Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT ANDAIKAN WAKTU ITU...

Mana tokoh yang paling Anda sukai dari kedua wanita Erik ini? (Boleh berubah jawaban)

  • Rini

  • Metta


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
Chapter 13:

A Little Thing Called Someone



Januari 2011


"Apa? Jalan-jalan ke pulau?"


Metta tampak terkejut mendengar usulanku.


"Iya, kamu mau ikut, kan?"

"Tapi ama siapa aja? Temen-temen kosan kamu, Beb?"

"Iya, jadi kemaren kita pada ngrencanain jalan-jalan ke Pulau Seribu gitu. Semua pada ambil cuti sehari, jadi kita berangkat tanggal 13, lalu balik tanggal 15, nah, kan pas libur itu. So, ya, kita bisa Valentine-an di pulau. How about that?"



Metta tampak bingung bagaimana harus menjawabnya. Ya, aku tahu, kalau hanya pergi berdua saja mungkin dia akan langsung setuju, tapi ini bukan hanya berdua, melainkan bersama-sama dengan orang-orang satu kosan, minus Ci Lily, yang memilih tinggal di rumah. Namun sebagai gantinya, Chandra yang akan ikut ke pulau.


"Pulau mana sih ini? I thought everything has been booked out."

"Masih ada akomodasi di Pulau Harapan."

"Wew, itu kan jauh banget, Beb."

"Kami udah pesen satu house gitu, jadi kita barengan. Tapi kalau kamu mau ikut, kita bisa sekamar."

"Tetep aja jauh."



Ya, dari semua pulau di Kepulauan Seribu, Pulau Harapan adalah yang berada paling jauh. Naik kapal dari Muara Angke, kalau lancar saja perjalanannya masih 3 jam. Lebih cepat bila naik speed boat dari Marina, namun tarifnya jelas lebih mahal. Belum lagi kalau naik kapal biasa, jelas penuh sampai nggak ada tempat bahkan buat sekadar duduk dengan layak. But the show must go on.


"So, berapa orang jadinya yang ikut?"

"Satu kos ada 6 orang termasuk aku, kalau kamu ikut ya berarti 7 orang."



Metta manggut-manggut saja. Kalau dari gesture dan raut muka, jelas Metta tertarik untuk ikut, apalagi ini akan menjadi pengalaman baru Metta untuk pergi backpacking.


"Boleh sih, gak masalah. Tapi aku mau lihat jadwal kantor dulu ya, Beb. Takutnya ada tugas mendadak tanggal segitu. Kamu tahu sendiri kan, selama masih di audit aku bisa saja disuruh jalan or ikut apa gitu dadakan."

"Oke, santai saja."



Metta pun meraih ke dalam tasnya dan mengeluarkan sebuah hape jenis Bl*ckBerry Torch 9800. Aku jelas tertegun karena selama ini belum pernah melihatnya. Setahuku Metta hanya pernah menggunakan dua hape, L* GD580 Lollypop dan S*msung Galaxy S. Dari mana tiba-tiba muncul sebuah Bl*ckBerry?


"Handphone baru?"

"Ini? Oh enggak, ini hape kantor, cuman buat urusan kerjaan doang."



Metta menunjukkannya padaku, dan memang benar itu hape kantor, bahkan ada stiker barcode yang menunjukkan bahwa itu properti kantor. Tapi kenapa dia tidak pernah bilang padaku, ya?


"Kayaknya sih aman, Beb, masih belum ada jadwal buat pertengahan Februari."

"So, jadi bisa ikut, nih?"

"Bisa, bisa. Ntar biar praktis kita anter jemput pake mobil Odyssey-nya Papa aja, kan muat tuh bertujuh, biar Pak Yono yang bawa. Jadi bisa hemat duit juga, cuman patungan aja buat uang rokok."

"Nah, gini dong. That's the spirit! Can't wait to hang with you on the beach."

"Iya, iya. Tunggu aja, aku juga udah lama nih nggak ke pantai, kayaknya bakal seru kalau rame-ramean."



Aku langsung memegang tangan Metta. Dia pun tersenyum manis kepadaku.


"Thank you, ya. This meant a lot to me."

"Anything for you, Babe, anything..."







13 Februari 2011


Namun meski waktu itu Metta mengatakan seperti itu, pada akhirnya semuanya gagal. Bukan, kami semua tetap akan pergi, hanya saja Metta tidak bisa ikut.


"Sorry ya, Beb, abisnya mendadak banget, baru dikabarin kemaren. Harus ikut seminar di Gr*n Melia hari ini ampe besok."


Metta bahkan menunjukkan pesan BBM yang berisi penunjukannya untuk mewakili cabang Jakarta dalam acara seminar ini, dikirim oleh Kadept-nya.


"Yah, mau gimana lagi..."


Metta tampak merasa bersalah, dan dia bahkan menawarkan diri untuk mengantar jemput kami ke pelabuhan pada saat keberangkatan dan kepulangan, menggunakan mobil ayahnya. Setidaknya aku masih akan bisa bertemu Metta, meskipun aku lebih suka bila dia bisa ikut kami.

Saat itulah terdengar suara orang-orang di kosan yang bersiap untuk berangkat. Semua membawa ransel dan tas yang berisi cukup kebutuhan untuk tiga hari.


"Beb, bantuin temen-temen kamu masukin barang-barang dulu deh, aku mau numpang pipis dulu, boleh ya?"

"Boleh aja, tahu tempatnya, kan?"

"Oh, tahu dong. This is my second home, you know?"



Buru-buru Metta segera menitipkan tasnya padaku dan masuk ke dalam kosan untuk menumpang pipis. Aku pun mengatur tempat duduk untuk semua orang di sini. Aku dan Metta akan duduk di depan, di tengah Friska, Sheila, dan Vinny; sementara Nindy dan Chandra akan duduk di belakang. Walau aku sudah minta supaya jangan bawa terlalu banyak barang, tetap saja masing-masing bawa dua tas besar, disamping beberapa wadah kecil lagi. Untungnya rata-rata yang dibawa adalah makanan sehingga pulangnya nanti pasti akan lebih ringan.

Kami berangkat setelah Metta selesai pipis. Dari semua orang, hanya Metta yang berpakaian agak "formal", karena memang dia akan langsung berangkat ke lokasi seminar setelah mengantar kami. Dia memakai blouse marun, rok span plaid, plus stocking hitam dengan rambut disanggul cepol dan diberi klip rambut bentuk pita. Menurutku pribadi, Metta tampak lebih seksi begitu, apalagi dengan make-up minimalis khas kantoran. Itu pula sebabnya aku lebih suka berkencan dengan Metta saat istirahat kantor. Sementara yang lain rata-rata senada, kaus santai, kemeja pantai, celana pantai, tanktop, dan Nindy serta Vinny memakai hotpants, dengan topi jerami dan kacamata hitam, sebagaimana orang yang ingin berwisata ke pantai.

Sepanjang perjalanan, kami bercengkerama dengan hangat. Aku cukup takjub karena Metta bisa membaur dengan semua orang di sini, meski baru pertama kali berinteraksi. Dia mengobrol cukup hangat dengan Friska, Sheila, Vinny, bahkan Chandra. Hanya saja dia salah mengira Vinny sebagai pacar Chandra, but nobody minds about that. Tanpa terasa kami pun sampai di Muara Angke. Metta sebenarnya ingin supaya kami berangkat dari Marina saja, tapi uang semua orang tidak cukup untuk itu. Baru nanti saat pulang kami akan naik speed boat ke Marina.

Jujur saja, aku sebenarnya tidak enak harus pergi tanpa Metta, namun mau bagaimana lagi? Semua orang mengharapkan aku ikut karena aku satu-satunya yang bisa diandalkan untuk menjaga mereka. Lagi pula semua reservasi adalah atas namaku dan juga Nindy, sehingga tidak mungkin juga bila aku tidak ikut. Salah satu alasan Ci Lily mau melepas Chandra ikut wisata pun karena ada aku di sana yang dianggap sebagai lelaki tertua di kosan.





Setelah mengurus ini itu, kami pun naik ke kapal yang saat itu keadaannya benar-benar penuh. Istilah kaleng sarden saja mungkin belum tepat untuk menggambarkan bagaimana keadaan di kapal. Karena rata-rata tempat di dalam sudah penuh, kami pun duduk dek atas yang terbuka. Kurang tepat juga di sini kalau dibilang "duduk", karena tempatnya benar-benar penuh sesak, bahkan kami saja nyaris tak bisa menempatkan setengah pantat, sehingga harus setengah jongkok. Maka kami membentuk lingkaran yang amat rapat, dengan lutut saling beradu, dan semua tas yang besar kami taruh di tengah. Pada saat ini pun ada saja orang yang lewat memaksakan diri sehingga kadang kami terdorong. Biasanya kalau ada yang terdorong, kami yang di depan atau di sampingnya akan membantu menahan posisi agar tak bergeser. Titik yang kami tempati dengan susah payah saja sudah amat sempit apalagi kalau sampai bergeser dan diambil orang lain. Ditambah lagi cuaca hari ini amat cerah. Bagus? Ya, kecuali kau di dek luar karena itu berarti terpanggang matahari sepanjang perjalanan. Jadi topi, jaket, handuk, atau kemeja pantai kami tutupkan di kepala, membentuk sebuah naungan minimalis untuk mengurangi efek sengatan matahari. Nindy bahkan membagikan sunscreen kepada semua orang supaya kulit kami terlindung.

Namun di tengah panasnya matahari, sempitnya tempat, dan lamanya perjalanan, kami sebenarnya cukup menikmatinya. Karena cuaca cerah maka ombak tidak besar sehingga kapal bisa berlayar dengan nyaman. Juga berada di luar mengurangi risiko mabuk laut. Entah sudah berapa kali kami melihat ada orang yang tidak kuat dan terpaksa "buang sesajen" ke laut. Pemandangan di luar jelas amat luar biasa, laut berwarna zamrud dengan pulau-pulau di latar belakang, lalu berubah menjadi biru navy saat setengah jalan ke Pulau Harapan. Beberapa kali bahkan ada lumba-lumba yang melompat dan berenang bersama dengan kapal. Aku beberapa kali memotret pemandangan dan mengirimkannya pada Metta. Dia selalu membalas dengan cepat dan antusias, membuatnya seolah ada bersamaku di sini, meski bukan secara fisik. Namun dia menolak saat aku ingin video call untuk memperlihatkan ini lebih leluasa, karena saat itu dia bilang masih berada dalam posisi di ruang seminar.

Bagaimana pun juga, perjalanan 3 jam dalam kondisi seperti ini tetap saja terasa melelahkan. Semua orang pun bahkan sampai mengucap syukur saat kami mendekati dermaga Pulau Harapan. Kami jadi tahu kenapa namanya Pulau Harapan, karena saking jauhnya sehingga orang yang berlayar pun "berharap ada pulau".

Dari dermaga kami dipandu menuju ke akomodasi kami, yaitu sebuah rumah yang kami sewa secara pribadi. Ada dua kamar tidur di sini dan satu kamar mandi yang agak lebih besar daripada kamar mandi di kosan. Walau kami ada berenam, namun karena sudah terbiasa dengan ini di kosan, maka tak masalah. Lagi pula semua orang sudah terbiasa mandi dengan cepat, sehingga di sinilah aku merasa bersyukur Metta tidak ikut, karena dia kalau mandi lama dan ribet kalau tidak pakai ini atau itu, meski dia sudah beberapa kali mandi di kosan. Kami memutuskan bahwa Sheila dan Nindy akan menempati satu kamar, sementara Vinny dan Friska di kamar lainnya. Aku dan Chandra akan tidur di kasur tambahan yang bisa dipasang di ruang tamu.


"So, itinerary pertama apaan nih, Rik?" tanya Nindy.


Dalam wisata kali ini, Nindy memang bertugas sebagai "wakilku" mengingat dia adalah yang tertua kedua di sini setelah aku. Dia juga memegang uang kolekte untuk keperluan bersama dalam wisata ini.


"Makan siang dulu, ntar dikirimin dari agen. Abis itu jam 1 baru jelajah pulau. Ah, sial..."

"Sial kenapa?"

"Koq di sini sinyalnya blank ya? Padahal di laut tadi penuh."

"Oh iya, di pantai juga masih penuh, kan?"

"Iya."

"Mau ngabarin si Metta?"

"Ya, begitulah..."

"Hmm, kayaknya bukan cuman itu deh."

"Maksud lo?"

"C'mon, am I blind or what? You worry about something, dan itu bukan trip ini."



Aku hanya menatap mata Nindy yang tajam menusuk dari balik kacamatanya. Seperti biasa, aku tak pernah bisa berbohong atau menyembunyikan sesuatu. Tapi tetap saja aku tak bisa bilang apa-apa padanya. Nindy kemudian memegang kedua pundakku sambil menatap mataku dengan tajam.


"Hei, Rik, fokus, fokus. Tanggung jawab lo di sini banyak, Rik. Kami semua lagi ada di bawah sayap lo. Tolong kalau bisa pikiran lo jangan kebebanan ama yang lain dulu, oke?"

"Oke, Nin, sorry..."



Belum sempat aku bereaksi lebih jauh, Nindy langsung mengambil hapeku.


"I'll keep this for now. Ntar malem kalau udah acara bebas gue balikin lagi. We need you now as our leader, Erik. Dan lo gak bakal bisa lakuin itu selama lo masih mikirin orang yang saat ini ada di seberang laut. Fokus, ya, I'm sure she'll be fine."

"Oke..."



Pembicaraan kami pun berakhir karena Vinny dan Friska memberi tahu bahwa makanan telah tiba. Aku lalu menyuruh semua orang untuk makan, karena setelah makan siang ini, kami akan lakukan island hopping, jelajah pulau-pulau di sekitar Pulau Harapan. Yah, mungkin Nindy benar, Metta pasti baik-baik saja di sana, aku saja yang terlalu khawatir dan curiga. Untunglah pada saat ini aku punya seseorang seperti Nindy yang mendukungku.






Saat acara island-hopping dimulai, kami benar-benar bersenang-senang. Walau tak ada acara untuk snorkeling hari ini, aku tetap bilang pada semua orang untuk membawa baju ganti dan bersiap-siap untuk basah-basahan bila memang perlu. Aku memakai kaus putih dengan celana pantai gombor bunga-bunga, Friska dan Sheila sama-sama memakai outer blouse dengan sport top serta celana pantai, bedanya Friska memakai top warna biru, sementara Sheila warna merah. Aku sempat bertanya, apa mereka sengaja pakai warna itu untuk menunjukkan dari minimarket mana mereka berasal, namun keduanya menjawab bahwa itu hanya kebetulan saja. Chandra dan Nindy sama-sama memakai kemeja pantai bunga-bunga dengan topi jerami, dan yang paling mengejutkan adalah Vinny, karena dia memakai baju renang yang merupakan salah satu desainnya.

Tak begitu banyak memang yang bisa diceritakan, selain keceriaan kami saat singgah dari pulau ke pulau dan menikmati bermain-main di sana. Kami benar-benar berbaur: aku, Chandra, Friska, Sheila, Nindy, dan Vinny. Kami bermain ayunan, membuat istana pasir, bermain air, sampai mengunjungi pusat penangkaran penyu sisik. Semua itu menjadi kenangan yang menyenangkan, dan aku bagaikan seorang ayah yang melihat anak-anaknya bermain, sambil mengatur supaya segalanya berjalan dengan lancar dan tidak melenceng. Untunglah cuaca benar-benar membantu kami, sehingga perjalanan kami lebih nyaman. Dan untuk beberapa jam itu, aku benar-benar lupa pada Metta.






Kami pun kembali ke Pulau Harapan setelah waktu maghrib dan melihat sunset di Pulau Bira. Ada sesuatu mengenai sunset di laut yang berbeda dari sunset di tempat lain. Bola api merah yang turun ke peraduan ombak membara, dengan latar belakang langit lembayung, sungguh menakjubkan dan tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Menjadi lebih sempurna dengan menikmatinya bersama teman-teman tercinta. Kami semua berangkulan, menunggu hingga matahari benar-benar terbenam masuk ke dalam cakrawala, semua diam, tanpa bersuara, hanya hembusan nafas kagum yang terdengar. Itu adalah kenangan yang selamanya akan aku ingat di dalam pikiranku.

Di homestay kami, makanan langsung disiapkan begitu kami kembali. Kami langsung bergiliran untuk mandi karena tubuh terasa lengket terpanggang matahari laut. Sepertinya kulitku jadi lebih menghitam walau belum genap sehari kami di sini, mirip seperti kulit... Ah, aku tak mau menyebutkan namanya. Saat itulah Nindy mendekatiku dan menyodorkan hapeku.


"Gue kembaliin."

"Thank's ya..."



Kulihat sepintas di layar dan ada beberapa notifikasi yang masuk. Bukan hanya beberapa, sebenarnya banyak.


"Dari tadi di laut bunyi-bunyi terus notifnya."

"Ya, paling pas pada upload foto terus di-tag makanya bunyi-bunyi mulu."

"Kayaknya pacar lo juga ngirim SMS noh beberapa. Ya gue jawab aja on your behalf."

"Lo yang jawab?"

"Tenang, gak ada yang aneh-aneh. Cuman ngasih tahu aja biar seolah-olah lo yang respons dia."

"This is intrution to privacy, you know?"

"I know, tapi kayaknya bakal lebih buruk kalau gak ada jawaban sama sekali. Lagian gue juga njawabnya normatif aja koq, dan gue gak kepo scrolling ke atas-atas."

"I appreciate it, though. Dari tadi aku emang khawatir, kalau Metta ngirim SMS tapi aku nggak jawab biasanya dia emang marah."

"Iya, I'm a girl, so I know. Lagian gue juga bilang sih sinyalnya di laut susah, ya biar dia paham juga kalau lo lama gak bales."

"Okay, thank you."



Aku melihat Nindy dan tampaknya ada sesuatu yang lain yang ingin dia katakan, namun ragu-ragu.


"Anything else?"

"Yeah, about that... Adam Gabriel Hanggono itu siapa?"



Aku terhenyak mendengar nama itu disebut. Kenapa tiba-tiba Nindy menyebutnya?


"Kayaknya nggak banyak yang notif FB-nya lo nyalain ya, cuman Metta, anak-anak sini, dan satu lagi yang namanya Adam Gabriel Hanggono. Jelas itu bukan nama cewek kan, tapi kenapa notifikasinya dia lo nyalain?"

"That's private. Kenapa emangnya? Dia update status?"

"Nggak cuman satu dua, banyak kayaknya."

"Terus lo lihat?"



Nindy menggeleng.


"I don't know who is he to you, jadi gue juga nggak mau terlalu kepo. Kalau Metta jelas itu pacar lo, so gue bisa menyesuaikan tindakan gue ke dia."

"Indeed, and I thank you for that. Lalu soal si Adam itu, this is my business, if you don't mind."

"Okay, nggak masalah. Tapi kita makan dulu yuk, laper gue."

"Iyalah, gue juga laper kali."



Kami pun lalu makan bersama-sama sementara menunggu giliran mandi. Semenjak mengenal Nindy lebih dekat, dia langsung menjadi orang yang bisa aku andalkan, karena itu aku pun tak marah saat Nindy membalas pesan Metta atas namaku. She knows how to handle things, karena aku pun sering cerita soal Metta padanya. Namun soal si Adam ini aku memang tak pernah cerita kepadanya, begitu pula soal kecurigaanku pada Metta, karena aku memang tak suka membuka cela seseorang pada orang lain, meski itu orang terpercaya seperti Nindy. Walau begitu, Nindy adalah wanita yang pintar. Aku yakin dia pasti bisa menduga apa yang saat ini terjadi.






Setelah makan malam, saatnya acara bebas, dan aku melipir sendirian ke pantai untuk mencari sinyal. Pulau ini benar-benar aneh. Di pantai serta laut sekitarnya, sinyal ada dan kuat, namun begitu bergeser beberapa meter saja masuk ke kampung, completely blank, sehingga hape nyaris tak ada gunanya selain untuk bermain game dan mendengarkan musik saja. Berbeda dengan suasana tadi siang, malam ini langit temaram dan angin laut dingin berhembus menyejukkan. Pulau Harapan adalah pulau berpenduduk, sehingga jangan mengharapkan seperti pulau resort yang sepi. Ada aktivitas penduduk di sana, sehingga walau malam pun tetaplah ramai. Namun apa yang biasa adalah bunyi jangkrik, kini digantikan oleh suara ombak yang menghantam dermaga. Di sebuah pendopo di dekat dermaga yang saat itu sepi, aku pun duduk menghadap lautan.

Aku melihat dan langsung membalas pesan-pesan Metta yang tak sempat dibalas oleh Nindy. Tadinya aku ingin meneleponnya, tapi dia berkata bahwa seminar itu amat melelahkan dan baru akan selesai besok, pada tanggal 14 Februari, Hari Valentine, sehingga dia minta untuk via chat saja karena dia bisa saja tidur sewaktu-waktu. Metta tak banyak bercerita soal seminar itu, namun lebih banyak bertanya mengenai bagaimana hari kami. Dia bahkan meminta untuk di-tag pada foto-foto yang diambil oleh anak-anak. Berkali-kali dia juga menyesal karena tak bisa ikut trip ini dan bersenang-senang bersama kami, karena dia pun sebenarnya suka bepergian ke laut. Entah berapa lama kami saling chat, hingga akhirnya indikator chat-nya menunjukkan bahwa dia tak lagi online. Kulihat jam memang sudah jam 10 malam, sehingga kusimpulkan dia sudah tertidur.

Setelah menunggu 15 menit tanpa jawaban lagi, aku pun melihat beberapa notifikasi yang dibuat oleh orang bernama Adam Gabriel Hanggono ini. Sebenarnya aku pun agak ragu, haruskah aku melihatnya sekarang? Tak bisakah aku mempercayai bahwa notifikasi ini tak memiliki tingkat kepentingan apa-apa hanya, yah, seorang Adam yang narsis yang meng-update F*cebook-nya secara rutin? Semua orang meng-update FB tiap hari, nothing's unusual with that, right? Plus dia juga di Surabaya. Ketakutanmu jelas tidak beralasan. Aku hampir saja menyerah dan membiarkan saja, namun satu bagian dalam diriku, sebuah suara kecil, menyuruhku untuk membuka notifikasinya.

Saat itulah aku terhenyak. Foto paling pertama yang dia upload berdasarkan notifikasi adalah sebuah jendela pesawat dengan ujung winglet sayap pesawat berbungkus pemandangan langit biru. Captionnya adalah:


"Kenapa selalu dapatnya morning flight? Nggak apa-apalah, demi..."


Komentar pada fotonya ramai dari teman-temannya ramai, rata-rata menanyakan dia sedang terbang ke mana. Ada yang bahkan bertanya mau liburan ke mana, tapi hanya satu komen yang dibalas dengan "hehehe", milik seorang pria, sebut saja Mr. X, yang berbunyi:


"Cie cie, mau nyamperin bidadari mana lagi, lo?"


Seperti ada tonggak yang ditancapkan ke jantungku, rasanya dadaku sesak. "Bidadari" adalah salah satu cara Adam menyebut Metta. Aku pun buru-buru melihat ke daftat temannya, dan tidak ada akun Metta di sana, bahkan di akun Metta sendiri tidak ada dia atau message dari dia. Ada satu yang meminta Metta untuk menerima friend request, tapi Metta hanya membacanya saja dan tidak menjawab. Aku coba berpikir positif, mungkin dia tidak terbang ke Jakarta, mungkin ke lain tempat.

Namun tiba-tiba aku ingat kalau Metta ada seminar dan bisa saja Adam diundang juga ke seminar itu. Buru-buru kutepis pemikiran itu, bisa saja "bidadari" ini adalah orang lain, toh dia playboy. Ceweknya pasti banyak, dan mungkin ada juga yang di Jakarta. Ribetnya, kali ini aku tak bisa cross check dari akun Cindy, karena dia sedang piknik bersama teman-temannya yang lain ke Pahawang. So, satu-satunya jalan adalah terus menelusuri akun Adam, siapa tahu ada petunjuk.

Beberapa foto menunjukkan dia sudah mendarat di tempat yang kukenali adalah Bandara Soekarno-Hatta. Jadi benar, Adam memang ke Jakarta. Lalu yang hampir membuat jantungku berhenti, Adam memotret saat dia keluar dari pintu. Ada barisan beberapa taksi di sana, namun yang masuk dalam perhatianku adalah sebuah mobil di antara taksi di sana: H*nda Odyssey, yang warnanya sama dengan milik Om Darwin, papanya Metta. Tanpa foto plat nomor, aku tak bisa memastikannya 100 persen, namun aku cukup kenal dengan Odyssey milik Om Darwin, karena memang aku sering ke sana. Lagi pula, mobil itu juga dipakai untuk mengantar kami ke Muara Angke, dan jarak antara Muara Angke dan Cengkareng hanya 32 km, cukup dekat untuk ditempuh dalam satu jam. Artinya, bila ini memang benar mobil yang tadi dipakai Metta, setelah dia mengantarku ke Muara Angke, dia menjemput si Adam ke Cengkareng. Bahkan selang waktunya pun tepat!

Aku gemetaran, tanganku seolah tremor, mata membelalak, dan nafasku tersengal-sengal. Ada sesuatu yang panas dan mengganjal di dada, seolah meronta untuk keluar, dan membakar hingga ke ubun-ubun. Hape kuletakkan di sandaran, dan aku berpegangan pada tiang karena kakiku nyaris tak kuat untuk berdiri. Seolah ada sesuatu yang menggedor-gedor ingin keluar, dan pandangan mataku pun kabur. Aku diam sejenak, menunggu hingga nafasku kembali tenang dan stabil. Tanganku kukepalkan dengan amat erat hingga kuku-kuku jariku menancap pada telapaknya. Rasanya sakit sekali, namun entah kenapa tubuhku saat ini seperti sedang mendambakan rasa sakit ini. Seolah rasa sakit ini bisa sedikit meredakan gumpalan perasaan yang menyiksaku, bergejolak hingga seluruh tubuhku terasa ingin meledak.


Pelan-pelan, setelah aku mulai bisa mengendalikan diriku, aku meraih hapeku lagi dan membaca lanjutannya. Notifikasi berikutnya adalah unggahan sebuah video. Dari awalnya, sepertinya itu dari belakang dasbor sebuah mobil. Ya, si Adam sedang duduk di samping kursi pengemudi, dan desain dasbor itu benar-benar tidak asing. Ya, karena baru satu jam sebelum itu, aku yang duduk di sana! Warna, cacat bekas terjemur, ornamen, bentuk tape, semua mirip dengan dashbor pada mobil Om Darwin. Dan seolah ingin menyiksa diri lebih lanjut, dengan tombol gemetaran, aku menekan tombol play.


"Akhirnya, gue sampai juga di Jakarta. Udah lama nih nggak di sini."

"...."



Pengemudi yang ada di samping Adam tidak bereaksi atau menjawab, dan karena Adam merekamnya menghadap ke depan, aku jadi tak tahu siapa sebenarnya yang sedang mengemudi. Ada kemungkinan bahwa itu adalah taksi online yang dipesan oleh Adam. Tapi taksi online mana yang saat mengangkut hanya satu orang dia duduk di depan? Terdengar lagu yang mengalun, dan itu adalah lagu "So Young" dari The Corrs, band kesukaanku. Aku memang menyimpan sebuah playlist khusus lagu-lagu The Corrs di mobil Om Darwin, karena kadang aku dipinjami mobil ini atau sering diminta mengantar saat Om Darwin atau Tante Melly ingin pergi ke mana-mana, bila aku sedang di sana. Dan saat Metta mengantar kami, aku memutar playlist ini dan belum mematikannya saat turun.


"Lagunya gini mbanget sih, Yang? Ganti ya."

"Nggak boleh!"



Jantungku pun langsung berhenti. Ya, aku selalu mengenali suara itu, suara yang selalu kudengar dengan merdu di telingaku. Walau suara itu masih tak berwajah atau berbentuk, namun hatiku sudah bisa menebak bahwa itu suara Metta. Baru saja nafasku mulai tersengal-sengal kembali, tiba-tiba Adam mengarahkan kameranya ke samping, ke kursi pengemudi, dan dengan cepat si pengemudi itu menyabetkan tangannya untuk menepis hape Adam hingga terjatuh ke ceruk samping di bawah tuas transmisi otomatis, sehingga kini gambarnya gelap, hanya ada suara.


"Bilangin aku tuh nggak suka kamu rekam-rekam. Matiin, nggak!?"

"Ya elah, Yang, gitu aja marah, sih."

"Matiin, SEKARANG!!!"

"Iya, Tuan Putri..."



Video pun berhenti, dan aku duduk mematung sambil menatap kosong, namun dadaku terasa sesak dan sakit. Detak jantungku bagaikan palu godam yang terasa akan menghancurkan tulang dadaku. Sakit, panas, murka, kalut... Karena sebelum tadi gambar videonya mati, aku sempat melihat sekilas siapa yang ada di kursi pengemudi. Blouse marun, rok span plaid dengan stoking hitam, rambut disanggul cepol dengan pita hitam. Tangan yang amat aku kenali karena seringnya menyentuh muka dan tubuhku. Gelang, jam tangan, cincin, semua ornamen yang sudah amat akrab di mataku. Juga sekelebat sisi muka yang selalu ada dalam pandanganku selama ini. Ya, itu Metta...

Itu bukan orang lain, itu Metta...

Itu Metta...

Itu Metta...

Berengsek, itu Metta!!!

ITU METTA!!!!

ITU METTA-KU!!!!!!


Sekonyong-konyong, aku berteriak keras dan hape kubanting ke lantai hingga terpisah-pisah, lalu aku memukul tiang pendopo itu dengan keras. Amat keras sehingga terdengar bunyi tulang yang berubah bentuk. Namun aku tetap memukuli tiang pendopo itu sambil berteriak keras. Tahu-tahu saja beberapa orang sudah mendekapku dan menahanku, dan badanku terhempas ke lantai, namun aku tak merasa sakit. Aku merasa marah. Aku merasa ingin berontak. Aku merasa ingin membunuh semua orang di muka bumi ini!! Aku meronta-ronta, dan orang-orang itu memegangi tangan serta kakiku dan menahan supaya aku tetap di lantai dan tak bergerak.


"Ada yang kesurupan! Ada yang kesurupan!"

"Panggilin ustadz! Panggilin ustadz!!"

"ERIK!!!"



Tahu-tahu sebuah tangan lembut memegangi kepalaku. Dalam keadaanku ini mataku serasa gelap, aku tak bisa melihat siapa itu, tapi tangan dan suaranya yang lembut mendadak seperti menusuk dan membelah kemarahanku. Apalagi kudengar suara tangisan seorang wanita, yang membuat rasa yang tadi meluap-luap panas kini serasa seperti tersiram oleh air yang menyejukkan. Aku tak lagi meronta, aku tak lagi memberontak, dan pelan-pelan aku pun dilepaskan hingga akhirnya didudukkan di lantai. Aku masih menatap kosong, tidak tahu siapa yang di depanku, namun dia langsung memelukku. Kurasakan hangat tubuhnya, wangi tubuhnya, yang seketika memudarkan kabut kekalutan dalam pikiranku. Dia masih menangis, dan air matanya terasa hangat menetes di pundakku. Dia tak melepasku, pelukannya amat lembut dan menenangkan, dan perlahan tanganku pun balik memeluknya dengan kaku-kaku.


"Erik, are you okay? Lo nggak apa-apa? Erik, talk to me, please?"


Bayangan wanita itu akhirnya semakin jelas seiring memudarnya kabut yang menutupi pandanganku. Mukanya yang bulat, dengan kacamata bulat, ya, itu adalah Nindy.


"Ni-Nindy?"

"Ya, ini gue, Nindy..."



Nindy kemudian kembali memelukku. Aku pun menyandarkan kepalaku pada pundak Nindy, dan rasa yang dari tadi mendesak bergelora ingin keluar pun mulai lagi, memenuhi dada, lalu naik ke tenggorokanku, meronta hingga aku bergetar, kemudian keluar dalam bentuk air mata. Ya, aku menangis di dalam pelukan Nindy. Aku menangis sejadi-jadinya, meluapkan perasaan yang kini bergemuruh bagai gelombang mendesak mengalir keluar. Aku menangis, tak peduli apakah orang lain melihat, apakah pantas seorang pria dewasa menangis, aku tak peduli lagi. Aku hanya ingin meluapkan perasaan, meluapkan kesedihan, meluapkan amarah, di dalam pelukan Nindy.






Waktu berlalu, malam semakin larut dan cahaya bulan pun muncul. Angin tak lagi berhembus kencang, dan ombak pun menjadi semakin tenang. Segala kemurkaan yang tadi panas membakar dan bergelora, kini sudah tenang, bak hilang ditelan gemerisik daun pohon kelapa. Aku duduk di tepi dermaga. pada sudut yang paling sepi dan tak dilewati orang-orang, dengan kaki bergantung di atas laut. Nindy menemaniku, duduk di sebelahku dalam diam, tanpa cahaya, selain sinar rembulan. Dia hanya diam saja di sana, seperti bayanganku, tidak berkata apa-apa, hanya bergeming dan mendampingiku, membuatku selalu tahu bahwa dia ada dan siap sedia untukku.

Aku menimang-nimang hapeku, yang sudah kususun dan pasang kembali. Kacanya retak, namun masih bisa digunakan. Di layarnya tampak sebuah foto, salah satu dari FB si Adam, yang menunjukkan nama sebuah hotel: F*ur Seasons. Kemudian aku memperlihatkan gambar itu pada Nindy. Walau dia diam saja, namun aku yakin Nindy paham apa maksudnya.


"She's cheated on me..."


Itu yang kukatakan pertama kali pada Nindy, memutus keheningan yang lama.


"Hotel ini..."

"Bahkan dia bohong soal ada seminar itu. Dia memilih untuk bersama cowok itu, yang bernama Adam Gabriel Hanggono itu. Dia memilih untuk bersama cowok itu daripada bersama gue di sini..."



Nindy tak berkata apa-apa, hanya mengelus pundakku dengan lembut, kemudian tangannya menarik kepalaku untuk diletakkan dalam pelukannya. Aku kembali menangis dan menumpahkan kembali emosiku pada pundak Nindy, yang terus memelukku dengan lembut.


"That bitch picked up that bastard after he dropped us... Dia duduk di sana, di tempat dudukku... Yang belum ada satu jam aku tinggalin... Dan yang parah lagi, dia melepasku dengan senyum, dengan tawa, dengan air mata kesedihan seolah menyesal tidak bisa ikut... Tapi belum ada satu jam kemudian dia..."

"I know, Erik, I know..."



Nindy pun turut menangis sambil memelukku. Saat ini tak ada kata-kata yang bisa menghiburku. Hanya air mata dan pelukan Nindy yang memberitahukanku bahwa aku tak sendiri dalam hal ini, dan Nindy akan selalu mendampingiku. This night is suck, and all the beauties of nature seems like a fuel that's been add to the flame of my anger. Namun pelukan Nindy mampu menenangkanku sehingga api itu tidak membesar, hanya berkobar-kobar tak menjalar bagaikan nyala api di tengah hujan. Lambat laun, kobaran itu pun padam, hanya saja bara masih menyala di bawah tanah yang menghitam, bersembunyi, menanti, diam dan melemah, namun tak pernah mati.


"Engh... Rik..."


Saat sebuah kemarahan tak terlampiaskan, maka biasanya itu akan muncul dalam bentuk lain. Dan itulah yang kini terjadi padaku. Pelukan Nindy yang hangat dan lembut memang menenangkanku, namun tidak menghilangkan kemarahanku. Kemarahan itu hanya muncul dalam bentuk lain, yang menguasai semua pikiran dan tubuhku, sehingga aku tak bisa berpikir jernih, dan hanya bergerak berdasarkan nafsu primal semata. Ya, dalam pelukanku itu, aku menggerayangi dan meremas tubuh Nindy, yang berusaha melawan.


"Rik, please, ini di luar, Rik... Please... Aaahhh..."


Perlawanan Nindy sia-sia, karena aku langsung menindihnya dalam pandangan mataku yang sudah gelap. Monster kemurkaan kini berubah menjadi monster birahi. Aku mencumbu leher Nindy yang meronta-ronta, menggeliat tanpa bisa berkutik di bawah tekananku. Nindy berusaha untuk tidak berteriak, karena dia tahu bila berteriak orang-orang pasti akan datang. Sudut ini sudah amat sepi, akan lebih baik bila tetap begitu. Aku mencium Nindy dengan birahi, dan dia pun akhirnya menyerah dan membalas ciumanku. Tubuh Nindy begitu hangat, begitu lembut, begitu menggairahkan, dan aku menginginkannya. Kuraih kemejanya, dan...


"BREEETTT!!!"


Dalam sekali tarikan, kancing-kancing pada kemeja itu putus, memperlihatkan bagian dalamnya yang hanya dilapis bikini.


"Ahhh, Erik..."


Nindy kini tak melawan dan mengimbangi gerakanku. Dia hanya khawatir bahwa aktivitas kami akan menarik perhatian orang. Namun aku tidak peduli, karena untuk saat ini aku bukanlah Erik, melainkan monster... Monster birahi yang siap menyetubuhi wanita di depanku ini. Kami pun berciuman panas, sebagai tanda bahwa dia takluk padaku.

Aku langsung menelanjanginya. Dalaman bikini serta rok yang dia pakai memudahkanku untuk itu. Kubuka resleting celanaku, dan mengeluarkan kontolku. Nindy tampak amat indah di bawah cahaya rembulan, seolah ada kilau mistis yang menambah aura keseksian.

Tanpa menunggu, langsung kutusukkan kontolku yang sudah keras ke meki Nindy yang masih agak kering. Nindy melengking, dan berusaha mendorongku, namun tenaganya kalah besar. Kupentangkan tangannya sambil kuciumi leher, susu, dan pentilnya, sambil kutusukkan pelan-pelan kontolku tanpa berhenti. Seharusnya saat ini aku merasa sakit, namun tak ada yang terasa, seolah seluruh tubuhku kebas. Nindy meronta-ronta sambil berusaha menahan untuk tak berteriak, menggelepar-gelepar kesakitan. Aku tahu, namun tak peduli. Hingga akhirnya pinggulku pun menempel pada punggungnya.


"Aahhhh... Eggghh... Erik... Jangan, please..."


Nindy berkata lirih agak terisak, memohon agar aku tak meneruskannya, namun aku bergeming. Kutarik dan kumasukkan berkali-kali dengan tempo cepat dan brutal, sambil hanya memberi Nindy rangsangan seadanya. Dia mendesah dalam air mata setiap kali kontolku kugerakkan, menggigit bibirnya agar tak berteriak, dan tangannya memegang pundakku, menacapkan kukunya pada punggungku.

Desahan pada Nindy lama-lama berubah seperti tangisan. Hanya tangannya yang masih mencengkeram punggungku, kakinya hanya terkulai lemas bergoyang mengikuti genjotan pinggulku. Entah sudah berapa lama aku menggenjotnya. Apakah Nindy menikmatinya? Mungkin dia orgasme, tapi mungkin juga tidak, aku tak peduli. Dalam pikiranku sekarang hanya ada bagaimana caranya menuntaskan hasratku pada Nindy, dan genjotanku makin kerasa, membuat Nindy semakin kesakitan, dan...


"CRRTT... CRRRTTT... CRRRTT..."


Kontolku pun berkedut, mengeluarkan isinya ke dalam rahim Nindy. Jujur saja, itu ejakulasi paling tanpa sensasi yang pernah kurasakan. Bahkan coli saja masih lebih baik daripada ini. Setelah semua, aku langsung lemas dan terbaring telentang di samping Nindy. Tiba-tiba, semua kegelapan dan amarah sirna begitu saja dengan tumpahnya spermaku ke rahim Nindy. Lalu perlahan-lahan, kesadaran pikiranku pun kembali.

Kutengok ke samping dan Nindy tampak terbaring telentang dengan masih menangis. Isakannya membuat hatiku seketika itu pula luluh, dan kenangan beberapa menit lalu pun berputar kembali di otakku seolah untuk memberi tahu hal jahat apa yang baru saja kulakukan.


"Oh my God, what have I done..."


Aku bangun dan memegang kepala Nindy, melihat mukanya yang memelas dan kesakitan.


"Maafin gue, Nin... Gue khilaf... Maaf..."


Belum sempat aku menyelesaikan perkataanku, Nindy langsung memeluk dan mencium bibirku supaya aku diam. Aku merasa bibir kami menempel amat lama, tapi tak ada lidah yang turut bermain. Itu murni hanya sebuah ciuman yang panjang.


"It's okay... Sekarang lo udah kembali lagi menjadi Erik... Erik yang aku kenal."


Kami pun berpelukan kembali di bawah sinar rembulan. Untuk kedua kalinya, kubiarkan kemurkaanku mengambil alih, dan kembali orang lain yang menjadi korban.






14 Februari 2011


Aku terbangun pagi ini di kasurku di ruang tengah. Kami bertiga tidur di sini: aku, Nindy, dan Chandra. Sepertinya bila kuingat kembali, semalam Nindy memanggil Chandra untuk membantu membawaku ke rumah. Badanku terasa sakit semua, namun terutama adalah tanganku, yang kini merah dan membengkak hingga aku tak bisa menggunakannya bahkan untuk melepas baju. Sepertinya malam itu aku meninju tiang pendopo terlalu keras.

Apakah aku ingat yang kulakukan pada Nindy semalam? Ya, tapi aku sama sekali tak merasakan apa-apa. Tidak ada lagi kebahagiaan dan kesenangan saat bercinta semalam. Seolah aku ini adalah manusia batu yang bercinta dengan dingin. Sama sekali tak ada detail yang kuingat, hanya perasaan jijik pada diri sendiri karena sudah melakukan itu. Nindy sendiri memaafkanku, mengingat keadaanku saat itu, namun kubayangkan bahwa dia pasti amat ketakutan. Semalam Nindy sempat bilang bahwa saat melihat siluetku, dia tak mengenali itu sebagai aku. Nindy benar-benar melihatku seperti setan, dengan mata menyala dan tanduk seperti kambing di kepala. Karena itulah dia memelukku di akhir, karena saat itulah, menurut pengakuannya, aku sudah kembali menjadi wujud Erik. Mungkin itu hanya halusinasi Nindy yang sedang ketakutan, atau mungkin benar bahwa aku memang kesurupan malam itu, dan sosok yang Nindy lihat semalam adalah sosok setan yang menghinggapiku.

Pagi ini seharusnya kami hunting sunrise pada pukul 05.30, namun karena tanganku masih sakit, hanya Chandra, Friska, dan Sheila yang ikut. Nindy dan Vinny buru-buru cari tukang urut yang bisa "memperbaiki" tanganku yang mengsol. Untungnya, ada salah satu turis juga yang memang merupakan seorang tukang urut dan dia mau datang ke homestay kami. Saat yang lain sibuk menikmati sunrise, aku malah menikmati rasa sakit saat tulang dan syarafku diperbaiki. Akhirnya kami harus menambah pengeluaran ekstra untuk ini, tapi jauh lebih baik daripada aku tak bisa menggunakan tangan kananku sampai akhir trip ini. Setelah pulang nanti, aku tetap disuruh untuk pergi ke dokter atau sangkalputung, karena ini sejatinya hanya perbaikan sementara saja.


"Gimana? Masih sakit?"


Nindy bertanya padaku sambil mengelus-elus lembut tanganku yang saat ini dibebat dengan perban.


"Masih, tapi udah mendingan banget lah dibandingin tadi. Udah bisa buat angkat gelas juga."


Aku hendak mengambil gelas berisi teh manis hangat, namun Nindy menepis tanganku pelan-pelan.


"Dibilangin jangan dipake macem-macem dulu, bandel banget."


Nindy pun langsung mengambil gelas itu dan meminumkan isinya padaku. Dia melakukannya dengan agak kaku, sepertinya ini kali pertamanya. Tak lama kemudian Vinny datang sambil membawa piring berisi sarapan nasi, sayur bening, tahu-tempe, dan ikan goreng. Dia mengambil sedikit dari semuanya dalam satu sendok, lalu menyuapkannya padaku.


"Gimana, Ko? Enak?"

"Enak, tapi aku jadi kayak orang sakit nih, Nik."

"Ya kan Ko Erik emang lagi sakit, mana tadi tangannya bengkak gitu. Aku ama Ci Nindy aja ngeri liatnya."

"Tetep aja, aku kan udah agak mendingan, jadi bisalah, makan sendiri..."

"Nggak bisa, nggak bisa,"
kata Nindy, "udah deh, Rik, daripada lo ntar tambah parah atau kenapa-kenapa, mending lo nurut dulu sekarang. Ntar malem kalau lo udah gak sakit lagi terserah deh."

"Iya, bener tuh kata Ci Nindy,"
kata Vinny sambil kembali memberiku suapan, "tapi Ko Erik koq bisa kayak gini gimana sih ceritanya?"

"Karena cewek lah, makanya ampe luka gitu!"
tukas Nindy.

"Eh, apaan sih, sembarangan aja ngomongnya??" protesku.

"Tapi bener, kan? Kamu bisa luka gini gara-gara semalem ngamuk karena Metta seling..."

"NINDY!! BISA DIEM GAK!!??"



Aku menghardik amat keras hingga Nindy dan Vinny mundur ketakutan, terutama Nindy yang sudah melihatku dalam keadaan terburukku semalam. Kami terdiam, dan aku pun langsung sadar bahwa mereka ketakutan.


"Maaf ya..."

"Lo itu mengerikan, Rik, kalau lagi ngamuk..." kata Nindy.

"Ya, can't argue with that."

"Minum dulu, gih, biar agak tenang dikit..."



Saat aku akan mengambil gelas teh manis, sekali lagi Nindy mengambilnya terlebih dahulu lalu meminumkannya padaku. Vinny masih terdiam, piringnya agak gemetaran, mungkin ingin tahu apakah aku masih murka.


"Tolong apa yang Nindy tadi omongin jangan ampe keluar dari sini ya, Nik."

"I-Iya, Ko... Tapi..."

"Iya, bener, apa yang dibilangin Nindy tadi bener. Tapi kalau mau ceritanya, tanya ke Nindy saja, aku nggak mau omongin soal ini. Ntar bilang aja kalau aku jatuh di dermaga terus tanganku numpu."

"I-Iya, Ko."



Dengan takut-takut, Vinny pun melanjutkan menyuapiku. Baru setelah suapan ketiga, dia tak lagi gemetaran. Nindy tampak mendengus dengan nafas berat.


"Lagian kenapa sih lo? Kalau udah jelas kayak gitu kenapa gak saat ini juga lo putusin dia?"

"Saat ini nggak bisa, Nin."

"Kenapa? Takut jomblo lo? Di sini ada Vinny, ada Sheila, semuanya nggak bakal keberatan koq jadi cewek lo buat gantiin si Metta. She's betrayed you, Erik, you don't deserve this."

"I know, cuman buat saat ini belum bisa. Ada sesuatu yang harus aku lakukan dulu mengenai dia."

"Like what?"



Aku diam saja tak menjawab, dan memandang mata Nindy dan Vinny bergantian.


"This is not something that I can explain to you. Ini bakal terlalu aneh buat kalian pahami. Tapi aku harus bersama Metta setidaknya sampai aku yakin dia aman, and if she betrayed me during that time, then so be it."


Nindy melihatku dengan pandangan mata seolah tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar.


"Aman? Aman dari apa? Apa sih sebenernya yang lo omongin, Rik?"


Aku hanya diam dan mendengus tak menjawab. Sebagaimana pun aku mempercayai Nindy dan Vinny, sebagaimana pun pintarnya mereka, tak mungkin aku begitu saja mengatakan bahwa aku datang dari masa depan dan ingin memperbaiki beberapa hal di sini. Terutama sekali adalah itu berkaitan dengan Metta. Namun Nindy pun akhirnya mendengus dan menyerah.


"Oke, terserah lo aja soal ini, gue nggak mau ikut campur. Gue yakin lo punya alasan dan walau gue nggak gitu sreg ama alasan lo itu, gue bakal kasih lo ruang."

"Thank you, Nin. You're a true friend."

"Ya, ya. Jangan ntar dateng sambil nangis-nangis ya, udah gue peringatin lo soal ini."

"Don't worry, I know what I'm doing."

"Well, I don't. Udah, habisin nih makanannya, bentar lagi yang lain pada balik ke sini. Gue mau ganti baju dulu."



Nindy lalu meninggalkanku berdua bersama Vinny yang masih menyuapiku. Vinny tampaknya sama tidak yakinnya dengan Nindy, namun dia lebih memilih diam daripada mengutarakan pendapatnya.


"Kamu juga setuju ama Nindy, Nik?"


Vinny dia sambil menyuapiku. Dia kemudian mengangguk.


"Ci Nindy bener kalau menurut aku, Ko. Kalau emang Ci Metta itu ngekhianatin Ko Erik, aku nggak liat ada alasan kenapa Ko Erik masih pertahanin Ci Metta."

"Ya, aku cuman bisa bilang ada sesuatu sih."

"Tapi Ko Erik koq ngasih saran yang beda soal aku ama Ko Samuel?"

"Kasusnya beda, Nik. Samuel itu abusif ama kamu. Dia manfaatin fakta bahwa cuman dia satu-satunya dunia kamu, dan bahwa kamu beredar mengitarinya. Sementara Metta... Hhh... Anggap saja aku sedang mencegah supaya dunianya Metta nggak hancur. Dia punya dunia sendiri, aku juga, dan itu bikin perkara Metta lebih rumit daripada kamu ama Samuel."

"Ko Erik kayak bisa memperkirakan masa depan aja... Kita kan hidup buat saat ini, Ko."

"Iya, kamu bener."

"Gitu doang nih, Ko? Nggak ada bantahan atau apa?"

"Ya, soalnya kamu emang bener, Nik. Bukan aku nggak mau mbantah, tapi ya karena semuanya cukup rumit, dan saat ini semua cuman bergantung ama aku."

"Ko Erik..."



Vinny berhenti lalu memegang tanganku. Kami bertatapan, kemudian Vinny menciumku. Dari semua wanita yang pernah kucium, hanya Vinny yang serupa dengan Metta. Namun aku tidak bisa mencintai Vinny sebagaimana aku mencintai Metta. Aku terlalu peduli pada Vinny untuk bisa melakukannya.


"Aku tahu Ko Erik nggak bisa cintain aku seperti Ko Erik mencintai Ci Metta... Tapi boleh nggak aku tetep berharap, Ko?"

"Seperti aku pernah bilang, Nik. Aku nggak bakal ninggalin kamu. Itu aja, apa pun yang terjadi, mau gimana pun akhirnya ke depannya. Ya, kamu harus kuat ya, soalnya tiga tahun ke depan amat penting, Nik."

"Ko Erik juga. Apa pun yang terjadi ama Ci Metta, tolong Ko Erik yang kuat ya. Masih ada aku. Walau Ko Erik nggak bisa cintain aku, tapi aku masih bisa bikin Ko Erik nyaman."

"Don't settle a love for convenience, Nik. You deserve to be loved fully by someone, inget itu baik-baik."



Vinny mengangguk sementara aku menghapus air mata di pipinya.


"Aku kudu bersikap gimana ama Ci Metta, Ko?"

"Biasa aja, pura-pura aja nggak tahu."

"Oke, aku bisa bersikap biasa aja, tapi Ko Erik jangan suruh aku pura-pura nggak tahu kalau dia khianatin Ko Erik, ya. Buat aku, yang Ci Metta lakuin ke Ko Erik itu jahat."



Aku hanya diam tersenyum sambil menepuk pundaknya. Jujur saja kuhargai perhatian Vinny, juga semua orang padaku. Namun ini adalah jalan yang harus kutempuh. Inilah yang memang ingin kulakukan semenjak aku diberi kesempatan untuk kembali ke masa ini, dan aku tidak boleh gagal.






Jadwal hari ini adalah snorkling dan bermain banana boat. Untungnya, tanganku sudah tak begitu sakit hingga aku bisa ikut snorkling, namun Nindy masih melarangku ikut naik banana boat. Tak seperti kemarin, Nindy tidak mau memegang hapeku lagi dan menyuruhku untuk "mengurusnya sendiri", karena kalau terserah dia, pasti Nindy akan memaki-maki Metta. Dengan tatapan matanya yang sinis, Nindy memintaku untuk lakukan apa yang menurutku baik dalam perkara Metta, karena dia tak bisa lagi untuk respek pada Metta setelah semua yang dia lakukan. Dia hanya berpesan satu hal padaku:


"Don't be a loser."


Namun di samping itu semua, kami bersenang-senang. Metta masih menghubungiku via SMS dengan cukup sering, rata-rata menyatakan bahwa dia bosan harus ikut seminar di sana dan ingin bergabung bersama kami, walau itu mustahil.

METTA: "Enaknya km bs seneng2 di sono."
AKU: "Emg di sono gk bs seneng2?"
METTA: "Bebeb bercanda ml."
METTA: "Mana bs seneng2 pas seminar gn?"
AKU: "Tp seminarnya lancar, kn?"
METTA: "Lancar, sore ini klr. Bebeb bsk blk jam brp?"
AKU: "Jam satu kyknya dr sini. Smp Marina jam 2 plg."
METTA: "Ok, I'll be there."
METTA: "Huhuhu, msh bete gk bs ikut Bebeb."
METTA: "Aq kangen km, Bebeb."
AKU: "Kangen aq apa kntl?"
METTA: "Kntl, hehehe."
METTA: "Meki aq sepi nih gk dimasukin si kntl."
AKU: "Ya bsk lah kan aq blk. Biar kntl bs silaturahmi ama meki."
METTA: "Yakin? Emg km gk capek?"
AKU: "Kan ktnya meki kgn ama kntl?"
METTA: "Ya jgn bsk jg, kasihan kmnya, capek abis perjalanan."
METTA: "Sabtu, ok?"
METTA: "Or kyk biasa deh, pas istirahat mkn siang kita check in gt."
AKU: "Iya, pcrku ini emg plg perhatian ama aku."
METTA: "Heheh, kan Bebeb, you are my everything."
AKU: "Yawda, sinyalnya ml susah nih. Ntr aq kontak lg. Love u, Bebeb."
METTA: "I love u so much much more, Bebeb."
METTA: "Mmuuachhh."
METTA: "Cpt plg, ati2, aq nungguin Bebeb di sini, inget."
METTA: "Jgn mcm2 ama ce2 di sono! Awas aja!"
AKU: "Iyee, gk mcm2 koq."
METTA: "Inget ada aq yg sll setia nungguin km di sini."
AKU: "<3"


Hape pun kumasukkan ke kantung tahan air. Ada beberapa notifikasi juga mengenai si Adam, namun aku memutuskan mengabaikannya untuk saat ini. Tidak, seperti apa kata Nindy, saat ini aku masih punya tanggung jawab, dan membuka notifikasi ini hanya akan menyulut kemarahanku pada Adam. Aku tak mau acara trip ini kacau gara-gara itu. Biarlah perkara ini hanya aku, Nindy, dan Vinny saja yang tahu. Aku sendiri memilih mengabaikannya untuk hari ini, dan menikmati indahnya pemandangan bawah laut di Kepulauan Seribu saat aku snorkling di dalamnya.

Di luar dugaan, melihat dunia biru membuatku tenang dan nyaman, dan untuk saat ini aku jadi bisa sedikit melupakan Metta. Birunya air laut, karang-karang kokoh yang indah, ikan-ikan warna-warni yang bersliweran, semua bagaikan penghiburan bagi hati dan jiwaku yang kini tengah lelah. Sayup-sayup, cacing dalam kepalaku memutar lagu yang sesuai dengan situasi ini.


"Dream of para-para-paradise...
Para-para-paradise...
Para-para-paradise..."



Mulutku mendendangkan lagu "Paradise" dari Coldplay sembari aku berenang telentang dan melihat langit serta matahari yang terik. Sinarnya panas menyilaukan, namun bagiku bagaikan memberi ketenangan dan harapan, sementara laut pada punggungku memberikan dukungan dan kekuatan. Beberapa detik kedamaian yang akhirnya berakhir ketika anak-anak memanggilku dan memintaku berfoto bersama.

Metta tak memberi kabar lagi hingga malam, padahal aku beberapa kali mengirim pesan padanya. Sudahlah, aku kini tak terlalu mengharapkannya. Mungkin dia sedang asyik masyuk di sana bersama pangeran yang datang dari Surabaya. Bajingan bernama Adam Gabriel Hanggono, yang bagaikan Rahwana mencuri Dewi Shinta dari Rama, begitu pulalah Adam mencuri Metta dariku. Waktu-waktu Hari Valentine yang seharusnya bisa dihabiskannya di sini, di tempat yang indah ini bersamaku, malah dia habiskan di dalam sebuah hotel yang rigid dan kaku di tengah kota. Aku lalu mengirim pesan bahwa akan memulai acara barbekyu disertai ucapan selamat tidur pada Metta, di mana pun saat ini dia berada.

Lalu bagaimana rencana ke depanku bersama Metta? Aku mungkin tidak bisa memaafkan pengkhianatannya, namun 2012 akan segera tiba, dan aku harus siap di sisi Metta saat itu terjadi, sehingga untuk saat ini, sebaiknya aku menahannya saja di dalam hati. Namun yang pasti semua situasi ini memang membuat pandanganku ke Metta sedikit berubah. Tidak, seharusnya tidak berubah, karena seharusnya aku bisa prediksikan ini, dan memang sudah kuprediksikan, tapi aku memilih mengabaikannya. Jadi, salahku juga saat masalah ini akhirnya muncul di kemudian hari.

Apakah aku masih mencintai Metta? Jawaban pertanyaan itu lebih rumit lagi untuk diberikan. Hanya saja untuk saat ini belum ada wanita yang kucintai setara atau melebihi Metta. Friska, Sheila, Nindy, dan Vinny, semuanya lebih kusayangi antara sebagai adik atau fuck buddy (kecuali Friska). Mungkin aku agak condong pada Vinny dan Nindy, namun bahkan mereka pun belum bisa melebihi Metta sebagai wanita yang kusayangi, bahkan dalam situasi ini. Bagiku, Metta bukan hanya sekadar cinta pertama, ada kisah masa lalu dan rencana masa depan dengannya yang masih ingin kujalani. Bahkan aku pun ragu akan ada wanita lain yang bisa membuatku jatuh cinta sebagaimana Metta saat ini.

Semua pun riuh, saat aku sebagai pit master mulai memanggang daging dan sosis yang kami bawa dari Jakarta. Sebagai tambahan, ada pula kerang dan ikan serta jagung dari pihak tur, sehingga kami berencana menghabiskan semuanya malam ini supaya besok waktu pulang tak ada beban lagi. Sementara aku memanggang, Nindy dan Chandra mulai mengeluarkan alat musik dan bermain. Nindy membawa gitar, sementara Chandra membawa biola, dan yang lainnya tampaknya menyukai pertunjukan mereka berdua. Aku juga takjub, baru kuketahui bahwa Nindy bisa bermain gitar dan bernyanyi dengan merdu, sementara Chandra jago bermain biola, sungguh tak kusangka. Timeline baru ini benar-benar membuatku bisa melihat sisi-sisi yang tersembunyi dalam timeline originalku.


"Ehhm!! Sekarang, buat pit master kita, ketua trip kita, cowok yang paling dituakan di kosan kita, Erik!" kata Nindy.


Semua bertepuk tangan, dan aku pun bingung sementara masih menaruh beberapa daging di piring.


"Aku? Kenapa?"

"Rik, pick a song, ntar kami mainin special for you."

"Any song?"

"Any song. Special for you, karena lo udah bikin semua ini jadi mungkin, dan sebagai ucapan terima kasih karena udah ada buat kami."

"Umm, apa ya? 'A Love Before Time' deh."

"Heh! Gue jitak lo ye! Lagu apaan tuh??"

"Lagu terkenal itu, OST-nya Crouching Tiger Hidden Dragon."

"Busyet, nggak ada yang lebih lawas lagi, Pak??"

"Katanya any song?"

"Nyenyenyenyenye... Untung gue tahu kalau OST itu, kurang baik apa dah gue ama lo."

"Makasih Kakak Nindy yang baik."

"Heh, berani manggil gue kakak lagi gue sambit lo, sumpah. Lo lebih tua dari gue, Dudul!"



Nindy lalu mengambil ancang-ancang, memastikan bahwa Chandra tahu lagu ini. Lagu dimulai dari intro permainan biola Chandra yang membawa nuansa mistis. Semua terdiam, dan akhirnya jari-jari lentik Nindy memetik senar saat dia mulai bernyanyi.


"If the skies opened up for me
And the mountains disappeared
If the seas ran dry, turned to dust
And the sun refused to rise

I would still find my way
By the light I see in your eyes
The world I know fades away
But you stay..."



Aku tersenyum lalu melihat ke semua orang di situ. Satu hal yang tak kuketahui pada saat ini adalah ini saat terakhir aku bisa melihat teman-teman kosanku berkumpul dan bercengkerama bersama, setidaknya sebagian dari mereka.

Friska adalah yang pertama keluar, sekitar Juli 2011, akibat kesalahannya sendiri. Walau sudah sering kuberi tahu, dia tetap saja sering membolos kerja, seperti biasa, dengan alasan sakit, dan entah bagaimana pada suatu hari dia bisa bertemu dengan supervisornya yang saat itu memang sedang jatah libur di sebuah mall. Tentu saja besoknya kontrak Friska langsung diterminate hari itu juga. Friska pun keluar dari kosan karena mendengar ada lowongan di tempat lain, namun 6 bulan kemudian dari sosmed-nya kuketahui bahwa dia kembali ke kampung halamannya di Brastagi, hamil. Entah anak siapa itu, karena tak ada update bahwa dia menikah tapi itu terakhir kali sosmednya update karena setelah itu Friska deact dan menghilang dari radarku.

Tanpa teman untuk berbagi biaya kamar kosan, Sheila hanya bisa bertahan hingga satu setengah bulan, sebelum akhirnya pindah pada awal September 2011. Kebetulan pada saat yang sama Sheila tengah ditawari oleh outsource-nya untuk pindah ke klien lain yaitu F*mily Mart, L*wson, dan 7-*leven. Aku menganjurkannya untuk pindah antara ke L*wson atau F*mily Mart, namun akhinya dia lebih memilih 7-*leven karena gajinya lebih besar, meski harus pindah ke sisi lain Jakarta. Aku melepasnya dengan nasihat supaya sebelum 2017 dia pindah ke tempat lain selagi ada kesempatan. Saat Sheila keluar dari kosan itulah kali terakhir aku bertemu atau mendengar kabarnya. Aku berharap dia mengingat nasihatku, karena aku tahu bahwa 7-*leven akan hengkang dari Indonesia pada tahun 2017.


"I would still know the way
That would lead me back to your side
The north star may die
But the light that I see in your eyes
Will burn there always
By the love we have shared before time."



Lalu bagaimana dengan Nindy dan Vinny? Anggaplah waktuku dengan mereka masih cukup lama, namun 2011 adalah tahun terakhir di mana kosan menyenangkan. Situasi akan berbalik pada 2012 dengan munculnya orang-orang baru yang membuat suasana menjadi agak tidak nyaman. Di timeline original aku keluar dari kosan karena menikah dengan Rini. Entah bagaimana aku akan melakukannya pada 2012 di timeline ini. Namun aku tak mau memikirkan itu lebih dahulu, karena ada hal lain yang akan lebih kurisaukan, so jalani saja satu persatu. Dan dengan pemikiran itu, maka Nindy pun menyelesaikan lagunya.


"When we shed our earthly skin
And when our real life begin
There'll be no shame
Just the love that we have made before time."



Genjrengan terakhir dipetik dan kami pun bertepuk tangan dengan meriah.

==========


APPENDIX

5 Februari 2012



Asap putih mengepul keluar disemburkan dari mulut seorang wanita cantik yang tengah bertelanjang di atap ini bersamaku. Ya, dia adalah Nindy, sebagaimana biasa. Aku sendiri tetap memakai pakaian, karena setelah beberapa kali mencoba, kuputuskan bahwa menjadi nudis bukanlah untukku, pun Nindy tetap tak keberatan. Selama aku menemani dia, tak masalah. Biasanya Nindy akan cerita hal secara random, apa yang dia lakukan hari itu, termasuk, detail percintaannya dengan Chandra, yang walau agak risih aku tetap menyimaknya. Namun kali ini dia malah membicarakan hal serius di atap kosan ini.


"Selamat dulu lah, lo ntar bakal ambil posisi sebagai Manajer Strategi Marketing, kan?"

"Iya, makasih ya."

"Akhirnya lo udah nggak shift malem permanen lagi. Besok langsung ke ruangan baru?"

"Iya, begitulah."

"Divisi ini baru dibentuk soalnya, pengembangan dari Divisi Marketing yang lama. Ntar bakal membawahi semua cabang di teknik dan marketing. Sebagai eks leader malam kamu dianggep cukup buat masuk memimpin divisi baru ini."

"Yah, begitulah. Tapi kirain Pak Ridwan yang bakal jadi Direktur Teknis Marketing? Koq malah Pak Adrian dari Compliance yang naik?"

"Board kan nilainya Pak Adrian itu paling capable buat handle divisi baru yang bakal penting ini. Bukannya dulu lo juga setuju ya, kalau Pak Adrian lebih pas buat duduk di posisi itu?"

"Iya sih, tapi..."

"Tapi kenapa?"



Aku terdiam. Tentu saja tak mungkin aku memberi tahu Nindy bahwa seharusnya dalam timeline original-ku, Pak Ridwan-lah yang menduduki posisi itu. Di sisi lain, aku pun saat ini akan menduduki posisi yang dulu dijabat oleh Surya, sementara kebalikannya Surya akan menjadi Ketua Tim Marketing 3, posisi yang dulu aku duduki. So, pergantian ini memang sudah seharusnya logis.


"Gak apa-apa, sudah, lanjut."

"Dasar aneh lo, nah, sekarang kita ngomongin yang serius."

"Gila lo ya, ngomongin urusan kantor di sini sambil bugil-bugilan gini."

"Ya iyalah, gak mungkin juga bugil-bugilan di kantor, kan? So, karena divisi ini baru dikembangkan, jadi ada beberapa posisi baru yang besok bakal diisi serentak, salah satunya adalah posisi jadi asisten lo di tim Strategi Marketing. Ini yang mau gue omongin."

"Oke, gimana?"

"Buat posisi itu ada dua orang yang salah satunya mau gue taruh di sono. Yang pertama itu cewek fresh-graduates, satunya lagi cowok tapi udah punya pengalaman di posisi serupa. Gue sih pengennya lo ambil si cewek fresh-graduates, tapi gue balikin ke lo aja, ada pertimbangan lain apa gak?"

"Sebenernya gue gak masalah sih, tapi itu kan posisinya agak tinggi ya, jadi apa nggak lebih mending cari yang lebih pengalaman?"

"Oh gitu, I see. Jadi lo lebih milih yang cowok, nih?"

"Iya, seyogyanya sih gitu. Eh, ini bukannya kongkalikong ya?"

"Enggak sih, kan keinginan user kudu dipertimbangkan, walau emang situasi pas ngomongnya nggak biasa sih, tapi ya biar cepet aja."

"Oke, so ya, yang pengalaman aja, cowok juga boleh."

"Oke, jadi ntar yang cewek bisa gue kasih ke Tim Marketing 3."

"Tim Marketing 3 jadi di bawah si Surya?"

"Iya, kenapa?"

"Dia lulusan mana?"

"Hmm, kayaknya dari Universitas JBC deh."

"JBC? Jurusan Strategic Business Management, bukan?"

"Iya, napa? Lo kenal?"

"Umm, enggak sih, tapi..."

"Hmm, hayoo, lo mau berubah pikiran ya?"

"Namanya siapa emang?"

"Duh, gak tahu kalau namanya. Yang mbaca berkasnya bukan gue tapi staf lain."

"Oh gitu ya..."

"So, gimana nih? Mau berubah apa tetep?"

"Berubah aja deh, gue ambil si cewek fresh-graduates."

"Yakin? Beneran? Last call?"

"Iyaa, beneran."

"Oke, done then. Dari tadi kek, jadi kan gue gak ngerasa bersalah ngasi dia ke Surya."

"Emang ngerasa bersalah kenapa?"

"Lo nggak tahu, emang?"



Aku menggeleng. Sebenarnya aku sudah tahu kelakuan Surya, namun aku pura-pura belum tahu saja.


"Iya sih ya, kan lo shift malem terus selama ini. So, ada rumor kalau si Surya itu mata keranjang, banyak selentingan kalau dia sering ngegodain karyawan-karyawan cewek gitu, tapi masalahnya belum ada yang bikin komplain resmi ke HRD soal ini. But the rumors were just too much to ignore."

"Hoo, pantes di awal lo suggest supaya gue ambil si cewek."

"Iya, itu dia salah satu alesannya. Eh, tapi lo yakin nggak kenal ama ini cewek? Koq begitu tahu dia dari JBC langsung berubah pikiran?"

"Yaa, selama ini kan lulusan JBC itu bagus, so gue pengen liat aja karena penasaran."



Nindy melihatku dengan pandangan mata curiga. Ya, sebenarnya aku memang bohong saat berkata tak ada yang kukenal dari Universitas JBC, karena aku kenal satu orang, yaitu Bella, protege yang di timeline original-ku paling kusayangi dan paling dekat denganku. Prospek untuk bisa mendapatkan Bella kembali di bawah sayapku jelas merupakan hal yang amat menarik bagiku, karena aku sudah paham bagaimana harus mengolah dan menjadikannya seorang ace sebagaimana Bella tahun 2021. Satu hal yang mengganjal adalah Bella seharusnya baru bergabung pada 2014, namun mengingat banyak hal di timeline ini yang berubah dari timeline original, mau tak mau aku pun mempertimbangkan kemungkinan bahwa bisa saja Bella bergabung lebih awal. Bagaimana pun juga, akan bagus bila sekali lagi aku bisa bekerja bersama Bella.






Keesokan harinya, aku masuk kantor menuju ke ruangan dan jabatan baruku dengan dandanan yang jauh lebih rapi dan perlente daripada biasanya, termasuk memakai parfum lebih banyak daripada biasa. Ini adalah pertama kalinya setelah sekian lama aku masuk kantor di bawah sinar matahari pagi, dan di posisi yang cukup tinggi, sehingga aku ingin menciptakan kesan pertama yang bagus. Lagi pula, Bella akan datang hari ini, jadi aku ingin menyambutnya dalam penampilanku yang terbaik.

Kantor Manajer Strategi Marketing cukup besar, mirip sebuah ruangan sendiri dengan lemari buku, meja kerja kayu berhias, kursi dan meja untuk rapat internal, dan terutama ada jendela besar di sana yang membuat cahaya alami bisa masuk, jelas beda jauh dengan ruanganku yang dulu. Di depan ruanganku ada beberapa workspace khusus untuk timku, di mana salah satunya, Bella akan ada di sana. Aku juga sudah meminta supaya Reyhan yang bekerja di bawahku selama shift malam turut pula dipindahkan ke sini, walau proses transfer antarbagian jauh lebih panjang daripada merekrut baru. Bila ada Bella dan Reyhan di sisiku, maka aku tak perlu khawatir lagi walau sisanya adalah anak baru.

Pintu diketuk, dan Nindy pun masuk ke dalam ruangan. Dia tampak tertegun melihatku berdandan maksimal, apalagi jumlah parfum yang tak biasa. Sekali lagi dia memberiku tatapan mata curiga.


"Jadi curiga gue kalau lo beneran kenal, maksimal banget dandanan lo, kayak mau kencan aja."

"Kesan pertama itu penting, Nin."

"Halah, tai lo. Udah datang nih bocahnya, mau disuruh masuk sekarang?"

"Ya iyalah, masuk aja sekarang, nunggu apa lagi?"

"Ciee ciee, yang udah nggak sabaran. Ya udah, tunggu di situ, gue bawa bocahnya masuk dulu."



Aku lalu membelakangi pintu sambil memegang meja dan menghadap ke jendela. Saat perkenalan nanti, aku akan langsung berbalik dan menjabat tangannya untuk membuat efek seperti dalam film-film atau sinetron-sinetron, supaya Bella terkesan, hahaha. Lalu kudengar pintu dibuka kembali, dan aku pun berdehem sambil merapikan kerah baju.


"Pak Erik, ini anak barunya yang bakal jadi asisten Pak Erik di sini."


Nindy memang hanya memanggil gue-lo saat kami berdua saja, tapi kalau di depan umum, dia menggunakan istilah yang takzim. Aku tersenyum lalu berbalik untuk mengulurkan tangan.


"Apa kabar? Selamat datang di sini, Bella..."


Saat itu juga aku terkejut dengan mata membelalak saat melihat sosok "anak baru" yang kini berdiri di depanku. Tanganku pun bahkan sampai gemetaran karena tidak percaya dengan apa yang kulihat ini. Rok span hitam dengan kemeja putih yang modis, tas dengan merek yang cukup mentereng, kulit putih terawat dengan rambut ikal panjang mode terkini, dengan wajah manis berdandanan minimalis khas Korea, dan wanita ini pun membungkuk sambil tersenyum dengan manis, senyuman yang telah lama tak pernah kulihat...


"Selamat pagi, Bapak Erik, perkenalkan, nama saya Rini, Rini Widiyanti..."

Next >>> Collision
 
Terakhir diubah:
Kok malah jadi kasihan sama metta kayak dipaksa gitu, eh dipaksa apa menikmati ya :getok:

Klo si Rini gantiin posisi bella, bellanya kemana? Apakah bakal ada plot twist yg mengejutkan lagi? :dance:
 
Makasih updatenya

Wah, perkiraan Erik meleset!! Malah Rini yang daftar kerja disana. Waduh mana ada Surya yang mata keranjang lagi. Ini sih kalau Erik salah ambil keputusan/tindakan yang ada malah makin runyam hahaha

Ditunggu kelanjutannya
 
Sengaja ga gw buka ni thread ampir sebulan biar puas bacanya tp tetep berasa kurang hehehe… yeah i can see another asshole hehe tp kayanya the real asshole belum muncul sih cinta pertamanya metta. Skrg yg gw tunggu apakah akan ada moment konfrontir eric ke metta mengenai s adam krn gw rasa ada/gadanya momentum tsb menurut gw bakal mempengaruhi karakter meta kedepannya palagi udah mendekati kepindahan meta ke kantor barunya. Apakah meta bakal jadi innocent bitch or slutty bitch ini yg gw tunggu hehehe palagi mu ketemu first lovenya. Tp semua hal bisa terjadi krn cuman penulis yg tau hehe pembaca mah cuman bisa berspekulasi. See u next month metta, rini, eric. Makasih buat penulis karena udah konsisten update seminggu sekali gw yakin itu bukan hal mudah hehe..
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd