Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA BADAI NAFSU

Status
Please reply by conversation.
BADAI NAFSU

BAB II a

~ JALAN SIMPANG DI ATAS BUKIT ~

....
Biarkan aku terbuai oleh desahanmu yang meniupkan badai di ujung sana;
Di ujung pena renta aku menguntai kata,
Dari derai air mata yang ku ramu menjadi tinta.
Duhai Sang Penguasa Cinta;
Aku berkelana dalam samudera liar fatamorgana ...!
....

Prolog :
Solihin terhenyak, pedih dan terluka.
Sementara di bawah sana, di sebuah ruangan luas dan mewah. Fatimah memejamkan matanya, larut dan terhanyut dalam cumbuan maut Purnama.
....

Blug!
Dua tubuh terguling di atas tanah berumput yang basah!
Fatimah merintih dalam libatan kain yang membelitnya. Seluruh tubuhnya terasa kram setelah hampir semalaman tak berkutik terbungkus kain tersebut selama dibawa lari oleh Solihin. Dalam libatan kain, Fatimah menatap berkeliling, mencoba mengenali tempat di mana ia kini berada.
Cahaya mentari pagi baru menyorot hangat. Kabut tebal perlahan menipis, lalu menguap disentuh hangatnya cahaya Batara Surya, hawa pagi yang luar biasa segarnya terhirup hidung mancung istri Almarhum Kiayi Mustofa itu, embun-embun yang menggantung di pucuk-pucuk dedaunan tampak berkilauan bak mutiara surgawi. Fatimah merasakan rasa dingin yang merembes ke dalam kain yang masih melibatnya, rasa dingin dari sisa air hujan di hamparan rumput hijau basah yang merembes membasahi kain di mana ia tergeletak.
Dengan susah payah perempuan itu mecoba melonggarkan libatan kain supaya ia bisa bergerak agak leluasa. Beberapa saat kemudian, ia bisa juga berdiri. Mata beningnya terbelalak dengan penuh kekaguman sambil menyebut ke-Agungan Sang Maha Pencipta.
Fatimah baru menyadari, ia sedang berada di sebuah tebing yang curam dan terjal. Kabut tebal seperti gumpalan kapas, terhampar di bawah tebing. Tebing dari sebuah jurang lebar yang dalamnya tak terkira. Di seberang tebing, tampak hutan belantara dengan warnanya yang hijau tua tersaput kabut tipis yang perlahan membumbung tinggi, nun jauh di sana, samar-samar terlihat puncak sebuah gunung tersembul menyendiri di balut kabut pagi. dan separuh mentari kemerah-merahan, muncul di balik puncak gunung tersebut. Persis seperti warna pipi perawan yang sedang tersipu-sipu. Sungguh suatu pemandangan yang luar biasa indahnya!
Suara riuh kicau burung yang menyambut pagi, membuat Fatimah membalikkan badannya. Matanya jelalatan mencari-cari burung yang berkicau sunyi. Dan hatinya sedikit tercekat, ketika menyadari bahwa di belakangnya itu ternyata adalah sebuah belantara yang sangat lebat. Pohon-pohon besar berlumut, tampak kokoh menjulang ke angkasa, daun-daunnya yang rimbun masih basah oleh embun atau sisa air hujan semalam. Akar-akarnya yang besar bersembulan dari dalam tanah. Fatimah menyipitkan matanya, di balik pohon-pohon besar yang berjajar di tepi tebing tersebut tampak masih gelap dan berkabut. Sungguh menyeramkan. Berbeda dengan keindahan tiada tara dari pemandangan di seberang tebing tersebut.
Di mana aku? Hatinya bertanya-tanya. Mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Dan matanya terbentur ke satu sosok tubuh yang tengah tergolek tak bergerak tepat di samping sebuah akar berlumut sebuah pohon besar.
Sekilas bayangan melintas di benaknya. Bayangan yang membuatnya berteriak pilu ketika menyadari bahwa di balik kain tersebut ia menyadari tidak mengenakan apa-apa. Tubuhnya bersurut mundur, namun kakinya terlibat kain yang masih membalutnya.
Bluk! Tubuhnya jatuh terduduk. Wajah yang cantik itu berubah pucat, bibirnya yang tipis bergetar tanpa suara.
Ya! Fatimah baru teringat kejadian mengerikan tadi malam. Kejadian yang sesungguhnya ingin ia anggap sebagai mimpi terburuk yang paling buruk. Ia kehilangan suaminya, dan ..., kehormatannya sebagai istri seorang pimpinan pesantren telah direnggut oleh ..., Solihin! Seorang pemuda yang pernah dirawatnya selama bertahun-tahun yang sudah ia sayangi dan dianggap sebagai anaknya sendiri!
“Tt-terkutuuuk!” Fatimah menekap wajahnya sambil menangis tersedu-sedu.
“A-akh ...!” tiba-tiba terdengar suara orang mengeluh.
Fatimah segera menghentikan tangisnya. Matanya yang basah oleh air mata menatap sosok tubuh yang bukan lain adalah Solihin yang bergerak-gerak sambil mengerang. Dengan rasa benci yang merasuk hatinya, Fatimah berdiri perlahan-lahan, menghampiri tubuh Solihin yang masih tergeletak tak berdaya.
“I-ibu?” Solihin menyipitkan matanya ketika melihat Fatimah yang masih berbalut kain berdiri di samping tubuhnya dengan mata bersinar-sinar penuh kemarahan.
“Kk-kau anak terr-kutuk, Solihin! Kurawat dan ..., dan kusayang engkau seperti anakku sendiri bertahun-tahun. Namun apa balasanmu? Kau ..., kau .., ahhh!” tak kuasa perempuan itu menumpahkan semua amarahnya, ia yang biasa bertutur kata lembut tak pandai dalam berkata-kata. Ia kembali menutupi wajahnya untuk kembali menangis.
Mulut Solihin bergerak-gerak, namun tak ada suara yang keluar. Betul, dia merasa menjadi manusia yang paling terkutuk setelah apa yang dilakukannya semalam walau pun dalam keadaan tidak sadar. Kesadarannya pulih ketika dia dan istri dari kiayi yang dihormatinya itu berada di atas ranjang dalam keadaan sama-sama telanjang. Jelas dia telah melakukan sesuatu yang bejat terhadap perempuan yang sudah dianggap ibu kandungnya itu.
Ada bayangan samar-samar lain yang kini berkelebatan dalam benaknya. Bayangan penuh birahi saat dia bergulat dengan seorang perempuan lain, Juragan Istri Euis, istri dari Juragan Somad!
“Duh Gustiii!” Solihin mengerang sambil memejamkan matanya kuat-kuat. Ibu Fatimah benar, aku orang yang benar-benar terkutuk.
Entah kekuatan darimana, tubuhnya yang tergeletak tanpa daya dan tanpa tenaga, kini bergerak perlahan, lalu berlutut tanpa berani menatap wajah Fatimah yang masih terisak-isak.
“I-ibu, aku mohon maaf atas segala per-perbuatan yang kulakukan kepadamu. Aku sungguh merasa tak layak hidup untuk menanggung dosa-dosa yang kuperbuat,” bisiknya dengan dengan suara pilu, kemudian perlahan-lahan dia bangkit berdiri dengan susah payah. Dan dengan langkah tersaruk-saruk dia menuju ke tepi tebing!
Fatimah yang tadi tak mengacuhkan ucapan pemuda itu hatinya sedikit terheran-heran, mau kemana anak itu, tanyanya dalam hati. Mendadak wajahnya berubah pucat, ia mulai memahami maksud dari pemuda itu. Solihin bermasud bunuh diri dengan meloncat dari tebing ke dalam jurang yang sangat dalam itu!
“Sso-li-hin, apa ..., apa yang kau lakukan?” Fatimah mencoba menegur.
Solihin menoleh namun tanpa menatap wajah perempuan itu. Senyum pahit yang teramat getir tersungging, “Aku sudah tak layak hidup, I-Ibu!” sahutnya perlahan sambil meneruskan langkahnya.
“J-jangan, Nak! Bunuh diri perbuatan yang sangat dibenci Gusti, nyebut, Nak. nyebuuut!” Fatimah kalang-kabut dalam libatan kainnya mengejar Solihin.
“Aku mohon maaf, Ibu! Aku ss-sudah ..., sudah terlalu kotor untuk meneruskan hidup!”
Fatimah sebenarnya memang telah membenci pemuda itu, kalau menurut kata hatinya, jangankan Solihin hendak bunuh diri, tidak pun ia akan mendorong pemuda itu agar jatuh ke dalam jurang. Tapi rasa welas asihnya telah menolaknya mati-matian untuk berbuat sesuatu yang sangat diharamkan oleh agamanya.
“Jangan kau lakukan itu, Nak. I-ibu tak akan memaafkan bila kau lakukan perbuatan itu. Gusti selalu membuka pintu tobat untuk ...,” kata-kata Fatimah mendadak berhenti, ketika melihat secara mendadak tubuh Solihin menggeliat-geliat liar.
“Hhrrrhhh!” terdengar geraman keras dari pemuda itu yang terus menggeliat.
“Ss-Solihin?”
“Hrrrh ...., I-Ibuuu ..., pergilah! Pergilaaah!” raung Solihin dalam rasa sakitnya menahan desakan dua tenaga ghaib yang kembali bangkit di dalam tubuhnya. Dia tahu benar, apabila kekuatan ghaibnya telah menguasai seluruh kesadarannya, hal-hal mengerikan di luar kemauannya tentu akan kembali terjadi.
Fatimah terlihat panik benar saat itu. Tubuhnya mendadak gemetar ketakutan, ia paham apabila Solihin menjadi liar tak terkendali, tentu bencana besar akan menimpanya, walau pun ia tak mengerti kenapa pemuda itu bisa seperti itu.
Saat itu Solihin kembali disiksa dua hawa ghaib yang mempunyai sifat berlawanan, saling desak mengalir di setiap jalan darah di tubuhnya. Dua tenaga ghaib yang ditanam oleh Abah Abidin dan Kiayi Mustofa yang dahsyatnya bukan kepalang. Sifat tenaga panas dan beracun yang di tanam terlebih dahulu oleh Abah Abidin tampaknya menang seurat, mungkin karena hawa itu telah lebih dulu mendekam, sehingga tenaga ghaib murni dari Kiayi Mustofa mulai terdesak dan berkumpul di ulu hati pemuda itu. Perlahan tapi pasti, kesadaran Solihin mulai tenggelam. Hawa panas membutuhkan pelampiasan.
Bergidik tengkuk Fatimah ketika melihat sepasang mata Solihin berubah nyalang dan liar, merah menyala!
“Ibhuuu ..., perrrgiii ..!” Solihin menggeram. Seluruh otot dan urat-uratnya tampak bertonjolan seperti menahan sesuatu. Mulutnya menggembung. “Perghiii ...!” pemuda itu mengibaskan tangannya.
Serangkum angin panas menghampar.
“Aihhh!” tubuh Fatimah mencelat, tersapu angin panas tersebut. Berguling-guling di atas rumput basah, lalu berhenti terganjal akar.
Dengan perasaan panik, perempuan itu mencoba bangun dengan susah payah. Kain yang membelit itu terasa menyusahkannya. Tepat saat ia berhasil berdiri, Solihin entah kapan bergeraknya mendadak sudah berdiri menghadang. Mulutnya menyeringai menyeramkan disertai dengusan napas memburu. Rambutnya yang lebat tampak acak-acakan.
“Ss-Solihin anakku, nyebut, Naaak! Nyebuuut! A-aku ibumu, Nak. Istri dari Kiayi Mustofa gurumu!” dalam kepanikannya Fatimah mencoba mengingatkan pemuda itu.
Justru itulah kesalahan fatalnya. Tenaga ghaib beracun warisan Abah Abidin memang ditanamkan dengan nama musuh besarnya itu untuk membangkitkan kekuatan lebih dahsyat dari tenaga itu sendiri. Maka begitu mendengar nama Mustofa disebutkan, Solihin semakin liar tak terkendali.
“Mustofhaaa ..., hak-hak-hak!” Solihin menggeram sambil terbahak-bahak. Kedua tangannya bergerak sangat cepat.
Bret! Bret! Bret!
Fatimah menjerit keras. Kain yang dipakai untuk menutupi tubuhnya, dalam sekejap telah terobek-robek menjadi serpihan-serpihan kecil. Sesosok tubuh montok yang sangat mulus tampak sibuk membungkuk sambil mencoba menutupi bagian-bagian terlarang dari tubuhnya. Fatimah menggigil ketakutan, ketika mata nyalang Solihin melahap tubuhnya dengan tatapan liar.
“Solihiiin jangaaan!” jerit Fatimah kembali, berusaha menghindar. Namun terlambat, bagai macan lapar menerkam mangsa, pemuda itu telah menubruk tubuh montok yang sudah tak tertutupi oleh sehelai benang pun.
Dua tubuh terhempas di atas rumput basah. Fatimah telah ditindih tak berdaya oleh Solihin yang celana pangsinya sudah melorot turun.
“Jaa-ngaaan ...! ampppun, Naaakh!” rintih Fatimah ketakutan. Masih terbayang dalam ingatannya rasa sakit dari vaginanya yang dikoyak-koyak oleh penis Solihin yang besar itu. Bahkan, vaginanya terasa masih seperti terganjal benda tersebut.
Mata bulat yang sudah merebak kembali oleh air mata itu terbelalak panik, namun kedua tangannya telah terkunci lemas oleh Solihin yang tengah mendengus-dengus penuh nafsu. Napasnya yang memburu, terasa panas menghembus dada yang membusung menantang itu.
Fatimah hampir pingsan ketika merasakan sebuah benda yang terasa kasar menggesek-gesek kemudian menyodok-nyoddok selangkangannya yang telah merenggang lebar dalam kuncian kaki pemuda itu. Meremang seluruh bulu di tubuhnya saat merasakan bibir-bibir vaginanya terasa tersibak oleh kekuatan benda besar nan berotot itu.
“Naaak ...! ampuuunhhh!” Fatimah terus merintih sambil terisak-isak. Namun Solihin yang sudah dikuasai tenaga iblis samasekali tak terpengaruh. Mulutnya yang sudah berliur, dengan liar melahap dua bongkah bukit kenyal yang montok itu.
“Shakkkittth!” erang Fatimah sambil menggigit bibirnya, merasakan dua sensasi yang bersamaan, ketika salah-satu puting payudaranya tengah dikunyah pemuda itu serta lubang vaginanya di sodok dalam satu sentakan hebat.
Rrrrt!
Tubuh perempuan itu melengkung dengan wajah menengadah matanya membeliak lebar, otot perutnya berkontraksi saat helm besar penis Solihin melesak masuk ke lubang vagina yang masih kering tersebut. Hampir pingsan rasanya Fatimah saat itu. Rasa sakit, perih, ngilu dan juga geli, secara bersamaan dirasakannya. Batang penis itu melesak semakin dalam. Bibir-bibir vagina yang gemuk itu memerah dan menggembung besar tertekan besarnya penis yang harus ditelannya. Ulu hatinya terasa ikut sesak.
Solihin terus menggeram-geram sambil mulai menggenjot dengan gerakan cepat.
“Shaa-kiiithhh!” tubuh Fatimah sampai terlonjak-lonjak ketika pantat Solihin menggenjot keras. Tarikan napas perempuan itu perlahan mulai berat. Walau pun vaginanya terasa perih dan sakit, namun gesekan-gesekan dan garukan urat-urat gemuk batang penis Solihin di dinding-dinding vaginanya, mulai menunjukkan reaksi yang berlawanan dengan hatinya yang terus memberontak. Vagina gemuk Fatimah mulai beradaptasi dengan besarnya penis yang memasukinya. Lendir vaginanya mulai merembes memberi perlindungan dinding-dinding vagina tersebut tidak sampai lecet oleh gesekan kasar penis besar tersebut.
Fatimah mulai pasrah, menerima keadaan bahwa ia memang dalam keadaan tak berdaya. Pemberontakan apa pun yang akan dilakukannya hanya akan menjadi sebuah kesia-siaan belaka. Ia hanya sanggup memejamkan matanya sambil berusaha tidak menikmati perkosaan kasar dari Solihin itu. Namun apa mau dikata, rasa nikmat itu terus menggodanya, menjalar menelusuri seluruh pori-porinya membuat seluruh bulu-bulunya meremang. Dalam setiap gesekan kasar penis berurat yang terus menggaruk-garuk dinding vaginanya, helaan napasnya semakin berat. Apalagi mulut Solihin juga tak mau menganggur, gigitan-gigitan yang meninggalkan bekas merah di payudara gemuk itu turut menyumbang andil atas birahi Fatimah yang terus meninggi, aliran darahnya semakin cepat. Hingga dalam suatu saat;
“Akhhhsssh!” Fatimah mengerang panjang, dadanya montok itu makin membusung basah oleh liur dengan punggung melengkung. Wajahnya mendongak dengan mata sayu separuh terpejam. Solihin yang tengah dikuasai nafsu birahi yang luarbiasa, genjotannya mendadak tersendat. Penisnya serasa dihisap dalam-dalam dan seperti dicengkram oleh dinding-dinding panas yang kenyal. Memilin dan meremasnya tanpa ampun. Kemudian terasa ada semburan dari cairan panas yang menyiram penisnya.
“Hosssh! Hosssh!” napas Solihin terasa panas memburu menerpa leher Fatimah yang tengah terayun-ayun di puncak orgasmenya. Kenikmatan luar biasa yang baru pertama kali dirasakannya seolah-olah mampu membuatnya semaput seketika. Dan Fatimah memang benar-benar pingsan!
Solihin seperti kerasukan setan mesum. Alam sadarnya sudah tenggelam sampai ke dasar. Dia terus menggenjot kembali dengan kasar dan bertubi-tubi tubuh montok yang tergolek lemas tersebut. Dia ingin menuntaskan seluruh hajatnya secepatnya. Dan dalam satu geraman panjang serta tiga hunjaman dalam, Solihin meraung sambil menyemburkan cairan maninya di dalam vagina yang menggembung penuh itu. Kemudian tubuhnya ambruk menindih tubuh montok yang masih pingsan tersebut.

Suara-suara kicau burung masih bernyanyi sunyi ketika Batara Surya telah naik sepenggalah.
Solihin menggeliat sambil merenggangkan otot-ototnya. Entah kenapa, saat itu hatinya dipenuhi kebahagiaan yang luar biasa. Matanya masih meram enggan terbuka. Takut kebahagiaan yang tengah dirasakannya saat itu menguap begitu saja. namun satu isakan tertahan, memaksa dirinya kembali ke bumi dalam kenyataan yang membuat mulutnya tiba-tiba saja mengeluarkan lolongan pilu.
Jelas, pemuda itu baru saja menyadari telah kembali melakukan perbuatan terkutuk.
“I ..., I-bu!” Solihin cepat meloncat sambil menaikkan celananya. Matanya liar berkeliling, hingga menangkap sesosok tubuh telanjang tengah berdiri di tepat di bibir jurang. Rambut panjangnya berkibar acak-acakan.
“I-buuu ..., jangaaan!” Solihin berseru keras.
Sosok tubuh telanjang itu memang bukan lain adalah Fatimah, yang setelah siuman, berusaha melepaskan dirinya dari tindihan tubuh Solihin yang tengah dibuai kenikmatan setelah melepas birahinya. Rasa sakit yang terasa di selangkangannya membuat perempuan itu menyadari bahwa ia telah kembali diperkosa oleh pemuda itu. Rasa malu dan terhina, hampir saja membuatnya menjerit histeris dan gila. Ia merasa sangat kotor dan jijik dengan tubuhnya sendiri.
Dalam pikiran yang kalut dan kusut, Fatimah bangun kemudian dengan langkah terseok-seok menuju tepi jurang. Bermaksud untuk meloncat bunuh diri persis seperti yang hendak dilakukan oleh Solihin tadi.
Solihin melihat Fatimah menoleh kepadanya sambil tersenyum pilu, pemuda itu cepat menggeleng-gelengkan kepalanya, mulutnya bergerak-gerak, namun kerongkongannya terasa tercekat.
Namun ketika melihat tubuh telanjang itu meloncat, Solihin segera meraung dahsyat;
“Jangaaan!” tubuhnya seperti terbang, berkelebat cepat meraih tubuh Fatimah yang sudah jatuh dari bibir jurang.
Tap!
Solihin mampu meraih tubuh itu, namun tubuhnya turut jatuh ke dalam jurang!
Dua sosok tubuh meluncur cepat. Menembus kabut tebal yang menghampar di bawah jurang.
“Le-lepaskan aku! Biarkan aku mati!” rintih Fatimah meronta lemah.
“Tidak ibu! Kalau pun ada yang harus mati, itu adalah aku!” Solihin berbisik dengan hati berdebar, ketika merasakan tangannya bersentuhan dengan kulit halus yang tak tertutupi selembar benang pun.
“Aku ..., aku sudah kotor dan hina. Tak layak aku hidup untuk menanggung rasa malu ini!” kata Fatimah sambil terisak-isak.
“Kalau ibu mati! Aku pun sudah selayaknya mati dengan tubuh hancur lebur!” begitu Solihin berkata-kata. Kata-kata yang tiba-tiba saja membuat hati Fatimah berdesir aneh. Dalam kepasrahannya, Fatimah makin terisak sedih. Saat itu tubuh Solihin berada di bawah menahan tubuhnya yang terus meluncur menembus kabut. Entah kenapa, hatinya merasa nyaman menyambut kematian tidak dalam kesendirian. Tak dapat ditahannya, kepalanya terkulai pasrah di bahu pemuda itu.
Selama tubuh mereka meluncur, ada sekelumit perasaan tersembul di hati Solihin, “Perempuan ini telah dua kali menerima penghinaan dari dirinya! Terkutuklah dirinya bila ia harus mati di dalam jurang. Dia harus bertanggung jawab atas semua perbuatannya!” begitu tekad Solihin dalam hatinya.
Mendadak semangatnya timbul kembali. Mengumpulkan seluruh tenaga murni yang didapatkannya secara aneh. Dua tenaga ghaib yang berlawanan sifat itu bangkit kembali. Dengan sekuat tenaganya, Solihin mencoba mengendalikan dua kekuatan sakti itu. Sungguh suatu usaha yang sangat sulit sekali. Seluruh otot dan uratnya menggembung sampai berdenyut-denyut sakit. Hingga akhirnya, Solihin merasakan daya luncuran tubuh mereka sedikit berkurang, tubuhnya serasa seringan kapas.

Punggungnya yang menghadap ke bawah merasakan bahwa hawa dingin dari bawah. Tanda bahwa mereka sebentar lagi akan menimpa dasar jurang yang apabila tidak melakukan usaha tentulah akan membuat tubuh mereka hancur lebur.
Solihin segera mengempos semangatnya, sambil mengeluarkan seruan keras, ke dua tangannya menolak tubuh Fatimah ke arah atas. Perempuan itu berseru kaget, ketika merasakan tubuhnya melambung ke atas. Sementara Solihin bergerak merubah posisi tubuhnya menjadi jungkir-balik.
Byur!
Air muncrat tinggi ketika tubuh Solihin seperti peluru tercebur ke dalam air!
Di dalam air, mulut Solihin menggembung penuh, ke dua telapak tangannya mendorong ke bawah dengan mengerahkan seluruh kekuatan yang dimilikinya.
Dasar air seperti diaduk satu kekuatan dahsyat, bergolak seperti mendidih. Tubuh Solihin yang tenggelam mendadak terlontar kembali ke atas permukaan air, ke dua tangannya menyambut sosok tubuh Fatimah yang meluncur hendak menimpa permukaan air.
Tap!
Byur!
Dua sosok tubuh itu kembali tercebur. Dua tubuh saling berpelukan terbawa arus air sungai yang sangat dingin sekali.

Ternyata, di bawah jurang itu adalah air sungai yang lumayan dalam, mengalir tenang.
Solihin berusaha menjaga wajah Fatimah berada di atas permukaan air sungai. Dia kembali mengerahkan tenaganya, mengayuh kakinya melawan arus. Meluncur ke arah kiri, hingga kakinya menjejak dasar sungai yang dangkal. Dengan tenaga yang sudah terkuras habis-habisan, Solihin membopong tubuh Fatimah yang tengah menggigil kedinginan ke tepian sungai.
Akhirnya, Solihin dan Fatimah berhasil selamat dari kematian. Fatimah menekuk tubuh telanjangnya yang basah kuyup di atas sebuah batu datar, sementara Solihin tertelungkup mengap-mengap kehabisan tenaga di atas batu tersebut.
“I-Ibu pakai baju saya dulu!” kata Solihin beberapa saat kemudian, sambil membuka bajunya dan memberikannya kepada Fatimah tanpa berani memandang.
Sambil menghela napas dalam, tanpa bicara, Fatimah menerima baju pemuda itu yang basah lalu mengenakannya. Untunglah, badan Solihin yang tinggi besar, membuat baju itu longgar yang panjangnya cukup untuk menutupi sampai ke lututnya. Tapi tetap saja, karena baju itu basah, begitu dipakai menempel lekat ke tubuhnya, memperlihatkan lekuk tubuh matang yang mendebarkan dada Solihin yang mencuri pandang.
Tiba-tiba, hawa panas kembali menjalar. Hawa iblis yang dua kali membuatnya telah melakukan perbuatan terkutuk.
Sambil mengertakkan gigi, Solihin mencoba menyalurkan hawa panas itu ke seluruh tubuhnya yang sebagian masih terendam air.
Tubuh pemuda itu mendadak mengepulkan uap panas, bahkan hawa panas itu mengalir ke batu yang tengah diduduki Fatimah. Rasa hangat menjalar ke tubuh perempuan itu yang sedang menggigil kedinginan.
Dalam kesedihan yang luar biasa yang tengah dirasakan oleh Fatimah saat itu, ia hanya bisa melihat saja tubuh Solihin yang mengepulakn asap hangat tersebut. Pikirannya yang sedang kalut itu mengetahui bahwa Solihin kembali sedang dilanda kekuatan aneh yang membuatnya seperti kehilangan akal sehatnya. Ia sudah sangat pasrah, apabila pemuda itu kembali melakukan perbuatan terkutuknya, mungkin ia bisa menceburkan dirinya ke sungai yang arusnya deras itu. Teringat perbuatan terkutuk Solihin, tanpa dapat ditahannya, tiba-tiba saja dadanya berdebar kencang, merasakan vaginanya berdenyut agak sakit, seperti ada yang mengganjal di dalamnya.
“Sialan! Perempuan hina! Apa yang ada di pikiran kotormu itu!” tiba-tiba hati kecilnya memaki-maki. Fatimah menghela napas dalam sambil mengeluh tanpa sadar. Mendadak ia sedikit kaget, ketika tiba-tiba tubuh Solihin meloncat tinggi lalu berpijak di tanah basah di tepi sungai agak jauh darinya dengan posisi memunggungi.
“I-Ibu ..., saya ..., saya pergi sebentar. Saya akan mencarikan ibu pakaian dulu!” kata pemuda itu sambil tubuhnya berkelebat dengan cepat. Menembus belantara entah ke mana.
Fatimah kembali menghela napas dalam. Termangu-mangu sambil bertekuk lutut menatap arus deras air sungai.
Kalau menuruti kata hatinya tadi, ia ingin melanjutkan niatnya bunuh diri dengan meloncat ke arus deras itu. Akan tetapi sekelumit keraguan mendera hatinya. Bunuh diri jelas dilarang oleh agama apa pun alasannya. Namun, ia merasa sangat kotor dan hina sekali, tak sanggup rasanya ia menunjukkan wajahnya ke orang-orang yang dikenalnya.
“Ah, Akang Kiayi ..., maafkan aku! Aku ..., aku telah kotor dan hina! Benarkah yang dikatakan Solihin bahwa engkau telah wafat? Atau itu hanya karangan anak itu saja!” isaknya dalam hati.
Terbayang wajah lembut dan welas asih dari suaminya tersebut. Wajah yang bijaksana yang menyayanginya sepenuh hati. Dua puluh tahun yang lalu, sebelum menjadi suaminya, kiayi Mustofa hampir tidak dikenalnya samasekali. Ia hanya mengenalnya sebagai sahabat dari ayahnya yang mempunyai pesantren besar di wilayah Garut. Namun, tiba-tiba orang tuanya mengatakan kepadanya bahwa ia telah dilamar oleh kiayi itu, dan mengatakan bahwa kiayi itu telah dua tahun istrinya meninggal dunia setelah melahirkan anaknya yang juga turut meninggal. dirinya dilamar agar menjadi pedamping hidup Kiayi Mustofa dalam mengurus pesantrennya yang memiliki santri yang lumayan banyak. Salahsatunya adalah Engkos, ayahnya Solihin. Yang pada suatu hari datang ke pesantren membawa anaknya yang masih berusia tujuh tahun. Anak yang lucu, yang sekali memandang telah merebut hatinya. Anak yang didambakannya untuk lahir dari rahimnya, namun tak kunjung juga datang. Entah mungkin Kiayi Mustofa yang jarang mengunjungi rahimnya karena kesibukan mengurus pesantrennya, atau memang Gusti belum memberinya momongan.
Hasrat hatinya, agaknya diketahui benar oleh Kiayi Mustofa yang segera meminta anaknya Engkos untuk diasuh di pesantren. Sempat terjadi perdebatan antara Engkos dan Entin, istrinya, yang tidak setuju anak satu-satunya itu di rawat di pesantren. Namun pada akhirnya, istri Engkos pasrah juga, sambil memberi syarat bahwa setiap bulan, ia atau anaknya itu diperbolehkan bertemu. Yang tentu saja disanggupi Kiayi Mustofa dengan cepat, agar istrinya tidak terlalu kesepian.
Begitulah, bertahun-tahun Solihin seperti mempunyai dua orangtua yang sama-sama menyayanginya.
Hingga pada suatu kejadian, di saat Solihin sudah berusia tujuh belas tahun. Pemuda yang sudah biasa keluar masuk rumah utama di pesantren tersebut, pada suatu shubuh, Solihin yang sudah berubah menjadi seorang pemuda yang gagah dan cakap, masuk ke kamar mandi yang di dalamnya kebetulan Fatimah sedang mandi!
Kejadian tersebut diketahui benar oleh Kiayi Solihin yang langsung menegur keras pemuda itu. Entah apa yang dikatakan oleh suami Fatimah tersebut, karena pada sore harinya pemuda itu berpamitan pulang ke kampungnya sambil membawa buntalan pakaian.
Sempat terjadi ketegangan antara Fatimah dan Kiayi Mustofa atas kepergian pemuda itu. Berhari-hari Fatimah mogok bicara, bahkan sempat jatuh sakit saking kesalnya dengan keputusan suaminya mengembalikan Solihin ke orangtuanya.

“Ahhh!” Fatimah menghembuskan napasnya dengan hati sedih.
“I-Ibu ini bajunya!” tiba-tiba terdengar ada suara menegurnya dari arah belakang.
Fatimah yang sedang terpekur di atas batu, tersentak kaget. Cepat menoleh.
Di tepi sungai telah berdiri Solihin dengan wajah tertunduk tak berani memandangnya, tangannya memegang satu stel kain. Pemuda itu telah memakai pakaian kering, entah darimana dia mendapatkannya. Tubuhnya yang tegap dengan wajah cakap tampak kemerahan seperti malu-malu.
“Taruh di situ, dan pergilah, jangan kembali sebelum aku selesai berpakaian!” ujar Fatimah dingin.
“Bb-baik!” Solihin mengangguk, kemudian menaruh satu stel pakaian tersebut dan berlalu dengan tergesa-gesa.
Ternyata selain satu stel pakaian, pemuda itu juga membawa dua bungkusan nasi beserta lauk pauknya yang terbungkus daun pisang. Wangi masakan tercium bersamaan dengan perutnya yang berbunyi minta isi.
Dengan terburu-buru, Fatimah mengenakan pakaian tersebut, juga terdapat kerudung yang walau pun bukan berupa jilbab, namun cukup untuk menutupi rambutnya.
Dengan cepat ia membuka bungkusan nasi, lalu matanya berkeliling mencari-cari, “Solihin?” panggilnya.
Dari balik pepohonan muncul Solihin yang kemudian berdiri kikuk dengan wajah tertunduk.
“Kau mengintipku?” tanya Fatimah menatap tajam.
“TTt-tidak! Tidak! Saya membalikan badan dari balik pohon itu!” jawab Solihin dengan wajah makin menunduk.
“Ya sudah, makanlah!” ujar Fatimah dengan suara datar.

Solihin dan Fatimah makan nasi bungkus tanpa ada percakapan di antara keduanya. Hanya suara arus sungai serta kicau burung yang terdengar.
Selesai makan yang diakhiri dengan meneguk air teh hangat dari kantung kulit yang juga entah darimana pemuda itu mendapatkannya. Sesaat tak ada percakapan dari ke dua orang itu. Keduanya duduk termenung dengan pikirannya masing-masing.
“Di mana kita sekarang?” akhirnya Fatimah membuka percakapan dengan suara kaku.
Solihin menggeleng, matanya menatap arus sungai seakan sedang melamun.
“Kenapa bisa tidak tahu! Kenapa tidak bertanya kepada orang-orang yang kau temui!”
“Ss-saya tidak bertemu orang!”
“Lalu makanan dan pakaian?” Fatimah mengerutkan keningnya.
“Ss-saya ..., ss-saya mencurinya!” sahut Solihin dengan suara sangat pelan. Dagunya terjatuh, rapat ke dada. Terlihat memelas sekali
Fatimah menghela napas, “Mencuri itu dosa. Kenapa kau lakukan juga?” gumamnya perlahan.
“Ss-saya tidak punya uang. Nanti kalau sudah punya tentu akan saya ganti,” kata pemuda itu membela diri. Tetap dengan wajah menunduk.
Kalau saja percakapan itu terjadi saat di pesantren dulu. Fatimah tentu akan memeluk pemuda itu sambil mencubitnya. Namun sekarang justru tidak mungkin dilakukannya. Solihin sudah seperti orang asing yang baru dikenalnya.
“Aku mau bertanya sesuatu. Kuharap ..., kuharap kau menjawab dengan jujur!” kata Fatimah kemudian.
Pemuda itu hanya mengangguk-angguk tanda menyangggupi.
“Katakan ..., katakan bahwa Kang Mustofa ..., benarkah ..., benarkah dia sudah meninggal?” tanya Fatimah dengan suara tercekat.
Wajah Solihin tersentak kaget, terlihat pucat pasi.
“I-iya, Ibu. Be-beliau wafat ketika ..., ketika beradu ilmu dengan Abah ..., eh, Abidin!” sahut Solihin tergagap. Dia jelas tak berani mengaku bahwa Kiayi Mustofa wafat oleh dirinya yang sedang dalam keadaan setengah sadar.
“Benarkah?” Fatimah menatap tajam. Solihin kembali mengangguk-angguk persis burung Perkutut.
“Lalu ..., lalu Si Abidin itu?” Fatimah kembali bertanya dengan suara tegang. Ia hanya mengenal nama Abidin sebagai kakak seperguruan suaminya itu yang telah tersesat karena mempelajari ilmu-ilmu iblis.
“Dia ..., dia meninggal juga, setelah ..., setelah menghantam saya dengan ilmunya ketika saya membantu Kiayi melawannya!” sahut Solihin sedikit berbohong.
“Ohhh, Akaaang ...!” kedua telapak tangan fatimah menekap wajahnya sambil menangis sedih.

“Maafkan saya, I-Ibu ..., saya tak mampu menyelamatkan Kiayi, bahkan membawa jasadnya pun saya tidak mampu,” ujar Solihin dengan suara sedih.
“Tidak apa-apa ..., tidak apa-apa. Kau sendiri terluka ..., dan ah,” Fatimah baru mengerti, pantas Solihin berubah menjadi liar dan jahat, tentu akibat luka pukulan sesat dari Abidin.
Solihin mengerti arah pembicaraan dari istri Kiayi Mustofa itu. Dia seperti mempunyai kekuatan untuk berani menatap wajah perempuan itu.
“I-iya, I-Ibu. Karena itulah, tiba-tiba saya saat luka itu kambuh selalu hilang kesadaran. Dan ..., dan melakukan perbuatan ..., perbuatan terkutuk itu! Ampuni saya, Ibu. Saya siap bertanggung jawab untuk semua perbuatan yang saya lakukan terhadap ibu!” kata Solihin dengan wajah berubah-ubah.
“Bertanggung jawab? Bertanggung jawab bagaimana maksudmu?” tanya Fatimah keheranan.
“Bertanggung jawab ..., euh, ..., bertanggung jawab me-menikahi ibu!” sahut Solihin dengan suara mantap.
“A-apa? Kau ..., kau gila!” seru Fatimah sambil berdiri dengan mata terbelalak.
“Saya bersungguh-sungguh, Ibu. Lelaki sejati harus mempertanggungjawabkan segala perbuatannya! Dan atas segala perbuatan yang telah dua ..., dua kali itu. Saya siap sepenuhnya untuk bertanggung jawab menikahi ibu!” tegas Solihin sambil menatap aneh.
“kk-kau gila, Solihin! Gila! Istighfarlah. Berdosa kau mempunyai pikiran menikahi aku, istri dari gurumu, yang sudah menganggapmu sebagai anakku. Sadarlah!” bentak Fatimah dengan galak.
“Kiayi sudah wafat, Ibu. Dan dirimu sudah menjadi janda. Tentu ada hak untuk saya me ..., melamar ibu!” sahut Solihin tambah berani.
“Makin lama, omonganmu makin ngaco! Berhenti di situ!” Fatimah membentak ketika melihat pemuda itu melangkah hendak mendekatinya.
“Ibu ..., kumohon terimalah lamaran saya. Sejak ..., sejak kejadian di kamar mandi di pesantren ....”
“Cukup ...!” Fatimah setengah berteriak dengan wajah merah padam.
Namun Solihin yang sudah nekad mengabaikan teriakan dari Fatimah, “Sejak kejadian ..., eh, ..., di-di kamar mandi itu. Saya menyadari bahwa saya ternyata mencintai ibu, apalagi kejadian tadi dan semalam!”
“Cukup! ..., cukup, Solihin! Jangan ..., jangan lanjutkan lagi. Lupakanlah, lupakan semua yang terjadi. Aku mohon!” Fatimah menekap kembali wajahnya yang terisak.
“I-ibu ..., saya mohon!” tiba-tiba Solihin berlutut di depan Fatimah yang segera bersurut mundur.
“Kau benar-benar gila, Solihin. Lebih baik kau antarkan aku ke pesantren kembali, semoga jasad Kang Mustofa telah di bawa ke sana,” kata Fatimah kembali sesaat kemudian.
“Tidak mungkin, Ibu. Longsor besar itu agaknya telah mengubur jasad kiayi dalam-dalam. Perlu banyak orang untuk menggali tanah longsor itu sampai jasad beliau ditemukan!” jawab Solihin sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Ohhh, Kang Mustofa!’ Isak Fatimah tersedu-sedu.
“I-Ibu ..., saya mohon maaf. Sekali lagi saya memohon untuk ....!”
“Cukup, Solihin! Aku tidak mau mendengar lagi. Hentikan. Istighfarlah!” sentak Fatimah sambil menjatuhkan dirinya ke atas tanah dengan perasaan sangat sedih.
Dalam posisi masih berlutut, Solihin menundukkan wajahnya dalam-dalam.
Diam-diam Fatimah memperhatikan pemuda itu yang kelihatannya seperti dalam keadaan terpukul sekali.
“Ahhh, sudahlah, Solihin. Aku hanya ingin kau mengantarkan aku ke pesantren kembali!” kata Fatimah kemudian.
“Lalu ..., lalu bagaimana keputusan ibu dengan la-lamaran saya?” Solihin mengangkat wajahnya dengan penuh harap.
“Tidak ...! Tidak ...! aku tidak akan menerima kegilaanmu itu, Solihin!” Fatimah menggeleng keras-keras.
“Ahhh!” keluh Solihin dengan suara terluka.

Akhirnya, setelah beberapa kali memaksa. Solihin menyanggupi juga untuk mengantarkan istri Kiayi Mustofa itu kembali ke pesantren. Pemuda itu pernah menawarkan untuk membawa Fatimah dengan ilmu meringankan tubuhnya yang kini sudah meningkat berkali-kali lipat agar perjalanan mereka bisa cepat. Namun Fatimah menolaknya, ia merasa risih harus dipeluk pemuda itu apabila harus dibawa berlari cepat.
Dengan penolakan tersebut, jelas perjalanan mereka menjadi lambat sekali. Mereka berdua berjalan menerobos hutan belantara menuju ke arah barat, sesuai petunjuk Solihin ketika mencuri makanan serta pakaian untuk Fatimah.
Perjalanan menerobos hutan itu memakan waktu berhari-hari, bahkan mereka sampai harus bermalam di dalam hutan yang seolah tak bertepi itu. Perjalanan yang sebenarnya sengaja diperlambat oleh Solihin. Fatimah diajak menerobos melalui jalan-jalan yang sangat sulit dilalui oleh manusia. Dan dalam perjalanan tersebut, dimanfaatkan oleh Solihin untuk terus mengendalikan dua hawa ghaib yang masih sering muncul. Apabila gejala hawa ghaib itu tiba, Fatimah sengaja di suruh menjauh atau dirinya pergi sejauh mungkin untuk mejaga kejadian terkutuk itu kembali terulang.
Dalam kurun waktu itu, sikap Fatimah yang asalnya kaku perlahan mulai melunak. Pertama, karena mereka berdua memang awalnya sudah sangat akrab, yang kedua, hatinya yang halus mana tega dengan sikap Solihin yang begitu baik melayaninya dengan penuh rasa sayang dan cinta yang luar biasa.
Sekeras apa pun hati perempuan, sering bersama-sama dalam satu perjalanan, mendapat perhatian seorang laki-laki dengan penuh rasa sayang dan cinta seperti itu, tentulah lambat laun akan luluh juga. Apalagi sosok Solihin yang memang gagah serta cakap itu. Tentu tidak sulit untuk menjatuhkan hati seorang perempuan.

“Kau benar-benar orang gila keras kepala, Solihin!” keluh Fatimah suatu ketika, saat mereka sedang menikmati daging kelinci bakar yang ditangkap Solihin dalam perjalanan mereka. Dan Solihin tetap mengatakan bahwa dia ingin menikahinya.
“Aku memang sudah tergila-gila kepadamu, Ibu!” kata Solihin yang merubah panggilan dirinya dari ‘saya’ menjadi ‘aku’.
“Ahhh, dasar! Coba aku tanya, berapa usiamu sekarang?” tanya Fatimah sedikit geli.
“Dua puluh tahun. Dan usia yang cukup untuk menikahi perempuan yang dicintainya!” jawab Solihin mantap.
“Naaah ..., kau dua puluh tahun. Aku sendiri sudah empat puluh tahun, Solihin! Aku sudah tua!”
“Aku tidak perduli!” potong Solihin keras kepala. “Aku sudah terlanjur mencintai, Ibu. Dan aku sudah berjanji bertanggungjawab atas segala perbuatanku kepadamu!”
“Jangan aku, Solihin. Di pesantren aku akan carikan santriwati untuk menjadi jodohmu!”
“Tidak! Aku hanya ingin ibu!” Solihin menggeleng keras sambil nekad meraih tangan Fatimah kemudian mendekapnya erat. Sehingga Fatimah tidah sampai hati menarik kembali tangannya dari dekapan pemuda itu.
“J-jangan, Solihin!” keluh Fatimah ketika pemuda itu menarik tubuhnya untuk lebih rapat. Ia meronta lemah.
“Aku sungguh mencintaimu, Ibu. Aku akan bunuh diri seandainya aku tidak bisa menikahimu. Lebih baik aku mati daripada tidak memilikimu,” bisik Solihin dengan penuh cinta sambil merengkuh bahu Fatimah agar bisa dipeluknya. Tangannya mengelus-elus rambut dibalik kerudung itu, sambil mencium dengan penuh rasa sayang kening perempuan itu yang hanya bisa memejamkan mata dengan dada berdebar-debar tak karuan. Lupalah ia akan rasa benci dan marah beberapa hari yang lalu. Yang ada hanya gejolak hasrat aneh yang bergejolak di dalam dadanya. Ia merasa sangat nyaman sekali berada di pelukan pemuda yang usianya dua puluh tahun di bawahnya itu. Rasa nyaman dan hangat yang bahkan tak dimilikinya ketika sedang berdekatan dengan Kiayi Mustofa, suaminya.
“Ss-so-li-hiiin, jaangaaan!” rintih Fatimah ketika merasakan tangan Solihin mulai nakal. Hati kecilnya ingin sekali memberontak melepaskan diri, namun hasrat yang lebih besar, yang mendambakan sentuhan-sentuhan mesra dari seorang pria membuatnya mendiamkan saja, jari-jari nakal pemuda itu yang mengelus-elus payudaranya.
Fatimah menggelinjang geli, ketika bibir Solihin yang dihiasi kumis tipis mencium pipinya. Bulu-bulu di sekujur tubuhnya meremang saat jari-jari nakal pemuda itu mulai menggaruk dan meremas payudaranya.
“Ahhh, nakal kamu, Solihin,” desah Fatimah sambil memejamkan matanya. Menikmati setiap sentuhan dan elusan Solihin.
Tiba-tiba ia merasakan bibirnya disentuh sesuatu yang hangat dan basah, begitu ia membuka matanya, ternyata mulut Solihin telah menempel di bibirnya. Tentu saja Fatimah sedikit gelagapan. Namun dengan lembut, bahu Solihin menahan kepala Fatimah yang hendak menjauh. Lidahnya menjilat bibir tipis yang lunak dan mulai basah itu.
“Mmmhhh,” Fatimah menggumam dengan suara tak jelas. Menikmati sentuhan-sentuhan lidah Solihin yang menelusuri gigi serta langit-langit mulutnya. Dan lidah mereka pun akhirnya saling bertautan, saling jilat dan saling hisap. Tubuh Fatimah menggelinjang ketika jari-jari Soliihin menyelip ke balik bajunya, menelusuri bukit membusung itu hingga setelah menemui puncaknya yang sudah mulai mengeras, jari-jari tersebut menggaruk-garuk perlahan.
Sepasang manusia yang sedang di mabuk birahi itu berpagutan dengan dengan penuh gairah, perlahan tubuh Fatimah direbahkan di atas hamparan daun-daun kering di dalam hutan tersebut. Fatimah benar-benar sudah sangat pasrah oleh badai gairah yang meletup-letup menggelegak sampai ke ubun-ubunnya.
Dengan penuh rasa cinta, bibr Solihin menelusuri leher jenjang perempuan yang disayanginya itu yang sudah tergolek dengan napas memburu. Menikmati setiap remasan dan ciuman dari Solihin yang jari-jarinya segera membuka setiap kancing pakaian yang dikenakan Fatimah.
“Enghhh!” erang Fatimah ketika satu remasan kuat dari Solihin meremas payudaranya disertai lidah yang menari dan menghisap putingnya yang sudah mengeras.
“Owwhh ..., Naaak!” rintih perempuan itu merasakan gigitan dan garukan gigi Solihin yang menjelajahi setiap senti bongkahan padat nan kenyal bukit mulus tersebut.
“Ahhhsssh!” ubun-ubunnya terasa menggelegak oleh birahi yang sudah memuncak. Punggungnya melengkung ketika ujung lidah pemuda itu menyentuh pusarnya lalu turun dan makin turun.
Kain bawahan yang dikenakan Fatimah telah tersibak lebar. Sebuah bukit rimbun dengan bulu-bulu halus, membusung terjepit paha sekal dan mulus.
“Ugghhh!” pinggul Fatimah tersentak ketika jari-jari pemuda itu membelai lalu membelah dua bibir vagina gemuk yang mulai basah. Solihin tentu sudah lihai dengan hal-hal membangkitkan birahi seorang perempuan, karena pernah hampir setengah bulan menjadi wadah birahi dari Euis, istri Juragan Somad. Namun bagi Fatimah itu adalah pengalaman yang baru dialaminya, yang tentu sensasinya juga lebih dahsyat dari biasanya. Selama lebih dari dua puluh tahun menikah dengan Kiayi Mustofa, belum pernah ia diperlakukan seperti ini. Setiap sentuhan dan jilatan di daerah paling sensitifnya, tentulah membuat birahinya makin meningkat, bergejolak liar menuntut penuntasan.
Wajah Solihin seakan tenggelam di belahan vagina Fatimah yang terus merembeskan cairan birahinya tanpa henti. Pinggul padat itu tak henti bergerak memutar mengimbangi jilatan dan hisapan mulut Solihin di daerah paling sensitifnya.
“Ouhkkkh, Sshholihiiin!” tangan Fatimah menjambak rambut pemuda itu, wajahnya mendongak dengan punggung melengkung. Otot perutnya berkontraksi melepaskan desakan puncak birahinya.
Mulut Solihin penuh dengan cairan orgasme dari puncak birahi perempuan itu. Pinggulnya menyentak ke atas dengan otot-otot vagina yang mengencang.
Beberapa saat, Solihin mendiamkan Fatimah menikmati puncak orgasmenya, sebelum akhirnya dia bangkit duduk dengan kedua lutut mengganjal paha mulus nan montok perempuan itu. Dengan penuh kasih sayang, cairan sisa orgasme tersebut dilapnya memakai celananya yang sudah terlepas.
Fatimah tergolek pasrah, matanya menatap sayu ketika Solihin bangkit setengah berjongkok.
“Hati-hati, Naaak,” desah Fatimah sedikit khawatir ketika melihat ukuran penis pemuda itu yang mengerikan. Penis panjang dan besar, dengan urat-urat yang melingkar batangnya. Berkilat dan kelihatannya berdenyut-denyut.
Perempuan itu memejamkan matanya saat Solihin menggesek-gesekkan kepala penisnya membelah bibir-bibir vagina gemuk yang telah merekah merah.
Dibantu dengan jempolnya, Solihin menekan helm besar penisnya ke dalam lubang berlendir yang seperti sedang kembang kempis.
“Ohhh,” rintih Fatimah dengan hati berdebar-debar, kedua tangannya menekan akar pohon di atas kepalanya demi menahan desakan kepala penis besar Solihin. Reflek ia merenggangkan pahanya selebar mungkin untuk memberi ruang kepada Solihin menekan lebih dalam penisnya.
“Ugh!” Fatimah melenguh pendek, ketika helm besar itu telah menerobos masuk vaginanya yang mengempot.
Solihin mendongakkan wajahnya, merasakan ngilu saat mulut vagina Fatimah seperti mencekik leher di bawah cincin penisnya.
Perlahan tapi pasti, penis pemuda itu terus mendesak semakin dalam, diurut dan diremas oleh dinding-dinding kenyal dan ulet.
“ohhh-hhoooh!” Fatimah menggigil dengan mata sangat sayu, menggigit bibirnya merasakan geli dari urat-urat batang penis Solihin yang seperti sedang menggaruk dan menggelitiknya.
Solihin mulai menggenjot perlahan, kedua tangannya menekan dan meremas payudara Fatimah yang membusung montok. Dua deru napas berpacu panas di keheningan suasana hutan yang sejuk. Rasa nikmat yang teramat sangat dari dua kelamin yang memadu birahi, membuat keduanya seakan tengah dilambungkan ke lautan kapas yang empuk, hangat, basah dan menghanyutkan.
Rintihan, erangan serta geraman saling bersahutan. Tubuh sintal Fatimah telah banjir peluh, sering ia sampai harus menggigit bibirnya merasakan ngilu ketika penis besar Solihin sampai menyentuh dasar rahimnya. Birahinya menggeletar setiap pinggulnya memutar untuk mendapatkan kepuasan yang lebih besar, mengimbangi genjotan pemuda itu yang terus membombardir rahimnya.
Bau birahi menguar tajam menghampar ke segala arah.
Solihin begitu menikmati persetubuhan tersebut, di mana dia sedang dalam kesadaran penuh. Tidak seperti ketika bersenggama dengan Euis, istri Juragan Somad. Saat itu dia memang dalam kendali penuh dari Abah Abidin, begitu juga ketika dua kali memperkosa Fatimah, dia dalam keadaan tidak sadar. Namun kini, persetubuhan dengan kesadaran penuh yang dimilikinya, seluruh panca indranya turut merasakan geletar nikmat yang luar biasa, yang baru pertama kali dirasakannya.
Dua bongkah bukit padat dan mulus milik Fatimah dilahapnya dengan rakus. Lidah dan giginya bermain-main sesukanya mengeksplorasi semuanya.
Beberapa saat kemudian, dia merasakan pinggul Fatimah mulai menghentak-hentak liar disertai rintihan-rintihan lirih yang panjang. Penisnya terasa diremas dan dipilin oleh daging kenyal yang terus menghisapnya kuat-kuat. Terasa ngilu luar biasa.
Fatimah merasakan desakan nikmat dari dalam rahimmnya, seluruh buku-buku jari kakinya terasa kebas, matanya berputar-putar liar disertai dengus napas yang dalam dan berat.
“Ohhhhsssh! Enghhh!” erangnya dengan suara berat. Ke dua tangannya mendekap punggung berotot Solihin dengan kuku-kuku jari tenggelam dalam kulit punggung pemuda itu. Pinggul padatnya melambung, dengan ke dua paha mengunci pantat Solihin. Disertai dengus napas yang memburu, bibir tipis Fatimah mencari-cari mulut Solihin yang juga sedang meram melek merasakan ngilu bercampur nikmat dari penisnya yang serasa dipelintir di dalam vagina perempuan itu.
“Hmmmfffhhh!” dengus Fatimah dalam pagutan liarnya, bersamaan dengan tubuhnya yang meregang.
“Akkkhhh ..., hossssh!” lenguh Fatimah sambil menghembuskan napas yang panjang.
Tubuh montok yang sudah banjir keringat itu akhirnya terkapar lunglai setelah menyemburkan lendir birahi untuk keduakalinya.
Solihin yang belum mencapai puncak kepuasan dari birahinya mendiamkan sejenak Fatimah yang sedang memejamkan matanya.
Penis Solihin masih tenggelam dalam vagina Fatimah yang bibir-bibir tebalnya yang merah merekah seperti sedang meletup-letup, merembeskan lendir orgasmenya.
Dengan penuh cinta, Solihin menjilat bibir merah basah itu kemudian menggigitnya dengan lembut, selanjutnya dia mengecupi kedua mata beebulu lentik itu. Setelahnya dengan dia mengagumi kecantikan khas alami seorang perempuan yang sudah mencapai puncak kenikmatannya. Kedua belah pipinya bersemu merah matang, dengan bibir tipis yang menggeletar seperti menggigil.
Tiba-tiba sepasang mata lebar itu terbuka, menatap Solihin sambil tersipu malu, “Kau ..., belum?” bisik Fatimah sambil mengelus rambut Silihin yang segera balas tersenyum sambil mengangguk.
Dari sepasang mata itu terpancar sinar kekaguman. Kekuatan pemuda itu telah membuatnya kewalahan.
“Lakukanlah ...!” bisik Fatimah sambil memejamkan matanya kembali. Mencoba mengumpulkan kekuatannya untuk mengimbangi pertempuran birahi untuk yang kesekian kalinya.
“Emh!” Fatimah mengeluh pendek, ketika Solihin mengangkat pantatnya, mencabut penisnya yang sudah basah oleh cairan putih. Penis yang masih kaku seperti batang kayu berulir. Pemuda itu kemudian mengambil celananya untuk mengelap lendir yang masih mengalir dari bukit rimbun yang kini dua lembahnya sudah merekah. Dengan telaten sekali.
Fatimah menikmati perlakuan dari Solihin itu dengan bahagia sekali. Sesungguhnya, ia tidak mengetahui tentang rasa cinta, selama dua puluh tahun lebih mengarungi rumah tangga bersama Kiayi Mustofa, ia hanya mempunyai rasa sayang. Namun untuk pemuda ini, sekarang ia memiliki rasa lain yang lebih dalam dari sekedar rasa sayang. Setiap bayangan wajah pemuda itu melintas dalam benaknya, dadanya bergetar oleh rasa rindu. Ahhh ..., apa ini sebenarnya? Bisik fatimah dalam hatinya.
Fatimah segera membuka matanya memandang Solihin yang sedang tersenyum dengan tatapan bertanya, ketika pemuda itu membalikan tubuhnya yang sedang tergolek di atas hamparan daun-daun kering di tengah hutan.
Mendapat tatapan penuh tanya dari perempuan yang ddikasihinya itu, Solihin tak menjelaskan apa-apa. Dia menjawabnya dengan tindakan, membalikkan tubuh montok itu sehingga menelungkup. Walau pun bingung, Fatimah pasrah saja, namun ketika pinggulnya ditarik dalam keadaan menungging, perempuan itu menengok, “A ..., apa?”
Solihin kembali tersenyum, kedua paha padat itu direnggangkan, sehingga kedua belah bibir vagina gemuk merah basah Fatimah tampak merekah.
“Mm-mau a-apa?” tanya Fatimah dengan wajah bingung.
Tapi Solihin malah menunduk mencium bongkahan padat nan bulat bokong perempuan itu, daging sekal itu digigit-gigit kecil.
“Kau nakal,” Fatimah terkikik lirih, kegelian. Namun mendadak pinggul itu mengerut tiba-tiba. Wajah manis itu kembali menengok dengan wajah memerah. Heran hatinya, anusnya seperti mendapat jilatan yang membuatnya berkedut kaget dan geli.
“Ih ...,” jeritnya sedikit jijik. Namun leher jenjangnya segera menegang ketika ada gesekan dari batang berkulit kasar menggesek dan membelah vaginanya.
“Augh!” erangnya tak tertahankan. Pipinya makin bersemu merah. Merasakan sensasi baru dari posisi senggama yang seumur hidupnya baru mengalaminya saat itu. Yang ia tahu, ia hanya cukup telentang kemudian suaminya menindih tubuhnya, mencelupkan kelamin ke kelaminnya. Tanpa kata-kata, hanya dengusan dan sedikit rintihan. Tidak seperti sekarang, posisi asing dan aneh yang sedikit membuatnya agak malu hati. Posisi senggama yang ia tahu seperti kelakuan anjing atau kucing!
Dan yang baru itu memang selalu lebih nikmat, lebih lezat juga lebih memuaskan.
Birahinya naik secepat gesekan-gesekan batang penis Solihin yang juga sudah tak tahan ingin meraih kenikmatan yang memuaskan dengan perempuan pujaannya itu.
Jari-jari tangannya sengaja digaruk-garukkan dari tengkuk terus sampai ke belahan pinggul Fatimah. Lalu;
“Krep!” dia mencengkram dua bongkahan pinggul itu, dicengkramnya erat-erat sambil penisnya yang sudah dalam posisi menekan lubang vagina Fatimah didorongkan secara tiba-tiba.
“Hekh!” tubuh Fatimah tersentak sambil mengeluarkan suara seperti tercekik.
Tusukan penis besar Solihin yang tanpa aba-aba itu membuat sesak ulu hatinya. Dan berbeda dengan tadi ketika persetubuhan yang pertama, Solihin begitu lemah lembut. Namun dalam posisi baru yang aneh ini, pemuda itu mendadak menjadi kasar dan liar. Keliaran yang memberinya sensasi lain dari yang lain.
Vaginanya seperti diaduk-aduk batang alu yang biasa untuk menumbuk pagi. cepat dan menyakitkan. Gesekan-gesekan batang kaku berulir itu seperti hendak membuat lecet dinding-dinding vaginanya. Tapi rasa sakit itu tak sebanding kelezatan birahi yang dirasakannya. Begitu lezat, liar dan nikmat!
Fatimah terpaksa harus menggigit bibirnya kuat-kuat, agar tidak berteriak-teriak seperti orang gila. Hatinya masih mempunyai harga diri untuk tidak mengeluarkan suara macam kucing kawin.
Bluk! Bluk! Bluk!
Terdengar suara lumayan keras ketika selangkangan Solihin menumbuk berulang-ulang pinggul bulat padat itu, yang terayun-ayun seirama genjotan sepasang manusia yang sedang dimabuk birahi tersebut.
Lidah Fatimah terbelit erat digiginya, menahan agar tidak mengeluarkan kata-kata kotor atas kelezatan birahi yang tengah dirasakannya, walau pun sesungguhnya ia ingin meneriakkannya sekeras mungkin.
Entah berapa kali sodokan dan genjotan penis Solihin membombardir vagina yang sudah sangat becek itu. Kedua tangannya sejak dari tadi meremas kuat-kuat payudara Fatimah yang menggantung terayun gerakan tubuhnya dalam posisi merangkak.
“Ohhh, amphuuun,” Fatimah akhirnya mengeluarkan suara erangan sambil tubuhnya ambruk ke atas hamparan daun kering.
“Hossh! Hosssh! Hosssh!” Solihin mendesis-desis sambil matanya meram.
Hingga suatu ketika;
“Sshho-lihiiinsh! Amphuuun!” Fatimah menjerit sambil pinggulnya memutar limbung. Dinding-dinding vaginanya berdenyut-denyut keras.
“Hrrrhhhhsh!” Solihin menggeram sambil wajahnya mendongak.
Serrrr!
Dua semburan lahar panas menyembur tak tertahankan. Saling-siram dan menghanyutkan.
“Akh!” keduanya berseru bersamaan sambil ambruk saling-tindih dengan badan lemas kehabisan tenaga.

*
Sore yang sangat indah.
Cahaya merah matahari menyorot hangat dengan semburat lembayung di batas cakrawala.
Dua sosok tubuh seakan menjadi satu dalam silhoet bayangan merah lembayung, duduk dengan yang seorang di atas pangkuan seseorang yang lain.
Fatimah yang kerudungnya memang dilepaskan, kepalanya bersandar di dada bidang Solihin yang tengah mengelus-elus rambut hitam panjangnya.sesekali hidungnya mencium rambut dan dahi Fatimah dengan penuh rasa cinta.
Seusai pertempuran birahi tadi, pemuda itu telah berhasil menaklukkan Fatimah sehingga bertekuk lutut dalam pelukannya. Walau pun seusai persetubuhan itu Fatimah kembali menangis penuh penyesalan telah terperangkap dalam godaan birahi yang telah membutakan kehormatannya. Namun dengan bujukan dan rayuan Solihin yang siap untuk bertanggung jawab menikahinya, akhirnya Fatimah jatuh juga ke dalam pelukan pemuda itu.
Kini, di tempat itu, duduk berdua di atas sebuah batu besar di lereng sebuah bukit. Keduanya tampak mesra sekali, persis sepasang kekasih yang sedang dimabuk asmara, dan memang seperti itulah adanya mereka saat itu.
“Aih!” Fatimah menjerit kecil ketika Solihin dengan gemas menggigit leher jenjang perempuan itu. Ketika jari-jari nakal pemuda itu mengelus dan sedikit meremas sepasang payudara yang membukit dari balik kain yang dikenakannya, Fatimah sedikit meronta.
“Kumohon jangan dulu,” rintih Fatimah sambil tersenyum, menurunkan jari-jari nakal itu.
“Kenapa?” bisik Solihin sambil mencium pipi yang bak telur separuh tersebut.
“Halalkan dulu aku!” jawab Fatimah melemparkan senyum manis.
“Sekarang juga aku akan membawamu ke penghulu!” sahut Solihin cepat.
Fatimah cepat mengggeleng, raut mukanya berubah sedih, ‘Suamiku baru meninggal, ada hukum agama yang tak boleh dilanggar selama empat puluh hari, sesudah itu. Kau mau bawa aku ke mana pun aku tidak akan menolak!” katanya sambil bersandar kembali ke bahu kokoh pemuda itu yang segera menghela napas dalam.
“Pasangan laknat! Terkutuk kalian!”
Tiba-tiba terdengar satu seruan menggeledek disertai tujuh bayangan tiba. Mengepung batu tersebut dengan mata nyalang penuh amarah.
“Ustadz Sobirin?” Fatimah menjerit dengan muka pucat.

***

Bersambung ke BAB II b

Mohon maaf dengan sangat atas keterlambatan postingan cerita ini. Sungguh saya malu hati karena tidak bisa memposting sesuai jadwal karena ada sesuatu hal di luar kekuasaan saya.
By the way, semoga tak bosan dengan cerita alakadarnya ini, sekali lagi mohon keluasan dan kelapangan hati dari para Agam-Suhu dan para Brader atas keterlambatannya.
Salam semprot, salam damai Indonesia

:Peace:
:ampun: :ampun: :ampun:
 
Kirain mati lampu lg,,,;) ternyata udah update. Mksh update nya suhu:nenen:
Btw, msh ada typo ya suhu :Peace::ampun:
 
Status
Please reply by conversation.
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd