...
Eh, i-itu... a-anu... ma-maaf... anu itu... apa ta-tadi... anu ucapku sembari kedua tanganku menunjuk ke arah kanan dan kekiri. Aku kemudian menengok ke arah Desy.
Lu-lucu kan Des? tanyaku. Desy menggeleng. Kembali aku mengarahkan pandanganku ke arah teman-temanku.
Dina mulai tertawa, diikuti yang lainnya. Suasana menjadi riuh dan ramai, menertawai kepolosanku atau mungkin kebodohanku. Kalau sudah begini, akupun cuma bisa mringis. Pelan aku menundukan kepala sembari menggaruk-garuk kepalaku. Merasa bodoh dan bahagia, itulah yang aku rasakan sekarang.
Tiba-tiba aku merasakan legan Desy menyenggol tubuhku.
Tuh kesana jangan berdiri disini terus, itu teman-teman kamu. Sana samperin satu-satu ucap Desy tanpa memandangku sama sekali. Namun sesaat kemudian dia melirikku dan tersenyum. Benar-benar sangat manis kali ini ketika aku melihatnya.
Aku mendekati mereka. Irfan dan Johan merangkulku. Sedikit pukulan pada perutku. Salma, Dinda dan Tyas satu persatu menyalamiku. Sedikit cubitan pada pipiku. Sakit juga ternyata cubitan mereka bertiga apalagi bersamaan. Dini mendekatiku, mengucek-ucek rambutku. Sedikit ada kenangan masa lalu ketika rambutku diucek-ucek Dini. Baru saja aku tersenyum, tiba-tiba Dina dengan kedua tangannya mencubit pipiku. Keras sekali, terasa sangat sakit sekali. Susah melepaskan cubitan Dina.
Dan yang paling aneh adalah Winda. Wajahnya sedikit ketakutan. Tiba-tiba Desy dari belakang mengatakan kepadaku kalau Winda sempat ketakutan beberapa hari ini. dipeluknya Winda dari belakang oleh Desy dan didorong kedepan. Kusalami Winda. Mungkin memang benar, malam itu aku seperti binatang buas. Yang terkhir Ibu, Ayah dan adik Andrew. Tak lupa aku salim ke orang tua Andrew.
Yang terakhir, Helena dan Andrew.
Len.. ucapku mendekatinya. Dia bamgkit dari duduknya.
Makasih ya Ar, sekali lagi terima kasih lanjutnya sedikit matanya berkaca. Aku mengangguk.
Sudah jangan lama-lama lu! Salaman lama banget!mau rebut Helen dari gue! bentak Andrew
Eh, mas apaan sih, enggak... bela Helen. Aku tersenyum.
Ngapain lu senyum-senyum! ucapAndrew sedikit keras
Ndak tahu ndrew he he he ucapku dengan tangan menjulur ke arahnya
Kami berjabat. Mungkin dia memang mirip dengan Andri. Tapi ada perbedaan antara Andrew dan Andri. Berbeda. itulah yang aku rasakan.
Yang, biar Arta duduk dulu di kursi ya? tanya Andrew kepada Helena. Helena mengangguk. Kini aku yang berada di samping Andrew.
Aku hanya duduk. Mereka semua bercanda. Aku dan Andrew melihat mereka bersamaan. Tak ada tegur sapa antara aku dan Andrew.
Mah, temen-temenku diajak makan napa? Ditraktir gitu, kasihan mereka belum pada makan pinta Andrew kepada Ibunya
Eh, iya... lha kamu mau ditinggal sendiri? tanya Ibu Andrew
Arta dibungkus saja. dia yang menemaniku di kamar ucap Andrew. Ibunya tersenyum dan mengangguk pelan.
Sesaat kemudian mereka diajak oleh keluarga Andrew makan malam. Tak ada yang protes. Satu persatu mereka mulai meninggalkan ruangan.
Woi, jangan pacaran ya! ingat, cewek masih banyak di dunia ini ha ha ha teriak Johan ketika hendak menutup pintu
Kampret! teriakku bersamaan dengan Andrew
Suasana menjadi hening. Ruangan yang sebelumnya penuh dengan riuh canda dari teman-temanku kini menjadi sepi. Suara AC dalam ruangan terdengar sangat jelas. Tiba-tiba pukulan ringan di lenganku.
Elu lihat tadi? tanya Andrew.
Apa? jawabku kembali bertanya
Mereka, sahabatmu. Ramaikan? Masih punya pikiran mau pergi? tanyanya. Aku tersenyum
Tidak, aku akan tetap melanjutkan kuliahku. Dari mana kamu tahu aku akan pergi? Samo? jawabku kembali bertanya kepada Andrew
Tidak, dia tidak cerita. Hanya saja, Dini menceritakannya kepada kami semua sebelum dia pulang kemarin jawabnya
Hening sesaat...
Ar... ucap dia seraya bangkit hendak duduk tegak
Sandaran saja ucapku menahan, tapi tangannya menepisnya dengan pelan. Kini dia duduk tegak didepanku. Aku berada disampingnya.
Elu tahu kenapa lu ada sampai saat ini? tanyanya, aku menjawab dengan menaikan kedua bahuku
Karena masa lalu Ar... jawabnya, dengan sedikit pukulan dikepalaku
Karena masa lalau, lu ada dimasa sekarang. Karena masa lalu, setiap orang datang ke masa depan. Dan ketika dia berada dimasa depan, berarti dia berusaha untuk tetap tegar melanjutkan jalan yang dia pilih sekalipun masa lalunya sangat pahit. Dan salah satu dari orang itu adalah Elu, kampret! Ha ha ha...
Hufth... Aku yakin, Elu adalah orang yang sangat dibutuhkan sahabat-sahabatmu saat itu bahkan sampai sekarang. Aku dan yang lainnya, membutuhkanmu. Bukan sebagai sesorang yang bukan dirimu. Tapi yang kami butuhkan adalah dirimu Ar
Jika elu merasa bersalah pada Andri, di masa itu. Perbaiki...
Apakah dengan melihat gue, elu ngrasa kembali ke masa lalumu? tanyanya. Aku sedikit mengangguk. Terus terang memang benar, aku sedikit kembali ke masa itu.
Itukah sebabnya, elu sering menghindar ketika kita ngajak lu pergi? lanjutnya bertanya. Dan aku menganggguk pelan.
Takut kejadian itu terulang kembali? pertanyaanya memberondongku dan aku hanya sanggup mengangguk menjawabnya.
Elu bodoh Ar ucapnya
Suasana menjadi hening. Aku tertunduk lesu. Beberapa kali pikiranku pergi, melayang entah kemana. Semua aku lakukan, menghindar memang sedari awal tujuanku agar aku tidak terlalu dekat dengan mereka. Tapi kepolosanku, menunjukan jati diriku sebenarnya.
Benar apa katamu, tapi semua aku lakukan agar tidak terjadi lagi Ndrew. Dan kenyataanya sekali aku bersama kalian, kejadian itu hampir terulang dan... ucapku terhenti
Gue bukan Andri Ar ucapnya pelan memotong ucapanku. aku langsung menandang ke arah Andrew. Dia memandangku dan tersenyum.
Lihat apa yang telah lu lakuin ke Helena aku sedikit terkejut ketika mengatakannya
Helen dah cerita banyak ke gue Ar. dan elu tahu, kalau saat malam itu lu gak ada disitu. Lu bakalan lebih nyesel dari yang sekarang ucapnya
Kristian nyari Helen. Dan... lu bisa bayangin kalau lu gak disitu? aku kembali menunduk mendengar perkataan Andrew. Benar, awal kejadian itu adalah kejadian antara Kristian dan Helena.
Mungkin, bukan lu aja yang nangis. Gue bakalan nangis lagi, dan ketika lu lihat gue nangis. Lu bakalan kejebak sama masa lalu lu lagi. Karena gue mirip Andri, dan lu gak bakalan bisa nyangkal itu tak berani aku melihat mata lelaki yang berada didepanku. Aku tertunduk semakin lesu.
Udah, itu kan seandainya. Dan keputusan yang lu ambil adalah tepat bro! ucapnya menepuk kepalaku. Pelan aku mengangkat kepalaku.
Benarkah? tanyaku, dia mengangguk dengan acungan jempol ke arahku.
Mulai sekarang jadi dirimu sendiri. kalau ada yang masih rusak, perbaiki. Kita semua disini keluarga, dan gue udah katakan sebelumnya kan? Kita bakal bantu lu aku mengangguk menjawab pertanyaan Andrew
Nah, tinggal sekarang bagaimana dengan lu, Ar? tanyanya, matanya tajam meliatku
Aku coba Ndrew jawabku
Siip! Gitu bro, jika ada yang berkaitan dengan masa lalumu dan membuatmu bersalah, perbaiki! Oke bro! tangannya menjulur ke arahku dan aku langsung menangkapnya.
Ingat Ar, Karena yang sekarang bukan yang lalu. Serpihan-seprihan itu, cobalah untuk direkatkan kembali. Aku tersenyum dan mengangguk pelan ketika mendengar kata-katanya.
Sesaat kemudian terdengar tawa kerasnya. Aku pun ikut tertawa. Hingga kami tertawa bersamaan, semakin keras dan semakin keras. Membuat kesunyian ini menjadi sebuah keramaian. Walau tak seramai ketika teman-temanku, eh, sahabat-sahabatku berada dalam ruangan ini.
Selang beberapa saat mereka semua kembali ke dalam ruangan. Membawa bungkusan nasi.Desy memeberiku sebungkus nasi, terasa panas ketika aku memegangnya. Sedangkan mereka semua juga membawanya. Bukannya mereka makan di luar?
Lho kok malah bawa makan sendiri-sendiri? mamahku gak nraktir kalian? tanya Andrew
Eh, enak saja. Papah yang traktir mereka, tapi pake uang saku kamu ha ha canda AyahAndrew
Lha? Kok gitu? Gak bisa to pah protes Andrew
Sudah, sudah... papah itu anaknya sakit masih saja diajak bercanda ucap Ibu Andrew kepada Ayahnya
Temen-temenn kamu itu yang gak mau makan disana. Ditambah lagi calon mantu mamah dari tadi sedih banget, mamah kan gak tega. Kaya mamah dulu, gak tegaan. Ya kan pah? ucap Ibunya Andrew
Iya mah, dulu mamah bener-bener malaikat papah. Sini mah, papah peluk dulu ucap Ayah Andrew
Iiiih papah, malu pah sama umur sela adik Andrew
Woi pacaran jangan disini! ucap Andrew sedikit berteriak
Kami semua tertawa ketika mendengar adegan mesra orang tua Andrew dan tentunya Andrew yang sedikit malu karena tingkah orang tuanya.
Makanya cepet lulus! Nikahi Helena, biar bisa pacaran di mana saja, tul gak mah? tanya Ayah Andrew. Ibunya Andrew mengangguk.
CIEEEE... dah dapet restu tuh, ciye.... teriak semua teman cewekku dan tentunya ditujukan ke Helena.
Apaan sih ucap Helena dengan rasa malu
Aku dan sahabat-sahabatku duduk dilantai bersama dengan Keluarga Andrew. Sedangkan Andrew disuapi Helena. Sejenak aku melihat tawa mereka. Tawa yang begitu aku rindukan. Apalagi ketika melihat Adik Andrew yang duduk ditengah-tengah Ayah-Ibunya. Tawa kebahagiaan ketika itu, ketika aku bersama Ibuku. Ah, benar-benar beruntung Andrew, masih lengkap.
Ku alihkan pandanganku ke sahabat-sahabatku. Tawa ini juga aku rindukan. Dulu hanya kami berempat. Tertawa sepanjang jalan pulang. Ada saja yang kami lakukan. Berjoged, melompat, bergaya layaknya seorang preman. Sudah lama aku merindukannya. Sudah teralu lama mereka berdua meninggalkanku sendiri di kontrakan. Seandainya ada mereka pulang seminggu sekali, aku tak akan begitu rindu akan semua tawa yang aku lihat sekarang.
Ssst... kalau mau tertawa, tertawa saja, jangan ditahan bisik Desy yang berada disampingku sembari menyendok nasi bungkusnya tanpa menoleh ke arahku. Aku memandangnya sejenak.
Benar. Aku punya mereka. Dan Aku juga punya Samo dan Justi. Mereka semua saling melengkapi. Tapi aku tetap harus berada diantara mereka. Tidak boleh lagi menjauh, tidak boleh lagi menyendiri. Aku, Samo dan Justi adalah satu. Aku dan mereka juga satu. Ya, aku adalah bagian dari mereka.
Arta mau Dina, suapin? Sini sayang, Dina suapin ucap Dina membuyarkan lamunanku
Eh, A-anu, makan sendiri saja jawabku spontan
Hi hi... sudah gak papa kok, Dina rela kalau harus nyuapin Arta goda Dina
Tawa mereka pecah seketika itu. Perlahan, aku mulai ikut tertawa. Tak ada yang salah kan jika aku ikut tertawa? Tidak ada salahnya kan jika aku ingin ikut bahagia? ya, benar tak ada yang salah. Yang salah hanya orang yang mundur dari dunia yang dia hadapai. Orang yan selalu menghindar dari kenyataan yang dia hadapi dan tidak mau menerima kenyataan pahit. Dan aku tidak ingin menjadi orang yang itu.
Acara makan malam yang indah. Tertawa bersama. Saling bercanda. Hingga malam semakin larut. Satu persatu tumbang. Ada dua tempat tidur. Satu diisi Salma, Dinda, dan Tyas sedangkan yang satunya Dini, Adik Andrew dan Winda. Desy dan Dina menggelar tikar sendiri, tikar tebal tepat di antara dua tempat tidur para wanita. Sedangkan Irfan, Johan dan Burhan tidur dilantai dengan tikar satunya lagi, tepatnya berada ujung ranjang. Sedangkan Ibu dan Ayah Andrew, sangat romantis. Ayah Andrew yang duduk bersandar memeluk sang istri.
Aku masih duduk sendiri. Tepat dipinggir pintu keluar kamar. Memandang mereka yang tertidur nyenyak sekali. Pelan aku berdiri dan keluar dari kamar menuju tangga untuk ke atap gedung. Langkahku masih segar, mataku masih menyala. Hingga diatas atap gedung aku melihat bintang-bintang didarat. Lampu-lampu itu menghiasi Ibu Kota.
Aku duduk dan bersandar pada pagar pembatas. Sebatang Dunhill aku sulut. Kuarahkan pandanganku melihat langit luas. Langit penuh bintang. Aku tersenyum, mereka masih saja sama. Indah untuk dipandang. Ya, ada salah satu cita-citaku disana. Sekalipun itu tidak bisa aku tunjukan kepadanya langsung, tapi aku bisa memperlihatkan kepadanya. Memperlihatkan kepadanya kelak, bahwa aku benar-benar bisa membahagiakan wanita terindahku. Ibu.
Ehem.... Aku menoleh ke arah suara. Suara seorang perempuan yang aku kenal.