Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG #1

Status
Please reply by conversation.
Satu kata, keren.
cerita yg kayak gini lah yang paling ane suka,
lanjut suhu updaten nya ditunggu
 
Mau update... Kuota menipis... :sendirian:

Nunggu paketan malam aktif jam 12 dini hari nanti berarti, :senam2:
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Tiga belas menit lagi :mancing:
 
#1
Chapter 5 : Dan Aku…

Astara duduk di sofa ruang tamu apartemennya. Mengkompres rahang kirinya yang kini terasa kebas akibat ayunan kepalan tangan yang dilepaskan oleh Ramzi, kekasih Dina. Sebuah asbak dengan sebatang putung rokok yang masih panjang ada di atas meja tidak jauh dari hadapannya. Tampaknya merokok dengan rahang yang kebas bukan pilihan yang baik.

‘Tiiit’

Dering bel pintu apartemen sedikit menarik perhatian Tara. Tanpa ragu pria itu meraih remote keydoor di dekatnya dan mengarahkan ke arah pintu, lampu indikator pada panel di samping pintu berubah dari merah menjadi hijau. Tanda bahwa pintu itu tak lagi terkunci.

“Kudengar kau kehabisan kopi jadi aku membawakan beberapa kopi lanang kesukaan… Hey! Kenapa wajahmu?” Ken bergegas meletakkan kantung plastik berisi bungkusan kopi bubuk yang dibawanya dan duduk di hadapan Astara. Raut wajahnya tampak khawatir terhadap apa yang terjadi pada Adik tirinya tersebut.

“Tidak apa-apa,” jawab Tara sambil tetap mengkompres rahang kirinya.

“Siapa yang melakukannya?” ada nada geram terdengar dari kalimat Ken.

“Cuma perkelahian kecil saja, aku bisa mengatasinya.”

“Siapa?” Ken mengulangi kembali pertanyaannya. Nadanya tampak sangat kurang senang.

Tara menatap ke wajah kakak tirinya. Ekspresi marah dan khawatir terpancar di wajah sang Kakak. Tara tersenyum dan meletakkan handuk dingin yang ia gunakan untuk mengkompres. Dengan tenang Tara menceritakan apa yang baru saja terjadi antara dia, Dina dan Ramzi.

“Sudah kubilang kan?” Ken menimpali setelah selesai menyimak cerita Tara. “Seharusnya kau tidak berurusan terlalu dalam dengan gadis itu. Mereka itu menjadi pelacur karena mereka punya masalah dalam hidup mereka. Berurusan dengan mereka sama saja dengan mendatangkan masalah pada hidupmu sendiri!”

“Kata pelacur itu terlalu kasar, Kak,” Tara meraih kembali handuk dingin dan mengkompres rahangnya lagi. “Dan tolong pelankan suaramu.”

“Seratus lima puluh juta! Dan perkelahian dengan pacarnya. Masalah apa lagi yang akan datang sampai kau benar-benar mengerti dan mencari gadis baik-baik ?!”

“Oh Ayolah,” Tara menahan suaranya. Rahangnya terasa nyeri setiap ia mencoba untuk bicara. “Kita sudah membahas ini berkali-kali. Dan keputusanku masih tetap sama.”

“Dan kita akan terus berdebat soal ini sampai kau berhenti dan mulai mengencani gadis baik-baik!” Ken bersikeras. “Gadis itu kotor, entah sudah berapa penis menodai tubuhnya, entah sudah berapa pria tua yang menikmati tubuhnya. Sekali lagi, Tara. Pernahkah kau berpikir bagaimana rasanya kalau salah satu karyawan perusahaan kita ternyata pernah meniduri pacar bosnya sendiri?!”

“Pelankan suaramu, Kak…”

“Dia memang cantik! Punya tubuh yang bagus! Tapi aku bisa mempertemukanmu dengan yang lebih cantik, lebih seksi dan pastinya lebih baik!! Bukan pelacur seperti Dina!”

“Kak!!” satu sentakan dari Tara membuat rasa nyeri di rahangnya semakin terasa. “Kakak bisa mencari yang lebih dari Dina, aku tahu itu! Tapi…”

Kalimat Tara terputus saat ia mendengar suara gagang pintu yang diturunkan. Satu dari dua kamar tidur di apartemennya perlahan terbuka. Ken ikut menoleh ke sumber suara dan ia cukup terkejut melihat sosok gadis yang berdiri di ambang pintu kamar. Sosok itu tak lain adalah Maulidina yang sedari tadi mereka bicarakan.

“Apa aku bisa pulang ke kos?” tanya Dina, nada suaranya bergetar. Sepertinya ia mendengar apa saja yang Ken bicarakan tentang dirinya. Matanya tampak berkaca-kaca. Ya… gadis manapun pasti akan merasa sedih jika disebut pelacur, kotor, ternoda dan lain sebagainya.

“Sudah terlalu malam,” Tara mencoba tetap tenang dan menguasai keadaan canggung yang baru saja tercipta. “Istirahatlah di sini malam ini. Besok pagi kuantar kau pulang.”

Dina tidak menjawab. Gadis itu hanya mengangguk dan kembali menutup pintu kamar.

“Kau tidak mengatakan ia ada di sini,” bisik Ken kepada Tara.

“Sudah kuminta untuk memelankan suaramu kan?” jawab Tara juga sembari berbisik.

Untuk beberapa saat Ken terdiam, seperti sedang memikirkan sesuatu. Lalu ia menggeleng-gelengkan kepalanya dan beranjak dari duduknya.

“Aku pergi dulu,” pamit Ken sembari bergegas meninggalkan Apartemen milik Astara.

Tara beranjak dari sofanya setelah Ken pergi. Pria itu membuka pintu kamar dan melangkah masuk. Dina tampak sedang duduk di ranjang, bersandar pada dinding di belakang ranjang sembari memperhatikan ponsel pintarnya. Tara bergegas naik ke atas ranjang dan berbaring miring membelakangi Dina.

“Dia benar…” ujar Dina tiba-tiba.

“Hmm?”

“Kamu pantas dapat gadis baik-baik Mas. Bukan yang kotor, ternoda dan bukan pelacur pembawa masalah sepertiku,” lanjut Dina dengan bulir air mata yang mulai turun menyusuri pipinya.

“Aku tidak membutuhkan gadis baik-baik yang nantinya hanya akan mengecewakanku,” jawab Tara dingin.

“Jika dia memang gadis baik-baik…” Dina menimpali. “Dia tidak akan mengecewakanmu.”

“Tidak ada yang sempurna,” balas Tara.

“Aku mungkin saja mengecewakanmu,” kembali Dina bicara.

“Setidaknya itu tidak akan membuatku terkejut,” Tara menjawab singkat.

“Kamu aneh,” ujar Dina kemudian.

Keheningan sesaat menyelimuti mereka berdua. Suasana mendadak menjadi canggung di antara Dina dan Astara. Sebelum akhirnya Astara berkata lirih.

“Kamu tidak mengerti apa yang sudah aku alami,” Tara bicara, matanya memandang kosong ke dinding di hadapannya.

“Beritahu aku,” pinta Dina singkat.

*_*_*

“Ayolah Ayah,” rengek Tara pada Wedianto Wicaksana, Ayahnya. “Sekali ini saja biar kupinjam mobil Ayah. Sekali ini saja.”

Sang Ayah tidak menggubris rengekannya. Masih menyantap telur mata sapi dan potongan kentang kukus yang menjadi menu sarapan hari itu.

“Tara, kamu kan sudah punya mobil sendiri, Nak?” Sang Bunda; Alexia, menimpali rengekan Tara yang jelas kurang pantas bagi anak yang telah masuk ke jenjang perkuliahan.

“Beda Bunda,” Tara masih saja bersikeras. “Mobilku tidak berkelas dan klasik seperti mini cooper milik Ayah.”

“Salahmu sendiri kenapa tidak memilih mini cooper waktu Ayahmu mengajak ke showroom Mr. Djoe untuk membeli mobil,” Sang Bunda kini justru menyudutkan Tara.

“Gunakan mobilmu sendiri, Nak,” suara berat dan tegas Wedianto menghentikan pembicaraan di sarapan pagi mereka. Wedianto mengambil beberapa lembar tissue untuk menyeka minyak di bibirnya.

“Kurasa kau bisa meminjamkan pada Tara untuk sehari ini, Sayang?” kali ini Sang Bunda membantu Tara. Pandangan Tara tampak berbinar senang melihat Alexia mendukungnya.

“Keputusan hanya dibuat sekali,” jawab Wedianto tenang. “Saat kau memilih mobilmu, saat itu kau memilih pendamping yang akan menemanimu kemanapun kau pergi. Setidaknya sampai ia tak dapat lagi mendampingimu. Itu konsekuensi yang harus kau ambil dan tidak bisa kau lepaskan. Itu bukti tanggung jawabmu sebagai laki-laki kepada dirimu sendiri.”

Kalimat Wedianto menyurutkan pandangan penuh semangat Tara. Ia memang ingin sekali mengendarai mini cooper milik sang Ayah. Ia baru tau dari Mr. Djoe, pemilik showroom langganan Ayahnya bahwa mobil milik sang Ayah bukanlah mobil biasa. Termasuk satu dari dua ratus mini cooper S turbo yang pertama diprdoduksi di dunia, begitu Mr. Djoe menjelaskan.

“Baiklah kalau memang tidak boleh,” Tara akhirnya menyerah. “Aku berangkat kuliah dulu,” ujarnya sambil beranjak dari kursi makannya.

“Apa kau tidak terlalu keras padanya, Sayang?” tanya Alexia setelah Astara meninggalkan rumah.

“Kau yang terlalu memanjakannya, Cinta,” jawab Wedianto sembari beranjak dari kursi makannya. “Aku berangkat dulu.”

“Hati-hati di perjalanan dan selamat bekerja, Sayang,” Alexia membereskan peralatan makan yang digunakan untuk sarapan. Mata lentiknya terpejam saat suaminya mendekat dan memberinya satu kecupan di kening. Seperti yang biasa Wedianto lakukan sebelum berangkat kerja.

*_*_*

Lenguhan nafas penuh kenikmatan memenuhi ruang tidur Alexia dan Wedianto. Wanita berusia tiga puluh delapan tahun itu memejamkan matanya. Bibirnya merekah dan mendesah mengikuti setiap hentakan yang diterima tubuh telanjangnya. Ranjang spring bed di bawahnya ikut berayun.

Hari Selasa dan Kamis adalah jadwal mingguan Alexia untuk berkunjung ke gym langganannya di pusat kota. Ia berangkat sekitar pukul sembilan pagi setelah suami dan anak semata wayangnya; Astara meninggalkan rumah. Alexia baru kembali dari gym sekitar pukul dua belas siang. Dan dalam dua bulan terakhir ia tidak pulang sendirian. Andi Arthemista, instruktur fitness yang usianya lebih muda tiga tahun darinya ikut pulang bersamanya. Pria itulah yang kini menggenjot tubuh telanjangnya.

“Ouhh… sshh…” Alexia terus mendesah menikmati setiap gesekan penis gemuk panjang Andi di dinding kenikmatannya. Pinggul rampingnya bergerak mengimbangi pompaan sang pejantan. Seolah berusaha memberikan kenikmatan setimpal kepada pria yang bukan suaminya. Tubuh Alexia ikut meliuk setiap kali Andi memasukkan batang kejantanannya dalam-dalam. Bulir-bulir keringat seolah menjadi air yang menyirami tubuh telanjang keduanya.

“Emhh… Ahh,” Alexia merangkulkan kedua tangannya ke belakang leher Andi. Tubuh keduanya kini berhimpitan. Dada telanjang pria itu menempel lekat ke payudara kencang milik Alexia. Keduanya berpagutan, saling bertukar lidah dalam lenguhan yang sesekali terlepas dari sela-sela pagutan mereka. Dengan leluasa Andi menggerakkan pinggulnya naik-turun, semakin lama semakin kencang. Membuat lenguhan Alexia terdengar semakin cepat dan kencang.

“Nggghh…” dalam satu hentakan Andi membenamkan penisnya dalam-dalam, mencoba meraih kenikmatan tertingginya kala kepala penisnya berkedut. Semprotan demi semprotan spermanya meluncur menghantam bagian dalam kewanitaan Alexia. Setiap kedutan batang kejantanannya membuat tubuhnya bergetar menggambarkan kenikmatan yang ia rasakan. Di lain pihak, Alexia memejamkan matanya menikmati kedutan dan semprotan hangat yang diberikan instruktur fitnessnya. Bibir Alexia merekah terbuka, seolah mengekspresikan kenikmatan kala Andi membuahinya.

“Ohh…” tubuh Andi melemas. Menindih tubuh telanjang Alexia. Deru nafas keduanya terdengar bersahutan. Keduanya diam tanpa suara, seolah masih sayang dengan kenikmatan yang baru saja mereka raih bersama. Alexia membiarkan tubuh sang instruktur menindih tubuhnya.

“Capek?” bisik Alexia di telinga Andi.

“Enak?” Andi membalas pertanyaan Alexia tanpa menjawab.

“He-em,” jawab Alexia menandakan bahwa ia merasakan kenikmatan dari persetubuhan mereka.

“Ronde kedua kita doggy style, ya?” bisik Andi seraya menatap wajah cantik wanita yang baru saja ia setubuhi.

“Lakukan sesukamu,” Alexia menyetujui permintaan Andi.

“Kamis besok, Danar akan ikut dengan kita. Kamu mau kan? Sepertinya Dimas dan Alfa juga akan ikut,” ujar Andi. Kejantanannya yang mulai melemas terlepas dari liang kenikmatan Alexia.

“Umm… kuat nggak ya aku?” Alexia sedikit tertawa membayangkan apa ia mampu melayani lebih dari satu lelaki. Kamis depan mungkin akan menjadi pengalaman pertamanya bermain dengan banyak lelaki sekaligus.

“Pasti kuat lah.”

“Selasa minggu depan saja ya? Aku masih belum siap untuk gangbang.”

“Oke, terserah kamu, cantik,” Andi tersenyum dan mengangkat tubuhnya yang menindih Alexia. “Ayo bangunkan supaya kita bisa langsung ronde kedua,” tambahnya sembari berbaring terlentang di samping Alexia.

Tanpa diminta dua kali, Alexia duduk dan mulai mengocok lembut kejantanan Andi. Hanya beberapa kocokan tangan sebelum batang itu merasakan mulut dan lidah wanita bersuami tersebut. Kepala Alexia kini tampak naik-turun mengulum penis instruktur fitnessnya.

Dan kejadian itu tidak luput dari pandangan Tara yang diam-diam mengintip apa yang dilakukan Sang bunda dari celah kecil pintu kamar yang tidak tertutup. Astara memutuskan menghentikan intipannya dan meninggalkan rumah saat Bundanya mulai merangkak membelakangi Andi, bersiap untuk membuka ronde kedua dengan posisi doggy style.

*_*_*

“Kau yakin?” Wedianto menatap tajam ke kedua putranya bergantian. Ken dan Astara duduk di hadapan sang Ayah.

“Mungkin sebaiknya aku kembali mengerjakan tugasku,” merasa suasana yang kurang mengenakkan, Ken pamit undur diri.

“Tetap di sini Ken,” perintah Wedianto tegas. Ken mengurungkan niatnya. Bagaimanapun cukup aneh bagi Ken berada di sebuah ruangan dimana Astara, Adik tirinya menceritakan perselingkuhan yang dilakukan oleh Alexia, Ibu kandung dari Astara.

“Ayah tidak percaya padaku?” Tara balik bertanya. “Aku melihat semua dengan mata kepalaku sendiri.”

“Ada bukti yang bisa kau tunjukkan?” Wedianto terus mencecar Tara dengan pertanyaan penuh selidiknya. “Rekaman video atau foto…”

“Ayah tidak percaya padaku?” Tara mengulangi pertanyaannya lagi. “Aku sama sekali tidak terpikir untuk mengambil foto atau apapun.”

Untuk sesaat Wedianto diam tanpa ekspresi. Pandangannya beralih pada langit-langit ruangan kerjanya. Ia dan istrinya, Alexia memang terpaut jarak umur yang cukup jauh. Wedianto berusia tiga puluh tujuh tahun saat ia melamar Alexia yang kala itu baru berusia tujuh belas tahun. Di usia dua puluh tahun Alexia melahirkan Astara.

“Kupikir…” Wedianto menghentikan kalimatnya sejenak. “Dengan menikahi perawan muda seperti Ibumu… yang belum terjamah oleh pergaulan bebas dapat membuatku lebih tenang…”

Tidak satupun diantara Ken dan Tara mengomentari gumaman sang Ayah. Tara hanya memandangi kerut di wajah Wedianto. Sedang Ken lebih memilih menundukkan wajahnya. Sepertinya Ken bahkan sama sekali tidak ingin mendengar atau terlibat dengan keadaan yang terjadi saat ini.

“Aku percaya padamu, Nak…” Wedianto memandang lembut ke arah Astara. “Dan aku akan selalu mempercayai kalian berdua,” kini ia memandang ke arah Ken yang masih menundukkan wajahnya. “Meski itu berarti anggapanku tentang Alexia selama ini adalah salah.”

“Ayah tidak akan menceraikan Bunda kan?” kekhawatiran tiba-tiba saja menyergap benak Astara. Ia tampaknya sedikit menyesal menceritakan apa yang baru saja ia saksikan kepada sang Ayah. “A… aku hanya berpikir… sebaiknya Ayah tahu agar Ayah bisa menasehati Bunda. Agar Bunda tidak melakukan kesalahan yang sama. A... aku…”

“Kami tidak akan bercerai, Nak,” kalimat Wedianto terdengar sangat tenang. “Aku telah berjanji pada Bundamu saat aku menikahinya dulu, bahwa hanya kematian yang bisa memisahkan hubungan suami-istri yang aku dan bundamu miliki.”

“Apa Ayah akan memarahi Bunda?” Tara masih saja terdengar khawatir.

“Mungkin,” jawab Wedianto bijak. “Mungkin Ayah hanya akan bicara sepatah atau dua patah kata dengan Bundamu. Mungkin itu saja sudah cukup.”

Kelegaan tergambar jelas dari raut wajah Astara. Ia merasa beruntung memiliki Ayah yang cukup bijak dalam menyikapi segala sesuatu.

“Pulang dan beristirahatlah, Nak,” lanjut Wedianto. “Atau pergilah kencan dan bersenang-senanglah. Terserah dirimu.”

Tara tersenyum mengangguk. “Boleh kubawa mini cooper?” ia mencoba mengadu keberuntungannya yang tadi pagi gagal meminjam mobil milik Sang Ayah.

“Kau sudah tahu kalau jawaban dari pertanyaanmu itu adalah tidak,” tegas Wedianto. "Tidak saat ini, Nak."

Astara menghela nafas panjang sebelum beranjak meninggalkan ruang kerja Ayahnya. Meninggalkan Sang Ayah dan Kakak tirinya, Ken yang kini hanya berdua di ruangan tersebut.

“Kau tidak memperlakukan Ibuku sebijak itu…” dengan wajah masih sedikit menunduk Ken bergumam. Lirih, namun cukup jelas untuk didengar oleh Wedianto.

“Bukankah sudah berulang kali kusampaikan padamu bahwa yang pernah kulakukan pada Ibumu adalah sebuah kesalahan besarku?” Wedianto menanggapi gumaman putra sulungnya. “Dan kini aku melakukan kesalahan terbesar keduaku.”

“Dengan menikahi istrimu yang sekarang?” ada nada sarkasme yang kental dalam pilihan kalimat yang diucapkan oleh Ken.

“Dengan pura-pura bersikap bijak di depan kedua putraku,” jawab Wedianto datar.

*_*_*

Lampu teras depan dan carport rumah belum menyala saat Honda Jazz merah milik Astara memasuki carport. Sesuatu yang tidak biasa mengingat saat itu waktu telah menunjukkan pukul tujuh malam. Lebih aneh lagi saat ia menemukan mini cooper S Turbo milik Ayahnya telah terparkir di carport. Mobil yang sangat ingin ia pinjam itu terparkir kurang rapi. Tidak seperti biasanya.

Saat Astara membuka pintu depan, ia menemukan sosok Wedianto sedang bertelanjang dada. Sang Ayah tampak tengah menikmati rokok kretek yang jarang sekali ia hisap. Hanya beberapa kali Tara menemui Wedianto merokok.

“Kau sudah pulang?” Wedianto tersenyum melihat Astara di ambang pintu depan rumah.

“Lampu teras dan carport depan belum dinyalakan?” Tara menanyakan perihal keadaan halaman depan rumah yang tampak gelap dan suram karena lampu belum dinyalakan.

“Nanti saja,” jawab Sang Ayah sembari kembali menghisap rokok kreteknya. Asap putih mengepul keluar dari hidung dan mulut pria berusia lima puluh delapan tahun tersebut. “Duduklah Nak, ada yang ingin Ayah bicarakan,” tambahnya seraya menunjuk kursi tamu di hadapannya.

Tara mematuhi permintaan Sang Ayah dan bergegas duduk di hadapan Ayahnya. Ia dapat melihat mata tua Wedianto tampak sembab seperti baru saja menangis.

“Ayah bertengkar dengan Bunda?” melihat raut wajah dan keadaan Wedianto yang cukup berantakan, Tara tidak bisa untuk tidak bertanya.

“Cinta…” tanpa menggubris pertanyaan putranya, Wedianto mulai berbicara. “Adalah sebuah kumpulan rasa yang terasa sangat suci, indah dan mematikan,” pria tua itu berhenti sejenak untuk kembali menghisap rokok kreteknya.

“Cinta ibarat sebuah tebing yang dibentuk dari timbunan impian dan harapan,” Wedianto kembali melanjutkan. “Begitulah aku memilih Bundamu. Dengan sebuah harapan dan usaha untuk mencapai apa yang aku impikan.”

Tara mendengarkan dengan seksama. Mencoba menangkap inti dari rangkaian kalimat yang disampaikan oleh Ayahnya.

“Dengan Bundamu, semua terasa indah dan tertata rapi. Kelahiranmu adalah anugerah terbesar yang kumiliki. Sama besarnya seperti saat aku mengetahui bahwa Ken adalah anak kandungku. Bundamu adalah wanita yang kupilih dan kuharapkan untuk mencapai impianku. Sampai aku menutup mataku kelak.”

Wedianto berhenti lagi. Matanya menatap lembut ke arah Tara.

“Namun aku melupakan satu hal…” senyum nyinyir tersungging samar diantara keriput wajah tua Wedianto. “Tebing itu terbuat dari timbunan harapan. Semakin besar harapanmu semakin tinggi tebing itu. Semakin sakit saat kau jatuh darinya.”

Pria tua itu kini memejamkan matanya, senyumnya melebar memperlihatkan deretan giginya yang putih terawat. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya seolah bicara pada imajinasinya sendiri.

“Jangan tinggikan harapanmu akan cinta, Nak,” mata Wedianto kembali terbuka dan memandang ke arah Tara. “Kau dan Kakakmu, Ken, adalah penerus perusahaan yang telah kubangun. Kalian akan melakukannya dengan baik dan aku sudah mempersiapkan hal itu sejak empat tahun yang lalu.”

“Ayah, apa yang sebenarnya ingin Ayah sampaikan?” kali ini Tara tampak tidak sabar menangkap arah pembicaraan Sang Ayah.

“Aku telah memutuskan untuk berpisah dengan Bundamu,” jawab Wedianto singkat.

“Apa??” Tara terkejut. “Ta… tapi bukankah tadi Ayah mengatakan tidak akan menceraikan Bunda?”

Wedianto tidak segera menjawab. Ia menatap dalam-dalam ke mata putra kandung keduanya.

“Keputusan telah dibuat, Nak…” ujarnya. “Kau boleh marah padaku, kecewa… bahkan membenciku. Tapi keputusan telah dibuat. Jadi temuilah Bundamu di dalam kamar untuk terakhir kalinya.”

Tara memicingkan matanya, seakan tidak percaya dengan apa yang saat ini terjadi. Ia beranjak dari kursinya dan melangkah ke kamar tidur utama. Kamar dimana Wedianto dan Alexia tinggal. Lampu ruangan kamar itu menyala, pintu kamar itu sedikit terbuka namun telinganya tak menangkap suara apapun dari dalam kamar.

Dan kala Astara berdiri di ambang pintu kamar matanya terbelalak lebar. Raut keterkejutan tergambar jelas di wajahnya kala ia menemukan sosok Alexia, Bunda tercintanya terbujur kaku tanpa busana dengan luka sayat lebar di leher mulusnya. Tergeletak tidak jauh dari Andi Arthemista, instruktur fitness yang tadi sempat menyetubuhinya. Keduanya tak bergerak tak bernyawa.

Jantung Tara berdegup sangat kencang. Ia berlari ke arah ruang tamu, ke tempat Ayahnya. Dan yang ia temukan adalah sosok Ayahnya dengan mulut berbusa.

Tanpa gerakan…

Tanpa nafas…

Tanpa nyawa…


*_*_*
 
Terakhir diubah:
ijin baca suhu...
wah ternyata masa lalu keluarganyapun tragis ya....
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd