Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Bu Norma, Wanita Berjilbab Yang Disekap! [NO SARA]

Bu Norma kira-kira akan diapakan?


  • Total voters
    660
  • Poll closed .
Pagi Pembawa Petaka 2.4

Sarapan di pondok pagi itu megah. Bukan cuma sidat yang Gagah tangkap. Dia juga membawa pulang seekor induk biawak beserta telur-telurnya shubuh tadi. Sekarang, satwa-satwa itu sudah tersaji. Di atas meja mereka ditata rapi. Ketiga sidat dipotong-potong lalu dibakar di atas api. Bumbunya garam dan merica saja. Sambal mentah menyertai. Di dalam mangkuk-mangkuk, daging putih biawak tenggelam dalam kuah kuning gulai. Telur-telur mata sapi ditumpuk di satu sisi. Harumnya membuat siapa saja pasti lapar. Pasti ingin tambah lagi dan lagi.

Tokek dan Kancil tak perlu diajari. Keduanya lahap menyantap tangakapan Gagah. Untuk ukuran mereka, pemuda-pemuda itu setan juga dalam urusan kuliner. Belum habis yang di mulut, mereka sudah menyuap lagi. Meski begitu, mereka cuma bisa bermimpi menyamai nafsu dewa Gagah. Raksasa itu makan seperti besok matahari akan terbit dari barat. Posturnya yang tinggi besar memang menuntut suplai yang tinggi. Makan banyak baginya sudah seperti bernapas saja.

Di tengah ketiganya asik bersantap, sebuah suara menghampiri. Suara wanita. Yang sedang kesakitan tetapi menikmati. Sebentar saja suara itu sudah tiba di depan pintu dapur yang kemudian didorong membuka dan mempertontonkan Bu Norma yang sedang berjalan sambil disetubuhi Kopral.

Pakaian Bu Norma masih lengkap. Jilbabnya masih membungkus kepala. Hanya roknya saja yang tersingkap. Paha dan betis mulusnya tampak tertatih-tatih memasuki dapur yang mendadak sepi.

Tokek, Kancil, dan Gagah ramai-ramai melongo. Mereka seperti sedang berlomba. Rahang bawah siapa dulu yang akan jatuh menghantam lantai. Pasalnya, baru kali ini mereka sakiskan Kopral begitu bernafsu. Begitu menggebu-gebu. Pria itu seperti lupa daratan. Lupa kalau yang sedang dia ajak bercinta adalah manusia dan bukan boneka. Juga, gerangan apa yang membuat pria tua itu memamerkan olah ranjangnya ke meja makan? Padahal, kan, dia sendiri yang tadi malam minta diberi privasi.

"Pagi, semuaaaa."

Tidak ada yang membalas sapaan Kopral. Suara tumbukan kontolnya dengan bokong dan vagina Bu Norma terdengar membahana. Wanita itu sadar dia sedang jadi pusat perhatian. Dia yang muslimah. Yang berjilbab. Yang masih berpakaian lengkap.

Bu Norma sadar, meja di hadapannya dikelilingi orang-orang. Manusia-manusia. Pria-pria dewasa. Dia malu luar biasa. Malu memperlihatkan sisi binalnya pada dunia. Malu dia tak bisa berbuat apa-apa selain mengikuti alurnya. Namun, apa daya. Sekeras apa juga dia mencoba, mustahil Bu Norma membohongi mereka.

Mereka tahu dia menikmatinya.

"Kenalken," kata Kopral bangga sambil terus memompa kuda betinanya ke arah meja. "Mbak Norma Fitria. Atau, panggil wae Bu Norma."​

e57ee11f3c3ef0a0c9e5e85e6f1870d6488a1841-high.webp

Sarapan pagi ini menunya beda.

"Bu Norma?" tanya Gagah membeo. Lelaki itu lupa menyuapkan nasi berlauk unagi ke mulutnya. Berkelontangan (haha kelon-tangan) sendok dan piringnya ke bawah meja manakala dia berdiri tiba-tiba dari kursi.

Kopral memandangi Gagah selama beberapa waktu. Edan juga Bu Norma. Bisa membuat Gagah lupa pada makanannya. Tuhan saja belum tentu bisa.

"Bu Norma," kata Kopral, menarik ujung jilbab Bu Norma sedikit ke kiri sehingga wanita itu menoleh pada Tokek di kanan meja.

Mata pemuda itu tetap terpaku pada meja meski saat itu sesungguhnya dia fokus mengamati gondal-gandul buah dada Bu Norma dari balik hijabnya. Melon kembar itu seperti meronta-ronta. Meminta dibebaskan dari tempat mereka dipenjara. Puting yang tercetak jelas pada kain kemeja batik menegaskan maunya mereka.

"Ini Faiz. Tapi panggil aja Tokek."

"Ssalam kenal, Bu Norma."

Saat Tokek menyapa Bu Norma, Kopral telah memalingkan wajah wanita berkacamata itu pada Kancil, yang tampak bagai manekin tanpa nyawa gara-gara matanya yang lupa berkedip.

Maklum. Baru kali ini Kancil menyaksikan perempuan dan laki-laki bersetubuh dari jarak dekat. Secara langsung pula. Tanpa tembok atau tirai yang dia harus mengintip dari baliknya. Tanpa gawai atau perangkat perantara lainnya.

Deru napas Bu Norma membangkitkan sesuatu dalam diri Kancil. Jantungnya berdegup menyakitkan. Tampak sekali dia ingin melompati meja dan mencium aroma napas tersebut. Membaui. Turut memiliki.

"Ini Kancil. Namamu asline siapa, Cil?"

"Ehmmp... Mbeling, Kopral."

"Bukan," sergah Kopral kesal sehingga dia menggenjot Bu Norma semena-mena. Akibatnya, payudara Bu Norma mengayun-ayun liar dan tampak akan lompat ke meja. Kancing kemeja yang menahan mereka mengerang tersiksa. Paha wanita itu juga hampir menabrak meja dan mengacaukan hidangan di atasnya. "Itu julukanmu dulu. Nama aslimu, siapa?"

"Enghh... aagh... lupa, Kopral," kata Kancil sambil mengelusi kemaluannya di bawah meja.

"Ck, kontol kalau ndak dibuntal sempak yo pesti kowe lupa kowe taruh mana."

Kopral kini memaksa Bu Norma bersitatap dengan raksasa di sisi kiri mereka. Urat-urat leher Gagah menegang. Pemandangan yang tengah disuguhkan itu mengembalikan begitu banyak kenangan dalam kepala. Saat dia masih bersama Ustazah Nuzula. Saat mereka masih asyik menyelami nafsu dan percaya cinta guru dan murid itu cukup bagi mereka untuk menghadapi segala konsekuensinya. Saat calon ibu dari anaknya itu belum diusir dari hidupnya untuk sekali dan selamanya.

"Nah, yang ini, Gagah. Zenuddin Gagah Permana. Gagah, kan, orangnya?"

Baik Bu Norma maupun Gagah belum sempat bertukar kata saat tangan-tangan berminyak Tokek—yang entah sedari kapan sudah meninggalkan meja guna menonton dari jarak dekat—meraba payudara Bu Norma dari luar kemeja. Cekatan pemuda itu lantas mempreteli kancing-kancing baju Bu Norma. Tanpa bra, menyembul-lah seketika sepasang gunung kembar yang berlumur keringat. Bulat dan mengkilap.

"Wah. Gede juga teteknya," komentar Tokek yang lalu sedikit mundur agar tidak kena gebah Kopral, yang sebetulnya tidak asing dengan sikap lancang anak muda itu.

Komentar barusan bukan sesuatu yang asing di kuping Bu Norma. Meski sebenarnya hanya 36C, berkat postur tubuhnya yang montok, payudaranya selalu gagal dia sembunyikan dari balik jilbab dan baju longgarnya. Ada saja mata jelalatan lelaki yang mengikuti. Sebelum dan sesudah perang mengacaukan negeri. Dunia boleh berubah. Tapi insting manusianya masih sama.

"Nah, Bu Norma," ucap Kopral sambil melepaskan tangan-tangan Bu Norma agar wanita berjilbab itu dapat berpegangan pada tepi meja makan. Tangan-tangan Kopral sendiri lalu berpindah pada pinggul Bu Norma. Empotan vagina si betina mengingatkannya untuk memelankan laju torpedonya. "Mau makan apa?"

Bercucuran keringat, Bu Norma memindai isi meja. Nasi, belut, sambal, dan gulai. Dia tidak tahu siapa yang memasak. Tapi aroma makanan itu membuatnya lapar juga. Meski demikian, dia tak hendak menjawab Kopral. Lelaki itu sedang mempermainkannya saja. Sama halnya dengan siksaan pada kemaluannya. Pilihan itu hanya ilusi saja. Dia hanya boleh mengikuti maunya Kopral dan berhenti di sana.

PLAK PLAK PLAK!

Kopral tampari bokong semok Bu Norma. Kesakitan, wanita itu menjerit lirih seraya berkata, "Pakkk... udahhh. Saya nggak... kuat."

"Hah?"

Kopral perlahan mempercepat ayunan pinggangnya lagi. Tahu dia bahwa Bu Norma sedang tidak mendekati orgasme. Laki-laki itu sangat percaya diri. Bu Norma tidak akan pingsan sebelum dia ijinkan. Meski ogah-ogahan, Bu Norma sudah meminum jamunya. Secara teori, dia bisa dipakai sepanjang hari.

"Itu, lho. Makan. Bu Norma ndak lapar, po?"​

Lapar? No. Mules, iya.

"Pakk... ohhh, tolong, ahhh, lepas-shhh-kan sayahh."

"Bu Norma," kata Kopral, abai pada permohonan Bu Norma, "Bu Norma dulu guru, kan, ya?"

Bu Norma memejamkan mata, mengingat percakapan mereka usai persetebuhan mereka yang pertama; di mana dia memberitahu Kopral terlalu banyak hal. Saat itu, dia kira Pak Pur adalah pribadi yang bisa dipercaya. Dia telah salah besar.

"Guru apa, Bu?" tanya Tokek. "Kalau boleh tahu."

Jawaban Bu Norma datang dalam desis karena dia mengucapkannya dari balik gigi yang mengatup, "Ssssejarahh."​
"Sejarah?" Tokek mengeluarkan kontolnya. Panjang. Melengkung. Tidak sebesar punya Kopral. Tapi tetap lebih tebal dan berotot dari yang Dokter Abi miliki. Belum lagi, batangnya disusuk gotri. Ngeri Bu Norma memandangi. "Rajin ke kelas aku kalau gurunya Bu Norma."​

yang Tokek bayangin kalo diajar Bu Norma
62316a7b50b5cc61fa63d6f0346d5422e5a00674-high.webp

"Bu Norma," kata Kopral usai mengangkat satu kaki berstocking Bu Norma supaya para penonton lebih leluasa menyaksikan bagaimana vagina wanita itu menggembung-mengempis menampung rudal miliknya, "ajari kita dong. Kita, aangh, pengen tahu kenapa langka cewek di negara kita."

Saat Bu Norma hanya menggelengkan kepala, Kopral menghentakkan penisnya dalam-dalam lalu menembakkan sperma. Benih-benih si lelaki sudah pasti—kalau bukan dari semalam malah—membuahi sel-sel telurnya yang sedang di masa subur. Meski belum lama keluar, batang berurat itu masih perkasa.

Kopral pun kembali menyodoki memek Bu Norma. Buih putih membungkus kontolnya. Meluber dari bibir vagina Bu Norma. Statement lelaki itu jelas. Dia enggan lekas-lekas menyudahi percintaan mereka.

"Khaarena," ujar Bu Norma tiba-tiba, merasa bahwa jika dia ikuti permainan Pak Pur, dia akan diijinkan meraih puncak kenikmatannya, "dhaahhlammmph konflikk antarr daerahhhh khhita yanggg pehhh-oooh-rang wariskann... ba-bannyakk korbannya adalakhh anak-aannnak dan... wahhnita."​

"Berapa perbandingannya, Bu," tanya Tokek, "jumlah cowo dan cewe kita?"

"Eeemmphat bhaanding sshhhatuu."

"Wah, pinter juga guru kita," puji Kopral usai mengelap peluh dari dahi memakai ujung rok kain Bu Norma. "Tepuk tangannya dong!"

Plok... plokkk... plok... plokkkk

Hanya Kancil yang bertepuk tangan.

Tokek justru asyik coli sambil duduk di kursi. Tangannya yang kiri memegangi potongan daging sidat yang dia gigit, kunyah lalu telan seakan dia sedang ada di bioskop dengan satu ember paha ayam di atas pangkuan. Sementara, tangan yang kanan sibuk mengurut batangnya yang berkedut menyaksikan Bu Norma yang berjilbab lagi diajak mantab-mantab.

Di seberang si pemuda, Gagah mematung. Wajah yang dibingkai rambut gondrong itu murung. Entah apa yang sedang raksasa itu pikirkan.

"Bu Norma," bisik Kopral di telinga Bu Norma. "Ambilken makan dong."

"Hmmphh?"

"Itu. Nasi sama lauke. Ambil piring, Bu."

Bu Norma menggigit bibirnya agar tak semakin keras mendesah. Cukup sudah dia dipermalukan di depan pria-pria asing ini. Dia ingin semuanya cepat selesai.

Dengan badan yang senantiasa diguncang, tangan-tangan Bu Norma menjulur ke depan. Susah. Bokongnya masih digoyang. Payudaranya mental-mental. Lututnya hampir coplok. Kalau bukan karena kontol Kopral yang menyangga, sudah ambruk dia.

Sepiring nasi berlauk gulai pun eventually berhasil Bu Norma tata sesudah hampir selamanya dia mencoba.

Paham dengan yang Pak Pur mau, Bu Norma lalu menegakkan badannya. Pria yang sedang menyetubuhinya itu lantas dia suapi. Sendok demi sendok. Kalau saja konteksnya mereka lagi bulan madu, mungkin mereka akan terlihat layaknya pasangan yang sedang bahagia.

Tetapi, karena Bu Norma sekarang sedang dihinakan dan dipermalukan gara-gara tadi pamit, beda sekali ceritanya.

Tampak jelas bagaimana Kopral menikmati. Layanan Bu Norma sejauh ini dia bintang lima. Meski akalnya tidak menghendaki, tubuh wanita itu sudah menjadi miliknya. Dia yakin itu. Perlawanan sia-sia Bu Norma bagai serbuk gula di atas manis kemenangannya.

Sementara, untuk Bu Norma sendiri, dia kelihatan ingin lekas-lekas dikubur saja. Hidup-hidup tidak apa-apa. Di bawah mereka, cairan olah rangsang mereka menggenangi kaki meja.

Habis setengah piring, Kopral suruh Bu Norma yang makan. Meski enggan, wanita berjilbab itu mencoba. Dia suapi juga dirinya sendiri. Banyak dari sorongan sendoknya yang meleset. Tidak setiap hari Bu Norma makan dengan belepotan. Baru kali ini.

Tokek dan Kancil merekam setiap detiknya. Mata mereka lekat mengikuti bagaimana bibir Bu Norma membuka, lalu menutup dengan makanan di dalam mulut. Ludah mereka menetes. Ingin sekali mereka mencicipi bibir itu, payudara itu, vagina itu, wanita itu. Kocokan Tokek pada kontolnya yang bersusuk makin menjadi-jadi.

"Nah, sekarang," kata Kopral selesai Bu Norma bersantap—wanita berkacamata itu cuma bisa menelan empat sendokan gulai daging yang rasanya aneh di lidah, mirip ayam tapi beda—dan kembali dia genjot dengan tangan memegangi meja, "biar saya tegasken. Bu Norma, dengar baik-baik!"

Gagah mendengus keras sebelum meninggalkan ruangan. Terdapat tonjolan besar di celana raksasa itu. Jalannya jadi agak lucu.

"Bu Norma, suamine jangan lagi dicari-cari. Ada kami berempat di sini. Bu Norma bebas pilih siapa. Mau ngentot sama siapa wae. Boleh. Mau dientot rame-rame, kita juga oke. Yang jelas, ini rumah baru Bu Norma. Di sini Bu Norma bisa jadi istri, ibu, pacar sekaligus selingkuhan kita. Paham?"

Bu Norma mendesah, mendesah, dan mendesah sebelum mengangguk serta berkata 'Paham!' saat lubang duburnya diculek pejantannya.

"Kita mau Bu Norma betah di sini," kata Kopral yang lalu merunduk demi meremasi buah dada Bu Norma sambil terus menusuk-nusuk rahim si wanita. "Kalau Bu Norma seneng, kita seneng. Hm? Kurang enak piye, heh?"

Lagi-lagi, Bu Norma mengangguk. Desahannya kini samar saja. Pandangannya pun sama. Sebentar terang. Sebentar gelap. Sebentar lagi dia akan pingsan, agaknya.

"Kalau paham," kata Kopral yang kembali tegak dan menggenjot Bu Norma seperti sedang kerasukan, "Bu Norma bilang dong."

"Bhhilang.. akhh.. apahhh?"

"Bilang ke suami Bu Norma di luar sana. Minta ijin ke dia buat tinggal sama kita."

Air mata merembesi pipi Bu Norma ketika bibirnya menguntai kata berikut.

"Maaashh... Abihh... maafin... Aadikkk yaachhh."

"Ganti adik jadi umi, dong," pinta Tokek yang kini berdiri di samping Bu Norma dan siap memejuhi si wanita alim.

"Maass Abiihhh," kata Bu Norma, muka berpaling dari Tokek dan berhadapan lurus dengan Kancil yang mengingatkan Bu Norma pada petugas kebersihan madrasah tempat dia dulu mengabdi, "maafin Umihhh. Umhhiii tingggal dihhh sinnni sek-ohhh-ahhhh-rang...."

"Bilang," kata Kopral memandu, "Umi hepi di sini. Banyak kontol di sini."

"Uummmhi... heeppihh dihhh shhhini. Bannyak kkkkontol di sihhhnihhh."

Selesai pengakuan dibuat, Kopral pacu kuda betina itu menuju pemberhentian akhir mereka. Meja bergetar bagai sedang dilanda gempa. Erat dia pegangi pinggul Bu Norma. Tanpa ampun dia gempur memek si wanita.

PLOKPLOKPLOKPLOK!

"Aahhh, ahhh, ahhhku nyampeeeee," erang Bu Norma, mengejan sambil kelojotan.

Cepat Kopral menarik lepas kontolnya. PLOP! Dia biarkan tubuh Bu Norma jatuh membentur meja. Sebelum lalu teronggok di lantai dalam hina. Dari lubang dosa yang menganga, mengalir cairan cinta mereka membentuk kubangan berbusa.

Bersama-sama Tokek, Kopral mandikan Bu Norma dengan pejuh-pejuh mereka. Crats crats crats! Jilbab, kemeja, dan rok wanita itu pun kian basah saja. Beberapa tetes sperma bahkan ada yang muncrat ke muka. Menempel pada lensa kacamata.

Kancil, yang belum beranjak juga, jadi yang paling akhir memejuhi Bu Norma. Tembakan spermanya mengotori sebagian besar kolong meja. Dia masih belum melepaskan tangan dari kemaluannya saat Kopral dan Tokek mulai bicara.

"Mana Gagah tadi?"

"Embuh. Cabut gitu aja."

Kopral mendecakkan lidahnya. Dengan ujung jempok kaki, dia geser sebelah paha Bu Norma hingga kini wanita itu telentang. Jilbabnya hampir lepas. Buah dadanya naik-turun teratur. Matanya setengah terpejam.

"Temani Bu Norma mandi, Kek," kata Kopral, mencomot satu tusuk sidat bakar yang dia telan tanpa kunyah dulu.

"Mandi?" tanya Tokek, mata juling mengamati Bu Norma yang tampak lebih seksi begini.
yang-ini.webp

"Di sungai," jawab Kopral sambil meninggalkan dapur.

"Oh. Oke." Tokek menyeringai. Sambil berjongkok memandangi Bu Norma yang sadar sedang diperhatikan namun tak kuasa berbuat apa-apa, dia berkata, "Cil. Ikut, yok!""​

~bersambung
 
Terakhir diubah:
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd