Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT As Elegant As Aurora [TAMAT]

Status
Please reply by conversation.
Part 6


“Oh... asli Palembang?”

“Iya, mas.”

Aku mengangguk pelan.

“Aku sekeluarga pindah ke Purwokerto pas umurku 16 tahun. Nah pas SMA itu aku kenal sama Cindy.” Tambahnya.

Aku melirik kebelakang lewat spion depan, Cindy sudah terlelap disana. Dasar... padahal beberapa menit yang lalu dia dan Aya berisik sekali.

“Magang dimana?”

“Koran, mas. Sebulan.”

Apply jadi...?”

“Emm... belum tau sih mas, besok pas hari pertama baru dibagi jobdescnya.”

“Ohh... Kok semester satu udah magang aja?”

“Ya... pengen nyari pengalaman aja sih, mas. Hehe. kebetulan tempat magang aku ini syaratnya enggak ribet jadi ya bisa masuk.”

Aku tersenyum.

“Purwokerto, Semarang... wis isoh basa Jawa durung?”

“Wah, belum mas, haha. Kalau denger orang ngomong masih tau artinya, tapi kalau ngomong sendiri, belum bisa. Sulit.” Jelasnya sambil tertawa kecil.

“Walah, patang taun nang Jawa durung isoh ngomong Jawa ki piye?”

“Hahaha, ya mas Dimas mau ngajarin aku? Orang Jawa asli toh?”

Boleh, hehe...

“Emm... ya ayo kapan? Hahaha.”

“Kapan-kapan, hehe.”

Beberapa saat terjadi keheningan, aku menyalakan radio di mobil ini.

“Udah Aya, tidur dulu. Nanti kalau udah mau nyampe aku bangunin.”

“Ah, enggak usah mas. Nanti mas Dimas enggak ada temennya.”

“Walah, udah, aku masih belum ngantuk kok. Masih lama nih meleknya.”

“Oohh... yaudah. Ceritain dong gimana bisa ketemu Cindy, mas.”

Wajahku memerah, Aya terlihat menahan tawa dibelakang sana.

***​

“Makasih ya, Cindy, mas. Maaf lho malah repot-repot...” Senyuman lebar nan hangat itu kembali ia lemparkan.

“Santai. Yakin nih enggak sekalian mau dibantu beres-beres?” Tawar Cindy sekali lagi.

“Ah, udah. Enggak usah.”

“Okedeh.” Cindy dan Aya saling berpelukan sebagai salam penutup hari ini untuk pertemuan mereka. Emm... aku boleh ditengah-tengah enggak?

“Udah ya.” Cindy berjalan mengekoriku selepas pelukan itu.

“Makasih ya semua.”

“Yops,” aku menoleh kearahnya sambil melambaikan tangan.

“Okee.” Cindy juga melakukan hal yang sama.

Sret.

Sabuk pengaman itu aku pasang setelah aku duduk di kursi kemudi dan menutup pintu. Cindy membuka kaca mobil, melambaikan tangan sekali lagi untuk sahabatnya yang masih berdiri dibalik pagar, menunggu kami pergi. Kunci kontak ini aku putar, mesin mobil kembali menyala.

“Mampir ya kapan-kapan.” Sekali lagi, senyum manis itu ia lemparkan.

Ya ampun... semoga kita cepet ketemu lagi ya, hehe.

Perlahan, kami mulai menjauh dari kontrakan itu, kembali pulang.

Nurhayati, gadis yang menarik. Parasnya cantik khas Indonesia. Dia juga ramah, hangat, dan cukup interaktif juga. Setidaknya itu yang aku tangkap setelah pertemuan kami hari ini. Tidak buruk, aku penasaran apakah Cindy masih punya teman-teman yang cukup ‘menarik’ lainnya, hehe.

“Huft...”

“Kenapa, mbul?”

Cindy terlihat sibuk dengan smartphonenya, membalas sebuah chat.

“Gerbang kosku udah digembok.”

“Lah, kok? Kan masih jam segini?”

“Iya... sekarang kadang jam sebelasan gini udah digembok.”

Aku melihat jam tanganku, jarum-jarumnya menunjuk waktu sebelas lebih empat belas menit.

“Oh... yaudah, terus ini kamu gimana?”

“Bentar.”

Dia kembali memainkan jarinya diatas layar, mengetik sebuah pesan sepertinya.

“Kak, aku nginep kontrakan kakak ya.”

“Nggak. Kamu aku buang aja di kali Ciliwung.”

“Iiihhh!”

“Aaaakkk!”

Cindy mencubit tangan kiriku. Salah satu hal yang aku takuti darinya, cubitannya itu sakit. Percayalah.

“Kaakk...” Dia melenguh, nadanya memohon padaku. Ia memelintir tangannya itu hingga cubitannya terasa semakin perih. Tangan kananku yang semula memegang kemudi menampar-nampar pelan tangan nakalnya itu.

“Aakk- I-iya iya! Canda doang! Lepasin! Sakit!”

“Nah, gitu dong, hehe.” Dia tersenyum puas, seperti seorang anak kecil yang dipenuhi permintaannya.

Aku mengelus-elus daerah cubitannya tadi sambil menunggu lampu lalu lintas itu berubah jadi hijau. Awas aja ya...

***​

“Aaakkhh... MmMPhhH”

Cindy melenguh kasar saat kedua putingnya itu aku pelintir pelan. Selalu puas bisa mendengar suara seksi itu keluar dari mulutnya, dan akulah orang yang membuatnya seperti itu.

“Dih, keenak-“

Kepalaku ditariknya mendekat, bibirku langsung ia lumat begitu sampai dijangkauannya. Kedua tangannya menahan kepalaku dari belakang, tak ingin menyudahi cepat ciuman ini, aku semakin liar mencumbunya, bahkan kepalanya kadang tertekan ke bantal dibawahnya. Sementara bibir kami saling melumat satu sama lain, kedua tanganku masih bermain-main dengan dua gundukan menggoda itu. Aku remas-remas perlahan, kadang jempolku menekan dan memutar-mutar putingnya yang mulai mengeras itu. Lumayan juga, aku bisa merasakan lagi bagaimana memainkan analog di stik Playstation setelah sekian lama. Terimakasih ya Cindy, hehe.

Lehernya menjadi sasaran bibirku selanjutnya setelah puas bertukar liur dan melumat bibir tipis seksinya itu. Leher sebelah kanannya mulai aku serang dengan beberapa kali ciuman, tak lupa juga dengan tiupan-tiupan pelan disana. Cindy bergidik. Aroma shampoo masih tercium wangi di rambutnya.

“Mmhh... Sshhmmhh...”

Cindy terus bergerak-gerak, menikmati semua rangsangan yang kuberikan. Setelah beberapa saat, aku menghentikan semua aktivitasku. Dengan satu gerakan, aku menarik semua celana Cindy hingga sekarang ia telanjang bulat. Rupanya ia sudah lumayan basah juga.

“Nakal banget sih kak.”

“Halah.”

Aku memegangi pinggulnya, bermaksud memposisikannya sesuai keinginanku.

“Eits, aku sendiri aja.”

“Hm?”

“Biasa kan?”

Aku hanya tersenyum melihat muka sok nakalnya itu. Entahlah, menurutku walau bagaimanapun, wajahnya itu tetap saja imut. Aku membiarkannya memposisikan diri sendiri sementara aku membebaskan penisku yang sudah tegang dari sarangnya. Cindy sudah dalam posisinya, kedua tangan dan lututnya sudah dalam posisi siap, menopang tubuhnya.

Plak

Plak

Plak

Aku menampar pantat yang lumayan sekal itu beberapa kali, lenguhan seksi itu kembali terdengar dari mulutnya.

Plak

Plak

Plak

Kedua tanganku memegangi pinggulnya, bersiap memasukkan penisku kedalam vaginanya. Namun sesaat sebelum penisku menyentuh lubang kewanitaan itu. tiba-tiba terbesit di pikiranku untuk mencicipi satu lubang lain, yap, lubang anusnya.

“Kak...?”

“Mbul... b-boleh ya...?” Aku menempelkan kepala penisku diluar lubang anusnya.

“Eh?! Eh!” Cindy tersentak lalu tiba-tiba membalik tubuhnya, menyembunyikan pantatnya itu dariku. Dari ekspresinya, sepertinya dia ketakutan.

“K-kenapa?”

“J-jangan analin aku kak... plis.” Dia sedikit mengangkat tubuh atasnya.

“Iya kenapa?”

“Pokoknya jangan! Sakit... aku takut...”

“Ha? Kamu tau darimana? Emang pernah nyoba?”

“Aku nonton vid-“ Cindy membekap mulutnya sendiri dengan tangan kanannya, matanya membulat. Dia seperti habis mengatakan sebuah rahasia besar padaku.

“Video...? Kamu nonton bokep?”

Wajahnya memerah, ia mengagguk pelan.

“K-kan udah gede kak...” Cindy membuang muka, tidak mau menatapku.

“Emang gimana isi videonya?”

“Emm... ya gitu... ceweknya ditusuk-tusuk lubang anusnya pake kelamin cowoknya... ceweknya kayak kesakitan banget...” Jelasnya. Aku masih terkesima mendegar hal semacam ini dari mulut seorang perempuan.

“Ah, enggak. Coba aja dulu ya...” Aku kembali memegang pinggulnya.

“Eng-enggak! Aku juga pernah baca cerita kalau dianal itu sakitnya ngelebihin pecah perawan!” Dia menepis kedua tanganku. Aku menelan ludah.

“P-pokoknya... pokoknya jangan kak... plis... jangan...” Cindy menatapku penuh harap.

Yah, mau bagaimana lagi? Kalau memang dia belum mau... aku juga tidak bisa memaksanya. Sepertinya memang aku harus menunggu.

“Y-yaudah deh...”

“M-maaf...”

“Udah udah... lanjut?” Aku menatapnya nakal.

“Ehehe...”

Dia kembali melahap bibirku. Bunyi decakan yang tadi pernah kami buat kembali terdengar. Ciuman itu berlangsung singkat, hingga akhirnya dia kembali dalam posisi tadi. Aku pun bersiap di posisiku.

“Nngghhh... AaAhh...”

Vagina itu kembali merasakan hujaman penisku, satu lagi malam yang aku lewati bersamanya di kamar ini.

***​

“Halo, Dim?”

“Halo.”

“Kenapa?”

Sorry, mobil lo jadinya gue balikin pagi ya...”

“Oh... iya Dim, selaw. Ini juga deres banget hujannya kasihan lo ntar baliknya.”

“Okedeh.”

“Eh tapi... balikin sebelum jam 9 ya, gue mau nonton sama Tyas soalnya.”

“Siap. Nonton apaan?”

Fantastic Beasts...”

Oh iya, Jinan memang suka dengan Harry Potter. Kalau tidak salah, film itu masih ada hubungannya dengan cerita penyihir laki-laki berkacamata bundar itu.

“Wih, okedeh.”

“Lu gamau ikutan?”

“Enggak ah, enggak paham gue film begituan.”

“Yee lu mah pahamnya bokep doang ya?”

“Woe kagak anjir!”

“Ahahaha! Canda Dim.”

“Yaudah, besok, enggak, ntar pagi gue balikin ya.”

“Iya iya.”

“Udah ya. Tidur lu.”

“Dih. Iyaa...”

Aku mengakhiri panggilan itu. Segelas teh hangat yang ada di meja ini aku habiskan, mata ini sudah mulai berat, sepertinya aku akan menyusul Cindy tidur sekarang. Selepas memastikan semua pintu terkunci dan jendela tertutup rapat, aku memasuki kamar. Cindy terlihat sudah tertidur pulas disana, cukup puas sudah membuatnya orgasme tiga kali tadi.

“Darimana kak?”

Lah, melek ternyata.

“Bikin teh, sama nelpon Jinan.”

“Oh, ngembaliin mobil ya?”

He’eh.” Aku menarik selimut dan memposisikan diri tidur disampingnya. “Kok masih melek? Daritadi?”

“Barusan kok, pas kakak buka pintu...” Dia mengubah posisi tidurnya, memunggungiku.

“Ooh... yaudah, tidur lagi.” Aku mengusap dahinya.

“Kak...”

“Iya?”

“Nonton yuk ntar...”

“Emm... boleh. Mau Fantastic Beasts?”


To be Continued...
 
Status
Please reply by conversation.
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd