Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

agama asli

Bimabet
eh gan ane punya pertanyaan, kalo atheis gimana menurut agan2 sekalian? apakah baik ato gak menurut agan2 kalo menjadi atheis (jelasinnya kalo bisa jangan pake sudut pandang agama ya gan). makasi ya gan kalo sekiranya ada yg mau ngasih petunjuk n jelasin
 
Salam kenal suhu Agumon, ane Agnostik...
Banyak juga kawan nubi yang atheis dan selama ini baik-baik aja... Mereka menolak mempercai klaim teisme tentang keberadaan Tuhan karena tidak bisa di buktikan secara empirik.

Yah saling menghormati aja sih kalau menurut Nubi. Dunia ini cukup luas untuk semua hidup berdampingan kan...
 
tapi suhu, apakah kalo seandainya jadi atheis gitu diijinin ato kagak sih suhu di negri ini?

kalimat terakhir suhu rasta keren, salam kenal juga suhu rastaman
 
Hmm sepertinya tidak di izinkan, waktu bikin KTP kan pasti di tanya agamanya apa, dan di paksa mengisi kolom info agama. Di padang pernah ada kasus mahasiswa dan dosen ngaku Atheis malah di hukum penjara kalau nubi ga salah inget.

Nubi yang agnostik aja di KTP di paksa tertulis salah satu dari agama samawi itu kok walau nubi dah tarik urat berdebat sama lurah dan camat pas bikin nya
 
tapi suhu, apakah kalo seandainya jadi atheis gitu diijinin ato kagak sih suhu di negri ini?

kalimat terakhir suhu rasta keren, salam kenal juga suhu rastaman

Nih yach nubie numpang ngotorin dapet makalah dari hukum ol

Pertanyaan
Teman saya "menganut" ateisme. Apakah hal ini diperbolehkan di Indonesia? Apabila boleh, apakah dia boleh menyebarkan kepercayaannya itu? Lalu bagaimana dengan agnostisisme? Mohon pencerahannya. Terima kasih.
Jawaban:

1. Menurut buku “Ensiklopedi Umum” yang ditulis mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Airlangga Prof. Abdul Gafar Pringgodigdo (hlm. 102), Ateisme atau biasa disebut juga Atheisme berasal dari bahasa Yunani.

Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa A berarti tidak ada, dan theos berarti Tuhan. Ateisme ini diartikan sebagai ajaran yang meyakini bahwa tidak ada wujud gaib (supernatural). Sehingga, seorang ateis tidak mengakui adanya Tuhan

Di Indonesia, Pancasila sebagai landasan ideologis negara pada sila pertama telah menentukan bahwa Negara Indonesia adalah berlandaskan pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Selanjutnya, dalam butir pertama sila pertama Pancasila dinyatakan: Percaya dan Takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Artinya, memang secara ideologi, setiap warga negara Indonesia percaya dan takwa kepada Tuhan YME dan memeluk suatu agama.

Namun, pada praktiknya memang ditemui adanya warga negara Indonesia yang tidak mempercayai atau memeluk suatu agama tertentu (ateis). Dan memang belum ada satu peraturan perundang-undangan yang secara tegas melarang dan menentukan sanksi bagi seseorang yang menganut ateisme. Akan tetapi, dengan seseorang menganut ateisme, akan memberikan dampak pada hak-hak orang tersebut di mata hukum.

Misalnya, kesulitan dalam pengurusan dokumen-dokumen kependudukan seperti Kartu Tanda Penduduk ataupun Kartu Keluarga yang mengharuskan adanya pencantuman agama (lihat Pasal 61 dan 64 UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan). Meskipun ada juga seorang ateis yang kemudian tetap mencantumkan agama tertentu dalam dokumen kependudukannya, hanya untuk memenuhi persyaratan administratif.

Juga ketika seseorang hendak melangsungkan perkawinan, perkawinan hanya sah bila dilakukan menurut hukum dari masing-masing agama yang dianutnya (lihat Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan penjelasannya). Lebih jauh simak artikel Bagaimana Menikah Jika Calon Suami Tak Punya Agama?

Jadi, secara hukum, tidak ada peraturan perundang-undangan yang secara tegas melarang seseorang menganut paham ateisme. Di sisi lain, konsekuensi hukum dari paham ateisme yang dianutnya, orang yang bersangkutan boleh jadi tidak dapat menikmati hak-hak yang pada umumnya bisa dinikmati mereka yang menganut agama tertentu di Indonesia.

2. Seorang ateis dilarang menyebarkan ateisme di Indonesia. Penyebar ajaran ateisme dapat dikenai sanksi pidana Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang menyebutkan:

“Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:

a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;

b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Salah satu kasus dugaan penyebaran paham ateisme yang tercatat adalah seperti yang dilakukan seorang pegawai negeri sipil (PNS) di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Dharmasraya, Alexander Aan (30). sebagaimana kami kutip dari laman resmi Komnas HAM, Alexander ditahan atas tuduhan penistaan agama (Pasal 156 KUHP). Sebelumnya, Alexander mengaku sebagai ateis dalam sebuah akun Facebook yang diberi nama “Atheis Minang”, dan akun tersebut ternyata meresahkan masyarakat. Kapolres Dharmasraya, Komisaris Besar Polisi Chairul Aziz mengatakan bahwa setelah menginterogasi Alexander, dia tidak melakukan pelanggaran apapun dengan Alexander menjadi ateis.

3. Menurut Ensiklopedi Umum (hlm. 22), “agnostisisme merupakan bentuk skeptisisme yang berpendapat bahwa akal budi tidak dapat melebihi pengalaman dan bahwa karena itu ilmu metafisika tidak mempunyai bukti yang nyata. Kant, seorang agnostisisme berpendapat, bahwa kepercayaan akan ke-Tuhanan hanya berdasarkan kepercayaan. Istilah itu kerap kali dipakai berkenaan dengan keragu-raguan tentang adanya Tuhan dan adanya kemungkinan hal yang kekal. Sikap aliran agnostisisme menentang definisi yang mewujudkan pengetahuan tanpa bukti.”

Jadi, penganut agnostisisme pada dasarnya meragukan adanya Tuhan. Berbeda halnya dengan ateis yang benar-benar tidak mempercayai keberadaan Tuhan.

Namun terhadap keduanya, baik penganut ateisme maupun penganut agnostisisme, pada akhirnya untuk dapat menikmati semua haknya sebagai warga negara harus menundukkan diri pada suatu agama atau kepercayaan yang diakui di Indonesia. Meskipun, pada praktiknya penundukkan diri tersebut hanyalah sebagai penyelundupan hukum yaitu para penganut ateisme atau agnostisisme tidak benar-benar menganut agama atau kepercayaan yang dicantumkan dalam identitas kewarganegaraannya (Kartu Tanda Penduduk, Kartu Keluarga, dll.).

Dasar hukum:

1. Undang-Undang Dasar Tahun 1945;

2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek Van Strafrecht, Staatsblad 1915 No. 732);

3. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;

4. Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.

Sekian.... Semoga jangan jadi atheis yach.... :beer:
 
Hmm sepertinya tidak di izinkan, waktu bikin KTP kan pasti di tanya agamanya apa, dan di paksa mengisi kolom info agama. Di padang pernah ada kasus mahasiswa dan dosen ngaku Atheis malah di hukum penjara kalau nubi ga salah inget.

Nubi yang agnostik aja di KTP di paksa tertulis salah satu dari agama samawi itu kok walau nubi dah tarik urat berdebat sama lurah dan camat pas bikin nya

Tuch om udah nubie tambahin yach.... :D
 
Nih yach nubie numpang ngotorin dapet makalah dari hukum ol

Pertanyaan
Teman saya "menganut" ateisme. Apakah hal ini diperbolehkan di Indonesia? Apabila boleh, apakah dia boleh menyebarkan kepercayaannya itu? Lalu bagaimana dengan agnostisisme? Mohon pencerahannya. Terima kasih.
Jawaban:

1. Menurut buku “Ensiklopedi Umum” yang ditulis mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Airlangga Prof. Abdul Gafar Pringgodigdo (hlm. 102), Ateisme atau biasa disebut juga Atheisme berasal dari bahasa Yunani.

Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa A berarti tidak ada, dan theos berarti Tuhan. Ateisme ini diartikan sebagai ajaran yang meyakini bahwa tidak ada wujud gaib (supernatural). Sehingga, seorang ateis tidak mengakui adanya Tuhan

Di Indonesia, Pancasila sebagai landasan ideologis negara pada sila pertama telah menentukan bahwa Negara Indonesia adalah berlandaskan pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Selanjutnya, dalam butir pertama sila pertama Pancasila dinyatakan: Percaya dan Takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Artinya, memang secara ideologi, setiap warga negara Indonesia percaya dan takwa kepada Tuhan YME dan memeluk suatu agama.

Namun, pada praktiknya memang ditemui adanya warga negara Indonesia yang tidak mempercayai atau memeluk suatu agama tertentu (ateis). Dan memang belum ada satu peraturan perundang-undangan yang secara tegas melarang dan menentukan sanksi bagi seseorang yang menganut ateisme. Akan tetapi, dengan seseorang menganut ateisme, akan memberikan dampak pada hak-hak orang tersebut di mata hukum.

Misalnya, kesulitan dalam pengurusan dokumen-dokumen kependudukan seperti Kartu Tanda Penduduk ataupun Kartu Keluarga yang mengharuskan adanya pencantuman agama (lihat Pasal 61 dan 64 UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan). Meskipun ada juga seorang ateis yang kemudian tetap mencantumkan agama tertentu dalam dokumen kependudukannya, hanya untuk memenuhi persyaratan administratif.

Juga ketika seseorang hendak melangsungkan perkawinan, perkawinan hanya sah bila dilakukan menurut hukum dari masing-masing agama yang dianutnya (lihat Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan penjelasannya). Lebih jauh simak artikel Bagaimana Menikah Jika Calon Suami Tak Punya Agama?

Jadi, secara hukum, tidak ada peraturan perundang-undangan yang secara tegas melarang seseorang menganut paham ateisme. Di sisi lain, konsekuensi hukum dari paham ateisme yang dianutnya, orang yang bersangkutan boleh jadi tidak dapat menikmati hak-hak yang pada umumnya bisa dinikmati mereka yang menganut agama tertentu di Indonesia.

2. Seorang ateis dilarang menyebarkan ateisme di Indonesia. Penyebar ajaran ateisme dapat dikenai sanksi pidana Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang menyebutkan:

“Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:

a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;

b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Salah satu kasus dugaan penyebaran paham ateisme yang tercatat adalah seperti yang dilakukan seorang pegawai negeri sipil (PNS) di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Dharmasraya, Alexander Aan (30). sebagaimana kami kutip dari laman resmi Komnas HAM, Alexander ditahan atas tuduhan penistaan agama (Pasal 156 KUHP). Sebelumnya, Alexander mengaku sebagai ateis dalam sebuah akun Facebook yang diberi nama “Atheis Minang”, dan akun tersebut ternyata meresahkan masyarakat. Kapolres Dharmasraya, Komisaris Besar Polisi Chairul Aziz mengatakan bahwa setelah menginterogasi Alexander, dia tidak melakukan pelanggaran apapun dengan Alexander menjadi ateis.

3. Menurut Ensiklopedi Umum (hlm. 22), “agnostisisme merupakan bentuk skeptisisme yang berpendapat bahwa akal budi tidak dapat melebihi pengalaman dan bahwa karena itu ilmu metafisika tidak mempunyai bukti yang nyata. Kant, seorang agnostisisme berpendapat, bahwa kepercayaan akan ke-Tuhanan hanya berdasarkan kepercayaan. Istilah itu kerap kali dipakai berkenaan dengan keragu-raguan tentang adanya Tuhan dan adanya kemungkinan hal yang kekal. Sikap aliran agnostisisme menentang definisi yang mewujudkan pengetahuan tanpa bukti.”

Jadi, penganut agnostisisme pada dasarnya meragukan adanya Tuhan. Berbeda halnya dengan ateis yang benar-benar tidak mempercayai keberadaan Tuhan.

Namun terhadap keduanya, baik penganut ateisme maupun penganut agnostisisme, pada akhirnya untuk dapat menikmati semua haknya sebagai warga negara harus menundukkan diri pada suatu agama atau kepercayaan yang diakui di Indonesia. Meskipun, pada praktiknya penundukkan diri tersebut hanyalah sebagai penyelundupan hukum yaitu para penganut ateisme atau agnostisisme tidak benar-benar menganut agama atau kepercayaan yang dicantumkan dalam identitas kewarganegaraannya (Kartu Tanda Penduduk, Kartu Keluarga, dll.).

Dasar hukum:

1. Undang-Undang Dasar Tahun 1945;

2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek Van Strafrecht, Staatsblad 1915 No. 732);

3. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;

4. Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.

Sekian.... Semoga jangan jadi atheis yach.... :beer:


Nah ini baru lengkap pake banget
Nice try
 
yah ending2nya cuma main kucing dan tikus deh kalo mau jadi atheis di negeri ini. buat suhu thombol makasih infonya, masuk sf ini malah jadi dapet banyak pencerahan dari suhu2 master disini
 
yah ending2nya cuma main kucing dan tikus deh kalo mau jadi atheis di negeri ini. buat suhu thombol makasih infonya, masuk sf ini malah jadi dapet banyak pencerahan dari suhu2 master disini

Sama2 suhu pokemon eh grey monster.... :ha: nubie juga banyak belajar.... Dari pada ngiler liat expo cuma bisa komen kgk sanggup jajan... mendingan nubie kemari buat belajar bersama :baca:
 
Nah yang membingungkan kan misalkan kejawen tapi dia menganut agama I atau Kr atau Ka (inisial saja)
Padahal dalam 3 agama tersebut melarang untuk berdoa diluar ajaran agama tersebut
Misalakan keturunan Tionghoa menganut agama Kr tapi karena tradisi keluarga melakukan ritual atau adat seperti ajaran Konghuchu.
Menurut ente gmana?
Apa perlu kaya Ahok. Kolom agama tidak ada
Soalnya tahun 50an-60an konon kolom agama tidak ada.

Negara sebenarnya tidak mengatur agama atau kepercayaan mana yang salah dan benar. Kalau ane salah coba UU mana yang mengatakan kepercayaan ini atau itu yang salah???

Harusnya kepercayaan urusan manusia dengan Tuhannya
Dan negara harus nya melindungi hak tiap pemeluk kepercayaan.
Bukan melarang/membatasi bahkan menghambat
Kepercayaan yang sudah diakui negara aja kadang masih susah bikin tempat ibadah
Fakta dilapangan sangat buanyaaak
 
Baca dulu makalah berikut...

Indonesia sebagai negara hukum dan berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa maka Indonesia harus menjunjung tinggi supremasi hukum serta meyakini bahwa nilai-nilai religius merupakan salah satu sumber inspirasi bagi negara dalam menjalankan kewajibannya. Salah satu ciri negara hukum ialah mengakui dan menjamin adanya Hak Asasi Manusia. Salah satu Hak Asasi Manusia yang penting untuk dijamin keberadaannya ialah hak untuk beragama.

Sebagai negara hukum, Indonesia wajib menjaminnya dalam konstitusi. Namun yang patut digarisbawahi bahwa kewenangan dan kewajiban yang dimiliki oleh negara kaitannya dengan agama hanyalah menjamin kebebasan warga negaranya untuk memeluk agama dan beribadah sesuai dengan agama dan keyakinan yang diyakininya. Negara sama sekali tidak diberikan kewenangan dan kewajiban untuk mengakui, melindungi, dan menjamin keberadaan agama tertentu. Jika negara ini kemudian melakukan perlakuan seperti itu, maka sebetulnya negara telah melakukan perbuatan yang inkonstitusional karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar RI.

Itulah realitas yang akan kita jumpai jika kita menelaah Pasal 1 UU Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaaan Agama. Pada Pasal 1 UU a quo disebutkan: ”Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia .”

Pada Pasal tersebut terdapat klausula ”agama yang dianut di Indonesia”. Pada penjelasan ayat tersebut dijelaskan bahwa penjelasan klausala ”agama yang dianut di Indonesia” ialah ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius).

Jadi dari aturan tersebut dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa Indonesia ternyata mengakui, melindungi, dan menjamin keberadaan agama tertentu dalam hal ini keenam agama di atas. Adapun alasan pengakuan tersebut didasarkan pada sejarah perkembangan agama-agama di Indonesia. Keenam macam agama itu merupakan agama-agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia.

Landasan yang dijadikan pijakan bagi perumus aturan tersebut bukanlah landasan yuridis melainkan lebih kepada landasan historis agama yang berkembang di Indonesia. Setidaknya itulah yang penulis tangkap dari penjelasan klausala “agama yang dianut di Indonesia”.

Menurut penulis, aturan tersebut tidak memiliki dasar hukum yang jelas. Apalagi jika kita kritisi landasan historis yang dijadikan landasan dirumuskannya aturan itu.

Hal yang patut kita kritisi dari persoalan ini ialah apakah yang dijadikan pertimbangan bagi perumus atas diakuinya agama tertentu itu berdasarkan besar atau banyaknya jumlah penganut suatu agama? Lalu apa ukuran besar atau banyaknya jumlah pemeluk suatu agama untuk kemudian dianggap sebagai agama yang diakui keberadaannya secara yuridis oleh negara?

Maka jawaban dari kedua pertanyaan tersebut bahwa tidak ada pertimbangan dan ukuran yang jelas lagi logis, yang dijadikan pijakan bagi negara untuk merumuskan aturan tersebut. Alasan-alasan yang diajukan lebih bersifat asumtif dan tidak memiliki ukuran jelas. Apalagi jika kita hadapkan alasan tersebut pada kajian historis perkembangan agama yang lebih komprehensif, maka akan kita dapati kesimpulan bahwa sebetulnya agama-agama yang diakui keberadaannya oleh pemerintah melalui aturan ini merupakan agama-agama yang diimpor dari luar Indonesia. Contoh misalnya agama Islam, yang berasal dari para pedagang timur tengah dan india yang berdagang di Indonesia. Tentu kita masih ingat penjajahan Belanda dengan 3 misinya yaitu Gold, Glory, Gospel. Gospel ialah misi menyebarkan agama kristen.

Perlakuan khusus terhadap keenam agama yang diakui secara yuridis oleh negara memberikan konsekuensi mereka mendapat jaminan seperti yang diberikan oleh Pasal 29 ayat 2 UUD 1945, keenam agama tersebut mendapat bantuan dan perlindungan seperti yang diberikan oleh Pasal 1 UU No. 1/PNPS/Tahun 1965. Sebaliknya, agama-agama selain keenam agama dimaksud mendapat pengecualian (exclusion), pembedaan (distinction), serta pembatasan (restriction) dengan berlakunya ketentuan Pasal 1 UU a quo, hal mana dapat dilihat dari penjelasan “agama-agama tersebut dibiarkan adanya, asal tidak mengganggu ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau peraturan perundangan lain”.

Menurut penulis, adanya pengecualian, pembedaan, serta pembatasan tersebut merupakan bentuk diskriminasi dan itu akan menghasilkan ketidakadilan yang pada perkembangannya nanti hanya akan menghasilkan ketidakpuasan yang berujung pada kehancuran.

Menurut Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (3) bahwa Indonesia merupakan negara hukum. Sebagai negara hukum, Indonesia diharuskan memperlakukan semuanya memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum. Menurut A.V Dicey tiga ciri penting negara hukum ialah Hak Asasi Manusia dijamin melalui Undang-Undang, Persamaan kedudukan di hadapan hukum, Supremasi aturan-aturan hukum dan tidak adanya kesewenang-wenangan tanpa aturan yang jelas

Pasal 1 UU No. 1/PNPS/Tahun 1965 bertentangan prinsip persamaan yang ada pada Pasal 27 ayat (1) UUD RI yaitu “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”, Pasal 28D ayat (1) yaitu “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakukan yang sama di depan hukum”, dan Pasal 28I ayat (2) yang menyatakan “setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakukan yang diskriminatif itu”. Dengan adanya pengakuan terhadap keenam agama dan melakukan pembedaan terhadap agama lain, maka sebetulnya negara telah melanggar pasal-pasal yang ada di UUD 1945 tersebut.

Terakhir, yang perlu ditegaskan sekali lagi bahwa negara tidak menjamin keberadaan agama tertentu. Tetapi berdasarkan UUD RI, negara hanya menjamin hak warga negaranya untuk memeluk agama dan kepercayaannya masing-masing.
 
Kalau gitu SKB 3 menteri tentang Ahmadiyah secara hukum gugur dnk?
Di pasal 28 dan 29 jelas tentang kebebasan untuk memeluk agama dan menjelankan ibadah agama nya
 
logikanya sih pancasila mengakomodir semua keyakinan di sini
 
Kalau gitu SKB 3 menteri tentang Ahmadiyah secara hukum gugur dnk?
Di pasal 28 dan 29 jelas tentang kebebasan untuk memeluk agama dan menjelankan ibadah agama nya

Ok sekarang baca yang ini yaaach:

VIVAnews - Mengenai aliaran Baha'i, Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amirsyah Tambunan, mengatakan Indonesia sebagai negara hukum mengatur mengenai agama, dengan tambahan satu agama yang diakui pada zaman Presiden Abdurrahman Wahid yaitu Konghucu.

Menurutnya, masalah agama dan aliran, atau kepercayaan sebaiknya dikembalikan kepada konstitusi, yakni pasal 29 ayat 1 dan 2 serta pasal 28 huruf g UUD 1945. Kemudian, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1965 tentang Penodaan Agama yang mengatur pengakuan negara atas agama.
"Kebebasan agama itu dibatasi oleh undang-undang. Artinya, ketika kita mengatakan agama, keyakinan, itu ada undang-undang, peraturan yang mengatur," ungkap Amir

Dia sependapat bahwa masalah Baha'i perlu dikonfirmasi lebih menyeluruh kepada Menteri Agama, sehingga tidak mudah dikatakan sebuah aliran diformalisasikan menjadi agama tertentu.

"Nanti, semua aliran mengaku agama bagaimana? Ini menjadi pertanyaan semua orang. Saya kira, Menteri Agama akan cermat memperhatikan dan mempertimbangkan peraturan perundang-perundangan yang berlaku," ujarnya.

Sebelumnya, di Istana Negara, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengatakan baru enam agama yaitu Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budha, dan Konghuchu yang diakui di Indonesia.

Ini tambahan lagi....

Payung Hukum Penganut Kepercayaan

Pada tahun 1970, aliran penghayat kepercayaan dihimpun dan dibina oleh pemerintah. Penghayat ini berada di bawah departemen P & K, Direktorat Bina Hayat. Pada tahun 1970 dibentuk HPK (Himpunan Penghayat Kepercayaan) Saat itu jumlah perkumpulan penghayat kepercayaan ada 200 buah. Hingga saat ini jumlah penghayat kepercayaan ini ada jutaan. Pada tahun 1997 pemerintah memutuskan untuk memasukkan aliran kebatinan dan kepercayaan terhadap Tuhan YME ke dalam GBHN 1998.

Para penganut aliran/penghayat kepercayaan kini semakin mendapat ruang di mata hukum. Terdapat beberapa produk hukum yang bertujuan untuk memelihara dan melindungi penganut kepercayaan terhadap Tuhan YME.

Perpres No. 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran dan Pencatatan Sipil, Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2007 dan UU yang menjadi payungnya, yakni UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk), juga memberikan legitimasi bagi penghayat kepercayaan.

Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar) telah menandatangani Peraturan Bersama Menteri No. 43/41 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Kemudian di tahun 2010 Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menerbitkan Peraturan Menteri (Permendagri) No. 12 Tahun 2010 yang antara lain memungkinkan penghayat aliran kepercayaan mencatatkan dan melaporkan perkawinan mereka ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil sekalipun perkawinan mereka dilangsungkan di luar negeri. Bagi penghayat kepercayaan WNA juga dimungkinkan mencatatkan perkawinan dengan menyertakan surat keterangan terjadinya perkawinan dari pemuka penghayat kepercayaan.

Akan tetapi UU Nomor 24 tahun 2013 dinilai oleh penganut aliran kepercayaan sebagai pembatasan terhadap penganut kepercayaan. Dalam UU yang juga dikenal dengan nama Undang-undang Administrasi Kependudukan tersebut salah satunya mewajibkan setiap warga mencantumkan salah satu dari enam agama yang diakui pemerintah di dalam KTP. Pada Pasal 64 ayat (1) UU Administrasi Kependudukan, setiap warga negara harus memilih satu di antara enam agama yang diakui oleh pemerintah sebagai identitas dirinya.

Dalam revisi terhadap Undang-undang Administrasi Kependudukan itu, sebelumnya sempat diusulkan agar warga dibebaskan mencantumkan agama atau aliran kepercayaan mereka. Namun, setelah melalui pembahasan antara pemerintah dengan DPR, warga tetap diwajibkan memilih satu di antara lima agama dalam KTP-nya.

Sementara itu masih ada UU yang menyebabkan penganut kepercayaan sulit untuk mencatatkan pernikahan meskipun sudah ada Permendagri yang mengatur. UU No. 1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama pada penjelasan Pasal 1 UU memang hanya mengakui enam agama di Indonesia, Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu. Sedangkan empat agama lain -Yahudi, Zarazustrian, Shinto dan Thaoism- tidak dilarang beredar di Indonesia sepanjang pelaksanaannya tidak melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Nah.. Kalo soal Ahmadiyah baca yang ini yach suhu....

Mengapa AHMADIYAH dianggap SESAT..??
Tadzkirah adalah sebuah buku yang dianggap kitab suci oleh jemaat Ahmadiyah. Didalamnya Tadzkirah hanya berisi tentang hayalan-hayalan dan mimpi orang yang bernama Mirza Ghulam Ahmad.

Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah telah mengkaji buku ini dan sepakat menyimpulkan bahwa Ahmadiyah adalah organisasi sesat dan menyesatkan.

Selama ini banyak masyarakat yang belum mengetahui alasan mengapa Ahmadiyah dianggap sesat dan menyesatkan. Selain pengakuan Nabi baru yaitu Mirza Ghulam Ahmad, banyak doktrin didalam Tadzkirah nunjukkan ajaran sesat sebagaimana dikutip dari berbagai sumber.

1. Ahmadiyah menghina Allah, dengann mengaku sebagi anak Allah: “Engkau (Mirza Ghulam Ahmad) di sisi-Ku seperti kedudukan anak-anak-Ku, Engkau dari Aku dan Aku dari Engkau.” (Tadzkirah hal 436).

2. Mirza Ghulam Ahmad meyakini menyatu dengan Allah: “Maka Aku melihat bahwa roh-Nya meliputiku dan bersemayam (berada) di badanku dan mengurungku dalam lingkungan keberadaan-Nya, sehingga tidak tersisa dariku satu (atom) pun. Dan aku melihat badanku, ternyata anggota badan-Nya Allah, dan mata-Nya adalah matanya Allah, & lidahnya adalah lidah-Nya pula.” (Tadzkirah hal 196).

3. Mirza Ghulam Ahmad mengaku sederajat dgn ke-Esa-an Allah: “Wahai Ahmad-Ku, Engkau adalah tujuan-Ku, kedudukan-Mu di sisi-Ku sederajat dengan ke-Maha-Esaan-Ku, Engkau terhormat pada pandangan-Ku.” (Tadzkirah, hal 579)

4. Mirza Ghulam Ahmad mengaku lebih sempurna dari Allah: “Nama Mirza Ghulam Ahmad sangat sempurna, sedang nama Allah tidak sempurna.”

5. Ahmadiyah mengkafirkan umat Islam yang bukan non-Ahmadiyah: “Bahwa Allah telah memberi kabar kepadanya, sesungguhnya orang yang tidak mengikutimu dan tidak berbaiat padamu dan tetap menentang kepadamu, dia ituadalah orang yang durhaka kepada Allah dan rasul-Nya dan termasuk penghuni Neraka jahim”. (Tadzkirah, hal 342).

6. Jemaat Ahmadiyah tak boleh salat dengan non-Ahmadiyah: “Sesungguhnya Allah telah menjelaskan padaku, bahwa setiap orang yang telah sampai padanya dakwahku kemudian dia tidak menerimaku, maka dia bukanlah seorang Muslim dan berhak mendapatkan siksa Allah.” (Tadzkirah, hal 600).

7. Ahmadiyah mengklaim Tadzkirah sebagai kitab suci yang paling benar: “Sesungghuhnya kami telah menurunkan kitab suci Tadzkirah ini dekat dengan Qadhian (India). Dan dengan kebenaran kami menurunkannya dan dengan kebenaran dia turun.” (Tadzkirah, hal 637).

8. Mirza Ghulam Ahmad mengaku sebagai Rasulullah: “Dan katakanlah, Hai manusia sesungguhnya saya rasul Allah kepada kamu sekalian.” (Tadzkirah, hal 352).

9. Semua manusia harus tunduk kepada Mirza Ghulam Ahmad: “Kami tempatkan manusia di bawah telapak kakimu.” (Tazkirah, hal 744).

10. Mirza Ghulam Ahmad adalah utusan Allah: “Hai Ahmad, engkau telah dijadikan utusan-Ku.” (Tazkirah, hal 487).

11. Anggota Ahmadiyah akan masuk surga: “Laknat Allah atas orang yang kafir. Diberkahi orang yang bersama-Mu dan orang di sekitar-Mu. (Tazkirah, hal 751).

Semoga membantu :beer:
 
Terakhir diubah:
Bimabet
agama asli indonesia seblum zaman sriwijaya dan majapahit sih kurang tahu ya tapi di zaman sirwijaya sih yang ada bukti otentik sejarahnya tiu agama hi dan bu
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd