Gaudeamus igitur
Juvenes dum sumus.
Post jucundam juventutem
Post molestam senectutem
Nos habebit humus.
Ubi sunt qui ante nos
In mundo fuere?
Vadite ad superos
Transite in inferos
Hos si vis videre.
Vita nostra brevis est
Brevi finietur.
Venit mors velociter
Rapit nos atrociter
Nemini parcetur.
Bulu kudukku merinding mendengar lagu
De Brevitate Vitae, lagu yang selalu dinyanyikan di acara wisuda itu.
Tak terasa sudah satu bulan berlalu sejak pertemuanku dengan Liz, sejak aku menghabiskan malam dalam hujan bersama Senja. Sejak saat itu begitu banyak peristiwa terjadi. Sampai hari ini, hari di mana aku dan ribuan mahasiswa lain sedang menjalani prosesi kelulusan di Auditorium Kampus kami.
“Para wisudawan dipersilahkan duduk.” Kata pembawa acara, seusai lagu dinyanyikan.
Aku mengipas-ngipas dengan lembar susunan acara. Toga yang tebal itu membuatku kepanasan. Lama aku menunggu, sampai akhirnya namaku dipanggil.
“Adipati Jaya Mahardika!”
Aku maju ke podium dengan gagahnya. Menerima ijazah dan bersalaman dengan Pak Dekan. Aku nyengir kuda karena tahu bakal difoto.
Aku melirik ke barisan keluarga wisudawan, mencari-cari Bapak, Ibu, dan Adik-adikku. Namun tempat itu terlalu luas.
Mataku menjelajah lagi ke arah kerumunan orang yang menunggu di sana, berharap menemukan seseorang yang kuharapkan datang hari ini. Ah, harapanku terlalu muluk. Setelah apa yang terjadi, setelah segala hal yang kulakukan kepadanya, mustahil ia datang hari ini.
Aku menghela nafas panjang, sambil mendengarkan sambutan perwakilan mahasiswa yang ber IPK 3,99 itu.
Menjemukan.
Aku memejamkan mataku, menafsir-nafsir takdir, mengira-ngira jarak antara pertemuan dan perpisahan.
Menyakitkan.
Aku kembali tersesat ke dalam ruangan teater imajiner dalam pikiranku. Aku memandangi tumpukan roll film berisi kenanganku, kenangan terakhirku dengannya.
Aku mengambil sebuah roll film, dan memasangnya dalam proyektor imajiner. Perlahan gambaran yang penuh grain muncul dalam benakku.
Kenangan terakhir dengannya.
Nostalgia #7
JOGJA, AU REVOIR
Aku terpaku menatap layar proyektor imajiner, perlahan-lahan mengalun suara piano yang mendayu. Berkelebat imaji Tugu Jogja, dan kendaraan yang lalu lalang.
Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu
Masih seperti dulu
Tiap sudut menyapaku bersahabat penuh selaksa makna
Terhanyut aku akan nostalgia saat kita sering luangkan waktu
Nikmati bersama suasana Jogja..
…berganti pemandangan di perempatan kantor pos besar dan Benteng Vredeburg. Imaji beralih ke warung tenda di pinggir jalan, senyumnya dan mungil tangannya yang menyuapkan nasi ke mulutku….
Di persimpangan, langkahku terhenti
Ramai kaki lima menjajakan sajian khas berselera
Orang duduk bersila
Musisi jalanan mulai beraksi seiring laraku kehilanganmu
Merintih sendiri, di tengah deru kotamu
Imaji terdistorsi, ternyata aku hanya makan seorang diri…
Walau kini kau telah pergi tiada tak kembali
Namun kotamu hadirkan senyummu abadi
Izinkanlah aku untuk selalu pulang lagi
Bila hati mulai sepi tanpa terobati
(Yogyakarta –KLA Project)
Semua imaji berkelebat, sebelum melabur kabur. Berganti dengan gambaran tiang lampu jalan yang bergerak cepat di kiri dan kananku. Juga pemandangan jalan yang berkelok.
Imaji senja yang hampir tenggelam itu masih penuh grain. Sinar matahari di hadapanku membuat flare yang mencuat. sementara telingaku dipenuhi riuh suara kendaraan yang menderu.
Aku sedang memacu mobil di jalanan yang ramai. Di belakangku melaju truk barang, membunyikan klaksonnya hendak menyalipku.
“Jay, hati-hati! Jangan ngelamun! Di bel tuh sama truk!” kata orang di sampingku.
“Oh iya,.. maaf.. maaf..”
Aku memasang sein kiri untuk memberikan kesempatan truk bertuliskan “pra one are you the end tought so peer” itu melintas. Matahari hampir tenggelam, posisinya begitu rendah di cakrawala. Silau, aku menurunkan penghalang sinar yang ada di depanku.
Saat ini aku duduk di belakang setir, mengemudikan mobil di jalan raya antar kota yang menghubungkan Yogyakarta-Magelang. Hujan yang turun semenjak siang hanya tinggal gerimis tipis. Wiper mobil bergerak pelan menghapus tetes air yang selalu menetes, seperti nostalgia.
“Maaf ya, jadi ngerepotin…” Ia mengikat rambutnya yang kini sudah memanjang sepundak.
“Ah, gak papa…” kataku.
Aku meliriknya, wajahnya sudah jauh berubah. Lebih tegar, lebih dewasa.
“Senja gak marah kamu nganter aku ke Semarang?”
“Pasti lah! Haha”
“Jiahkakakaka…” tawanya berderai masih seperti dulu ”terus kamu bilang apa ke Senja?”
“Ponakanku di Korea sunatan, sekalian kumpul trah.”
“Kroya! Emang kamu saudaranya Lee Dong Wuk?”
“Ye, Aku masih sodaraan sama Won Bin! Tahu.”
“Jiahakaka! Tolol!”
“Hehe..” aku tersenyum kecut.
“Maaf ya, udah ngerepotin kamu, cuma gara-gara aku ketinggalan kereta.”
Dari rincian di atas, sepertinya aku tidak perlu menjelaskan lagi siapa orang itu. Dia sekarang tampak berbeda, rambutnya kini sudah panjang sepundak dan diikat kebelakang, namun ia tetap mengenakan pakaian yang terkesan tomboi: celana jins belel, dan t-shirt putih ketat bertuliskan “Skill is Dead!”.
Ya, aku tahu ini memang salah. Aku tidak bisa menolak saat Grace tiba-tiba meminta tolong padaku untuk menggantikannya mengantar Liz ke Semarang. Karena besok, pesawat yang hendak membawa Liz ke Papua via Denpasar sudah harus berangkat, padahal mereka terlambat naik kereta terakhir ke Semarang.
Aku tahu perbuatanku ini akan menemukan konsekuensi di kemudian hari, tapi biarlah. Toh aku tidak berselingkuh, aku hanya mengantar seorang teman. Aku merasa masih ada yang mengganjal di antara aku dan Liz, dan harus diselesaikan dengan segera agar semua bisa lega, setidaknya sebelum ia pergi jauh.
Ya, dengan begini aku dapat waktu lebih banyak untuk membicarakan itu. Namun sudah sepertiga perjalanan, lidahku seperti beku. Setelah apa yang terjadi di antara kami, memang sulit untuk memulai pembicaraan.
Suasana semakin aneh. Aku menyalakan radio.
“Rasa cinta yang dulu tlah hilang
Kini bersemi kembali..
Tlah kau coba, lupakan dirinya
Hapus cerita lalu..”
Anjrit! Lagunya Ada Band! Sahabatku Kekasihku! (what a fuckin title). Lagu ini membuat suasana semakin aneh. Aku mengganti stasiun radio.
“Memang salahku, yang tak pernah bisa
Meninggalkan dirinya tuk bersama kamu…
Walau tuk terus bersama,
kan ada hati yang kan terluka
dan ku tahu, ku tak mau..”
Asu! Lagunya Ahmad Band. Liriknya membuatku salah tingkah. Aku mengganti lagi.
“Ku terjebak diruang nostalgiaaaa…”
Aaaaargh! Aku tak kuat lagi, aku mematikan radio.
“Lagunya aneh-aneh ya..” kataku.
“Hehe..” Liz cuma tertawa kecil.
“Music directornya lagi galau..”
“Iya, kaya aku hehe..”
“Galau napa?” pancingku.
Liz terdiam, ia menempelkan kepalanya di kaca samping, memandangi deretan pedagang arca yang berjajar di pinggir jalan Yogyakarta-Magelang.
“Liz? Kok diem? kalau aku ada salah maafin aku ya, Liz.”
“Aku kali, yang sudah buat banyak salah sama kamu Jay, maafin aku ya...” Liz tersenyum getir.
“Iya..”
“Yang terakhir juga.. yang sama Bang Igo,,”
Masih saja perih setiap mengingatnya.
“Iya, ah sudah lewat juga haha..”
“Hehe,.. iya kamu juga udah dapat gantinya kan?”
“Hehe..”
“Senja imut banget lho, jangan dikecewain yaa..”
“Hehe..”
Wah, kalau Senja tahu aku nganterin Liz ke Semarang, dia pasti kecewa hahai.
Liz menghela nafas, “Yah ini mungkin karma buat aku..” Liz terdiam sesaat, “hanya karena terjebak nostalgia, aku jadi kehilangan orang yang benar-benar sayang sama aku.”
Yak, suasana mulai tidak enak sodara-sodara.
“Eh, ngomong-ngomong nostalgia.. masih ingat gak? Waktu aku ditelanjangin pas nginep rame-rame di rumah Grace?” aku mencoba mencerahkan suasana.
“Oh, inget dong.. yang kamu coli sambil nonton bokep maho itu kan?”
“Itu bukan bokep maho! Itu film Brokeback Mountain! Film oscar!”
“Cie sampai apal sebegitunya..”
“Hahaha asem! Gara-gara itu aku digosipin homo, suram.”
“Hahaha, emang kamu maho!” tawanya berderai seperti biasa.
“Ye, daripada kamu transeksual!” balasku.
Dan kamipun tertawa-tawa mengingat masa lalu.
“Nyalain lagi radionya, Jay!”
Suara Monita Tahalea memenuhi kabin. Liz berdendang-dendang kecil. Aku menginjak gas dalam-dalam, menahan perasaan yang berkecamuk di dadaku. Di kejauhan perlahan-lahan senja tenggelam, berganti langit maghrib yang hitam kemerahan.
Kita pernah ada
Di satu masa bersama
Walau kini tak sama
Jangan lupakan indahnya
Masih selalu ada
Cerita lama dan tawa
Masih tersimpan juga
Sedih saat kau tak ada
Ingat dan teruslah kau kenang-kenang semua
Kata-kata tak perlu kau ucapkan juga
Asal kau terus kau simpan dalam sudut jiwa
Ku ‘kan dapat merasakannya
Ku percaya jalanan kita
Semestinya membawa bahagia
(Monita Tahalea – Ingatlah)
Magelang, 06.35 PM.
Hari sudah malam, kami beristirahat di Magelang, kota di antara Yogyakarta – Semarang. Liz sedang asyik menikmati semangkuk soto ayam ketika hapeku bergetar: My Luv.
“H.. ha.. halo”
aku memberi isyarat Liz untuk diam.
“Iiiih Jay.. jahat bangeeet.. gak sms dari tadi sore” Senja tampaknya ngambek di seberang telepon.
“Ya elah, aku kan tadi nyetir.. gak bisa SMS..”
“Nyetir? Kok gak naik kereta..?”
“Uum.. eh… iya.. naik mobil pakde ku.. sekalian nyetirin keluarga pakde ku yang dari Solo…”
“Aku gak tahu kamu ada pakde di Solo?”
“Umm eh.. ada.. Pakde Bagyo namanya hehe.. sodara jauh.. aku juga baru tahu..”
“Gak peduli! lain kali kabar-kabarin dong.. aku kan khawatir kamu kenapa-kenapa..”
“Iya.. iya sayaaang..”
“Huu.. udah sampai di mana?”
“Di Magelang.. eh.” Wah aku kelepasan
“Emang ke Kroya lewat Magelang?”
Buat yang gak tahu jalan, aku jelasin kalau Magelang dan Semarang itu via jurusan utara dari Jogja, sedangkan Kroya itu jurusan ke barat ke arah Bandung-Jakarta.
“Uh.. eh.. maksudku lagi di Rumah Makan Magelang dekat Kebumen.” Good recovery! Aku memang jenius.
Liz menutup mulutnya, menahan tawa melihat aku yang salah tingkah.
“Jay, kangen nie..” kata Senja.
“Aku juga..”
“Walau kita terpisah jauh, tapi hati kita kan selalu dekat, ai ai ai… ai ai ai.. aishiteru..”
Ternyata aku memiliki pacar seorang alay.
“Errr.. udah ya.. udah diajakin berangkat lagi..”
“Eh iya.. hehe.. dah Ajay.. I love you mmuach!”
“I love you too.. mmmuach!”
Senja menutup telponnya. Tawa Liz pecah, ia tertawa sambil memukul-mukul meja.
“Wakakaka… nggilani tenan kamu Jay!”
“Hehe” aku tersenyum kecut sambil menggaruk-garuk kepalaku,
“Pake mmuach.. mmuach.. dulu sama aku aja gak pakai gitu..”
“Hehehe.. kenapa? Pengin?”
Liz terdiam.
“…. Gak mau! Nggilani!! Hahaha!”
Aku tahu, tawanya yang terakhir tampak dipaksakan.
“Yuk jalan, tar kemaleman sampai Semarang..” kataku
“Yuk…”
“Mas, teh anget 2, nasi soto, gorengan 16.”
“Rp 48.000..” kata Mas dagang soto.
“Liz, pinjam uangmu hehe…”
“Ck. Ck. Ck.. masih aja kere..”
“Hehe…”
Kami melanjutkan perjalanan melewati lereng barat Gunung Merapi. Menaiki lereng gunung ke arah utara. Jalanan cukup lebar dan mulus, namun hari sudah gelap dan lampu penerangan jalan sebagian tidak menyala. Aku harus menyetir dengan hati-hati karena truk dan bus antarkota melaju kencang dari arah berlawanan.
“Jay.. ada nyium bau aneh ga?”
“Ane kentut, wah kecium ya..”
Liz menjitak kepalaku dan membuka jendela.
“Eh, kok aku juga nyium.. kamu kentut ya?” kataku.
“Gundulmu!” Liz tambah mangkel.
“Eh kok kaya bau kemenyan di bakar?”
Belum sempat aku menyelesaikan kalimat, tahu-tahu asap sudah mengepul dari kap mobil Grace.
“Aaaaaaah!” kami berteriak seperti kuntilanak. Buru-buru aku menepikan mobil sambil membuka kap, sontak asap tebal membumbung.
Rupanya air radiator belum diisi, sehingga habis dan mesin kepanasan. Setelah asap mereda, Aku memasukkan air mineral ke dalamnya.
Aku mencoba menstarter mobil. “Lho kok gak mau ya?”
“Eh,, yang bener? Coba lagi, Jay.” Liz agak panik
Aku mecoba lagi, malah terdengar suara ledakan.
“Aaaaa!” aku menjerit histeris.
“Udaaah Jay! Jangan dicoba lagi, tar kenapa-kenapa!”
Kami menelpon Grace, ia menanyakan posisi kami. Kata Grace di Ambarawa ada bengkel 24 Jam. Grace akan menelpon ke sana, sebentar lagi petugasnya akan datang ke tempat kami.
Kami menunggu. Di sekeliling kami tidak ada rumah penduduk, hanya ada hutan di lereng gunung merapi. Sementara di sisi kiri jalan ada lembah yang tajam.
Kami tetap menunggu dengan gelisah.
Liz duduk di pembatas di tepi lembah. Tubuhnya diterpa lampu kendaraan berat yang melintas buru-buru . Malam semakin dingin. Liz mememeluk lengannya erat-erat, sepertinya kedinginan. Aku membuka jaketku dan menutupi punggungnya.
“Klise!” jerit Liz.
“Hahaha, apa yang gak klise di dunia ini.”
“Gak mau! Gak mau! Nanti aku gatel-gatel hahaha.”
Liz mencoba melepas jaket, namun aku berkeras.
“Ude, dipake aja napa?” aku memaksanya.
“Kalo aku gak mau?”
“Nanti kamu masuk angin”
“Kalo aku masuk angin?”
“Aku sedih.”
Liz terdiam sebentar
“Klise! Najis ah! Hahaha! But nice try!” ia menyenggol lenganku.
“Hehe” aku cuma nyengar-nyengir.
Aku duduk di sampingnya.
Musim itu seharusnya masih musim penghujan, namun segala kesedihan yang terkandung awan seolah sudah dicurahkan dalam hujan siang tadi, sehingga malam itu langit cerah tanpa awan.
Malam itu, aku dan Liz memandangi langit yang tak berawan. Milyaran bintang berkelap-kelip dengan indah di tengah belantara semesta. Aku dan Liz seperti sebutir debu yang tersesat di antaranya, diombang-ambing dalam lautan ketidakpastian.
Aku menghela nafas, perasaan ini sepertinya pernah kualami sebelumnya. Liz mesti merasakan hal yang sama.
Tanpa sadar Liz menyandarkan kepalanya di pundakku.
“Senja! Maaf ya.. aku pinjem Jay sebentaar! hehe” Liz berteriak ke arah Jogja, pura-puranya bicara pada senja.
“Pinjem gak boleh! Sewa, 1 jam 10 ribu” aku menirukan suara Senja.
“Hpmh.. hahaha!” Liz tertawa sambil memukul-mukul dadaku.
Aku memeluk pundak Liz. Hangat sekali.
Liz bersandar di pundakku, ia tersenyum. Indah, jauh lebih indah dari semua bintang itu.
“Sudah lama ya..” kataku.
“Iya..”
“Kangen..”
“Aku juga hehe..” Liz mempererat pelukanya.
Dalam sekejap kenanganku bersama Liz, yang kemarin malam sudah kukubur rapat-rapat, kembali muncul. Kenangan itu seperti air bah yang meruah, tanpa bisa kukendalikan lagi.
Namaku Eliza, panggil aja Liz” katanya.
“Oh, ane Jaya, tapi panggil aja Jay, Ajay, Vijay, Inspektur Vijay juga boleh..”
“Hehe.. kok pakai ‘ane-ane’ keturunan arab ya?”
“Haha.. ane dari Korea kok”
“Bohong”
Kenangan saat aku pertama bertemu dengannya muncul ke permukaan. Dadaku sesak. Aku menghela nafas panjang. Liz menoleh ke arahku.
“Jay, kamu kenapa?”
“E.. enggak..”
Mata kami bertemu, wajahnya cukup dekat sehingga aku bisa merasakan nafasnya. Liz, sudah sekian lama semenjak saat itu. Belum pernah lagi kami sedekat ini.
“Liz sebenarnya aku sayang sama kamu” kataku pada akhirnya, sambil mengunyah nasi goreng.
“Hehe.. aku juga sayang kamu kok Jay” mulut Liz penuh dengan kerupuk.
“Liz.. kamu mau ga, jadi pacar aku?”
Liz terdiam, menyelesaikan menelan kerupuknya.
Kenangan itu, kenangan saat aku pertama menyatakan cintaku padanya!
“Awas kesambet” Liz tersenyum. Indah, cantik sekali. Jauh lebih cantik ketika masih pacaran denganku.
“Iya, habis ente.. eh kamu tambah… cantik…”
“Huu.. inget istri menunggu di rumah..”
“Hehe..”
Aku membelai pipi Liz, masih lembut seperti yang dulu. Liz menghela nafas sebelum memejamkan matanya, membiarkan aku mendekat ke wajahnya.
Aku mengecupnya di bibir.
“Wah, kok jadi gini..” kataku.
“Ini namanya temen ‘makan’ temen” kata Liz
“Minumnya Teh Botol Sosro” jawabku asal, menirukan iklan yang lagi ngetrend waktu itu.
“Hahaha”
“Hehe”
Aku mengulum bibir bawahnya, Liz membalas ciumanku. Kenangan saat pertama kali berciuman dengannya muncul ke permukaan. Aku membelai rambut Liz sambil terus menciumnya. Liz mendekapku erat, seolah tidak mau melepaskanku.
Bibir yang lembut itu, hangat tubuh itu semuanya mengoyak batasan antara realitas dan imajinitas, batas antara masa lalu dan saat ini.
Maaf ya Jay, kayaknya kita gak bisa sama-sama lagi”
“kenapa? Apa ada yang lain?”
“Engak, Jay..”
“Terus?”
“Aku.. belum pantas buat ini..”
“Tapi..”
“Jay, kamu terlalu baik buat aku.”
Perih, aku mendekap tubuh Liz erat. Aku tak ingin kehilangannya lagi.
“Eh, kamu masih sama Senja? Tiba-tiba Liz bertanya.
“Emm.. masih.. “Aku terdiam lama. Jujur saja, tidak enak hati aku menjawab pertanyaanya.
“Hehe yang langgeng ya kalian” Liz tersenyum, tapi seperti dipaksakan
Ingatan saat kami bertemu di hari hujan itu muncul. Mengingatkanku akan satu hal: aku-juga-mencintai-Senja.
Liz mendorong tubuhku, wajahnya tampak sedih.
“Ini salah, Jay!”
“Aku tahu..”
“Aku.. Jadi merasa bersalah sama Senja..”
Kali ini aku yang terdiam lama. Kami saling membisu, membiarkan satu rombongan biker berlalu kencang di belakang kami.
“Dunia gak adil ya..” kataku.
“Kenapa?”
“Waktu aku cinta mati sama kamu, kamu masih sayang sama Bang Igo.”
“Hehe.. waktu aku sudah bisa ngelupain bang igo.. kamu..”
“Jadian sama senja.. haha”
“Haha..” kami menertawakan nasib kami.
“Ironis-“
“-ironis.”
Ujar kami bersamaan.
Kami seperti pagi dan sore yang selalu mengejar satu sama lain, namun tak juga bersua.
“Dunia gak adil ya..” kat Liz pelan.
“Iya..”
“Gak adil, bener-bener gak adil… Huk.. huk..” Liz mulai terisak.
Aku hanya bisa memeluknya sepeti dulu.
“Aku sayang kamu.. Jay.. aku sayang kamu.. huk.. huk..”
Aku membelai rambutnya, seperti dahulu “aku juga, aku gak pernah bisa ngelupain kamu.”
Nostalgia seperti pisau tajam yang disayatkan ke hatiku.
Tangisnya pecah, tangisku pecah.
Kami berpelukan di tengah kegelapan. Kami seperti sepasang bayangan di tengah labirin takdir yang menyesatkan.
**********
Ambarawa 08.04 PM.
“Sudah sampai mana, sayang?” terdengar suara Senja di telepon.
“Baru sampai Ambarawa..”
“Hah? Kok nyasar sampai Ambarawa?”
“Eng.. ini… Hotel Ambarawa, udah lewat Tegal..”
“Hah?! Hotel?!”
“Iya! Mobil pakde-ku kehabisan air radiator, mesinnya kepanasan, mogok, jadinya kami nginap di hotel.”
Aku tidak sepenuhnya bohong kok! Karena mobil masih harus menunggu perbaikan –setidaknya sampai pagi. Kami memutuskan untuk bermalam di hotel di daerah Ambarawa.
Hotel itu sudah tua, mungkin peninggalan belanda. Jelas terlihat dari perabotnya yang sangat retro, seperti dalam film-film era tahun 70’an. Lampu 15 watt berpijar dengan malas di atap, kadang meredup akibat tegangan yang tidak Stabil. Sinarnya yang berwarna oranye dihalangi kipas angin usang yang menempel di langit-langit di dekatnya, menimbulkan ilusi optik berupa bayangan yang bergerak cepat di seantero kamar.
Di ujung kamar, Liz juga menelpon. Ia duduk di atas ranjang besi usang, sepreinya baru dicuci, namun tampak kecoklatan karena usia.
“Pa,.. Liz telat sampai Semarang nie.. Mobilnya mogok.”
Liz memainkan ujung rambutnya.
“Iya… Liz nginep di hotel… ada… teman…” ia terdiam “cowok..” ia terdiam lagi mendengarkan ayahnya berbicara di telpon..” Iiiih, sebegitunya, Liz kan udah gede, lagian temen Liz gak suka cewek kok! Dia sukanya cowok-cowok yang tegap berbulu.”
ASU!
“Jay.. kok diem?”
“Eh, iya Senja?”
“Itu suara siapa di belakang? Kok kaya ada suara cewek?”
“Nganu.. nganu.. itu suaranya Bu Lik Sri..” aku berbohong.
“Oh.. kamu gak lagi sama Liz kan?”
Jantungku serasa mau copot.
“Apa? Alis? Bu lik Sri alisnya asli kok! “ aku pura-pura tuli.
“Liz!”
“Oh, di sini memang tegangan listriknya naik turun.. suram..”
“Ih, ajay! Liz!”
“Ah, kamu bilang apa? Maaf-maaf di sini sinyalnya jelek! Udah ya.. tar sms-an aja..”
“Jay?”
“I love you.. mmmuach!” aku menutup teleponku.
Liz tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Aku menghempaskan tubuhku ke kasur, sambil mengetik SMS buat Senja.
“J4y c@p3 nY, s0Q sMz-n gY y4h. “
Alay juga punya perasaan.
Liz membaringkan kepalanya di sampingku.
Kami sudah dewasa, kami mengerti konsekuensi dan resiko yang jelas apabila dua orang berbeda jenis kelamin berada dalam dalam satu kamar yang sama. Yah, walaupun kondisi yang sama dengan jenis kelamin yang sama juga tidak mengurangi resiko tersebut, ngerti?. Ah, sudahlah tidak usah dibahas.
Kami berbaring bersisian sambil memandangi kipas angin yang bergantung tepat di atas kami. Kipas itu berputar resah, seperti putaran roda kehidupan, seperti siklus pertemuan dan perpisahan.
Aku memegang tangan Liz, ia tidak menolak.
“Ini.. Salah.. Jay..”
“Banget…”
“Aku merasa berdosa.. bersalah sama Senja..”
“Kamu kira aku enggak?”
Lama kami terdiam.
“Besok kamu sudah gak di sini, Liz.”
“Iya, aku pasti bakal kangen kamu..”
“Aku juga..”
“Kisah kita sedih banget ya..”
“Iya..”
Aku berbalik ke arah Liz, berbaring dengan posisi menyamping. Wajah Liz memandang kosong ke langit-langit, dadanya yang terbalut t-shirt putih naik-turun. Galau, namun kegalauan yang menawan.
Aku memandangi wajahnya yang kini tampak semakin cantik. Aku membelai wajahnya dengan punggung tanganku.
Liz diam saja, ada setitik air menetes dari sudut matanya, jatuh menuruni pipinya yang bulat – seperti pipi Senja.
Liz menangis. Aku menyeka air matanya, membelai rambutnya. Liz memegang tanganku, ia berbalik dan menangis di pelukanku.
“Jay.. huk.. huk.. huk..” ia sesengukan di dadaku.
“Cup cup..” ah, kata-kata yang bodoh
“Aku sayang banget sama kamu. tapi.. tapi..huk.. huk..” kemudian tangisnya pecah dalam pelukanku.
“Aku juga..”
“Lama banget aku nunggu hari ini.. huk.. huk..”
Malam itu, sekali lagi Liz menumpahkan segala kesedihannya. Dan aku, apa yang bisa orang bodoh ini lakukan selain menampungnya? Aku memeluknya erat, tubuhnya berguncang-guncang hebat dalam pelukanku.
“Aku masih sayang kamu, Liz..”
“Aku juga Jay.. aku juga..”
Wajah kami begitu dekat, sampai aku bisa merasakan pipinya yang basah. Aku membenamkan wajahku ke atas wajahnya. Liz menoleh, bibir kami bersentuhan.
Aku mengecupya. Liz menyambut kecupanku.
Kami berciuman di dalam resah, di bawah derau kipas angin yang gundah. Kami bergumul sengit, seperti halnya batin kami yang bergulat dengan kenyataan bahwa ini salah, bahwa aku mencintai Senja, namun aku juga masih mencintai Liz!
“Mmmmh” Liz menciumku dengan penuh emosi.
Ini salah Jay, ini salah! Kamu sudah mengkhianati Senja!
“Mmmh” aku melumat bibir Liz.
Tapi besok Liz sudah pergi jauh!
Aku membiarkan naluri dan perasaan yang memutuskan. Segala jarak, segala kerinduan selama ini seolah dibayar lunas, tuntas oleh cumbu yang menggebu.
Sepasang tubuh saling mencumbu, melepaskan segala kerinduan di atas dipan yang berderit derit. Tubuh kami saling menghimpit dan saling membelai.
“Mmmmh” Liz mendesah di wajahku, nafasnya yang harum memenuhi paru-paruku.
“Liz.. mmmh”
Bibir Liz masih seperti dulu, lembut dan menghanyutkan. Aku menghirup nafas dalam-dalam, aroma tubuhnya, ah, begitu membangkitkan kenangan.
Aku menciumi leher Liz, begitu mulus begitu harum. Bibirku bergerak pelan di atas kulitnya yang halus, sambil sesekali menyapukan lidahku ke atasnya.
“Ssssh..” Liz mendesis, tubuhnya sedikit menegang. Liz mendekap kepalaku, untuk mencumbunya lebih jauh lagi.
Aku meraih payudara Liz dari luar kaus putih yang dikenakannya, meremasnya. Aku masih bisa merasakan spons yang menutup payudaranya.
Nafas Liz semakin memburu, ia mengarahkan kepalaku ke bawah. Aku membenamkan wajahku dari luar kaus yang dikenakan Liz, menggigit payudaranya dari luar, sehingga menimbulkan bekas basah di atas tulisan “Skill is Dead”.
“Aaa..” Liz menjerit pelan saat aku menggigit di atas putingnya.
Kedua tanganku bergerak membelai punggungnya, dari bawah-ke atas. Begitu berulang-ulang sambil membenamkan kepalaku di dada Liz dengan ritme yang sama.
“Aah.. aah… aah…” Liz mendesah seperti sulit bernafas saat aku memeluknya secara berirama.
“Hah.. haa.. haa. H.. h..” Nafas Liz semakin memburu. Aku meliriknya, wajahnya sudah sayu, penuh dengan birahi yang tertahan.
“Mmmmh!!” Liz menghisap bibirku kuat-kuat sehingga sebagian saliva-ku memasuki mulutnya.
“Mmmh!” aku menjulurkan lidahku, membelai bibir Liz. Liz membuka mulutnya, menghisap lidahku. Disambutnya ujung lidahku dengan ujungnya.
“Mmmhhh..” Aku memejamkan mata, menikmati sensasi ketika lidah kami saling mengelus dan membelai.
Desah nafas Liz semakin berkejaran, bercampur dengan deru kipas angin yang seperti mau mampus.
Aku menelusupkan tanganku ke balik kaus Liz, menyusuri perut dan punggungnya. Tanganku bergerilya, mencari kait BH Liz.
Liz tersenyum, ia mendorong tubuhku dan duduk di atasnya. Ia mengangkat tanganya membuka sendiri kausnya. Sesaat kemudian kaus putih “Skill is Dead” itu sudah tergeletak di tergeletak di lantai.
Lampu 15 watt dilangit-langit berpendar redup, tanda tegangan sedikit turun. Cahayanya yang kekuningan jatuh di atas tubuh Liz yang ditutup BH berwarna hitam.
Liz meraih kebelakang punggungnya, membuka kait BH-nya sendiri. Tak sampai sekejap mata, benda itu sudah menyusul kaus-nya di lantai.
Aku menelan ludah. Payudara itu masih seperti dahulu, bulat sempurna. tidak berubah seolah tidak ada yang menyentuhnya selain aku.
Liz tersenyum nakal. “do you miss this?” ia memainkan putingnya yang berwarna coklat muda dan sudah mengeras.
“Umm… y-yes…”
Liz menempelkan dadanya di wajahku. Aku menggigitnya. Liz menjitakku.
“Kangeeeen… Habis nggegemesin banget hehe”
Ya, aku benar-benar merindukan menyusu pada Liz. Aku menghisap dan menjilati putingnya. Lahap, seperti anak yang tidak mendapat ASI selama bertahun-tahun.
“SSSh… oooh! Sssssh…. Oooooh!”
Liz mulai mendesah desah saat aku menghisap putingnya dan kulepas, kuhisap-kulepas, begitu berulang-ulang seolah bermain dengan birahi-nya.
“Ooooh! Ooh! Oooh!” Liz mulai menjerit-jerit sambil membekap kepalaku.
Liz mulai dimabuk birahi, tangannya meraba-raba kemaluanku yang menegang dari balik celana Jins ang kugunakan. Aku membantunya, aku membuka sabuk dan reitslitigku, sehingga Liz leluasa meraba penisku dari balik celana dalamku.
Tangannya yang lentik membelai kemaluanku, menyelinap ke balik celana dalam, dan..
“Ooooh!” aku melolong, jemari Liz memijit-mijit selangkanganku. Birahiku membuncah, aku meraba kemaluan Liz, meraih-raih Sabuk dan reitslitingnya.
Liz paham niatku, ia berguling ke sampingku, dan membuka celana jins belel-nya dengan cepat. Begitu juga aku, meloloskan kaus dan celanaku, dan mencampakkannya ke lantai.
Aku langsung menindih tubuh Liz yang setengah telanjang, dan melumat bibirnya.
Tubuh kami yang tinggal terbalut celana dalam saling berhimpitan. Naluri primata-ku memerintahkan untuk menggerakkan pinggul, sehingga penisku yang tegang menggesek vagina Liz dari luar celana dalam.
“Mmmh… Ke bawahin dikit Jay..”
“Di sini?”
Liz mengangguk lemah, wajahnya sudah diwarnai birahi.
Aku menggerakkan pinggulku. Liz memejamkan matanya.
Kemaluan kami saling menggesek meski terhalang dua lembar kain. Aku merasakan vagina Liz yang membasahi celana dalamnya.
“Mmmh.. ooh! Ooh!”
“Ugh..”
Sebenarnya aku kurang menyukai petting, karena menyebabkan penisku terjepit, pernah juga keseleo. Tapi biarlah, selama Liz menikmatinya. Melihat wajahnya yang merona membuatku ingin membahagiakannya, meski untuk yang terakhir kali.
“Oooh! Oooh! ooH” Liz tampak menikmati permainanku.
“Enak?”
“Banget.. ooh! Ooh!”
“Mmmh..”
Aku melumat bibirnya.
“Mmmh..”
“Mmmhhh…”
“Masukin Jay h h. h..…”
Liz tampak tersenggal, sepertinya ia sudah tidak dapat menahan birahi lebih lama lagi.
Liz mengangkat pinggulnya, dan menurunkan celana dalamnya dengan cepat.
Lampu 15 watt itu berkedip, namun mataku tidak. Liz mencukur habis bulu-nya, sehingga vaginanya polos dan mulus seperti bayi.
Aku menelan ludah, belahan itu sungguh menggoda, seperti marshmallow. Aku menerkam vagina Liz, menjilatinya seperti kucing.
“Jay! Kamu ngapain?! Aaah!! Aah!!”
Liz tampak terkejut, ia mendorong kepalaku.
“Eh?”
“Hah.. h.. Langsung aja…”
Ya sudah, aku melepas celana dalamku, semetara Liz membuka pahanya lebar-lebar. Aku dmengambil posis berlutut di antara paha Liz.
Aku memandang mata Liz lekat-lekat, wajah itu, astaga aku ternyata tidak pernah bisa berhenti mencintainya.
Aku mengecup bibirnya sebelum melesakkan kejantananku ke dalam tubuh Liz. Liz memejamkan matanya, sambil mendesis.
Selama beberapa detik aku membiarkan kejantananku berada di dalam liang Liz, membiarkan dindingnya yang masih saja sempit, memijatku perlahan.
Dalam situasi ini, aku bisa merasakan hanat tubuhnya, dada Liz yang naik turun, dan jantungnya yang berdetak-detak.
Mata kami saling menatap, membuat kesepakatan untuk saling memompa.
“Ah…”
“Ha.. h.. h..”
“h.. h.. “
“h..h..”
Untuk sesaat hanya terdengar suara nafas yang memburu dan ditimpali suara kipas angin diatas. Sesaat kemudian suara itu berganti denga suara desah dan erangan.
“Ah!
“Aaaa..”
“Uuuuh..”
“Ahhh..”
“Ah…”
Membuatku semakin bersemangat menggenjot pinggulku, sehingga menimpulkan suara paha yang beradu.
“Plak! Plak!”
Liz memelukku erat, melingkarkan pahanya di pinggulku.
“Ugh!” aku merasakan geli yang amat sangat di sekujur kejantananku. Meki liz begitu hangat, begitu nikmat, begitu memabukkan
“Aah! Aah!” Liz menjerit saat aku menghujamkan kejantananku sekuat tenaga. Wajahnya begitu cantik, bertambah cantik apabila dimabuk birahi. Aku mengulum bibirnya.
“Mmmh!” kami berpagutan sambil menghisap.
“Bbbbrrt…” HP-ku bergetar-getar di atas meja di samping kasur
Mungkin Senja menelponku. Aku tak menghiraukannya, aku terus memompa.
“Bbbbrrt… Brrrt.. brrrt…. ” HP-ku terus bergetar-getar
“Jay.. h.. h.. ga diangkat?”
“H.. h.. h… ga usah..” Aku terus mencumbu Liz
“Brrrt… brrrt bbbrttt” HP terus bergetar, merusak konsentrasi kami. Aku meraihnya dan me-reject panggilan. Aku kembali memompa.
“Bbbbrrt… Brrrt..” HP-ku kembali bergetar.
“Angkat Jay..”
“Gak usah..”
“Angkat..”
“Ga..”
“Angkat ga!” Liz setengah berteriak, ia mendorong tubuhku kuat-kuat.
Aku mengangkat telepon dengan kesal. Ternyata benar Senja, ia tidak bisa tidur karena kangen kepadaku. Aku berdiri mondar-mandir sambil membujuknya untuk tidur. Sementara Liz yang masih telanjang meringkuk di ujung dipan, memandangi jendela dengan tatapan nanar.
Begitu telepon ditutup, aku meloncat ke atas ranjang, namun Liz menepis tanganku.
“Jahat, kamu Jay!”
“Hah?”
“Kamu Jahat! Kamu sudah jahat sama Senja!”
Liz benar.
“Tapi aku cinta kamu L-“
Aku belum sempat menyelesaikan kalimatku, ketika tamparan keras mendarat di pipiku.
“KAMU GA PUNYA HAK BUAT NGOMONG GITU!” Liz berteriak.
“Aku memang sayang kamu!” jeritku
“AKU JUGA SAYANG KAMU, TAPI AKU SUDAH GAK PUNYA HAK UNTUK ITU!!” Liz berteriak histeris sebelum menangis sendiri. Aku membelai wajahnya, namun Liz menepis tanganku kasar. Aku memaksakan memeluknya, Liz meronta namun akhirnya ia menyerah. Liz menangis dalam pelukanku.
**********
Malam semakin dingin, seperti suasana dalam kamar itu. Liz meringkuk di dekat jendela sambil memandangi kabut tipis yang mulai turun di luar sana.
Aku duduk di lantai di seberang kamar, menyalakan sebatang rokok. Aku menghembuskan asapnya ke langit-langit, membiarkannya dihapus oleh putaran kipas angin.
“Kamu.. sayang Senja?” tanya Liz.
“Sayang..”
“Cinta?”
“Cinta” jawabku mantap.
“Kalau gitu, kamu gak boleh kaya aku Jay…”
Kami terdiam, hanya ada suara putaran kipas angin.
“Dulu, karena tidak bisa ngelupain Bang Igo, aku sudah nyakitin kamu, kan?”
Aku diam, menghisap rokok dalam-dalam, abunya jatuh ke lantai.
“Aku.. sudah belajar banyak hal dari itu…”
Aku masih diam, menghembuskan asapnya ke udara, sehingga kamar itu dipenuhi bau rokok.
“Kita… tidak boleh terjebak dalam nostalgia, Jay…”
Liz benar.
Liz bangkit dan duduk di sampingku. Ia mengambil sebatang rokok dan menyalakannya.
“Aku, gak tahu kamu merokok?” kataku.
“People change..” Liz menghisap rokoknya dalam-dalam.
“Sejak kapan?”
“Sejak aku putus sama kamu..” Sahut Liz.
“Jangan ngerusak diri, Liz” aku kasihan padanya.
“Biar!”
Aku merebut rokok Liz dan mematikannya, begitu juga rokokku. Liz tampak kesal.
“Nah, siapa yang gak konsisten sama kata-katanya sendiri?” tantangku.
“Maksudmu?”
“Siapa yang gak bisa keluar dari masa lalu?”
Liz terdiam. Ia menyandarkan tubuhnya dilenganku.
“Kita semua… terjebak dalam nostalgia…” kataku.
“Iya..” Liz menyahut lirih.
“Kenapa yaa..” aku bertanya pada diriku sendiri.
Kami terdiam, Liz merebahkan kepalanya di pundakku. Aku menggenggam tangannya. Aku memejamkan mata, mengingat setiap kenangan dengan Liz.
“Namaku Eliza, panggil aja Liz” katanya.
“Oh, ane Jaya, tapi panggil aja Jay, Ajay, Vijay, Inspektur Vijay juga boleh..”
“Hehe.. kok pakai ‘ane-ane’ keturunan arab ya?”
“Haha.. ane dari Korea kok”
“Bohong”
Sambil menunggu pesanan datang. Aku iseng-iseng melipat tissue makan menjadi bunga.
“Bunga buat tuan putri…”
“So sweet banget..”
“Ya iyalah, Ajay: tampang gorilla hati Raisa”
Aku melingkarkan tanganku di pinggangnya. Liz meletakkan tangannya di dadaku. Aku menundukkan kepalaku, sehingga keningku dan Liz beradu.
“You came a long.. just like a song…” aku menyanyikan lagu buat Liz.
Liz menoleh ke arahku dan tersenyum, kemudian ia menyandarkan kepalanya di dadaku, memelukku erat.
“You brighten my day…”
“You know I can’t smile without you… I can’t lough.. I can’t sing.. I find it hard to do anything..” Kami bernyanyi sambil berdansa pelan. Berputar-putar di
antara angin sore yang sejuk.
“Karena kenangan itu indah..” aku mejawab pertanyaanku sendiri
Liz terdiam dan mulai menangis, “indah.. kenangan sama kamu memang indah, Jay..”
Dan semua kenangan berputar seperti film. Sementara kipas angin terus berputar seperti roda takdir Clotho, Lachesis, dan Athropos. Malam itu dipenuhi dengan percakapan sepasang insan. Kami saling berwacana dan berkontemplasi. Berbincang mengenai takdir, mengenai mimpi, mengenai masa yang tak dapat diputar ulang. Malam itu kami menangis, tertawa, melepas segala emosi ke udara.
“kenangan itu indah, tapi esok hari bisa jadi lebih indah.” Ucap kami bersamaan.
Kami tersenyum, menertawai takdir yang mempermainkan kami. Memang perpisahan memang sudah tidak bisa dielakkan, tapi inilah kenang-kenangan terakhir dari kisah kami.
My last night here for you
Same old song, just once more
My last night here with you
May be yes, may be no…
Aku memandangi wajah Liz lekat-lekat, aku sangat mencintainya. Aku mengecup keningnya, Liz tersenyum. Aku mengecup bibirnya, merasakan lembut dan hangatnya, mungkin untuk yang terakhir kali.
Malam itu kami bercinta untuk terakhir kalinya, seolah menghapus jarak yang hilang selama ini. Aku memejamkan mata, membiarkan nafsu dan emosi mengambil alih.
Aku membiarkan tanganku bergerak, membelai sekujur tubuh Liz, menyusuri lekuk tubuhnya. Aku merasakan birahi yang menggelegak, bergolak-golak dalam dadaku.
Aku memejamkan mata, melarutkan diri dalam nafsu yang gemuruh.
Sementara kipas angin di langit-langit berputar resah, tidak sanggup mendinginkan udara yang memanas oleh nafas kami.
“H.. h… h…”
“Hah.. h.. h..”
Pengap, tubuh kami membasah oleh peluh.
“I love you, Liz..”
“I Love you, Jay..”
“Hmmh..”
“Mmmh..”
Aku melumat bibir Liz, menghisapnya kuat kuat. Kami berpagutan sambil berpelukan di atas ranjang. Kami saling menghisap, lidah kami saling membelit dan membelai.
Hangatnya, lembutnya, mungkin besok aku tidak akan bertemu dengannya lagi.
Resah itu begitu entah.
Kami bergelung dan bergumul di atas ranjang reot di kamar hotel itu, sehingga menimbulkan bunyi berderit-derit.
Sekarang Liz ada di atasku, ia menciumi wajahku dengan emosional. Pingulnya bergerak-gerak, sehingga kejantananku menggesek di selangkangannya.
Nafas Liz memburu di wajahku, wajahnya sudah merona merah.
“H.. h.. h..” Liz menatap mataku dalam-dalam seolah menembus ke relung hatiku.
Aku sayang kamu Liz.
Kejantananku memasuki rahim Liz, seperti menjelajahi ruangan penuh kenangan yang misterius.
“Ssssh… hhh..” Liz mendesis, saat kejantananku bergesekan dengan dinding vaginanya.
Begitu.
Sempit.
Basah.
Hangat.
Geli.
Ngilu.
Rindu.
Pilu.
Semua membaur seperti seribu perasaan yang bergolak di hatiku.
Lampu berkedip pelan, memulaskan warna kuning ke sekujur tubuh Liz yang penuh keringat. Aku memandangi wajahnya yang sayu, seluruh lekuk tubuhnya, sepasang payudara yang menggantung indah.
Liz melepas ikat rambutnya, ia menggerakkan kepala, mengibaskan rambutnya di udara. Ia tampak begitu menawan.
Liz memandangi mataku lekat-lekat. Kini rambutnya tergerai, menutupi pundaknya.
Ia tersenyum, sebelum menggerakkan pinggulnya.
“Uuumh…” Liz memejamkan matanya.
Malam itu kami bersetubuh. Menyatukan dua tubuh yang berbeda, dua jiwa yang berbeda, menjadi satu. Membaurkan segala emosi dan segala kerinduan.
“Jaaah!! Aaah!”
“Liiiz”
“Oooh ooh! Ooh! Ooh!”
“Uggh! Uugh!”
“Ooooooh!”
Liz menunggangi tubuhku dengan emosional, dadanya berguncang-guncang hebat di depanku.
Liz memutar-mutar pinggulnya, kadang ia dengan sengaja mengkontraksikan dinding-dinding vaginanya.
Aku tidak bisa menahan sensasi geli ini.
“Lizz.. oooh” jerit...
“kenapa ah.. h.. h..”
“J-jangan.. oooh!”
“Hah.. hah.. oooh” Liz terus memompa dengan kencang.
“Nanti aku.. ooh! Keluar duluan!” jeritku.
Liz tetap menungganiku seperti kesurupan. Sensasi geli ini, pijatan dinding vagina Liz, membuatku tidak bisa bertahan lebih lama lagi.
“Liiz! Aku sudah mau.. aaaah!”
“Sshh.. Oooh! Tahan Jay! Aku juga bentar lagi! Aaah!”
Ada yang menggelegak, hendak meledak. Aku merasakan pinggulku bergerak diluar kesadaranku.
“Aaaaah!” aku berteriak.
Namun Liz terus memompa, seakan tidak peduli. Batangku masih tegak, mungkin untuk beberapa saat lagi. Liz tidak mau menyianyiakan kesempatan ini. Ia terus memompa dan memompa.
“Aaaah aaah aaah aaah aaaaa” Ia mulai meracau.
Wajahnya yang basah sudah merona merah, sayu, penuh dengan birahi. Liz memejamkan matanya, meletakkan tangannnya di belakang kepalanya.
“Aaaaaaaaaah!” Liz berteriak panjang. Dadanya membusung, punggungnya melengkung. Sesaat kemudian seluruh tubuhnya bergetar hebat, menggelinjang ke sana kemari.
Liz ambruk ke atas dadaku dengan gerakan Slow motion.
“Hhh.. h… h… h…”
Kipas angin berputar resah, mengiringi nafas kami yang terenggah.
Aku memeluknya, membelai rambut Liz yang kini sudah memanjang.
Lama kami berpelukan, kami membiarkan angin yang berhembus dari kipas angin membelai tubuh kami yang telanjang.
“Jay..”
“Yah…”
“Aku sayang kamu..”
“Aku juga…”
Aku mengecup kening Liz.
“Jay, kamu harus janji satu hal..”
“Iya, Liz?”
“Kamu.. jangan pernah ngecewain Senja…”
Liz tersenyum, namun kali ini bukan senyum yang dipaksakan.
“Pasti..” Jawabku
Mata Liz tampak berbinar cerah.
“Kamu juga harus janji, Liz.. kamu harus bisa move on..”
“Pasti dong.. emang cowok cuma kamu doang haha..”
“Hehe… Populasi cowok sekarang dikit lho, makanya banyak yang poligami.. kamu.. hehehehe..”
Aku jadi membayangkan punya istri dua.
“Wek! Gak mau! Mending aku sama cewek aja”
“Apa?”
“Hehehe” Liz tersenyum penuh misteri
What the…
“Liz..”
“Apa?”
“Kamu mau..?”
“Poligami? Ogah!”
“Bukaaan! Kamu mau berapa ronde?”
Liz menutup wajahku dengan bantal.
“Dasar cowok mesuuuuuum!!”
“Hahaha”
Tawa kami berderai, seolah lupa akan perpisahan yang menanti.
“12 Rondeee!!!”
“What?! Patah perkakas ane nanti!!”
Ambarawa 04.04 AM
Aku terbangun saat HP-ku bergetar. Telepon dari bengkel, mobil kami sudah bisa digunakan.
Aku mengecup pipi Liz yang terbaring di sampingku. Ia mengeliat malas, sambil tersenyum. Aku mengecup bibirnya.
“Yuk.. dah beres nie mobilnya”
“Mandi dulu?”
“Hehe.. boleh..”
Dingin air di pagi buta seolah menghapuskan rasa sakit selama ini. Rasa sakit karena kenangan dan rindu.
Aku membiarkan air membasuh tubuh Liz, membuatnya berkilat-kilat penuh titik air.
Aku melingkarkan tanganku di pinggangnya. Liz meletakkan tangannya di dadaku.
“You came a long.. just like a song…” aku menyanyikan lagu buat Liz.
“Hahaha lagu ini!!!” Liz tampak berbinar.
“Hehe, masih ingat?”
Liz mengangguk. Liz menoleh ke arahku dan tersenyum, kemudian ia menyandarkan kepalanya di dadaku, memelukku erat.
“You brighten my day…” sahutnya.
“You know I can’t smile without you… I can’t lough.. I can’t sing.. I find it hard to do anything..” Kami bernyanyi sambil berdansa pelan. Berputar-putar di antara air keran yang menderu deras
Semarang, 05.30 AM
Fajar sudah menyingsing ketika kami melewati Tugu Muda ke arah barat. Mobil Grace menggunakan transmisi otomatis, sehingga aku bisa dengan leluasa menggenggam tangan Liz. Aku menggenggamnya erat, karena ini adalah saat-saat terakhirku bersamanya.
“Jay..” kata Liz saat mobil kami berhenti di Lampu merah.
“Apa?”
“Di depan sana udah rumahku.
“Oh..”
Begitu singkat kenangan kami.
“Liz, jangan pernah lupain aku..”
“Iya, kamu juga..”
Aku mengecupnya di bibir untuk terakhir kalinya. Manis bercampur getir pahit.
Lampu menyala hijau, tanda hidup harus terus berjalan.
Semarang, 05.40 AM
Kami tiba di rumah Liz, dan disambut oleh orang tuanya.
Papa Liz tinggi besar, dan badannya penuh bulu lebat. Nyaliku langsung ciut melihatnya, namun sepertinya Papa Liz lebih takut kepadaku. Ia memandangku dengan takut-takut, karena kemarin malam Liz mengatakan bahwa aku suka cowok yang berbulu.
“Jaya, Oom” aku memperkenalkan diri.
Ayah Liz cepat-cepat menarik tangannya setelah bersalaman denganku.
“Jaya? Kok mirip kaya nama mantan pacarnya Liz?”
Quote:Aku memikirkan beberapa skenario
Skenario pertama.
Aku : iya oom, saya Jaya, mantan pacarnya Liz..
Papa Liz : Oooh, jadi kamu ngapain aja di hotel?
Aku : ML, oom..
Maka aku menjawab dengan jawaban yang aku rasa paling jenius (mungkin juga paling tolol) sedunia.
“Oh itu teman saya, Jaya Mahardika.. kalau saya Jaya Suporno.” aku berbohong dan pura-pura kemayu.
Liz menahan tawa dari kejauhan.
Ternyata penerbangan Liz ditunda sampai jam 3 Sore. Hari itu aku seharian berkumpul dengan keluarga Liz – yang seharusnya menjadi keluargaku- ah sudahlah tidak usah diungkit-ungkit lagi.
Sore itu, aku ikut mengantar Liz ke Bandara. Liz berpelukan dengan Orang Tua-nya sambil menangis, aku terharu melihatnya, aku teringat ibuku yang menunggu di rumah.
Liz menoleh ke arahku, dan tersenyum.
Senyumnya bukan lagi senyum kehilangan, namun senyum yang indah dan lega.
“Have to go..”
Aku mengangguk.
“Makasih ya Jay, makasih buat semua kenangan indah selama ini.”
Perih.
“Kamu kenanganku yang paling indah, Liz.”
Liz tersenyum “makasih Jay, tapi di Jogja menanti kenangan.. bukan, masa depan yang lebih indah dari aku.”
Liz benar.
Aku memeluknya erat. Orang tua Liz ikut terharu, mungkin mengira anaknya berpisah dengan sahabat gay-nya.
“I love You-“
“I love you”
Bisik kami berbarengan.
Liz tersenyum dan berlalu di balik pintu otomatis.
“Au Revoir!” katanya.
Saat itu aku masih bisa tersenyum, saat Liz menghilang di balik kerumunan antrian orang di sana.
Tangisku baru pecah saat mobil yang kukendarai melaju meninggalkan Semarang. Garis-garis pembatas jalan bergerak dengan cepat, resah seolah memberi isyarat kenangan yang tak akan kembali lagi
Aku menginjak pedal gas dalam-dalam, menaiki Bukit Gombel yang gelisah diterpa matahari senja. Mobil yang kunaiki perlahan menjauh dari kota Semarang, menjauh dari semua kenangan bersama Liz.
Aku menyalakan radio, mengalun lagu-nya Utada Hikaru yang dinyanyikan ulang oleh Boyz II Men. Panorama senja di depanku, membuatnya seperti ending sebuah film.
The last kiss we shared tasted like a wine
sweet and bitter, like our memories
and i long for you to come right back to me
Tomorrow the time will be the same as today
nothing goes on in my heart except your memories
where will you be, and who will you think of…!
you were always gonna be my love
and you should know
even if i fall in love with somebody else
i’ll remember to love you taught me how
you were always gonna be the one
and for now, i’ll still be singing this love song
for… somebody like you
Amy first love…